"Sabar, Nak Hafshan."Aland menyeringai."Tenangkan dirimu dan beri kesempatan untuk kita berdua membicarakan ini. Agar kamu tidak hanya menyalahkan pihakku saja."Mata Abizar memerah. Dari ujung irisnya sudah berair, lelaki itu mengeraskan rahang.Memilih menahan diri dan emosi, Abizar menurut saat dituntun Aland ke ruangan yang lebih pribadi. Sepanjang jalan Aland terus memamerkan senyumnya yang sebenarnya miris.Diikuti oleh Dimas dan Alif, Abizar sampai di sebuah ruangan yang sangat tertutup. Jarang ditemukan jendela dan ventilasi, hanya beberapa untuk jalur udara. Tidak seperti ruangan luar lainnya, yang dimana-mana full dengan kaca. Aland menepuk tangannya dari dalam, beberapa pelayannya datang. Dalam bahasa Inggris, Aland menyuruh mereka membawakan minuman dan makanan.Bagi Aland, Abizar adalah 'tamu spesial' yang patut 'dimuliakan'."Silahkan duduk, Nak Hafshan. Cari letak nyamanmu, agar lebih rileks dengan obrolan ki
"Izinkan saya masuk," Mawar memelas ke arah satpam di depan gerbang. Pak tua tersebut menatap Mawar lalu menggeleng tegas, "maaf, Nona. Jika tidak ada keperluan dengan Tuan Besar jangan menginjakkan kaki kemari." "Saya mohon ...." suara parau Mawar meminta iba. Kedua tangan mungil tersebut mencekram jeruji gerbang. "Maaf, Nona." Melihat wajah lesu Mawar, sebenarnya lelaki tua tersebut kasihan. Tapi ini perintah, sembarang orang juga tidak bisa masuk. Tak ada pilihan, Mawar terpaksa menjadi wanita tidak tahu malu yang mengaku-ngaku. "Calon suamiku ada di dalam 'kan? Tuan Abizar Hafshan, aku calon istrinya. Izinkan aku masuk dan bertemu kekasihku." Mendengar pengakuan Mawar, Pak tua tersebut terlihat ragu. "Kumohon," wajah Mawar semakin memelas, sekalipun di dalam itu berbahaya. Ada Samuel, sama saja memasukkan diri ke dalam kadang singa. Tapi Mawar berani karena ada Abizar yang akan melindunginya. "Apa salahnya bertemu calon suamiku sendiri? Ak
"TUAN AWAS!"Karena jeritan Mawar Abizar kehilangan keseimbangan, ban sepeda tua Pak Ari menabrak batu dan akhirnya mereka jatuh ke tanah. Sebelum tubuh Mawar menabrak tanah dengan sigap Abizar menangkup punggung kepala wanita itu, menyelamatkan kepalanya agar tidak terbentur sekalipun anggota tubuhnya yang lain kelu.Mereka terkapar di rumput, Mawar meringis karena kakinya keram, sedangkan Abizar pasrah saat merasakan punggungnya remuk. Karena ditimpa oleh dua tubuh mereka, kebun bunga matahari di halaman rumah Pak Ari nampak mengenaskan. Bunga-bunga yang awalnya menjulang tinggi, tangkainya patah dan kelopak-kelopak bunganya berhamburan.Abizar menghembuskan napas, wajahnya menatap langit. Diliriknya wajah Mawar yang kusut terbaring di sebelahnya, "mau tidur di halaman saja malam ini, Mawar?" Lelaki itu terkekeh. Dilonggarkannya sarung yang menggantung di pinggangnya, bersisakan celana di bawah lutut. Abizar menggunakan sarung tersebut untuk menyelimuti mereka."Apaan, sih Tuan?" Ma
Pukul empat pagi, Abizar melirik spion belakang. Mawar sudah terlelap nyenyak, dengkurannya begitu halus. Dengan suara pelan Abizar memerintah Alif untuk membelok arah ke suatu tempat. Abizar menurunkan diri di makam ibunya, Alif yang awalnya ragu akhirnya mengikuti tuannya. Meninggalkan Mawar seorang diri, yang sebelum Abizar turun sudah diselimuti oleh lelaki itu. Sebelum ke Saudi membawa Mawar dan entah kapan pulang, Abizar ingin berpamitan ke makam ibunya terlebih dahulu. Langkah Abizar berhenti saat menemukan seseorang duduk bersimpuh di sebelah makam, lelaki yang menjadi tujuan kenapa Abizar ingin berangkat ke Saudi. "Abi?" Omar menoleh kaget, kitab di tangannya langsung ditutup, bait ayat yang dia baca sambil berlinang air mata sudah berhenti."Abizar?""Abi kenapa di sini? Di Semarang? Di makam Ibu?" Langkah Abizar sedikit mengentak, didekatinya sang Ayah yang tersenyum miris. "Abi hanya ingin berziarah, entah kenapa Abi mendadak merindukan ibumu ...." Mata merah Omar mengal
"Astaghfirullah."Saat menurunkan diri dari mobil Abizar menghela napas lelah ketika mendapati ayah dan calon istrinya sama-sama molor. Hari nyaris Subuh, di bangku yang dia duduki sedari masuk ke dalam mobil Abizar Omar terlelap seperti mati, wajahnya terlihat gelisah dan banjir peluh, seperti dihantui oleh mimpi buruk. Abizar berusaha membangunkannya, karena kendaraan mereka sudah sampai tujuan. Tepukan pelan sudah Abizar layangkan berulang kali ke lengan dan pipi Omar, tapi mata yang seakan dilem tersebut tidak kunjung membuka. Omar masih bergerak gelisah dalam tidurnya, rintihan samar terdengar dari bibirnya, gerak mulutnya seperti menyebut nama Melati tanpa suara. "Abi, sudah sampai Abi." Abizar menarik napas kuat dan menghembuskannya. "Abi," sedikit ditinggikannya suara, tapi Omar susah sekali dibangunkan."Tidak mungkin aku meneriakkan nama Melati hidup lagi agar kamu bangun 'kan?" Berdecak pasrah tak ada pilihan Abizar akhirnya memilih untuk menggendong tubuh kekar Omar. Awa
Masing-masing dada mereka bergemuruh hebat, Omar menatap wajah tersebut penuh cinta. Apalagi saat tangannya membelai kening dan pipinya, membenamkan bibirnya, merengkuhnya dalam pelukan, berguling bersama di atas ranjang, tawa terdengar hangat dan memanjakan.Semuanya bergulir di kepala Omar yang masih terlelap, sekalipun adzan Subuh sudah terlewat, Abizar menyerah membangunkannya. Omar tidur seperti mati. Saat kepalanya mengulang kenangan dengan wujud mimpi, wajah Omar bahagia. Senyum terukir di bibirnya, lelaki itu tertawa senang. Dengan mata berair haru.Guling di sebelahnya menjadi korban—dipeluk, diremuk, diciumi olehnya yang mengigau. Menjadikan daging guling tersebut sebagai dada Melati yang Omar senang sekali menempelkan telinga ke dadanya, untuk mendengarkan detak jantungnya.Tapi kebahagiaan itu surut, saat mimpi yang diremake dari masa lalu tersebut berganti. Wajah Omar berubah keras, kecewa dan tangisnya meledak. Padahal lelaki itu hanya mengigau.Omar mencintai wanita ini
"Jadi semua ini ada hubungannya dengan Aland James Pilli?"Omar terlihat marah, kedua seberang giginya saling menggesek saat terngiang nama tersebut dan membayangkan wajahnya."Dia membeli jantung Melati untuk anaknya? Pertanyaannya kenapa harus Melati?" Abizar yang duduk menghadapnya memerhatikan wajah tersebut. Mata merah Omar mencerminkan kesedihan, air matanya yang mengalir mencerminkan penyesalan. "Ini juga salah Abi 'kan?" Abizar menghela napas, ingin menyalahkan Aland tapi Aland juga kehilangan seorang istri, Samuel juga kehilangan seorang Ibu. Mereka setimpal, keduanya salah dan keduanya 'berhak'.Omar menoleh sendu, teringat kelakuannya. Seharusnya dia tidak memberi harapan palsu kepada Aland, tapi saat itu Omar terdesak, mendadak adiknya juga membutuhkan pedonor jantung setelah kecelakaan karena menyusulnya ke Indonesia."Aku tahu ini salahku, tapi kenapa harus Melati yang terlibat?" Omar terlihat tidak terima, air matanya kembali menetes. "Andai aku tahu Aland sampai segit
Seharusnya mereka tidak datang. Menjadi penyesalan saat mereka menginjakkan kaki ke mari. Penthouse mewah tersebut nampak berkabung, berkibarnya bendera kuning menjelaskan kematian seseorang tanpa kata dan seruan. Ruangan depan yang biasanya lengang ramai oleh penduduk kampung yang membacakan surat Yasin.Aland memang hanyalah seorang agnostic yang sebenarnya tidak percaya akan Tuhan, masuk Islam hanya untuk bisa menikahi Luna, seumur hidupnya tidak pernah salat sama sekali, Al-Qur'an hanya pernah dia sentuh sampulnya tanpa pernah membukanya apalagi membacanya—sekalipun Aland bisa berbahasa Arab karena ahli dalam berbagai bahasa. Meskipun begitu, Aland pernah mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan tidak pernah membatalkannya sampai saat ini. Dia masih umat Nabi Muhammad, hambanya Allah, sekalipun ... hanya gelar."Siapa mati?" Suara Abizar berat, jangan bilang Aland. Sekalipun itu kenyataannya, Abizar meringis tidak suka. Dendam memang masih terpupuk untuk lelaki itu namun terlalu cepa