Share

Bab 3

"Tuan?"

Aku memanggilnya pelan. Hingga akhirnya Tuan Abizar menoleh sinis.

"Apa?" Nadanya nyaris sama seperti menggeram, sebelah tangannya sibuk menggores isi dokumen. Ingin fokus dengan pekerjaannya, aku malah menganggu konsentrasinya.

"Nyonya Ulfa sudah menunggu di depan, Anda tidak mau menemuinya sebentar, mengucapkan selamat tinggal sebelum beliau dipulangkan ke rumahnya."

Tuan Abizar mendelik tidak suka. "Tidak usah."

"Benar tidak usah, Tuan?"

"Iya, tidak usah."

Aku hanya menghela napas, dengusanku ternyata disadari olehnya yang menatapku dingin. Aku pura-pura tidak melihat.

Punggungku merunduk. "Kalau begitu saya pamit, Tuan. Untuk ke depan, menemani Nyonya Ulfa."

Badannya langsung tegap, bertanya sinis. "Kamu lebih memilih menemani wanita itu dari pada menemaniku, di sini siapa yang tuanmu?"

Aku mengalah, berdiri di tempat untuk menungguinya.

Setelah menggores beberapa lembar dokumen, perintahnya terdengar. "Pergilah, temani Ulfa sampai keluarganya menjemput. Setelah itu, kembali lagi di sini, aku menunggu."

"Benar, Tuan?"

Saat aku mengulangi kalimatnya, beliau meringis kesal.

"Benar," jawabnya lalu mengarahkan mata keluar dari ruangan. "Apa perlu kuulangi?"

Salam penghormatan untuknya sekali lagi, aku pamit undur diri dan pergi ke muka rumah. Dimana Nyonya Ulfa ada di sana, menunggu jemputannya datang. Sesuai janji, sekitar 10 menit lagi.

"Tuanmu benar-benar tidak mau mengantarku, ya? Atau setidaknya, mengucapkan 'selamat tinggal' untuk terakhir kali?"

Aku hanya mengangguk merasa bersalah. "Aku sudah memintanya, tapi beliau menolak ...."

"Kamu seharusnya tidak usah memintanya, jika kamu meminta dia perhatian padaku, dia akan semakin tidak suka padaku."

Aku mengerjap. "Kenapa begitu?"

Helaan napas Nyonya Ulfa terdengar. "Setidaknya itu yang kualami semenjak tinggal di rumah ini, sehari sebagai istri sahnya. Tiga bulan sebagai calon mantan istrinya."

"Jika kamu memujiku, dia akan membenci wanita mana yang kamu puji. Jika kamu mendukungku, dia akan membenci wanita mana yang kamu dukung. Jika kamu perhatian padaku, dia akan membenci wanita mana yang kamu berikan perhatian. Tapi jika kamu memuji diri sendiri, sekalipun tidak terlihat dia akan sependapat. Jika kamu mendukung dirimu sendiri, diam-diam di balik layar dia juga mendukungmu melebihi siapapun.

Begitulah tuanmu, saat aku memerhatikannya.

Jadi jika ingin membuatku disukai, abaikan saja aku. Seakan aku tidak membuatmu risih atau merasa iri. Jika kamu ingin wanita baru yang akan datang ke rumah ini disukai olehnya—setidaknya tidak membuatnya benci—kamu bersikap saja seakan kamu lebih cantik darinya, sekalipun kecantikan wanita itu sebenarnya melampauimu, bersikaplah seakan kamu tidak mendukung hubungan tuanmu dan wanita itu berjalan baik, saat pernikahan tak usah mengucapkan selamat kepada kedua pengantin, maka meskipun sedikit tuanmu tidak akan membenci wanita itu, dia akan memperlakukannya sedikit baik."

Aku tertawa. "Tuanku memang aneh, Nyonya. Beliau rumit dan sulit dimengerti."

"Tapi dia mudah ditebak, jika kamu terlibat."

Aku tertawa lagi. "Malah saat aku di dekatnya, tuanku semakin terlihat susah dimengerti. Beliau semakin aneh. Menyuruhku makan dari sisanya, sekalipun makanan yang beliau sisakan selalu enak-enak seperti sengaja menepikan lauk enak untuk kumakan dan beliau hanya makan butiran basi dan sayur-mayur yang tidak kusukai. Kadang, ingin kutanyakan ke beliau, emangnya aku kucing?"

"Tapi ...." suaraku berubah lirih. "Begitulah cara tuanku berbagi kehidupan denganku. Beliau pernah bilang begitu."

"Padahal sebagai istri, aku lebih berhak atas kehidupannya."

Nyonya Ulfa menghela napas. Sangat menyayangkannya, tepatnya bertanya-tanya kepada nasibnya, kenapa dia semalang ini?

"Oh, ya sepertinya perlu kuingatkan. Jika tuanmu meminta dibuatkan kopi, buatkan yang dingin, jangan yang panas."

"Eh, kenapa?" Aku menyahut heran. "Nanti, beliau ngomel."

"Dengarkan saja aku, jika kamu sayang pada seluruh anggota tubuh tuanmu."

Dahiku mengernyit.

Perbincangan kami terputus saat mobil jemputan keluarga Nyonya Ulfa sudah terparkir di muka rumah.

Nyonya Ulfa memelukku, tepat di daun telingaku berbisik. "Jaga tuanmu baik-baik, Mawar. Dia akan baik-baik saja, jika kamu ada. Dia tidak akan baik-baik saja, jika kamu tidak ada."

Setelah mengurai pelukannya, wanita itu tersenyum. Sopir yang menjemputnya membukakan pintu, membawa Nyonya Ulfa masuk ke dalam kendaraan mewahnya.

Saat mobil itu melaju, aku melambaikan tangan. Sangat menyayangkan, tuanku yang tidak berperasaan itu tidak ada di sebelahku ikut menghantarkan kepergian Nyonya Ulfa.

Ck, ck, sebagai pelaku yang menghancurkan mimpi indah seorang wanita dalam pernikahan semalam, tak kusangka tuanku yang gagah dan dingin itu sangat tidak bertanggung jawab dan menyebalkan.

Tapi sudahlah, seharusnya aku terbiasa dengan kelakuannya. Entah sudah berapa wanita yang bernasib sama karena ulahnya.

Beliau menikah memang atas suruhan keluarga, kadang ada beberapa penolakan yang beliau lontarkan yang berakhir dengan paksaan. Tapi, beliau selalu menalak tanpa berpikir.

Berpikir, bagaimana respon keluarganya. Berpikir, seperti apa pandangan orang-orang ke beliau kelak.

Bahkan beliau tidak perduli, karena kelakuannya, hubungan kerja keluarganya dengan keluarga wanita-wanita yang beliau talak menjadi buruk, memperumit urusan bisnis dan keluarganya dipandang begitu buruk.

Sebenarnya aku tidak betah dan ingin mengundurkan diri, uangku sudah terkumpul cukup banyak dari gaji dan bonus yang sering dia berikan. Tapi semenjak memutuskan bekerja di sini, perjanjian antara tuan dan majikan sudah tertulis, aku tidak boleh berhenti bekerja kecuali dengan alasan-alasan tertentu.

Amat teringat, kalimatnya saat itu.

"Kamu tidak boleh berhenti bekerja, kecuali dengan tiga alasan. Sekarat, mati atau karena ingin menikah."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status