Genap tiga kali suci, akhirnya Nyonya Ulfa menyelesaikan iddah-nya.
Hari ini dia akan keluar dari rumah majikanku, seutuhnya lepas dari status istri sah Tuan Abizar karena sejak awal menalaknya tak ada tanda-tanda dari Tuan Abizar kalau beliau ingin merujuknya."Sebelum aku pergi, apakah kamu ingin mendengar sedikit cerita dariku, Mawar?"Nyonya Ulfa bertanya saat aku mengemasi barang-barang pribadinya ke dalam koper. Wajahku menoleh, sedikit menggambarkan rona bingung. Kepalaku mengangguk, mempersilahkan dia bercerita."Setelah mengucapkan ijab, wajah tuanmu sangat murung, seperti menyesal menikahiku padahal keluarganya sendiri yang memintaku untuk menikah dengannya ...."Pergerakan tanganku yang menyusun barang-barang pribadi Nyonya Ulfa berhenti. Aku fokus mendengarkannya, diam-diam memerhatikan semua perhiasan yang melekat di tubuhnya.Semua benda mahal itu dari Tuan Abizar, sekalipun sudah menceraikan Nyonya Ulfa Tuan Abizar tidak memintanya kembali.Nyonya Ulfa melanjutkan ceritanya."Selama bersanding di sebelahku, di kedua resepsi Indonesia dan Arab Saudi, dia terus melihat ke arahmu. Seperti merasa kecewa kepadamu. Ah, begitulah yang kupikirkan saat melihat matanya berembun terus menatapmu yang terlihat bahagia dan mengucapkan kalimat selamat kepadaku berkali-kali."Aku masih memasang telinga, mendengarkan lanjutan cerita Nyonya Ulfa."Awalnya, aku hendak menolak pernikahan ini saat orang tuaku menawarkan. Karena takut bernasib sama dengan mantan-mantan istri tuanmu sebelumnya, diceraikan setelah malam pertama. Tapi saat melihat tuanmu untuk pertama kali, hatiku berdesir. Wajah tampannya membuat hatiku berdebar, saat itu juga aku jatuh cinta dan meyakinkan diri sendiri, aku pasti bisa mempertahankan pernikahanku dengan tuanmu.""Akan kukerahkan semua pesonaku agar tuanmu mempertahankanku dan jatuh cinta padaku. Tapi semua itu seakan mustahil, saat dia terus menatapmu dari jauh, tak pernah menolehku saat aku memanggil, tak pernah memandangi wajahku padahal aku sudah berdandan seapik mungkin, saat aku mendesaknya untuk mengobrol dia selalu menyuruhku diam, tapi saat kamu mengajaknya mengobrol dia selalu menanggapi, sekalipun wajahnya terlihat jutek."Matanya memandangku iri. Tak ada rasa benci yang dia perlihatkan, hanyalah bentuk kecemburuan yang wajar dirasakan oleh setiap wanita.Sorot matanya seperti mengatakan, 'andai aku jadi kamu'."Di malam pertama, nyaris tiga jam dia mendiamiku, sekalipun aku sengaja membuka sebagian pakaianku agar dia melihatnya.""Tidak tahan, akhirnya kudesak dia. 'Bagaimana dengan malam pertama kita, apakah kamu ingin melewatkannya?', pertanyaan yang membuatku menyesal setelah mendengarkan jawabannya.""Kamu ingin tahu apa katanya?" Nyonya Ulfa diam, memandangku dalam. Merasakan firasat buruk, aku mengangguk saja."Dia bilang, bisakah aku berdandan sepertimu? Berpakaian sepertimu? Memotong rambutku sepertimu, di malam pertama kami. Tentu saja aku heran saat mendengarnya, dia bertanya penuh harap. Dan apa jawabanku? Aku mengiakannya." Nyonya Ulfa meringis, sedangkan aku tidak mengerti apa yang terjadi.Kenapa Tuan Abizar meminta hal-hal demikian? Bukankah itu menjijikkan dan aneh? Di malam pertama, meminta istri sendiri, berdandan seperti wanita lain."Dia mengambil pakaianmu di jemuran belakang, dan aku memakainya."Aku mengerjap. Pantasan, salah satu pakaianku hilang. Ternyata Tuan Abizar yang mengambilnya."Dia memotong rambutku dengan rapi, persis seperti model rambutmu. Sepertinya, Tuan Abizar sering memotong rambutmu, ya? Lalu, dia pergi ke kamarmu lagi. Tanpa izin, mengambil semua make up-mu untuk kupakai. Dan aku memakainya. Berusaha meniru penampilan wajahmu. Kadang aku keliru merias diri agar mirip denganmu, tuanmu yang merapikan dandananku."Awalnya kukira ada maling nakal di rumah ini, yang bukannya mencuri baju mahal dan make up bermerk bagus milik majikan, malah mencuri baju dan make up jelek milik pembantu.Aku tidak menyangka, barang-barangku yang pernah hilang Tuan Abizar pelakunya. Yang dia ambil untuk dipakaikan ke Nyonya Ulfa."Saat itu juga, setelah selesai meniru penampilanmu. Tuanmu memandangi wajahku penuh binaran, tidak disangka dia langsung menciumku dengan buas. Dia begitu bersemangat, rona-rona kesedihannya hilang. Tapi di pertengahan, dia seperti sadar. 'Kalau aku bukan kamu'. Dia langsung menarik diri, mengerang, menggeleng-geleng, matanya berair dan memerah. Berkata dingin, "kamu bukan Mawar. Semirip apapun kalian sekarang, kamu tetap bukan Mawar". Dia langsung meninggalkanku begitu saja, saat itu aku sedih dan bersyukur. Sedih karena dicampakkan suami sendiri dan bersyukur pikiran tuanmu teralih dan tidak menyadari, kalau dia bukan orang pertama—aku tidak perawan sebelum menikah dengannya."Nyonya Ulfa masih melanjutkan. Aku jadi lupa tugas untuk mengemasi barang-barangnya, mobil yang akan ditumpangi Nyonya Ulfa untuk pulang ke keluarganya akan datang setengah jam lagi. "Setelah memakai pakaianku—bukan pakaianmu lagi yang diambilkan Abizar—aku menyusul langkahnya. Mungkin kamu tidak pernah tahu ini, di tengah malam saat dia meninggalkanku sendirian di kamar pengantin dia berdiri menghadap pintu kamarmu yang terkunci, mungkin kamu sudah tidur. Lalu dia duduk di depan pintu, bersender di sana, terlelap di pintu kamarmu."Nyonya Ulfa meringis, "satu jam aku membeku, melihatnya yang bersikap demikian. Setelah tersadar, aku membangunkannya. Dia terlihat nyenyak, meskipun tidur di lantai bersenderkan pintu. Marah saat aku membangunkannya, tapi setelah bangun dia akhirnya pergi tapi meskipun sudah berganti-ganti tempat—di sofa, kamar tamu, semua kamar di rumah ini, semua sofa di rumah ini—dia tidak bisa tidur sama sekali.""Paginya, aku ditalak. Begitu saja. Tidak sama halnya seperti saat menikahiku, saat menalakku dia tidak merasa menyesal sama sekali. Jujur, Mawar. Aku sangat sakit hati."Aku kehilangan kata-kata, tak ada kalimat tepat di kepalaku untuk menghiburnya. Apalagi di curahan hatinya, sepertinya aku terdakwa di sini. Dalang dari masalah yang menimpanya."Semuanya sudah terlanjur terjadi, sekalipun aku menolak diceraikan, aku tetap mantan istrinya. Di masa iddah ini, aku berusaha untuk mencuri hatinya lagi untuk merujukku, tapi dia seperti tidak berminat sama sekali. Di rumah ini saja, aku seperti tidak dianggap ada."Nyonya Ulfa ikut memasukkan barang-barangnya ke dalam koper. Memasukkannya sembarangan, secara acak, tidak melipat atau menatanya terlebih dahulu. Setelah kopernya penuh, semua barangnya dimasukkkan, dia menutupnya dan menarik rasleting."Aku akan langsung menunggu di depan, sepertinya tuanmu tidak membutuhkan ucapan selamat tinggal dariku 'kan?""Tuan?"Aku memanggilnya pelan. Hingga akhirnya Tuan Abizar menoleh sinis."Apa?" Nadanya nyaris sama seperti menggeram, sebelah tangannya sibuk menggores isi dokumen. Ingin fokus dengan pekerjaannya, aku malah menganggu konsentrasinya."Nyonya Ulfa sudah menunggu di depan, Anda tidak mau menemuinya sebentar, mengucapkan selamat tinggal sebelum beliau dipulangkan ke rumahnya."Tuan Abizar mendelik tidak suka. "Tidak usah.""Benar tidak usah, Tuan?""Iya, tidak usah."Aku hanya menghela napas, dengusanku ternyata disadari olehnya yang menatapku dingin. Aku pura-pura tidak melihat.Punggungku merunduk. "Kalau begitu saya pamit, Tuan. Untuk ke depan, menemani Nyonya Ulfa."Badannya langsung tegap, bertanya sinis. "Kamu lebih memilih menemani wanita itu dari pada menemaniku, di sini siapa yang tuanmu?"Aku mengalah, berdiri di tempat untuk menungguinya. Setelah menggores beberapa lembar dokumen, perintahnya terdengar. "Pergilah, temani Ulfa sampai keluarganya menjemput. Setelah itu, kemba
"Pesankan aku makanan."Beliau yang ingin makan, aku yang kegirangan.Menahan pekikan senangku, kuambil telepon rumah yang ada di atas mejanya. Menekan nomor langganan sebuah restoran mewah dan memesan beberapa paket makanan yang biasa Tuan Abizar pesan. Yang jujur saja, semua makanan kesukaan beliau adalah makanan kesukaanku. Entah ini kebetulan atau kesengajaan.Menunggu paket makanan sampai, aku duduk manis di atas sofa yang ada di ruangannya.Saat suara deru motor terdengar di halaman depan, aku melaju bak kilat untuk menerima pesanan dari kurir hidangan. Seharusnya tingkahku ini aneh, tapi Tuan Abizar seperti memakluminya. Aku mengambil piring, menyiapkan setiap makanan dan hidangan yang dibeli keatas meja Tuan Abizar. Sebelum giliranku, aku mempersilahkan tuanku menikmati makanan-makanan ini terlebih dahulu. "Silahkan Tuan." Gerakan tanganku seperti tidak sabar, lalu duduk menghadapnya. Tuan Abizar menepikan map, kertas dan laptopnya dari atas meja. Beliau melirikku. "Ambil
TV itu sengaja dinyalakan. Abizar yang merasa sepi, hanya ingin suara pembawa berita menemani kesepiannya sambil menggores-gores isi dokumen. Awalnya Abizar fokus dan serius, hingga tayangan televisi berganti. Menjadi acara musik. Suara gitar dan piano beradu, diikut-sertakan dengan nyanyian yang menggelora. Awalnya Abizar berhasil menahan tangannya yang gatal, bibirnya yag bergetar dan telinganya yang memanas. Tapi seperti hilang akal dan kesadaran diri, Abizar melempar sesuatu ke arah layar televisi. Benda itu rusak, suara yang menggema keluar darinya sudah tidak terdengar. Abizar bisa merasakan kemarahannya reda saat suara itu menghilang, napasnya mulai terhembus beraturan. Kembali dijatuhkannya diri ke atas kursi. Seleranya untuk bekerja mendadak hilang, saat serpihan televisi kini telah mengotori lantainya, ruangannya kembali menjadi seperti sediakala—hancur berantakan. Abizar hanya bisa menggusar rambut, berusaha menghilangan gemaan suara music yang terbayang di kepalanya seaka
"Tuan, bulan depan saya ingin pulang kampung. Dua minggu saja ngambil libur, boleh?" Saat memerhatikannya makan aku mengambil kesempatan untuk meminta izin. Tuan Abizar tersedak, lalu melirikku. Dengan berat kepalanya mengangguk, "baiklah, terserah kamu saja." Tangannya berhenti meraup nasi, mendadak kelihatan tidak berselera. Tuan Abizar mendorong piring makannya menjauh. Selama tiga tahun ini bisa kutebak beliau cukup baik, Tuan Abizar selalu menyisakan lauk-lauk enak untukku, saat beliau hanya mengambil nasi dan sayur rebus saja. "Makanlah," suruh Tuan Abizar, masih duduk di tempat. Aku menarik piringnya mendekat setelah mencuci tangan, sesekali melirik beliau aku memasukkan beberapa suapan nasi ke dalam mulut. Tuan Abizar mendelik ke arahku, entah kenapa kali ini beliau mudah kesal. "Aku benci melihat caramu makan, lambat." Diambil alihnya piringku, lalu mengambil nasi dan lauk dengan tangannya, beliau menyuapiku seperti biasanya. Lagi-lagi lupa umur, aku menerima suapan nasi da
Tuan Akmal mengurut kening saat Tuan Abizar sudah melaju pergi menggunakan mobilnya. Beliau menoleh, mendapatiku yang berhenti membersihkan pillar malah balik memeluk benda itu dengan kedua lengan karena terlalu fokus mendengarkan percakapan mereka. Aku salah tingkah saat diperhatikan Tuan Akmal, langsung kulepas dekapanku dari pillar lalu pura-pura membersihkan benda menjulang itu kembali. Tuan Akmal membuang napas, sepertinya masih kesal dengan yang barusan. Sebenarnya salut untuk Tuan Abizar, aku tidak menyangka dia memiliki pola pikir seperti itu. Sekalipun kelakuannya selama ini cukup meresahkan. Langkah Tuan Akmal mengentak, dia menjatuhkan diri di sofa single yang ada di teras. Matanya melirikku yang masih membersihkan satu pillar, tidak kunjung-kunjung pindah ke pillar yang lain. "Hei," Tuan Akmal memanggil, aku langsung balik badan dan menghadapnya. "Ya Tuan?" Beliau masih mengurut kening dan pangkal hidung, "bisa aku mengajakmu bicara sebentar?" Aku mengangguk, "silahkan
Hari sudah gelap saat aku selesai membersihkan semua lantai, dinding dan pillar di rumah bak istana tersebut, termasuk beberapa kamar kosong yang harus kusiapkan sesuai yang Tuan Akmal katakan. Kelelahan, aku hanya bisa minum air dingin. Ingin makan, Tuan Abizar belum kunjung pulang. Rasanya ingin berbuat curang, mengintai kotak roti dan hendak mencomotnya. Baru saja hendak kumasukkan utuh satu biskuit langsung kulemparkan ke tong sampah saat melihat Tuan Abizar memerhatikanku di ambang pintu. Beliau bersender di kusennya, lalu mendekatiku. "Kapan pulangnya, Tuan?" Tuan Abizar melirikku tajam, lalu menuangkan air dingin ke gelas. "Mobilku macet di tengah jalan, jadi aku ke sini sambil jalan kaki." Setelah meminum segelas air, Tuan Abizar meraih kotak cokelat simpananku. Dia menjulang menatapku tajam, merasa bersalah aku menjatuhkan diri dari kursi lalu duduk bersimpuh di lantai. Kedapatan melanggar aturan, tentu saja itu ancaman. "Lapar?" "Tentu saja, Tuan." "Aku juga lapar," dia
Tuan Abizar hanya bisa mematung di tempat saat sebuah mobil panjang yang berkilat indah berhenti tepat di halaman depan rumahnya. Seorang lelaki yang mirip dengannya menurunkan diri dari kendaraan tersebut, aku bisa menyaksikan kegugupan Tuan Abizar membuatku ikut menelan ludah. Lelaki dengan wajah penuh kerutan akibat penuaan, melangkah mendekat lalu ... PLAK! Aku spontan terdorong ke belakang. Tuan Abizar ditampar telak oleh ayahnya. Tuan Abizar diam, pipinya kelu. PLAK! Tamparan kedua, membuatku meringis ngilu. Kasihan kepada Tuan Abizar yang bahkan tidak bisa berkutik. Baru saja hendak melayangkan tamparan ketiga, Tuan Abizar menyela. "Makam ibu ... apakah Abi tidak mau menziarahinya?" Benar saja, ayahnya berhenti memberikan pelajaran. Tangannya jatuh ke samping paha, ayahnya Tuan Abizar seperti menahan perih dan rasa sakit. "Untuk apa aku menziarahi makam seorang wanita yang dimakamkan di satu liang yang sama bersama suami barunya?" Pertanyaan tersebut membuat Tuan Abizar menye
POV Author Mereka tidak mau mendengarkannya. Hal itu yang membuat Abizar begitu kesal. Seharusnya Layla mendengarkannya, lalu membujuk kedua orangtuanya untuk pulang ke Arab Saudi. Padahal Abizar sudah terang-terangan, dia menolak pernikahan dan perjodohan ini! Dia tidak mau diganggu ataupun berurusan dengan mereka. Tapi apa? Mereka bebal. Tetap pada rencana pertama, terus melakukan pengenalan. Wanita itu bersama keluarganya menyewa sebuah rumah yang tidak berjauhan dari sini. Abizar geram setengah mati, mulai hari ini sampai mereka pergi, pasti dia akan diganggu setiap hari. Wanita itu pasti sering berkunjung dengan berbagai alasannya. "Ada yang perlu saya buatkan, Tuan?" Suara Mawar, berhasil menyejukkan hati Abizar yang sempat memanas. Abizar menghembuskan napas, lalu berkata. "Tak perlu buatkan apa-apa, cukup duduk di sini, temani aku." Mawar menganggukkan kepala, mengambil kursi dan duduk di sebelah Abizar. Di mata Mawar Abizar terlihat begitu frustrasi, sebelah tangannya tid