Bagian 19 Tuan Guru Syarif Hidayatullah Pagi buta sekali Ratu Prameswari telah ke luar dari istananya. Ia akan mengunjungi sebuah makam yang tak sama sekali ia duga akan datangi. Penyebab utamanya karena ia dihantui dalam mimpi jika Danur Seta dan Gandari telah hidup bahagia di alam lain. Padahal Gandari saat mengembuskan napas terakhir masih bersuamikan Syarif Hidayatullah. Ratu Prameswari hanya dihantui ketakutannya sendiri saja yang tak beralasan. Wanita itu berjalan ketika orang-orang sedang menunaikan ibadah Shubuh di masjid yang berdindingkan papan dan beralaskan tanah. Ia tak mengizinkan pengawalnya ikut. Ratu Prameswari hanya ingin berbicara berdua dengan batu nisan yang bertuliskan nama Gandari saja. “Apa hebatnya dirimu sampai dicintai Kanda Danur Seta sebegitu mendalamnya. Bahkan saat ia mengembuskan napas terakhirnya masih namamu yang disebutnya.” Ratu Prameswari menatap gundukan tanah yang mulai ditumbuhi rerumputan. Makam itu begitu sederhana tak seperti milik keluar
Bagian 20 Tewasnya Sang Guru Tanpa rasa curiga sama sekali, usai membaca bismillah, Syari meminum air dari cawan yang disodorkan Danur Atmaja. Ia tak makan, sebab sedang tak enak hati memasukkan makanan ke dalam perutnya. Syarif mengutarakan pendapatnya. Meminta agar sang prabu tak memasukkan unsur kemusyrikkan dalam beragama. Tak bisa dua hal yang bertentangan dicampur adukkan, dengan alasan apa pun. Tak ingin berdebat, Danur Atmaja mengiyakan saja apa perkataan Tuan Guru di depannya. Lagi pula ia tak ingin Syarif mati di dalam istana, sebab tak lama lagi racun itu akan bekerja menghentikan semua organ dalam yang amat penting. “Kuberi waktu satu bulan, Gusti Prabu. Jika tidak aku sendiri yang akan memimpin pasukan untuk menggempur istana ini jika kesesatan masih terus dibina.” Syarif tak takut dengan anak muda bergelar raja di depannya.“Engkau mengancam seorang raja, Tuan Guru.” Danur Atmaja berdiri dan memandang Syarif dengan penuh ancaman. “Ya, hal yang sama pernah kulakukan
Bagian 21 Menyelamatkan Gadis Yang Dicintai Pangeran Antanagra bersama sepuluh punggawa pilih tanding menaiki sampan yang disewa dari penduduk desa setempat. Mereka mempertarukan keselamatan diri sendiri demi menyelamatkan Isnani dan mencari harta Samudra Pasai yang mungkin dibawa para perampok ke tempat menyeramkan itu. “Pangeran. Bagaimana kalau kita harus memilih salah satu yang harus diselamatkan dulu, mengingat tempat ini bukanlah dalam kekuasan kita,” tanya salah satu punggawa yang memimpin perjalanan. “Selamatkan Isnani dulu. Masalah harta bisa dicari, tapi calon istri sepertinya hanya ada satu di dunia ini. Pertanggung jawaban dengan Sultan, aku yang akan mengurusnya. Kalian turuti saja apa perintahku. Mengerti? Bunuh siapa pun yang menghalangi atau menyakiti calon istriku.” Lantang Pangeran Antanagra mengucapkan perintahnya. Rombongan itu menambatkan sampannya. Mereka orang-orang terpilih tak hanya dari segi bela diri saja. Namun, ilmu agama pun tak luput mereka kuasai.
Bagian 22 Jeratan Iblis Maulana membaca bismillah dan doa-doa perlindungan ketika memasuki gua yang didalamnya terdapat banyak lubang-lubang hitam berlumpur. Gayatri menyebutnya sebagai gerbang neraka, sebab ragam iblis lahir dari rahim kotor itu. Sila yang terkuat salah satunya. Ratusan tahun dibenam di dalam sana oleh kakaknya, lalu ia pun bersekuti dengan iblis hingga wanita itu pun menjadi bagian dari mereka. Pemuda berlesung pipi itu tak menyadari, ketika makhluk-makhluk hitam kecil dan berkuku panjang yang menempel di dinding menjauh ketika kepanasan akibat doa-doa pendeknya. Batu-batu itu ia lemparkan ke dinding dan seketika menimbulkan percikan api. Maulana tak tahu tempat apa sebenarnya itu meski bau busuk sangat menyengat. Berulang kali ia memanggil nama Isnani, tapi tak ada yang menjawab. Hanya suaranya saja yang memantul dari dinding-dinding gua itu. Angin dingin berembus membuat bulu kuduk Maulana seketika berdiri. Ia menoleh ke belakang ketika ia merasa ada yang mema
Bagian 23 Perpisahan Gayatri berusaha menahan tubuhnya yang hampir menghantam bebatuan. Dengan mata kepalanya sendiri ia lihat Isnani terus berkeringat dan selendang yang melilit kepalanya telah terlepas. Gadis bermulut tajam yang sempat mengumpat padanya itu, kini tak sadarkan diri. “Tebus!” jerit akar pohon itu lagi. Gayatri menghindar dari amukan akar yang mengarah padanya. Tak ia sangka mantranya tak berguna di dalam sana. Nyaris kakinya terjerat, tetapi ia masih sempat menghalaunya dengan selembar kain panjang hingga kain itu koyak menjadi serpihan kecil. Penyihir itu menahan lajunya pergerakan akar, kemudian membuat api dari panas tubuhnya. Kobaran tersebut tak banyak membantu sebab air yang ada di dalam akar pohon tersebut ke luar dan memadamkannya. Gayatri pun membangunkan Isnani yang tak sadarkan diri. “Hei, sadarlah. Aku tak bisa membiarkanmu mati seperti ini. Bangun!” Gayatri menepuk pipi Isnani beberapa kali. Berhasil. Gadis keras kepala itu membuka matanya. Seketika
Bagian 24 Menjalani Ketetapan Takdir Maulana terus mengendarai kereta secara perlahan, agar tubuh Gayatri tak berguncang, hingga akhirnya ia sampai di depan rumah Syarif. Rasanya belum lama ia tinggalkan rumah besar itu, dan kini sudah kembali saja. “Mungkin aku memang tak menjadi seperti ayahku.” Pemuda itu mengerutkan kening ketika melihat rumah Syarif dijaga oleh beberapa punggawa yang berpakaian sama seperti yang menolongnya di dalam hutan. Saat Maulana ingin masuk, ia dicegat oleh beberapa orang, sampai akhirnya Hasan yang telah menginap selama beberapa hari di sana ke luar dan menyambut keponakannya yang saat masih kecil sering mengunjunginya. “Paman.” Maulana mencium tangan panglima itu dengan takzim lalu beralih memeluknya. Hampir mereka berdua menjadi ayah dan anak jika perjodohan tersebut tak dibatalkan Gandari. “Kau dari mana saja, Nak. Banyak peristiwa yang Paman bingung harus cerita dari mana.” Hasan melirik penampilan pemuda itu keseluruhannya. Sudah jauh berbeda
Bagian 25 Ikrar Untuk Penyihir Syarifah membimbing Gayatri untuk mengikrarkan dua kalimat syahadat hari itu juga. Lalu, bagaimana dengan sihir gadis tersebut? Gayatri tak ambil pusing. Bahkan sekuat tenaga ia tahan rasa panas di tubunya ketika mengucapkan kalimat-kalimat suci itu. Mustika batu putih yang menjadi sumber sihirnya tak akan pernah Gayatri buang seumur hidupnya. Benda itu merupakan jiwanya dari sejak ia dipercaya oleh sang guru. Maulana pun tak sampai berpikir ke sana layaknya Syarif dulu. Karena baginya, ia hanya ingin menghindari dosa saat bersama dengan Gayatri saja. Cinta? Belum tumbuh dalam hatinya. Pemuda berlesung pipi tersebut masih memikirkan seseroang yang tinggal di Samudra Pasai. Hanya dalam waktu tiga hari saja persiapan pernikahan sederhana digelar. Tak ada iring-iringan bagi seorang pangeran yang terbuang. Juga tidak ada perwakilan dari istana yang datang. Ratu Prameswari masih menunggu berita dari anak buahnya yang mencari tahu siapa Maulana sebenarnya.
Bagian 26 Keputusan Utusan dari istana datang mewakili suara Sultan Samudra Pasai dan Pangeran Antanagra akan pernikahan dua keluarga besar itu. Sebuah jawaban yang melegakan bagi kedua belah pihak. “Pernikahan akan tetap dilaksanakan dua hari lagi, Is. Persiapan tetap berlangsung seperti biasa saat kau pergi dan sudah hampir seleai. Abu harap engkau tak membuat ulah lagi dan mulailah berlapang dada menerima semuanya. Menjadi istri juga tak seburuk yang kau bayangkan. Kau hanya banyak membaca tanpa mau bertanya saja. Padahal Abu bisa menjelaskan dengan baik untukmu. Tapi dasar kau saja yang keras kepala.” Ceramah Tuan Guru pada cucunya yang wajahnya semakin memucat. Entah karena masih sakit atau tak suka dengan keputusan yang baru saja disepakati. “Abu Syik, tega sekali menceramahi cucumu yang sedang kesakitan ini. Terserah saja, kalau lagi sakit begini memangnya bisa mengurus dan melayani suami seperti di kitab-kitab yang Abu jejali untukku. Bukannya nanti malah berdosa besar,” b