Sabdo terkejut dengan kedatangan seorang pengawal, rasanya tadi sudah aman saat memasuki kamar milik Ratu Duyung. Selama ini tidak ada yang berani memasuki kamar tersebut kecuali Ratu Kali Wingit. Namun, dirinya tidak menyadari bahwa sepasang mata telah mengawasinya sejak dia masuk ke kamar. Mata tersebut milik pengawal setia Ratu Kali Wingit, yang bertugas menjaga kamar Ratu Duyung dari orang yang tidak diinginkan seperti Sabdo. "Apa yang kamu lakukan, Sabdo?" tanya pengawal sambil memandang lelaki itu dengan tajam. Tombaknya telah siap di tangan. Sabdo terkejut bukan alang kepalang. Wajahnya pucat, tangannya berhenti. Disisipkannya benda yang sudah dipegangnya secara tersembunyi."Ah, aku hanya ... aku ... jangan salah paham. Aku tidak berniat jahat." Sabdo menjawab sambil terbata-bata. Dia bingung harus menjawab apa. "Haruskah aku berterus-terang?" pikirnya. Pengawal itu menggeram, "Jangan berbohong padaku! Penyusup seperti kamu tidak akan diampuni! Ayo ikut!"Dibentak begitu ru
Sesaat sebelum kejadian burung-burung raksasa itu menyerang Istana Ratu Kali Wingit. Dewi Rimbu alias Ratu Duyung menanti dengan harap-harap cemas. Wanita itu melihat langit. Hari sudah semakin siang, cermin itu harus sudah digunakan sebelum matahari tenggelam. Dia melihat jalan tempat di mana nanti akan muncul Sabdo, tapi lelaki itu tidak kunjung datang."Pasti Sabdo tertangkap. Sial! Aku harus bagaimana?" gumamnya kesal. Hatinya sudah menduga jika ada sesuatu yang tidak diinginkan telah terjadi.Dewi Rimbu berjalan mondar-mandir, memikirkan cara untuk mengambil cermin ajaib itu. "Apa yang harus kulakukan?" pikirnya. "Semboja harus cepat diselamatkan."Dewi Rimbu duduk sambil mengetuk-ngetuk ranting kering di tangannya. Matanya memandang ke arah pohon-pohon. Terdengar cericit burung-burung di atas sana."Ah … mengapa tidak terpikirkan sejak tadi! Bukankah aku bisa melakukan sesuatu terhadap burung-burung." Dewi Rimbu tiba-tiba berdiri sambil bertolak-pinggang. Senyum cerah tercipta
Sabdo terdiam beberapa saat. Dia menatap wanita cantik di depannya. Terlihat keraguan sesaat sebelum dirinya bicara."Katakan Sabdo, cepat!" suruh Ratu Duyung dengan gelisah. Dia kembali melihat langit, matahari sudah tidak segarang tadi sinarnya. "Baiklah, Ratu Duyung. Ratu Kali Wingit menginginkan cermin ini dikembalikan kepadanya jika sudah selesai dipergunakan." Dengan hati-hati Sabdo berbicara. Lelaki itu takut jika Ratu Duyung tersinggung.Raut wajah Ratu Duyung berubah. Betapa marahnya dia mendengar Sabdo bicara seperti itu. Cermin ajaib itu adalah miliknya, mengapa Ratu Kali Wingit menginginkannya.Sabdo berdebar-debar hatinya. Dia sudah mengantisipasi hal ini sebelumnya. Lelaki itu bersiap untuk serangan dari Ratu Duyung."Baiklah, cepat berikan padaku cermin itu. Katakan pada Ratu Kali Wingit, aku akan datang jika urusanku sudah selesai!" Ratu Duyung dengan cepat mengambil keputusan. Dia tahu jika Sabdo hanyalah suruhan dari Ratu Kali Wingit.Cepat-cepat Sabdo menyerahkan c
Dewi Rimbu memandang cermin di tangannya. Sudah lama dia tidak menggunakan cermin tersebut, tapi dirinya tidak lupa cara menggunakannya. Mantra itu benar seperti yang diucapkannya tadi. Dewi Rimbu mencoba mengusap kembali cermin itu. Tetap saja hanya ada kabut tebal yang terlihat. Biasanya kabut itu perlahan-lahan menipis hanya dalam beberapa detik. Ini sudah hampir satu jam kabut itu tidak beranjak. "Aduh, apa yang terjadi dengan cermin ajaib ini?" gumam Dewi Rimbu dengan cemas. Namun, sebelum dirinya sempat merasa kecewa, Modena mendatanginya.Rupanya perempuan itu sengaja berjaga di sekitar Dewi Rimbu yang sedang melakukan semedi. Tanpa disuruh dengan sukarela Modena menjaga Dewi Rimbu dari sesuatu yang tidak diinginkan."Aku melihatmu mengalami kesulitan dengan cermin itu. Bolehkah aku membantu?" tawar Modena kepada Dewi Rimbu. Dengan ragu-ragu gadis itu menghampiri Dewi Rimbu.Dewi Rimbu bingung tapi tidak kuasa untuk menolak bantuan. "Boleh, Modena. Aku mencari seseorang berna
Mardawa yang mendengar namanya dipanggil, merasa tertegun dan bergegas berdiri. Senyum sumringah terhapus, digantikan wajah pucat dan ketakutan.Sesungguhnya dia berbaur dengan para pemuda untuk mengetahui di mana Semboja berada. Gurunya tiba-tiba muncul saat dirinya sedang ngopi di warung, itu tanda kiamat buat dirinya."Mardawa!" seru Eyang Suwita. Suaranya yang kencang membuat semua orang menoleh. Tentu saja pemuda itu menjadi perhatian di pasar itu."Akan ada pertempuran ini," seseorang berbisik dengan raut ketakutan. Mereka pikir Eyang Suwita adalah musuh Mardawa yang sedang mencari pemuda tersebut. "Eyang," jawab Mardawa pelan. Dengan membungkukkan badannya pemuda itu menghampiri kakek tua itu.Plak!Suara tamparan begitu keras terdengar membuat kaget orang-orang. Mereka membentuk lingkaran menonton kedua orang tersebut. “Ooh!” terdengar seperti dikomando mereka mengucapkan kata itu.Mardawa terperangah mendapatkan tamparan dari gurunya tersebut. Seumur-umur dirinya tidak pern
Mardawa diam-diam meninggalkan tempat Eyang Suwita. Kakek itu tengah memikirkan ucapannya. Rupanya cukup dimengerti kata-kata Mardawa olehnya. Dirinya lebih percaya muridnya ketimbang Kusuma.“Dasar cecunguk! Di mana kamu?” Mardawa tertawa kecil mendengar omelan gurunya dari kejauhan. Dia tadi memang tidak pamitan karena takut jika Eyang Suwita masih marah.Dirinya tidak boleh membuang-buang waktu. Semboja dan Dewi Rimbu harus segera ditemukan.Hari berganti malam, Mardawa berjalan seorang diri, menuju pedalaman hutan rimba tempat dirinya meninggalkan Semboja dan Dewi Rimbu. Bulan terang di langit, memayungi jalan dengan sinar lembut yang menerangi."Ke mana mereka?" gumam Mardawa dalam hati sambil menapaki jalan setapak di antara pepohonan rindang. “Harus ke mana mencari mereka?” Mardawa merenung menatap air terjun di hadapannya. Tidak tahu harus mencari Semboja ke mana. Pemuda itu hanya mampu menatap langit yang tiada berbintang.Di kejauhan, Mardawa mendengar suara lolongan yang
Rau terdiam sejenak. Dia memperhatikan Mardawa lalu memandang ke arah Dewi Rimbu. Seperti tersadar dari mimpi, Mardawa menghampiri Dewi Rimbu yang terbaring. “Grrrhh.” Serigala-serigala itu menggeram. Mereka hendak menerkam Mardawa. Pemuda itu waspada dengan pedang di tangan. Tangan Rau terangkat, mereka patuh dan kembali diam. Namun, matanya memandang tajam disertai lidahnya yang menjulur ke arah Mardawa.“Dewi, apa yang terjadi?” tanya Mardawa. Wanita itu bangun setelah Mardawa melepaskan semua ikatan. Dia menepuk bajunya yang kotor. Tidak tampak ketakutan dalam tatapannya. Mardawa kagum dengan ketabahan wanita itu.“Apa yang terjadi, di mana Semboja?” tanya Mardawa lagi. “Ceritakan! Mengapa kalian berpisah?” Dewi Rimbu memandang kawanan serigala. Seperti mengerti Rau mengibaskan tangannya menyuruh mereka untuk pergi dari hadapan Mardawa. Serigala-serigala itu mundur satu persatu, tinggal Rau yang berwujud manusia.Dewi Rimbu mulai bercerita, “Saat aku ditinggalkan kamu, Semboja
Mardawa dan kedua gadis itu menatap Serigala Perak. Wanita yang menyerang tadi dengan begitu ganas tiba-tiba ingin berunding. Apa pula ini?“Perundingan macam apa yang kau inginkan?” Mardawa bertanya sambil menatap wanita penjelmaan serigala itu.Serigala Perak tertawa terbahak. "Kalian pikir bisa melawanku. Kawanan serigala itu belum kalian tundukkan. Kalian sudah tak punya tenaga lagi, tinggalkan saja Semboja dan Rau. Aku akan membiarkan kalian pergi dengan selamat!”“Semboja harus ikut dengan kami!” Tiba-tiba Dewi Rimbu berteriak marah. “Semboja bukan tawanan kalian, dia harus pergi bersama kami!”Mardawa berusaha menenangkan Dewi Rimbu, "Tenang, Dewi. Mari kita dengarkan dulu tawarannya."Dewi Rimbu mendengus kesal, namun memutuskan untuk diam dan mendengarkan. Tidak habis mengerti dengan sikap Serigala Perak. Diajak bertarung malah menawarkan perdamaian tapi dia menginginkan Semboja.“Katakan! Apa maumu?” tanya Mardawa. Dari cerita Dewi Rimbu dia sudah tahu apa yang diinginkan Se