Share

SAAT ANINDITA TERGOLEK LEMAH

Dua hari berselang setelah kepergian Jonathan.

Anindita demam, panasnya tinggi, Riana panik.

"Ya Allah apa yang terjadi denganmu, Nak?"

Riana menyentuh pipi Anindita.

Kemudian dia bergegas mengambil termometer yang tersimpan di laci meja kamar Anindita.

Tertera di termometer tersebut angka 39.

Riana membelalakkan matanya.

Demamnya tinggi sekali, Anindita juga mengigau.

"Mama, mama, ma ma."

Suara Anindita terdengar lemah sekali. 

"Iya, Sayang, mama ada di sini."

"Uhuk uhuk uhuk."

Anindita terbatuk-batuk. 

"Uhuk uhuk uhuk uhuk."

Kemudian gadis kecil itu menyentuh dadanya. 

Wajahnya memerah. 

Anindita menunjukkan reaksi bahwa dia sukar bernafas. 

"Sekarang sebaiknya kita ke dokter saja."

Riana segera berkemas, tak lupa Anindita dipakaikan jaket dan Riana segera memesan taksi online.

Riana membawa Anindita ke rumah sakit.

Di sepanjang jalan dia hanya bisa berdzikir dan mengumandangkan doa melalui komat-kamit bibirnya.

Setiap ibu di dunia ini tidak akan pernah rela melihat anak-anak mereka kesakitan begitu juga dengan Riana. 

Sesampainya di rumah sakit Anindita langsung dibawa oleh Riana menuju ke unit gawat darurat.

Dua orang perawat membantu Riana untuk meletakkan Anindita di atas ranjang rumah sakit. 

Seorang perawat tampak memeriksa Anindita kemudian menanyakan beberapa pertanyaan kepada Riana. 

Anindita tergolek lemah di ranjang UGD RSUD Dr Soetomo.

"Yang dirasakan sekarang apa, Nak?"

Riana mengusap-usap dada Anindita sementara Anindita sendiri sedang dipasangkan oksigen 

Tanpa air mata mengalir dari kedua kelopak mata Anindita tetapi anak kecil itu sama sekali tidak mengeluh. 

Riana semakin ketakutan.

"Eh, eh, eh."

Hanya terdengar helaan nafas dari tubuh Anindita.

"Nak, cepat sehat ya nanti Mama belikan es krim lagi."

"Anindita jangan sakit karena kalau Anindita sakit Mama tidak ada temannya."

Riana berusaha mengajak Anindita bicara tapi Anindita tidak menyahut.

Anindita menyentuh jemari tangan Anindita terasa di sana Anindita menekan jemari tangan Riana.

Artinya Anindita memberikan reaksi atas ucapan yang diucapkan oleh Riana tetapi dia tidak bisa menjawab kalimat-kalimat Riana.

Hal tersebut jelas membuat Riana semakin ketakutan saja.

Seorang dokter memasuki ruangan di mana Riana sedang tergolek lemah. 

"Ibu orang tuanya?" Dokter itu bertanya. 

Riana menganggukkan kepalanya. 

"Demamnya mulai kapan, Bu?"

Dokter yang tampan itu kembali bertanya. 

"Baru tadi, Dokter."

Riana menjawab pendek sambil satu tangannya mengusap air mata yang turun dari kelopak matanya. 

"Baru tadi atau Ibu baru mengetahuinya tadi?"

Pertanyaan yang diucapkan oleh dokter itu membuat Riana kebingungan.

"Saya minta Ibu menunggu di luar dulu karena saya akan memeriksa nya"

Dokter meminta Riana menunggu di luar karena Anindita akan diperiksa.

Riana semakin cemas.

"Baik, Dokter."

"Tolong obati anak saya, saya benar-benar memohon."

Riana yang tangguh, Riana yang kuat, Riana yang sangat percaya pada takdir Tuhan. Tiba-tiba saja menjadi seperti orang linglung ketika dia dihadapkan pada kenyataan bahwa Putri terkasihnya menderita sakit seperti saat ini. 

Riana melangkahkan kakinya keluar kamar tersebut tetapi dia tetap berdiri di balik pintu kaca yang menjadi penghalang antara kamar tempat Anindita dirawat dan tempat Riana sedang berdiri.

Di saat Riana merasakan kecemasan tiba-tiba saja ponsel yang ada di saku bajunya bergetar.

Riana melihat ponsel tersebut dan tertera satu nama di sana "Jonathan."

Wajah Riana tampak bahagia mendapatkan telepon dari Jonathan, Ayah Anindita. 

"Akhirnya kamu menghubungiku, Mas, sejak tadi aku memikirkan mu dan berharap kamu bisa menemani aku menjaga Anindita. Bukan karena aku ingin berduaan denganmu tapi karena aku ingin Anindita menjadi kembali bersemangat setelah melihat bahwa kamu menjaganya juga."

Kalimat itu keluar dari lubuk hati Riana.

"Aku tidak mau menghubungimu terlebih dahulu karena aku tidak ingin perempuan itu yang mengangkat teleponku lalu dia menganggap aku masih mengharapkan mu."

Riana masih juga bicara sendiri dan ponselnya terus bergetar. 

Panggilan masuk itu kemudian diterima oleh Riana. 

"Assalamualaikum ada apa?" Riana mencoba berbasa-basi. 

"Aku hanya ingin mengantarkan banner yang harus kamu tempel di depan rumah kita."

"Astaghfirullahaladzim kamu masih juga memikirkan tentang hal itu?!"

Riana memekik kencang, sampai-sampai dia tidak sadar bahwa dia sedang berada di rumah sakit.

Apa yang dilakukan oleh Jonathan menurutnya sudah sangat keterlaluan dan tidak bisa ditoleransi lagi. 

"Kenapa kamu marah aku kan hanya ingin melakukan tugasku?!"

Jonathan menjawab apa yang diucapkan oleh Riana. 

"Bukannya dua hari yang lalu kamu sudah memberikan banner lalu untuk apa kamu memberikan banner lagi?Apakah seluruh dinding rumah akan dipasangi banner?!!!"

Suara Riana terdengar ketus dan tidak bersahabat.

Saat ini Riana sedang panik menghadapi apa yang dirasakan oleh Anindita tetapi Jonathan ayah dari Anindita justru tidak peduli sama sekali.

'Sabar, sabar, sabar, aku tidak boleh marah-marah mungkin Jonathan melakukan ini karena dia tidak tahu bahwa putrinya sedang sakit. Sebaiknya aku memberitahunya barangkali dia bisa merasakan sedikit iba.'

Riana merenung sejenak sementara di seberang sana suara Jonathan terus terdengar berbicara tapi Riana tidak tahu apa yang dia bicarakan. 

"Banner yang kemarin itu tidak usah dipasang karena banner yang kemarin tidak ada nomor telepon calon istriku.

Dia meminta agar nomor teleponnya juga dipasang di banner itu supaya dia bisa juga menjawab penawaran-penawaran yang datang."

Jonathan memberikan keterangan kepada Riana.

Keterangan yang benar-benar tidak masuk akal. 

"Glek."

Riana menelan ludahnya sendiri. 

Kesakitan dan kepedihan itu semakin bertambah-tambah. 

Hatinya terluka mendengar apa yang diucapkan oleh Jonathan. 

Sementara sisi hatinya yang lain sedang mengkhawatirkan nasib dari Putri semata wayangnya.

"Kenapa dia harus terus-menerus ikut campur! Bukankah rumah itu adalah rumah kita! Dia tidak punya hak atas rumah itu karena kalian berdua belum menikah!"

Riana terdengar marah.

"Sudahlah kamu tidak usah menolak, sebaiknya kamu taati saja.

Niat calon istriku itu baik dia ingin membantu kita lalu apa salahnya kita menerima niat baiknya?"

Jonathan memberikan pembelaan tetapi menurut Riana pembelaan itu tidak masuk akal. 

"Dasar perempuan tidak tahu malu!"

Kalimat kasar itu diucapkan oleh Riana dan Jonathan mendengarnya. 

"Kamu jangan pernah mencoba untuk mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak layak pada calon istriku itu karena aku pasti akan membelanya!"

Jonathan menggertak Riana. 

"Sekarang begini saja posisimu sedang di mana? Aku hanya ingin mengantarkan banner ini supaya masalahnya cepat selesai. Supaya hubungan kita juga segera berakhir."

Jonathan menambahkan kalimatnya lagi.

Riana kemudian mengambil gambar Anindita yang sedang diperiksa dokter dan beberapa orang perawat. 

Riana ingin Jonathan merasakan apa yang dia rasakan. 

Setelah mengambil gambar itu Riana mengirimkan gambar tersebut pada W******p Jonathan.

"Aku sedang di sini kalau kamu ada perlu denganku ke sini saja! Putriku sedang dirawat di rumah sakit karena demam tinggi dan sesak nafas!

Maaf untuk kali ini aku tidak bisa melayani tekanan mu! 

Nanti kalau Anindita sembuh aku pasti akan menyelesaikan semuanya!"

Riana kemudian mematikan sambungan telepon antara dirinya dengan Jonathan. 

Dan bukan hanya itu saja Riana juga mematikan ponselnya agar Jonathan tidak bisa lagi menghubunginya. 

Riana ingin tenang dan ingin berkonsentrasi pada penyembuhan Anindita. 

Karena bagi Riana saat ini tidak ada yang lebih penting daripada kesehatan Anindita. 

Riana menarik nafas panjang luka hatinya begitu dalam.

Dia tidak bisa lagi bertoleransi pada semua yang dilakukan oleh Jonathan dan juga calon istrinya.

'Kenapa perempuan itu harus ikut campur? Apakah dia tidak puas dengan hanya merebut suamiku, merebut ayah dari putriku lalu sekarang dia juga ingin merebut semua yang sudah aku dan putriku miliki? Aku pasti akan menemui mu dan membuat perhitungan dengan tapi tidak hari ini!'

Ada yang bergejolak di dalam hati Riana.

Kekuatan yang mendadak muncul da

n ingin sekali dihantamkan. 

Kelakuan Jonathan memang sudah tidak bisa ditolerir. 

Dia tidak layak disebut sebagai laki-laki apalagi disebut sebagai seorang ayah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status