Share

SEMAKIN TERTEKAN

"Aku bisa saja menjual rumah ini aku hanya memikirkan kepentingan Anindita."

Riana ingin melawan Jonathan meski sebenarnya dia merasa ngilu melakukan itu.

"Kamu tidak usah berpura-pura baik. Anindita semakin lama akan semakin dewasa dan dia akan menemukan takdirnya sendiri tidak usah dihubung-hubungkan dengan rumah ini!"

Jonatan berkacak pinggang matanya tajam menatap Riana. 

"Kamu akan menyesal, Jo!"

"Aku akan menyesal jika rumah ini tidak jadi dijual. Lalu aku tidak bisa memberikan apa yang diinginkan oleh calon istriku."

"Perempuan itu masih terlalu kecil Jo! Dia masih belum tahu bagaimana caranya mencari uang dengan benar. Jika rumah ini dijual lalu ternyata perempuan itu tidak bisa menggunakannya dengan benar apakah kamu tidak akan menyesal?"

Riana mencoba untuk memberikan sedikit nasihat tapi sayang sekali nasihat itu justru ditertawakan oleh Jonathan. 

"Hahaha!"

"Hahaha!"

Jonathan tertawa terbahak-bahak. 

Semakin lama semakin kencang. 

Riana merasa panik dia tidak enak dengan para tetangga yang pasti akan mendengar tawa itu. 

Tawa itu bukan tawa bahagia tawa itu adalah tawa penuh ejekan dan hinaan.

"Andai pun uang itu habis di tangan istriku, itu akan menjadi masalahku, bukan masalahmu! Yang terpenting sekarang adalah rumah ini segera dijual dan aku bisa segera menikah. Aku harus memenuhi permintaan calon istriku sebagai bukti rasa sayangku padanya. 

Calon istriku memang masih sangat muda. Usianya belum genap 20 tahun itu sebabnya aku merasa seperti mendapatkan anugerah menikah dengannya. Jarang sekali ada perempuan muda yang mau dengan laki-laki tua seperti aku. Usia kami terpaut 8 tahun Riana.

Dan itu membuat aku bangga di depan teman-temanku!"

Riana kembali menelan kegetiran. 

Calon istri mantan suaminya memang baru saja lulus SMA. 

Hal itu membuat Riana merasa dirinya tidak pantas berada di hadapan Jonathan.

Gadis yang berusia belasan tahun itu begitu menawan.

Riana merasa muak terlebih ketika teman-temannya mengetahui saat Jonathan sedang berjalan-jalan dengan gadis itu.

Sebagai seorang aktivis Riana sangat malu.

Gadis itu telah membuat Jonathan lupa tentang kenangan antara dirinya dengan Riana. 

Gadis itu telah membuat Jonathan lupa bahwa ada Anindita di antara mereka.

"Calon istriku meminta modal usaha dan aku akan memberikannya. Aku merasa bangga di usianya yang masih sangat muda dia bercita-cita ingin membuka usaha untuk membantuku."

Jonathan bicara sendiri, dia terus saja berbicara meskipun Riana sebenarnya tidak ingin mendengarnya.

Riana tidak bisa mengusir Jonathan karena rumah itu juga rumahnya. 

Sehingga terpaksa Riana harus mendengarkan semuanya dengan rasa sakit. 

"Hanya gara-gara cinta yang baru saja diucapkan oleh gadis kecil seperti itu kamu bisa tergila-gila sampai seperti ini. 

Kamu sampai melupakan anak kandungmu sendiri! Hanya demi memberikan modal pada calon istrimu kamu sampai tega mengusir anakmu dari semua kenangan tentang rumah ini."

Riana mencoba untuk membela diri Riana mencoba untuk memberikan pemahaman demi pemahaman pada Jonathan.

Dan bukannya berhasil pemahaman-pemahaman yang berusaha diberikan itu justru membuat Jonatan semakin tega mencaci Riana dengan caranya.

"Jangan terlalu banyak bicara Riana! Jangan terlalu banyak drama! Aku tahu kalau sebenarnya kamu yang tidak ingin keluar dari rumah ini karena kamu ingin mengambil hak penuh atas rumah ini kan?"

"Apa yang dikatakan oleh Adinda ternyata benar. Aku harus bertindak menjual rumah ini sebelum kamu memanipulasi semuanya!"

Jonathan menambahkan kalimatnya semakin lama kalimat-kalimat yang diucapkan oleh bibirnya semakin menyakitkan. 

"Astaghfirullahaladzim jadi gadis itu yang mencoba untuk mengacaukan pikiranmu?!

Apakah kamu lupa siapa yang membuatmu sampai jadi seperti saat ini?! Siapa yang memberikan kamu modal sampai kamu bisa memiliki perusahaanmu? Siapa Jo?!!!"

Kali ini Riana berteriak hatinya sangat sakit. 

Tetapi bukan yang merasa iba Jonathan justru semakin menjadi-jadi saja. 

Jonathan memberikan gulungan yang dari tadi ada di dalam genggaman tangannya. 

"Aku tidak mau kamu terlalu banyak berkisah! Dulu memang kamu memodali aku tapi aku juga telah memberikan uang yang banyak kepadamu, bahkan nilainya lebih besar dari modal yang kamu berikan dan aku pikir itu cukup! Jadi tolong jangan mengungkit-ungkit tentang hal itu lagi!"

"Kamu memberikan modal kepadaku 200 juta. Lantas setiap bulan aku memberimu 25 juta selama 5 tahun berapa uang yang sudah aku berikan kepadamu? Atas itu kamu juga tidak bersyukur! Hanya karena kamu melihat aku sedang bersama dengan seorang gadis lalu kamu menuntut bercerai denganku!

Dan dengan sangat lantangnya kamu juga menuntut hak asuh atas Anindita. 

Aku pikir saat itu kamu mampu! 

Jadi jangan permalukan dirimu dengan merengek-rengek agar rumah ini tidak dijual!"

Jonathan mulai membeberkan semuanya sampai-sampai dia lupa bahwa uang 25 juta itu adalah kewajibannya untuk menafkahi Riana dan juga Anindita. 

Riana tidak pernah minta dinafkahi 25 juta tetapi Jonathan sendiri yang memberikannya lalu sekarang Jonathan membalikkan fakta.

"Ini adalah banner yang bertuliskan rumah ini dijual lengkap dengan nomor teleponku dan nomor teleponmu. Jika ada pembeli hubungi aku!"

Jonathan membanting banner itu di atas meja jati yang berada di ruang tamu rumah besar tersebut. 

Riana menarik nafas panjang lalu menghembuskannya dengan kasar. 

Ada sembilu yang menusuk hatinya, sakit sekali rasanya.

Jonathan hendak pergi meninggalkan rumah tersebut setelah meletakkan banner itu dengan kasar. 

Tetapi tiba-tiba seorang gadis kecil keluar dari kamar. 

"Tidak usah sibuk meributkan rumah ini Ma, Anindita bisa tinggal di manapun asalkan bersama Mama. Sebentar lagi Ayah pasti juga akan memiliki anak dan ayah akan melupakan Anindita. Seperti ayah teman-teman Anindita di sekolah yang menikah lagi."

"Ayah akan merasa bangga berhasil membesarkan anak orang lain tetapi membuang darah dagingnya sendiri!"

Anindita bicara dengan suara yang lantang seperti seorang anak kecil yang sedang membacakan puisi. 

Riana tidak tahu Anindita mendapatkan kalimat itu dari mana. 

Yang pasti kalimat itu membuat dada Riana bergetar.

Kalimat itu seperti palu godam yang datang dan dihantamkan pada tubuh Riana.

Mendengarkan kalimat itu air mata Riana menetes.

Usia Anindita masih 5 tahun tapi dia bicara begitu jelas tampak sekali kalau dia sangat cerdas. 

Jonathan sama sekali tidak bergeming dengan kalimat yang diucapkan oleh Anindita.

"Akhirnya aku melihat sendiri penampakan di rumah ini. Kamu benar-benar telah berhasil merubah Anindita menjadi anak yang pemberani salah satunya berani melawan ayahnya sendiri!"

Setelah mengucapkan kalimat tersebut Jonatan pergi meninggalkan rumah itu. 

Menyisakan sayatan-sayatan luka di hati Riana juga di dalam hati Anindita.

Riana ingin mengejar Jonathan lalu kemudian memarahi Jonathan karena apa yang sudah dia ucapkan itu benar-benar menyinggung hatinya. 

Tetapi saat Riana ingin berlari satu tangannya ditarik oleh Anindita. 

Langkah Riana terhenti dia menoleh ke arah Anindita lalu memeluk gadis kecil itu.

Riana masih ingat betapa sulitnya mendapatkan Anindita. Mereka harus bolak-balik ke dokter hanya demi memeriksakan kesuburan untuk mendapatkan keturunan.

Riana juga masih sangat ingat betapa Jonathan begitu bersemangat mengantar Riana ke dokter kandungan. 

Tapi semuanya itu bisa hancur begitu saja hanya karena ada perempuan lain yang tiba-tiba saja datang dalam rumah tangga mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status