Selepas Pak Rudi pergi, Om Juna yang memang masih mendekap ku dengan begitu erat. Ia langsung mendekatkan wajahnya ke wajahku."Ada apa sih dengan Pak Lurah? Sepertinya ada yang punya dendam pribadi nih dengan beliau. Tapi itu bukan karena istriku ini gagal menikah sama anak lelakinya, bukan?" tanyanya kemudian dengan nafas yang bertiup jelas di telingaku ini."Ih, itu sama sekali tidak ada hubungannya," jawabku sedikit kesal dengan pertanyaanya."Ya maaf, jangan emosi gitu dong. Kayak kurang sentuhan aja," Om Juna sengaja menyenggol bahuku dengan bahunya."Aduh, apa'an sih?" jawabku dengan mulut semakin cemberut."Sudah, sudah. Jangan marah lagi, nanti cantiknya naik seratus persen loh. Kalau begitu, kamu bisa kan percaya sama saya. Kalau kamu nggak mau cerita, saya juga nggak bisa tahu ada masalah apa di antara kalian. Apakah kamu dan juga mendiang orangtua kamu masih memiliki masalah yang belum tuntas dengan Pak Lurah?" tanya Om Juna yang mulai terlihat penasaran."Sebenarnya masala
Menjelang petang akhirnya sampai juga kami di rumah. Aku langsung saja membersihkan diri setelah seharian ini beraktivitas. Air di daerah pegunungan yang memang masih segar membuat kesegaran tubuhku kembali lagi.Dari teras rumah ini, kuhela nafas panjang sembari memejamkan mata yang sudah beberapa waktu ini terlalu lelah dengan air matanya. Ku dengar alunan suara jangkrik bersahutan, di sela adzan Maghrib yang tengah berkumandang."Sudah Maghrib, Ra. Nggak baik terus berdiri di depan seperti itu, ayo masuk," ajak Mas Juna. Suara Mas Juna yang begitu khas dan berat itu kembali membuyarkan ketenangan ku.Sejak saat statusku sudah sah menjadi istri dari Arjuna, hal yang paling ku takuti saat ini adalah 'malam'. Ya, malam hari. Sebab pada saat malam hari seperti inilah aku selalu merasa terperangkap bersama lelaki yang saat ini sudah sah menjadi suamiku itu. Aku selalu merasa grogi saat kami harus berdua di dalam satu kamar dan satu ranjang yang sama pula.Setelah masuk ke dalam rumah, ak
"Maaf sekali ...""Iya, tidak akan lama lagi, nanti saya pasti akan datang, sabar ya ..."Di halaman rumah Kinara, Arjuna sedang berdiri dengan sebelah tangan bersandar di atas kap depan mobil. Kenara sendiri hanya dapat melihatnya dari jauh, saat raut wajah itu nampak sangat khawatir. Hingga akhirnya Kinara melihat laki-laki yang sekarang sudah menjadi suaminya tersebut melipat kening dan memijat mijatnya dengan kedua jarinya.Kinara mulai melambatkan langkah kakinya begitu melihat suaminya sedang berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon. Ia hanya berpikir jika gelagat suaminya ini begitu aneh.'kenapa juga hanya untuk sekedar mengangkat telepon saja harus keluar rumah?' tanyanya dalam hati.Arjuna yang menyadari akan kehadiran Nara yang berjalan di belakangnya, secara tiba-tiba saja mengakhiri obrolan dan segera memutuskan sambungan teleponnya. Laki-laki yang saat ini hanya mengenakan celana pendek dan juga kaos oblong itu terlihat agak salah tingkah saat melihat Nara su
"Oh, ya baiklah. Kamu akan tahu sedang berhadapan dengan siapa nantinya. Ayo semuanya, kita pergi!" ajak Pak Rudi kepada tim-nya.Setelah sedikit pertikaian dengan Arjuna selesai. Pak Rudi pun langsung pergi bersama rekan-rekan satu tim nya meninggalkan area pembangunan resort."Lah dalah,ternyata memang beneran sakti sampeyan, Mas. Baru juga ngomong sedikit, mereka sudah langsung lari kocar kacir. Memang orang-orang seperti mereka itu tidak bisa didiamkan begitu saja, Mas.Aditya hanya memberikan sebuah senyum masam saat menanggapi ucapan Agus, salah satu anak buah yang telah menjadi kepercayaannya. Pak Lurah dan juga rombongannya yang baru saja pergi, tentunya sudah membawa serta kemarahan serta dendam pribadi kepada Arjuna."Kamu jangan senang dulu, Gus. Justru setelah ini kita harus lebih berhati-hati dan juga lebih harus lebih meningkatkan kewaspadaan. Saya sangat yakin kalau orang-orang seperti mereka itu tidak akan berhenti sebelum mendapatkan apa yang mereka inginkan," ujar Ar
Pak Rudi masih tetap duduk di sofa. Ia sedang mencoba untuk menyandarkan punggungnya yang terasa lelah di sana. Kemudian, Pak Rudi memejamkan matanya sambil bergumam, "Tunggu pembalasanku, dasar sok jagoan!""Memangnya apa sih, Pak, yang sudah dilakukan oleh suaminya Kinara itu? Sepertinya hal itu membuat Bapak terlihat begitu marah," tanya Bu Ratna yang merasa penasaran."Ya coba bayangin aja, Bu. Gimana Bapak ndak kesel. Si suaminya Nara itu berani bentak Bapak, bahkan juga berani mengancam Bapak loh, Bu." Pak Rudi bersikap persis seperti anak TK yang sedang mengadu kepada neneknya.Ia bercerita seolah-olah ia sekarang sedang menjadi korban kekerasan. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah saat ini, laki-laki itu sedang merasa malu. Itu karena nyalinya yang langsung ciut hanya karena gertakan orang yang dianggapnya sebagai anak kemarin sore.Pak Rudi pun langsung menceritakan kejadian yang tadi di alaminya di proyek. Tentu saja dengan sedikit bumbu yang sudah dirubah di dalamnya. Ba
"DUG DUG DUG DUG"Saat melihat kedatangan suaminya, bukannya membuat hati ini merasa senang, tapi malah bikin aku terasa jantungan. Jantungku ini berdebar semakin cepat. Aku sama sekali tidak ingin melihat adanya keributan antara dua lelaki hanya gara-gara diriku. Aku benar-benar tidak ingin jika hal itu sampai terjadi.Aku pun langsung melirik geram pada Deva yang tak kunjung beranjak dari tempat ini padahal sudah disuruh pergi. Deva hanya berdiri dengan sikap menantang dan juga tatapan mata yang nyalang menanti hingga Mas juna datang dan menghampirinya.Mas Juna yang baru saja keluar dari dalam mobil sepertinya langsung bisa menangkap kalau ada sesuatu yang tidak beres. Aku melihatnya yang berjalan dengan tenang dan tetap penuh wibawa. Sudah bisa dipastikan jika Mas Juna sangatlah tidak menyukai kehadiran Deva di rumah ini. Apalagi ia juga tahu jika Deva ini adalah mantan tunangan ku.Detak jantungku berdetak menjadi tidak karuan. Wajahku langsung berubah pias. Seluruh tubuhku menja
Setelah setengah jam kemudian, aku yang baru saja selesai berganti pakaian usai mandi dikejutkan oleh suara ketukan di pintu."Tok tok tok" kudengar suara pintu itu masih terus saja di ketuk. Dan aku yakin sekali jika yang datang kali ini adalah Mas Juna. Aku memang dengan sengaja mengunci pintu rumah tadi agar ada interaksi dan juga komunikasi lagi di antara kami nantinya.Aku kemudian berjalan keluar dan membukakan pintu untuknya."Assalamualaikum," ucap Mas Juna sembari melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah."Wa'alaikumsalam," jawabku dengan masih memperhatikan nya yang masuk ke dalam rumah tanpa sedikitpun melirik ke arahku."Mas mau langsung makan?" tanyaku kemudian."Nanti saja, belum lapar.""Tadi Mas udah makan di luar?""Enggak."Aku pun langsung terdiam seketika. Tidak ingin lagi membuka mulutku untuk berbicara."Fix, dia nggak mau makan masakanku," batinku dengan kesal.Akhirnya aku pun membiarkannya berada di dalam kamar sendirian. Sementara aku lebih memilih untuk masu
Pada pagi hari itu, aku dan juga Reni pergi ke pasar bersama. Reni ingin membeli beberapa sayur yang diminta oleh ibunya. Sedang aku sendiri ingin membeli ayam di tempat Mas Jaman, tempat langganan biasa aku membeli ayam potong saat masih bersama dengan Ibu dulu.Reni berkelakar dengan begitu kerasnya saat kami sedang berjalan menuju ke lapak ayam. Tentu saja hal itu akan membuatku sangat malu jika nanti ada yang mendengar ocehannya.."Mas Jaman, ayamnya satu kilo ya," aku menyapa pada Mas Jaman."Ealah, kamu Ra. Sudah lama sekali nggak kelihatan." Balas Mas Jaman, si penjual ayam potong dengan senyum ramahnya padaku dan juga Reni."Nggih, Mas. Karena kemarin masih dalam suasana berduka. Ibu saya meninggal du ..." Ada sebuah rasa yang berdenyut nyeri di dalam dada ini. Rasa itu akan selalu hadir setiap kali aku bercerita dan mengingat kepergian ibu dengan cara yang sangat tragis."Iya. Ibumu mati ketabrak mobil, toh? Saya juga sudah tahu dari orang-orang."Aku menoleh dengan keterkejut
94. Pulang KampungHari ini, saat Arjuna masih merebahkan diri di atas kasur di kamarnya, Nara datang dengan wajah murung dan sedikit ditekuk."Kenapa, Sayang? Apa ada sesuatu yang bikin hati istrinya Mas ini sedih? Kenapa mukanya cemberut kayak gitu?" tanya Juna saat Nara meletakkan pantatnya untuk duduk di sebelah Juna yang masih berbaring."Reni dan juga Bu Imah mau balik ke kampung besok pagi, Mas," jawab Nara dengan suara yang begitu lirih."Hmmm, nggak apa-apa, Sayang. Mereka juga pasti punya alasan sendiri kenapa mereka harus buru-buru pulang. Iya, kan? Lagipula, kita juga akan pulang kampung kok meskipun nggak bareng sama mereka. Kita juga masih bisa bertemu lagi nanti." Arjuna segera bangkit dari posisi rebahannya dan kemudian duduk sembari menatap wajah istrinya itu."Ya iya sih, Mas. Tapi ya bagaimana ya, Mas. Entah kenapa aku kalau nggak ada Reni berada ada yang kurang. Mas Juna sendiri tahu kan betapa dekatnya hubungan kami ini.""Iya, Mas tahu akan hal itu. Mas juga berd
Kinara merasa jika dirinya baru saja terlelap dan memejamkan mata, namun ia berusaha membuka kedua matanya yang masih terasa lengket dengan susah payah saat ia merasakan jika ada sesuatu yang menjalar menyentuh setiap permukaan kulitnya.Selimut tebal hotel cukup menghangatkan badan yang tersentuh belaian AC yang ada di dalam ruangan. Tapi entah kenapa Nara merasakan ada sesuatu yang terasa basah di kulitnya. Nara pada akhirnya memaksakan diri untuk membuka matanya lebar-lebar, ketika dirinya merasakan sesuatu yang begitu lembab dan kasar sedang menyapu kulit perutnya."Mas Juna, aah ...," ucap Nara yang terdengar seperti serupa bisikan. Dimana bisikan itu justru terdengar seperti candu bagi seorang Arjuna. Entah sudah pukul berapa saat ini, Nara sudah tak lagi sempat melirik ke arah dinding yang tertempel di dinding kamar saat Arjuna kembali mengarungi nirwana. Mereka berdua kembali mabuk kepayang berdua, menikmati indahnya bahtera asmara entah untuk yang ke berapa kalinya.Saat kees
Sah, Sah,Sah,Terdengar sorak sorai dari para tamu undangan yang menjadi saksi pernikahan Arjuna serta Kinara. Sorak sorai pun mengudara riuh setelah para gadis-gadis dan juga sepupu Arjuna saling bersahutan saat melihat prosesi penyematan cincin kawin di jari masing-masing."Cium ...! Cium ...! Cium ...!" teriak mereka setelahnya.Pada saat ini wajah Kinara terasa memanas. Meskipun mereka berdua sudah kerap kali melakukannya, namun tetap saja dirinya akan merasa malu jika melakukan hal tersebut di depan banyak orang seperti ini. Hingga pada akhirnya Arjuna hanya mendaratkan hidung dan juga bibirnya di kening Kinara. Gemuruh suara tepuk tangan serta siulan yang bersahut-sahutan panjang langsung terdengar memenuhi seluruh penjuru ruangan.Mereka merasakan kelegaan dan keharuan secara bersamaan. Kedua mata Nara mulai memburam dan berkabut karena dipenuhi oleh buliran-buliran hangat yang menumpuk di sepasang kelopak matanya yang begitu indah itu.Reni pun mulai maju ke depan untuk meng
Mereka semua sudah berkumpul pada saat ini di restoran hotel tersebut. Mereka makan dalam suasana yang tenang namun tetap membahagiakan. Setelah selesai dengan acara makan malamnya, seluruh anggota keluarga tidak langsung kembali ke kamar masing-masing. Melainkan semuanya pergi ke ballroom hotel di mana acara akad dan resepsi akan diselenggarakan esok hari. Ruangan yang begitu luas itu sudah di dekor dengan seindah mungkin dengan tema yang telah dipilih oleh pihak keluarga Arjuna sebelumnya.Meskipun Nara dan Juna tidak terlibat langsung dalam setiap persiapan pesta yang akan digelar esok hari, namun Nara sudah merasa sangat puas dengan kinerja dan segala persiapan yang telah dilakukan oleh keluarga Juna. Kinara merasa jika tidak ada sesuatupun yang kurang dari seluruh persiapan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibu mertuanya, serta kedua adik iparnya.Nara mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, kemudian dirinya menatap lurus ke arah meja akad yang dilengkapi dengan empat buah kur
90. Pucuk MonasPada saat ini acara fitting pakaian sudah selesai. Setelah semuanya telah mencoba busananya masing-masing, Arjuna mengajak mereka menuju ke salah satu gerai kopi yang cukup terkenal di mall tersebut. Sebuah gerai coffee shop bernuansa coklat kayu yang terlihat begitu estetik. Di coffe shop tersebut tak hanya menjual minuman, tapi juga beberapa croissant yang beraneka rupa."Mau pesan apa, Ra?" tanya Juna pada Nara."Cuma Nara, nih?" sahut Reni."Oh, ya. Kamu mau pesan apa, Ren?" tanya Juna kemudian pada Reni."Hmm, aku ngikut Mas Juna saja, wes. Terserah Mas Juna mau pesan apa asalkan tidak beracun. Kan Mas tahu kalau aku belum kawin," seloroh Reni saat mereka sudah berada di dalam barisan antrian untuk memesan."Kamu mau coba es krim kopi nggak?" Juna bertanya pada Nara yang berdiri di hadapannya."Enak nggak?""Enak sih menurut Mas. Juwita selalu pesan itu setiap kali datang ke tempat ini," jawab Juna."Ya deh, boleh. Aku juga nggak terlalu ngerti bahasa menunya. Jad
Semua orang yang sedang berada dan berkumpul bersama di ruang keluarga Pak Hasan yang terbilang luas itu, segera memalingkan wajah mereka ke arah sumber suara. Suara itu secara tiba-tiba saja datang dan memecah ketenangan.Sementara Nara tidak terlalu menghiraukan akan hal tersebut, karena karena ia dan adik perempuan Arjuna yang bernama Juwita sedang merapikan souvenir pernikahan yang baru datang diantar tadi sore."Maya ...!" Bu Laras melirik ke arah wanita yang tadi berbicara dengan penuh arti. Ia jelas-jelas merasakan tak enak hati atas sikap adik iparnya alias adik kandung dari papanya Arjuna itu terhadap Reni dan juga ibunya."Mbak Laras tidak perlu melihatku dengan tatapan seperti itu. Aku kan hanya berbicara tentang fakta, Mbak. Memangnya kalian mau jika pesta pernikahan Arjuna rusak hanya gara-gara ada yang merusak pemandangan mata?" Balas perempuan yang ternyata bernama Maya itu dengan nada yang ketus."Mbak Reni, tolong Mbak Reni jangan ambil hati ucapan dari Tante Maya, ya
Usai acara makan bersama, Bu Laras meminta kepada Anggun dan juga Juwita untuk mengantarkan tamunya beristirahat."Kamar untuk Mbak Reni dan Bu Imah yang ada di sini, ya," ucap Juwita ramah sembari membukakan pintu ruang kamar tamu yang memang telah disiapkan dari jauh hari untuk mereka. Nuansa kamar dengan dominasi warna putih dengan sentuhan warna kayu itu pun segera tampak di ruangan yang cukup luas tersebut.Di dalam kamar terdapat sebuah ranjang berukuran besar yang cukup untuk mereka berdua. Ada sebuah pendingin ruangan di sana, almari pakaian, serta TV layar datar yang berukuran besar sebagai hiburan agar kamu mereka tidak merasa bosan di dalam kamar. Di dalam ruang kamar itu juga sudah dilengkapi dengan kamar mandi, agar mereka tidak perlu keluar masuk kamar hanya untuk menyelesaikan urusan pribadi."Masya Allah bagus sekali kamarnya, Dek Juita. Kamar hotel aja dengan kalah lho sama kamar yang ada di sini." Reni terkagum-kagum memandang ke sekeliling penjuru kamar yang akan d
"Selamat datang di keluarga kami, Nak. Kami harus menunggu waktu yang sangat lama hanya untuk melihat Juna pulang dengan membawa bidadarinya untuk diperkenalkan kepada kami," ucap Bu Hasan dengan kedua mata yang dipenuhi binar-binar bahagia.Bu Hasan merasa sangat bahagia untuk saat ini, karena anak sulungnya yang begitu ia banggakan sudah resmi memiliki istri. Bu Laras, nama aslinya. Tapi orang-orang lebih sering memanggilnya dengan nama Bu Hasan.Terlihat Kinara pun mengulum senyumnya. Ketegangan yang dirasakan begitu menyiksa dirinya di sepanjang perjalanan, perlahan-lahan mulai terkikis dan tergerus oleh sikap hangat dari wanita berusia sekitar lima puluh tahun dan itu. Namun di usianya yang bahkan sudah lebih dari separuh abad, sama sekali tidak membuat kecantikan alaminya memudar."Masya Allah, Nak. Kamu sungguh cantik sekali. Dan lebih cantik daripada foto-foto yang Juna kirimkan kepada kami." Pak Hasan pun maju ke depan dan ikut menimpali perkataan istrinya. Demikian pula deng
Kinara sengaja tidak ingin memperlihatkan air matanya yang luruh di hadapan Arjuna. Ia tidak ingin jika suaminya tersebut nanti menilainya terlalu konyol karena hendak pergi ke sebuah tempat yang bernama Ibukota tersebut.Sebenarnya ini bukan hanya tentang perjalan yang akan dilewatinya saat ini, bukan pula tentang Ibukota negara yang akan mereka datangi. Namun, perasaan itu datang karena ia baru pertama kali ini meninggalkan kampung halamannya.Ini semua adalah tentang kampung halaman dan semua kenangannya. Tentang desa yang berada di sebuah lereng bukit yang menjadi tempat Kinara dilahirkan dan juga dibesarkan. Tempat di mana dirinya mendapatkan semua kasih sayang dari kedua orang tuanya.Di perjalanan yang ia tempuh pada saat ini, Kinara membayangkan wajah sang ibu yang pada saat ini menari-nari di pelupuk matanya. Dan juga melihat sang ayah dari luar jendela sedang mengukir senyum melihat ke arahnya. Kedua wajah dari orang yang berarti baginya itu kini memenuhi relung hatinya. Waj