"Oh, ya baiklah. Kamu akan tahu sedang berhadapan dengan siapa nantinya. Ayo semuanya, kita pergi!" ajak Pak Rudi kepada tim-nya.Setelah sedikit pertikaian dengan Arjuna selesai. Pak Rudi pun langsung pergi bersama rekan-rekan satu tim nya meninggalkan area pembangunan resort."Lah dalah,ternyata memang beneran sakti sampeyan, Mas. Baru juga ngomong sedikit, mereka sudah langsung lari kocar kacir. Memang orang-orang seperti mereka itu tidak bisa didiamkan begitu saja, Mas.Aditya hanya memberikan sebuah senyum masam saat menanggapi ucapan Agus, salah satu anak buah yang telah menjadi kepercayaannya. Pak Lurah dan juga rombongannya yang baru saja pergi, tentunya sudah membawa serta kemarahan serta dendam pribadi kepada Arjuna."Kamu jangan senang dulu, Gus. Justru setelah ini kita harus lebih berhati-hati dan juga lebih harus lebih meningkatkan kewaspadaan. Saya sangat yakin kalau orang-orang seperti mereka itu tidak akan berhenti sebelum mendapatkan apa yang mereka inginkan," ujar Ar
Pak Rudi masih tetap duduk di sofa. Ia sedang mencoba untuk menyandarkan punggungnya yang terasa lelah di sana. Kemudian, Pak Rudi memejamkan matanya sambil bergumam, "Tunggu pembalasanku, dasar sok jagoan!""Memangnya apa sih, Pak, yang sudah dilakukan oleh suaminya Kinara itu? Sepertinya hal itu membuat Bapak terlihat begitu marah," tanya Bu Ratna yang merasa penasaran."Ya coba bayangin aja, Bu. Gimana Bapak ndak kesel. Si suaminya Nara itu berani bentak Bapak, bahkan juga berani mengancam Bapak loh, Bu." Pak Rudi bersikap persis seperti anak TK yang sedang mengadu kepada neneknya.Ia bercerita seolah-olah ia sekarang sedang menjadi korban kekerasan. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah saat ini, laki-laki itu sedang merasa malu. Itu karena nyalinya yang langsung ciut hanya karena gertakan orang yang dianggapnya sebagai anak kemarin sore.Pak Rudi pun langsung menceritakan kejadian yang tadi di alaminya di proyek. Tentu saja dengan sedikit bumbu yang sudah dirubah di dalamnya. Ba
"DUG DUG DUG DUG"Saat melihat kedatangan suaminya, bukannya membuat hati ini merasa senang, tapi malah bikin aku terasa jantungan. Jantungku ini berdebar semakin cepat. Aku sama sekali tidak ingin melihat adanya keributan antara dua lelaki hanya gara-gara diriku. Aku benar-benar tidak ingin jika hal itu sampai terjadi.Aku pun langsung melirik geram pada Deva yang tak kunjung beranjak dari tempat ini padahal sudah disuruh pergi. Deva hanya berdiri dengan sikap menantang dan juga tatapan mata yang nyalang menanti hingga Mas juna datang dan menghampirinya.Mas Juna yang baru saja keluar dari dalam mobil sepertinya langsung bisa menangkap kalau ada sesuatu yang tidak beres. Aku melihatnya yang berjalan dengan tenang dan tetap penuh wibawa. Sudah bisa dipastikan jika Mas Juna sangatlah tidak menyukai kehadiran Deva di rumah ini. Apalagi ia juga tahu jika Deva ini adalah mantan tunangan ku.Detak jantungku berdetak menjadi tidak karuan. Wajahku langsung berubah pias. Seluruh tubuhku menja
Setelah setengah jam kemudian, aku yang baru saja selesai berganti pakaian usai mandi dikejutkan oleh suara ketukan di pintu."Tok tok tok" kudengar suara pintu itu masih terus saja di ketuk. Dan aku yakin sekali jika yang datang kali ini adalah Mas Juna. Aku memang dengan sengaja mengunci pintu rumah tadi agar ada interaksi dan juga komunikasi lagi di antara kami nantinya.Aku kemudian berjalan keluar dan membukakan pintu untuknya."Assalamualaikum," ucap Mas Juna sembari melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah."Wa'alaikumsalam," jawabku dengan masih memperhatikan nya yang masuk ke dalam rumah tanpa sedikitpun melirik ke arahku."Mas mau langsung makan?" tanyaku kemudian."Nanti saja, belum lapar.""Tadi Mas udah makan di luar?""Enggak."Aku pun langsung terdiam seketika. Tidak ingin lagi membuka mulutku untuk berbicara."Fix, dia nggak mau makan masakanku," batinku dengan kesal.Akhirnya aku pun membiarkannya berada di dalam kamar sendirian. Sementara aku lebih memilih untuk masu
Pada pagi hari itu, aku dan juga Reni pergi ke pasar bersama. Reni ingin membeli beberapa sayur yang diminta oleh ibunya. Sedang aku sendiri ingin membeli ayam di tempat Mas Jaman, tempat langganan biasa aku membeli ayam potong saat masih bersama dengan Ibu dulu.Reni berkelakar dengan begitu kerasnya saat kami sedang berjalan menuju ke lapak ayam. Tentu saja hal itu akan membuatku sangat malu jika nanti ada yang mendengar ocehannya.."Mas Jaman, ayamnya satu kilo ya," aku menyapa pada Mas Jaman."Ealah, kamu Ra. Sudah lama sekali nggak kelihatan." Balas Mas Jaman, si penjual ayam potong dengan senyum ramahnya padaku dan juga Reni."Nggih, Mas. Karena kemarin masih dalam suasana berduka. Ibu saya meninggal du ..." Ada sebuah rasa yang berdenyut nyeri di dalam dada ini. Rasa itu akan selalu hadir setiap kali aku bercerita dan mengingat kepergian ibu dengan cara yang sangat tragis."Iya. Ibumu mati ketabrak mobil, toh? Saya juga sudah tahu dari orang-orang."Aku menoleh dengan keterkejut
"Loh kok bisa gitu sih, Ren? Aku tu masih inget loh, kayaknya dulu memang pas kamu masih kerja di kota, kamu pernah bilang sama aku kalau kamu lagi deket sama seorang cowok. Kamu sendiri kan yang bilang kalau cowok itu adalah salah satu pelayan restoran yang cukup tampan?""Ingat?" tanyaku."Oh si Danang? Iya sih, Run. Masih ingat aja kamu ternyata. Iya, itu kan dulu. Aku pernah sangat mencintainya sederas air hujan, tapi dia malah lebih memilih kesamber petir. Gimana dong, Ra. Tingkah lakunya itu loh, makin kesini makin kesana. Daripada selalu bikin mentalku terombang ambing bagaikan kapal yang sedang berlayar di lautan. Ya sudah aku putusin aja dia daripada harus capek mikirnya, bikin pusing," jawabnya."Pinter! Emang harus begitu, Ren. Kalau bisa kita itu jangan suka bergantung sama yang namanya lelaki, Ren. Semangat ya! Kamu harus bisa cari yang baru, jangan sampe kamu gagal move on dari lelaki sebodoh itu. Sampai bisa kehilangan gadis cantik macam kamu ini, Ren," ucapku sembari m
"Kreett" setelah aku membuka pintu depan. Ternyata yang datang adalah ...Yang datang adalah Pak Bayu. Beliau ini merupakan salah satu tetanggaku yang pada saat itu ikut datang memberitahukan bahwa Ibu menjadi korban tabrak lari.Aku terkejut melihat Pak Bayu datang ke rumah siang-siang begini."Assalamualaikum, Ra," ucapan salam terdengar dari Pak Bayu."Wa'alaikumsalam, Pak," jawabku dengan sedikit ragu. Aku masih menelisik wajah Pak Bayu. Sebab tak mungkin rasanya bila Pak Bayu tiba-tiba saja datang ke rumah tanpa tujuan."Begini, Ra. Maaf jika kedatangan saya sudah mengganggu. Ini, saya cuma mau mengantarkan ini. Mungkin barang ini milik Bu Wati yang tidak sengaja terjatuh."Pak Bayu lantas mengulurkan tangannya untuk memberikan benda tersebut padaku."Ini, Ra. Kalung ini saya temukan di lokasi ditemukannya Bu Wati pada saat peristiwa nahas itu terjadi. Sebenarnya sudah dari kemarin saya mau datang kesini. Tapi maaf, karena saya belum sempat, dan batu sekarang saya bisa datang. Sa
"Mas ..."Aku mulai melangkah mendekat ke arah kamar mandi. Aku merasa curiga karena Mas Juna sudah berpamitan mandi sedari tadi, tapi sama sekali belum terdengar suara air dari dalam sana."Sudah dulu ya. Nanti disambung lagi." Aku sempat mendengar Mas Juna sedang berbisik-bisik dari dalam sana. Tapi dengan siapa?"Mas, ini teh nya taruh mana?" tanyaku dari depan pintu kamar mandi yang masih sedikit terbuka."Tolong ditaruh di meja dulu. Terimakasih ya, sayang," jawabnya."Mas sudah mandi apa belum?" Aku mencoba bertanya kembali padanya."Belum, Sayang. Ini baru mau mandi. Kalau mau ikut?" tanyanya genit."Nggak lah." Aku menjawab dari luar dengan mengulum senyum wajahku mulai memanas. Setelah itu, aku buru-buru pergi ke dapur lagi untuk meletakkan teh yang baru saja selesai kubuat.Tak lama kemudian Mas Juna sudah selesai dengan acara mandinya. Ia menyusulku ke dapur dengan membawa segelas teh yang tadi kuletakkan di meja."Ra," panggilnya."Hem""Besok hari Minggu kita berdua harus