"Kreett" setelah aku membuka pintu depan. Ternyata yang datang adalah ...Yang datang adalah Pak Bayu. Beliau ini merupakan salah satu tetanggaku yang pada saat itu ikut datang memberitahukan bahwa Ibu menjadi korban tabrak lari.Aku terkejut melihat Pak Bayu datang ke rumah siang-siang begini."Assalamualaikum, Ra," ucapan salam terdengar dari Pak Bayu."Wa'alaikumsalam, Pak," jawabku dengan sedikit ragu. Aku masih menelisik wajah Pak Bayu. Sebab tak mungkin rasanya bila Pak Bayu tiba-tiba saja datang ke rumah tanpa tujuan."Begini, Ra. Maaf jika kedatangan saya sudah mengganggu. Ini, saya cuma mau mengantarkan ini. Mungkin barang ini milik Bu Wati yang tidak sengaja terjatuh."Pak Bayu lantas mengulurkan tangannya untuk memberikan benda tersebut padaku."Ini, Ra. Kalung ini saya temukan di lokasi ditemukannya Bu Wati pada saat peristiwa nahas itu terjadi. Sebenarnya sudah dari kemarin saya mau datang kesini. Tapi maaf, karena saya belum sempat, dan batu sekarang saya bisa datang. Sa
"Mas ..."Aku mulai melangkah mendekat ke arah kamar mandi. Aku merasa curiga karena Mas Juna sudah berpamitan mandi sedari tadi, tapi sama sekali belum terdengar suara air dari dalam sana."Sudah dulu ya. Nanti disambung lagi." Aku sempat mendengar Mas Juna sedang berbisik-bisik dari dalam sana. Tapi dengan siapa?"Mas, ini teh nya taruh mana?" tanyaku dari depan pintu kamar mandi yang masih sedikit terbuka."Tolong ditaruh di meja dulu. Terimakasih ya, sayang," jawabnya."Mas sudah mandi apa belum?" Aku mencoba bertanya kembali padanya."Belum, Sayang. Ini baru mau mandi. Kalau mau ikut?" tanyanya genit."Nggak lah." Aku menjawab dari luar dengan mengulum senyum wajahku mulai memanas. Setelah itu, aku buru-buru pergi ke dapur lagi untuk meletakkan teh yang baru saja selesai kubuat.Tak lama kemudian Mas Juna sudah selesai dengan acara mandinya. Ia menyusulku ke dapur dengan membawa segelas teh yang tadi kuletakkan di meja."Ra," panggilnya."Hem""Besok hari Minggu kita berdua harus
"Piyik piyik piyik"Suara anak-anak ayam mulai berkeciap di bawah jendela di samping rumah.Udara pagi mulai menembus melalu ventilasi ventilasi jendela. Kubuka kedua mata ini saat mendengar suara adzan berkumandang. Aku langsung bangun dan mulai berjalan ke dapur. Meskipun aku sedang kedapatan tamu bulanan, itu tidak membuatku lantas malas untuk bangun awal.Kucari bahan sayuran yang akan ku masak untuk pagi hari ini. Hingga sebuah rengkuhan tangan kekar Mas Juna mulai mendekatiku dari belakang."Zreeet!" Aku merasakan dekapannya begitu halus, dan hangat. Entah kenapa aku mulai menikmati kemesraan demi kemesraan yang selalu ia berikan."Mas, lepasin dulu. Lagi masak ini loh," ucapku dengan berusaha melepaskan dekapannya. Setelah kedua tangan itu terlepas, aku berbalik dan mendapati hidungnya sudah menempel pada hidungku."Selamat pagi, istriku," sapanya yang sungguh bisa membuatku begitu malu."Kenapa nggak bangunin saya?" tanyanya."Cks, kalau cuma masak ya nggak usah bangunin, Mas,
Mas Juna sama tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu. Sementara aku, masih sibuk berusaha untuk meredakan debaran jantungku yang terus menerus ingin meledak keluar dari tempatnya.Sekarang ini tubuhku masih menempel ke punggungnya, dan tanganku sudah melingkar sempurna di perutnya. Dirinya terus saja melajukan kendaraan roda dua ini dengan perlahan-lahan dan sangat berhati-hati. Hingga sesampainya di persimpangan jalan, Mas Juna membelokkan motornya ke kiri.Aku yang sedari tadi terus saja hanyut dalam pikiranku sendiri, baru tersadar jika jalan yang sekarang ini diambil oleh Mas Juna adalah jalan berbelok menuju ke rumah Pak Lurah."Eh, Mas. Ngapain belok ke sini?" tanyaku."Jalan-jalan nya ketempat lain aja yuk," ajakku dengan perasaan yang masih campur aduk. Hatiku in selalu merasa was-was dengan hal-hal yang bersangkutan dengan Bu Ratna dan juga keluarganya."Emangnya kenapa, sih?" tanyanya yang sekarang ini melirikku lewat kaca spion."Jangan bilang kalau rumah mantan kamu ada
PLAK!!Apa nanti malam nanti malam? Nanti malam Mas Juna mau tidur di luar?"Ha ha ha," tawanya kembali ku dengar. Membuat rasa gelisah yang tadi sempat hinggap kini mulai pudar dan berganti kenyamanan yang diberikan olehnya.---Malam harinya sebelum beranjak naik ke ranjang, aku masih terus berdiri di hadapan cermin yang tertempel di almari pakaianku. Aku masih menatap ragu pada kalung yang saat ini masih berada di dalam genggaman tanganku ini.Ku pindai sekali lagi, ku putar-putar kalung bertahtakan liontin lope lope ini berulang-ulang di hadapanku."Apakah aku bisa untuk memakainya?" tanyaku dalam hati.Hingga tanpa kusadari bahwa di ambang pintu kamar sudah ada sepasang mata yang memperhatikanku sejak tadi dengan raut wajah penuh iba. Aku melihatnya dari cermin yang terpampang jelas di depanku.Mas Juna akhirnya mendekat ke arahku dan memutar tubuhku ini hingga berhadapan dengannya. Ia lantas mengambil kalung yang saat ini berada di tanganku. Ia memutari tubuhku dan tanpa ijin la
Arjuna, lelaki itu kemudian menangkupkan kedua tangannya di wajahku. Dengan ibu jarinya, ia menghapus lelehan air mata ini dengan lembut. Lalu, ia mengajakku untuk pulang.Aku mengikuti langkahnya sampai di tempat aku memarkirkan motor yang disampingnya sudah terdapat mobil mercy merah mengkilat milik Aditya."Jangan langsung pulang, ya. Aku mau ajak kamu dulu ke suatu tempat," ajaknya.Kami berdua akhirnya berjalan beriringan. Aku mengendarai motorku tak berjarak jauh di belakang mobilnya. Dan benar saja, bukan jalan menuju ke rumah yang dia ambil saat ini. Melainkan menuju ke rumah sewa yang beberapa waktu yang lalu sempat ditempati olehnya. Aku pun menghentikan motor matic ku di sana beberapa saat setelah Mas Juna juga berhenti."Kenapa kita malah kemari, Mas?" tanyaku padanya.Aku turun dan menatap takjub pada rumah yang ada di depanku sekarang ini. Sebuah rumah permanen yang terlihat begitu luas dengan halaman yang cukup luas juga menurutku. Rumah ini bahkan jauh lebih luas dan l
Aku tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh Mas Juna dengan stafnya yang bernama Agus itu. Akan tetapi aku dapat melihat wajah pias serta raut wajah penuh kekhawatiran pada diri Mas Juna saat ini.Meskipun pada saat ini, posisi Mas Juna masih membelakangi ku, namun bahasa tubuhnya mengisyaratkan bahwa sedang terjadi sesuatu yang tidak baik saat ini. Aku terus memperhatikannya. Aku sungguh ingin tahu dengan apa yang sedang terjadi."Mbak Nara, duduk dulu saja. Ndak apa-apa, doakan saja semuanya baik-baik saja," ucapan Bu Iyem barusan membuyarkan pikiran buruk ku pada Mas Juna. Aku jadi merasa tak enak hati karena sedari tadi telah mengabaikan wanita baya yang dari tadi berdiri di sampingku. Akupun kemudian mengiyakan ucapan Bu Iyem.Namun pada saat Bu Iyem hendak berjalan ke dapur. Ternyata Mas Juna sudah selesai dengan panggilan suaranya.Walaupun dia datang kepadaku dengan senyum dan wajah yang sudah dibuat setenang mungkin. Tetapi tetap saja ia tidak dapat menyembunyikan rasa kh
"Sraakk, BRAK!"Di sebuah kamar yang cukup besar dengan nuansa putih yang elegant dan cukup mewah. Vanya mencari kalungnya yang hilang entah kemana. Dia berjalan kesana kemari mengacak-acak semua isi kamarnya.Lemari pakaian, serta laci-laci meja, dan tempat-tempat ia sering meletakkan benda-benda penting juga sudah dicarinya. Bahkan di semua lipatan baju yang semula sudah tertata rapi di dalam almarinya juga sudah ia keluarkan.Kamar yang seharusnya elegan itu berubah menjadi seperti tempat penampungan rongsokan. Bentuknya sudah seperti kapal pecah dengan benda-benda yang sudah kocar kacir di sana sini."Haaaaarkkkh!! Dimana sih? Kenapa aku bisa lupa?" Vanya berriak kencang dengan wajah bingungnya ."Kalung itu nggak boleh hilang! Bisa bahaya kalau sampai nanti aku tidak bisa menemukannya. Pasti Bu Ratna akan sangat marah. Aaaah!" Seru Vanya dengan kesal.Kalung kecil dengan berlian dalam liontin berbentuk lope-lope yang dimiliki oleh Vanya adalah kalung yang diberikan oleh Bu Ratna