Mas Juna sama tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu. Sementara aku, masih sibuk berusaha untuk meredakan debaran jantungku yang terus menerus ingin meledak keluar dari tempatnya.Sekarang ini tubuhku masih menempel ke punggungnya, dan tanganku sudah melingkar sempurna di perutnya. Dirinya terus saja melajukan kendaraan roda dua ini dengan perlahan-lahan dan sangat berhati-hati. Hingga sesampainya di persimpangan jalan, Mas Juna membelokkan motornya ke kiri.Aku yang sedari tadi terus saja hanyut dalam pikiranku sendiri, baru tersadar jika jalan yang sekarang ini diambil oleh Mas Juna adalah jalan berbelok menuju ke rumah Pak Lurah."Eh, Mas. Ngapain belok ke sini?" tanyaku."Jalan-jalan nya ketempat lain aja yuk," ajakku dengan perasaan yang masih campur aduk. Hatiku in selalu merasa was-was dengan hal-hal yang bersangkutan dengan Bu Ratna dan juga keluarganya."Emangnya kenapa, sih?" tanyanya yang sekarang ini melirikku lewat kaca spion."Jangan bilang kalau rumah mantan kamu ada
PLAK!!Apa nanti malam nanti malam? Nanti malam Mas Juna mau tidur di luar?"Ha ha ha," tawanya kembali ku dengar. Membuat rasa gelisah yang tadi sempat hinggap kini mulai pudar dan berganti kenyamanan yang diberikan olehnya.---Malam harinya sebelum beranjak naik ke ranjang, aku masih terus berdiri di hadapan cermin yang tertempel di almari pakaianku. Aku masih menatap ragu pada kalung yang saat ini masih berada di dalam genggaman tanganku ini.Ku pindai sekali lagi, ku putar-putar kalung bertahtakan liontin lope lope ini berulang-ulang di hadapanku."Apakah aku bisa untuk memakainya?" tanyaku dalam hati.Hingga tanpa kusadari bahwa di ambang pintu kamar sudah ada sepasang mata yang memperhatikanku sejak tadi dengan raut wajah penuh iba. Aku melihatnya dari cermin yang terpampang jelas di depanku.Mas Juna akhirnya mendekat ke arahku dan memutar tubuhku ini hingga berhadapan dengannya. Ia lantas mengambil kalung yang saat ini berada di tanganku. Ia memutari tubuhku dan tanpa ijin la
Arjuna, lelaki itu kemudian menangkupkan kedua tangannya di wajahku. Dengan ibu jarinya, ia menghapus lelehan air mata ini dengan lembut. Lalu, ia mengajakku untuk pulang.Aku mengikuti langkahnya sampai di tempat aku memarkirkan motor yang disampingnya sudah terdapat mobil mercy merah mengkilat milik Aditya."Jangan langsung pulang, ya. Aku mau ajak kamu dulu ke suatu tempat," ajaknya.Kami berdua akhirnya berjalan beriringan. Aku mengendarai motorku tak berjarak jauh di belakang mobilnya. Dan benar saja, bukan jalan menuju ke rumah yang dia ambil saat ini. Melainkan menuju ke rumah sewa yang beberapa waktu yang lalu sempat ditempati olehnya. Aku pun menghentikan motor matic ku di sana beberapa saat setelah Mas Juna juga berhenti."Kenapa kita malah kemari, Mas?" tanyaku padanya.Aku turun dan menatap takjub pada rumah yang ada di depanku sekarang ini. Sebuah rumah permanen yang terlihat begitu luas dengan halaman yang cukup luas juga menurutku. Rumah ini bahkan jauh lebih luas dan l
Aku tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh Mas Juna dengan stafnya yang bernama Agus itu. Akan tetapi aku dapat melihat wajah pias serta raut wajah penuh kekhawatiran pada diri Mas Juna saat ini.Meskipun pada saat ini, posisi Mas Juna masih membelakangi ku, namun bahasa tubuhnya mengisyaratkan bahwa sedang terjadi sesuatu yang tidak baik saat ini. Aku terus memperhatikannya. Aku sungguh ingin tahu dengan apa yang sedang terjadi."Mbak Nara, duduk dulu saja. Ndak apa-apa, doakan saja semuanya baik-baik saja," ucapan Bu Iyem barusan membuyarkan pikiran buruk ku pada Mas Juna. Aku jadi merasa tak enak hati karena sedari tadi telah mengabaikan wanita baya yang dari tadi berdiri di sampingku. Akupun kemudian mengiyakan ucapan Bu Iyem.Namun pada saat Bu Iyem hendak berjalan ke dapur. Ternyata Mas Juna sudah selesai dengan panggilan suaranya.Walaupun dia datang kepadaku dengan senyum dan wajah yang sudah dibuat setenang mungkin. Tetapi tetap saja ia tidak dapat menyembunyikan rasa kh
"Sraakk, BRAK!"Di sebuah kamar yang cukup besar dengan nuansa putih yang elegant dan cukup mewah. Vanya mencari kalungnya yang hilang entah kemana. Dia berjalan kesana kemari mengacak-acak semua isi kamarnya.Lemari pakaian, serta laci-laci meja, dan tempat-tempat ia sering meletakkan benda-benda penting juga sudah dicarinya. Bahkan di semua lipatan baju yang semula sudah tertata rapi di dalam almarinya juga sudah ia keluarkan.Kamar yang seharusnya elegan itu berubah menjadi seperti tempat penampungan rongsokan. Bentuknya sudah seperti kapal pecah dengan benda-benda yang sudah kocar kacir di sana sini."Haaaaarkkkh!! Dimana sih? Kenapa aku bisa lupa?" Vanya berriak kencang dengan wajah bingungnya ."Kalung itu nggak boleh hilang! Bisa bahaya kalau sampai nanti aku tidak bisa menemukannya. Pasti Bu Ratna akan sangat marah. Aaaah!" Seru Vanya dengan kesal.Kalung kecil dengan berlian dalam liontin berbentuk lope-lope yang dimiliki oleh Vanya adalah kalung yang diberikan oleh Bu Ratna
Di sebuah rumah yang cukup besar dan cukup mewah di wilayahnya. Ibu-ibu sedang berkumpul untuk acara masak-memasak di tempat itu. Seperti pada umumnya acara hajatan yang berlangsung di sebuah kampung, pada saat ini kediaman Bu Lurah juga sedang ramai dan dipenuhi dengan para tetangga yang sedang rewang.Para ibu-ibu sedang sibuk meracik bumbu-bumbu dan juga memasak besar di sebuah dapur dadakan yang didirikan di belakang dapur utama Bu Ratna. Di dapur yang didirikan cukup besar tersebut ada ibu-ibu yang sedang mengupas bawang, mengiris ayam, menanak nasi dan sebagainya. Semua kegiatan itu tentunya sudah lazim kita lihat di setiap acara rewang dalam sebuah acara hajatan.Tapi tentu saja kan, dalam sebuah acara seperti akan terasa tidak afdol dan tidak lengkap jika tidak dibarengi dengan acara ghibah bersama. Akan ada saja masalah yang mereka bahas."Bu, saya dengar dengar calon mantunya Bu Emi ini adalah anak dari orang kaya, ya?" Tanya seorang ibu-ibu paruh baya yang memulai memancing
Dada Lina bergemuruh hebat. Dia mengira jika Bu Ratna sudah mengetahui tentang hubungan terlarangnya dengan Pak Rudi. Tapi Lina tetap berusaha untuk mengontrol suaranya."Lin ..." Panggil Bu Ratna dari ujung telepon."Anu, Bu. Bapak sedang ada di ruangannya saat ini, Bu. Karena sekarang Bapak sedang menerima tamu dari Dinas Pariwisata," jawab Lina yang berbohong."Oh ya pantes aja belum pulang, mana hape nya juga nggak bisa dihubungi," ucap Bu Ratna."Iya, Bu. Karena kalau sampai dapat proyek sama dinas pariwisata ini, untungnya cukup banyak, Bu," ujar Lina lagi."Oh ya sudah kalau begitu. Nanti sampaikan saja kalau sudah selesai, Bapak suruh telepon balik ya, Lin.""Iya, Bu. Nanti akan saya sampaikan pada Bapak.""Bilang ke Bapak kalau dirumah sekarang ada keluarga besar Bapak yang sudah pada datang. Jadi kalau bisa Bapak suruh segera pulang, ya," sambung Bu Ratna i lagi."Nggeh, Bu.""Yo wis, Lin. Makasih yo,""Ceklik" dan panggilan telepon itu un akhirnya di akhiri oleh Bu Ratna.S
Pikiran Vanya sudah kacau pada saat ini, ia tidak bisa berfikir jernih. Ia tancap gas mobilnya untuk pergi ke suatu tempat. Tujuannya itu cuma satu, ia harus segera pergi dan mendatangi kembali tempat dimana kecelakaan itu terjadi.Vanya sangat yakin jika kalung yang ia kenakan pada saat itu terjatuh di sana. Kalung itu pasti terjatuh pada saat Vanya hendak memastikan keadaan Bu Wati yang masih hidup ataukah sudah mati pada saat itu.Vanya melaju di atas batas kecepatan rata-rata. Suasana jalan yang lengang membuatnya terlena dan berjalan tak beraturan.Sepi, hanya itulah gambaran yang terlihat saat dirinya tiba di jalan itu, jalan yang membuatnya berada dalam suatu kondisi yang sangat tidak menyenangkan. Vanya kemudian memarkirkan kendaraan roda empatnya. Dia kemudian turun dan menyusuri setiap inci jalanan yang ada di sekitar lokasi kejadian.Bulu kuduk Vanya tiba-tiba merinding, ia mengusap-usap tengkuknya yang pada saat ini sudah meremang sempurna.Tap!Vanya berusaha menelan luda