Setelah setengah jam kemudian, aku yang baru saja selesai berganti pakaian usai mandi dikejutkan oleh suara ketukan di pintu."Tok tok tok" kudengar suara pintu itu masih terus saja di ketuk. Dan aku yakin sekali jika yang datang kali ini adalah Mas Juna. Aku memang dengan sengaja mengunci pintu rumah tadi agar ada interaksi dan juga komunikasi lagi di antara kami nantinya.Aku kemudian berjalan keluar dan membukakan pintu untuknya."Assalamualaikum," ucap Mas Juna sembari melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah."Wa'alaikumsalam," jawabku dengan masih memperhatikan nya yang masuk ke dalam rumah tanpa sedikitpun melirik ke arahku."Mas mau langsung makan?" tanyaku kemudian."Nanti saja, belum lapar.""Tadi Mas udah makan di luar?""Enggak."Aku pun langsung terdiam seketika. Tidak ingin lagi membuka mulutku untuk berbicara."Fix, dia nggak mau makan masakanku," batinku dengan kesal.Akhirnya aku pun membiarkannya berada di dalam kamar sendirian. Sementara aku lebih memilih untuk masu
Pada pagi hari itu, aku dan juga Reni pergi ke pasar bersama. Reni ingin membeli beberapa sayur yang diminta oleh ibunya. Sedang aku sendiri ingin membeli ayam di tempat Mas Jaman, tempat langganan biasa aku membeli ayam potong saat masih bersama dengan Ibu dulu.Reni berkelakar dengan begitu kerasnya saat kami sedang berjalan menuju ke lapak ayam. Tentu saja hal itu akan membuatku sangat malu jika nanti ada yang mendengar ocehannya.."Mas Jaman, ayamnya satu kilo ya," aku menyapa pada Mas Jaman."Ealah, kamu Ra. Sudah lama sekali nggak kelihatan." Balas Mas Jaman, si penjual ayam potong dengan senyum ramahnya padaku dan juga Reni."Nggih, Mas. Karena kemarin masih dalam suasana berduka. Ibu saya meninggal du ..." Ada sebuah rasa yang berdenyut nyeri di dalam dada ini. Rasa itu akan selalu hadir setiap kali aku bercerita dan mengingat kepergian ibu dengan cara yang sangat tragis."Iya. Ibumu mati ketabrak mobil, toh? Saya juga sudah tahu dari orang-orang."Aku menoleh dengan keterkejut
"Loh kok bisa gitu sih, Ren? Aku tu masih inget loh, kayaknya dulu memang pas kamu masih kerja di kota, kamu pernah bilang sama aku kalau kamu lagi deket sama seorang cowok. Kamu sendiri kan yang bilang kalau cowok itu adalah salah satu pelayan restoran yang cukup tampan?""Ingat?" tanyaku."Oh si Danang? Iya sih, Run. Masih ingat aja kamu ternyata. Iya, itu kan dulu. Aku pernah sangat mencintainya sederas air hujan, tapi dia malah lebih memilih kesamber petir. Gimana dong, Ra. Tingkah lakunya itu loh, makin kesini makin kesana. Daripada selalu bikin mentalku terombang ambing bagaikan kapal yang sedang berlayar di lautan. Ya sudah aku putusin aja dia daripada harus capek mikirnya, bikin pusing," jawabnya."Pinter! Emang harus begitu, Ren. Kalau bisa kita itu jangan suka bergantung sama yang namanya lelaki, Ren. Semangat ya! Kamu harus bisa cari yang baru, jangan sampe kamu gagal move on dari lelaki sebodoh itu. Sampai bisa kehilangan gadis cantik macam kamu ini, Ren," ucapku sembari m
"Kreett" setelah aku membuka pintu depan. Ternyata yang datang adalah ...Yang datang adalah Pak Bayu. Beliau ini merupakan salah satu tetanggaku yang pada saat itu ikut datang memberitahukan bahwa Ibu menjadi korban tabrak lari.Aku terkejut melihat Pak Bayu datang ke rumah siang-siang begini."Assalamualaikum, Ra," ucapan salam terdengar dari Pak Bayu."Wa'alaikumsalam, Pak," jawabku dengan sedikit ragu. Aku masih menelisik wajah Pak Bayu. Sebab tak mungkin rasanya bila Pak Bayu tiba-tiba saja datang ke rumah tanpa tujuan."Begini, Ra. Maaf jika kedatangan saya sudah mengganggu. Ini, saya cuma mau mengantarkan ini. Mungkin barang ini milik Bu Wati yang tidak sengaja terjatuh."Pak Bayu lantas mengulurkan tangannya untuk memberikan benda tersebut padaku."Ini, Ra. Kalung ini saya temukan di lokasi ditemukannya Bu Wati pada saat peristiwa nahas itu terjadi. Sebenarnya sudah dari kemarin saya mau datang kesini. Tapi maaf, karena saya belum sempat, dan batu sekarang saya bisa datang. Sa
"Mas ..."Aku mulai melangkah mendekat ke arah kamar mandi. Aku merasa curiga karena Mas Juna sudah berpamitan mandi sedari tadi, tapi sama sekali belum terdengar suara air dari dalam sana."Sudah dulu ya. Nanti disambung lagi." Aku sempat mendengar Mas Juna sedang berbisik-bisik dari dalam sana. Tapi dengan siapa?"Mas, ini teh nya taruh mana?" tanyaku dari depan pintu kamar mandi yang masih sedikit terbuka."Tolong ditaruh di meja dulu. Terimakasih ya, sayang," jawabnya."Mas sudah mandi apa belum?" Aku mencoba bertanya kembali padanya."Belum, Sayang. Ini baru mau mandi. Kalau mau ikut?" tanyanya genit."Nggak lah." Aku menjawab dari luar dengan mengulum senyum wajahku mulai memanas. Setelah itu, aku buru-buru pergi ke dapur lagi untuk meletakkan teh yang baru saja selesai kubuat.Tak lama kemudian Mas Juna sudah selesai dengan acara mandinya. Ia menyusulku ke dapur dengan membawa segelas teh yang tadi kuletakkan di meja."Ra," panggilnya."Hem""Besok hari Minggu kita berdua harus
"Piyik piyik piyik"Suara anak-anak ayam mulai berkeciap di bawah jendela di samping rumah.Udara pagi mulai menembus melalu ventilasi ventilasi jendela. Kubuka kedua mata ini saat mendengar suara adzan berkumandang. Aku langsung bangun dan mulai berjalan ke dapur. Meskipun aku sedang kedapatan tamu bulanan, itu tidak membuatku lantas malas untuk bangun awal.Kucari bahan sayuran yang akan ku masak untuk pagi hari ini. Hingga sebuah rengkuhan tangan kekar Mas Juna mulai mendekatiku dari belakang."Zreeet!" Aku merasakan dekapannya begitu halus, dan hangat. Entah kenapa aku mulai menikmati kemesraan demi kemesraan yang selalu ia berikan."Mas, lepasin dulu. Lagi masak ini loh," ucapku dengan berusaha melepaskan dekapannya. Setelah kedua tangan itu terlepas, aku berbalik dan mendapati hidungnya sudah menempel pada hidungku."Selamat pagi, istriku," sapanya yang sungguh bisa membuatku begitu malu."Kenapa nggak bangunin saya?" tanyanya."Cks, kalau cuma masak ya nggak usah bangunin, Mas,
Mas Juna sama tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu. Sementara aku, masih sibuk berusaha untuk meredakan debaran jantungku yang terus menerus ingin meledak keluar dari tempatnya.Sekarang ini tubuhku masih menempel ke punggungnya, dan tanganku sudah melingkar sempurna di perutnya. Dirinya terus saja melajukan kendaraan roda dua ini dengan perlahan-lahan dan sangat berhati-hati. Hingga sesampainya di persimpangan jalan, Mas Juna membelokkan motornya ke kiri.Aku yang sedari tadi terus saja hanyut dalam pikiranku sendiri, baru tersadar jika jalan yang sekarang ini diambil oleh Mas Juna adalah jalan berbelok menuju ke rumah Pak Lurah."Eh, Mas. Ngapain belok ke sini?" tanyaku."Jalan-jalan nya ketempat lain aja yuk," ajakku dengan perasaan yang masih campur aduk. Hatiku in selalu merasa was-was dengan hal-hal yang bersangkutan dengan Bu Ratna dan juga keluarganya."Emangnya kenapa, sih?" tanyanya yang sekarang ini melirikku lewat kaca spion."Jangan bilang kalau rumah mantan kamu ada
PLAK!!Apa nanti malam nanti malam? Nanti malam Mas Juna mau tidur di luar?"Ha ha ha," tawanya kembali ku dengar. Membuat rasa gelisah yang tadi sempat hinggap kini mulai pudar dan berganti kenyamanan yang diberikan olehnya.---Malam harinya sebelum beranjak naik ke ranjang, aku masih terus berdiri di hadapan cermin yang tertempel di almari pakaianku. Aku masih menatap ragu pada kalung yang saat ini masih berada di dalam genggaman tanganku ini.Ku pindai sekali lagi, ku putar-putar kalung bertahtakan liontin lope lope ini berulang-ulang di hadapanku."Apakah aku bisa untuk memakainya?" tanyaku dalam hati.Hingga tanpa kusadari bahwa di ambang pintu kamar sudah ada sepasang mata yang memperhatikanku sejak tadi dengan raut wajah penuh iba. Aku melihatnya dari cermin yang terpampang jelas di depanku.Mas Juna akhirnya mendekat ke arahku dan memutar tubuhku ini hingga berhadapan dengannya. Ia lantas mengambil kalung yang saat ini berada di tanganku. Ia memutari tubuhku dan tanpa ijin la
94. Pulang KampungHari ini, saat Arjuna masih merebahkan diri di atas kasur di kamarnya, Nara datang dengan wajah murung dan sedikit ditekuk."Kenapa, Sayang? Apa ada sesuatu yang bikin hati istrinya Mas ini sedih? Kenapa mukanya cemberut kayak gitu?" tanya Juna saat Nara meletakkan pantatnya untuk duduk di sebelah Juna yang masih berbaring."Reni dan juga Bu Imah mau balik ke kampung besok pagi, Mas," jawab Nara dengan suara yang begitu lirih."Hmmm, nggak apa-apa, Sayang. Mereka juga pasti punya alasan sendiri kenapa mereka harus buru-buru pulang. Iya, kan? Lagipula, kita juga akan pulang kampung kok meskipun nggak bareng sama mereka. Kita juga masih bisa bertemu lagi nanti." Arjuna segera bangkit dari posisi rebahannya dan kemudian duduk sembari menatap wajah istrinya itu."Ya iya sih, Mas. Tapi ya bagaimana ya, Mas. Entah kenapa aku kalau nggak ada Reni berada ada yang kurang. Mas Juna sendiri tahu kan betapa dekatnya hubungan kami ini.""Iya, Mas tahu akan hal itu. Mas juga berd
Kinara merasa jika dirinya baru saja terlelap dan memejamkan mata, namun ia berusaha membuka kedua matanya yang masih terasa lengket dengan susah payah saat ia merasakan jika ada sesuatu yang menjalar menyentuh setiap permukaan kulitnya.Selimut tebal hotel cukup menghangatkan badan yang tersentuh belaian AC yang ada di dalam ruangan. Tapi entah kenapa Nara merasakan ada sesuatu yang terasa basah di kulitnya. Nara pada akhirnya memaksakan diri untuk membuka matanya lebar-lebar, ketika dirinya merasakan sesuatu yang begitu lembab dan kasar sedang menyapu kulit perutnya."Mas Juna, aah ...," ucap Nara yang terdengar seperti serupa bisikan. Dimana bisikan itu justru terdengar seperti candu bagi seorang Arjuna. Entah sudah pukul berapa saat ini, Nara sudah tak lagi sempat melirik ke arah dinding yang tertempel di dinding kamar saat Arjuna kembali mengarungi nirwana. Mereka berdua kembali mabuk kepayang berdua, menikmati indahnya bahtera asmara entah untuk yang ke berapa kalinya.Saat kees
Sah, Sah,Sah,Terdengar sorak sorai dari para tamu undangan yang menjadi saksi pernikahan Arjuna serta Kinara. Sorak sorai pun mengudara riuh setelah para gadis-gadis dan juga sepupu Arjuna saling bersahutan saat melihat prosesi penyematan cincin kawin di jari masing-masing."Cium ...! Cium ...! Cium ...!" teriak mereka setelahnya.Pada saat ini wajah Kinara terasa memanas. Meskipun mereka berdua sudah kerap kali melakukannya, namun tetap saja dirinya akan merasa malu jika melakukan hal tersebut di depan banyak orang seperti ini. Hingga pada akhirnya Arjuna hanya mendaratkan hidung dan juga bibirnya di kening Kinara. Gemuruh suara tepuk tangan serta siulan yang bersahut-sahutan panjang langsung terdengar memenuhi seluruh penjuru ruangan.Mereka merasakan kelegaan dan keharuan secara bersamaan. Kedua mata Nara mulai memburam dan berkabut karena dipenuhi oleh buliran-buliran hangat yang menumpuk di sepasang kelopak matanya yang begitu indah itu.Reni pun mulai maju ke depan untuk meng
Mereka semua sudah berkumpul pada saat ini di restoran hotel tersebut. Mereka makan dalam suasana yang tenang namun tetap membahagiakan. Setelah selesai dengan acara makan malamnya, seluruh anggota keluarga tidak langsung kembali ke kamar masing-masing. Melainkan semuanya pergi ke ballroom hotel di mana acara akad dan resepsi akan diselenggarakan esok hari. Ruangan yang begitu luas itu sudah di dekor dengan seindah mungkin dengan tema yang telah dipilih oleh pihak keluarga Arjuna sebelumnya.Meskipun Nara dan Juna tidak terlibat langsung dalam setiap persiapan pesta yang akan digelar esok hari, namun Nara sudah merasa sangat puas dengan kinerja dan segala persiapan yang telah dilakukan oleh keluarga Juna. Kinara merasa jika tidak ada sesuatupun yang kurang dari seluruh persiapan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibu mertuanya, serta kedua adik iparnya.Nara mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, kemudian dirinya menatap lurus ke arah meja akad yang dilengkapi dengan empat buah kur
90. Pucuk MonasPada saat ini acara fitting pakaian sudah selesai. Setelah semuanya telah mencoba busananya masing-masing, Arjuna mengajak mereka menuju ke salah satu gerai kopi yang cukup terkenal di mall tersebut. Sebuah gerai coffee shop bernuansa coklat kayu yang terlihat begitu estetik. Di coffe shop tersebut tak hanya menjual minuman, tapi juga beberapa croissant yang beraneka rupa."Mau pesan apa, Ra?" tanya Juna pada Nara."Cuma Nara, nih?" sahut Reni."Oh, ya. Kamu mau pesan apa, Ren?" tanya Juna kemudian pada Reni."Hmm, aku ngikut Mas Juna saja, wes. Terserah Mas Juna mau pesan apa asalkan tidak beracun. Kan Mas tahu kalau aku belum kawin," seloroh Reni saat mereka sudah berada di dalam barisan antrian untuk memesan."Kamu mau coba es krim kopi nggak?" Juna bertanya pada Nara yang berdiri di hadapannya."Enak nggak?""Enak sih menurut Mas. Juwita selalu pesan itu setiap kali datang ke tempat ini," jawab Juna."Ya deh, boleh. Aku juga nggak terlalu ngerti bahasa menunya. Jad
Semua orang yang sedang berada dan berkumpul bersama di ruang keluarga Pak Hasan yang terbilang luas itu, segera memalingkan wajah mereka ke arah sumber suara. Suara itu secara tiba-tiba saja datang dan memecah ketenangan.Sementara Nara tidak terlalu menghiraukan akan hal tersebut, karena karena ia dan adik perempuan Arjuna yang bernama Juwita sedang merapikan souvenir pernikahan yang baru datang diantar tadi sore."Maya ...!" Bu Laras melirik ke arah wanita yang tadi berbicara dengan penuh arti. Ia jelas-jelas merasakan tak enak hati atas sikap adik iparnya alias adik kandung dari papanya Arjuna itu terhadap Reni dan juga ibunya."Mbak Laras tidak perlu melihatku dengan tatapan seperti itu. Aku kan hanya berbicara tentang fakta, Mbak. Memangnya kalian mau jika pesta pernikahan Arjuna rusak hanya gara-gara ada yang merusak pemandangan mata?" Balas perempuan yang ternyata bernama Maya itu dengan nada yang ketus."Mbak Reni, tolong Mbak Reni jangan ambil hati ucapan dari Tante Maya, ya
Usai acara makan bersama, Bu Laras meminta kepada Anggun dan juga Juwita untuk mengantarkan tamunya beristirahat."Kamar untuk Mbak Reni dan Bu Imah yang ada di sini, ya," ucap Juwita ramah sembari membukakan pintu ruang kamar tamu yang memang telah disiapkan dari jauh hari untuk mereka. Nuansa kamar dengan dominasi warna putih dengan sentuhan warna kayu itu pun segera tampak di ruangan yang cukup luas tersebut.Di dalam kamar terdapat sebuah ranjang berukuran besar yang cukup untuk mereka berdua. Ada sebuah pendingin ruangan di sana, almari pakaian, serta TV layar datar yang berukuran besar sebagai hiburan agar kamu mereka tidak merasa bosan di dalam kamar. Di dalam ruang kamar itu juga sudah dilengkapi dengan kamar mandi, agar mereka tidak perlu keluar masuk kamar hanya untuk menyelesaikan urusan pribadi."Masya Allah bagus sekali kamarnya, Dek Juita. Kamar hotel aja dengan kalah lho sama kamar yang ada di sini." Reni terkagum-kagum memandang ke sekeliling penjuru kamar yang akan d
"Selamat datang di keluarga kami, Nak. Kami harus menunggu waktu yang sangat lama hanya untuk melihat Juna pulang dengan membawa bidadarinya untuk diperkenalkan kepada kami," ucap Bu Hasan dengan kedua mata yang dipenuhi binar-binar bahagia.Bu Hasan merasa sangat bahagia untuk saat ini, karena anak sulungnya yang begitu ia banggakan sudah resmi memiliki istri. Bu Laras, nama aslinya. Tapi orang-orang lebih sering memanggilnya dengan nama Bu Hasan.Terlihat Kinara pun mengulum senyumnya. Ketegangan yang dirasakan begitu menyiksa dirinya di sepanjang perjalanan, perlahan-lahan mulai terkikis dan tergerus oleh sikap hangat dari wanita berusia sekitar lima puluh tahun dan itu. Namun di usianya yang bahkan sudah lebih dari separuh abad, sama sekali tidak membuat kecantikan alaminya memudar."Masya Allah, Nak. Kamu sungguh cantik sekali. Dan lebih cantik daripada foto-foto yang Juna kirimkan kepada kami." Pak Hasan pun maju ke depan dan ikut menimpali perkataan istrinya. Demikian pula deng
Kinara sengaja tidak ingin memperlihatkan air matanya yang luruh di hadapan Arjuna. Ia tidak ingin jika suaminya tersebut nanti menilainya terlalu konyol karena hendak pergi ke sebuah tempat yang bernama Ibukota tersebut.Sebenarnya ini bukan hanya tentang perjalan yang akan dilewatinya saat ini, bukan pula tentang Ibukota negara yang akan mereka datangi. Namun, perasaan itu datang karena ia baru pertama kali ini meninggalkan kampung halamannya.Ini semua adalah tentang kampung halaman dan semua kenangannya. Tentang desa yang berada di sebuah lereng bukit yang menjadi tempat Kinara dilahirkan dan juga dibesarkan. Tempat di mana dirinya mendapatkan semua kasih sayang dari kedua orang tuanya.Di perjalanan yang ia tempuh pada saat ini, Kinara membayangkan wajah sang ibu yang pada saat ini menari-nari di pelupuk matanya. Dan juga melihat sang ayah dari luar jendela sedang mengukir senyum melihat ke arahnya. Kedua wajah dari orang yang berarti baginya itu kini memenuhi relung hatinya. Waj