Nulisnya kok ambil nyeseg ...😭😭
Sudah hampir satu jam setelah peziarah terakhir pergi meninggalkan area pemakaman. Namun disana, Arumi masih berdiam diri. Ia enggan pergi meninggalkan gundukan tanah yang masih basah dengan dihiasi taburan bunga di atasnya."Kenapa ibu pergi secepat ini, Bu? Kenapa ibu tega meninggalkan Nara sendirian? Bagaimana sekarang Nara mau menjalani hidup, Bu? Biarkan Nara ikut berkumpul dengan Bapak dan juga Ibu, ya. Kita akan bahagia bersama di sana ..." Kinara bermonolog. Ia merasa tak ingin hidup lagi di dunia ini."Ra, sudah yok. Jangan siksa ibumu seperti ini. Beliau sudah tenang di sana, Ra," Reni yang ikut menemani Kinara di sampingnya berusaha untuk membujuk sahabatnya itu. Sedangkan Arjuna hanya bisa menyaksikan kedua gadis itu dengan wajah yang muram."Kamu pulang duluan aja, Ren. Aku masih mau menemani ibu di sini," jawab Kinara dengan suara yang sengau karena terlalu banyak menangis."Nggak mungkin lah aku ninggalin kamu, Ra. Ya udah, pakailah waktu sesukamu. Aku dan Om Juna akan t
Sudah sepekan sejak kematian Ibu, aku tetap masih menguatkan diri untuk bisa legowo dan menerima kenyataan pahit ini. Memang terasa begitu berat, namun saat ini aku sudah bisa mulai menguasai diri dengan keadaan.Betapa beruntungnya aku masih ditemani oleh orang-orang baik seperti Bu Imah dan juga Reni di setiap harinya. Seperti halnya yang terjadi pagi ini."Ra, kita main ke air terjun aja yok nanti, mau nggak? Kita jalan-jalan biar nggak sumpek dirumah, mau nggak?" tanya Reni pada pagi hari itu setelah mengantarkan makanan.Mataku memicing, melirik tajam ke arah sahabatku ini."Kapan-kapan aja ya Ren, lagi males keluar nih," tolakku seperti biasa. Kemudian aku mulai melempar pandangan pada hamparan bukit yang berada jauh di belakang rumah. Semilir angin lirih terasa menelisik wajahku yang sedang kehilangan aura nya kini."Iya wis iya, nggak apa-apa. Tapi janji ya lain waktu kita akan pergi jalan-jalan kesana," ucap Reni sambil meraih sendok dan menyuap satu sendok penuh nasi dengan s
Sementara itu di tempat yang berbeda, banyaknya pekerjaan yang tiada henti membuat Arjuna terlalu sibuk. Perhatian Arjuna yang harus terbagi antara pekerjaan dan juga kesibukan di rumah Kinara membuatnya begitu lelah.Hingga pada akhirnya ia membuka ponsel yang sedari pagi tidak di pegangnya. Arjuna yang baru saja menyadari jika ada pesan masuk dari Reni, langsung saja bergegas membukanya. Pria itu hanya mengulum senyum saat menatap foto yang baru saja Reni kirimkan.Manik mata coklat dari sesosok pria tampan itu menatap lama pada foto Kinara yang sedang tersenyum. Meskipun wajahnya masih tampak dinaungi oleh pekatnya mendung dari sebuah hujan duka, tapi hal itu tidak pernah dapat mengurangi sedikitpun kecantikan yang sudah ia bawa secara alamiah.Di dalam hati Arjuna saat ini, tiba-tiba saja dipenuhi dengan rasa rindu. Laki-laki itu ingin segera bertemu dengan gadis yang telah mampu memporak-porandakan hatinya tersebut. Ia ingin segera melihat senyum gadis itu secara langsung dengan m
"Ada apa ini?"Suara berat yang menggelar itu kembali terdengar. Kami yang sedang bersitegang di dalam pun langsung terdiam karenanya. Mataku melotot sempurna saat mendapati sosok Arjuna tahu tahu sudah berdiri di ambang pintu.Karena terlalu sibuk berdebat sedari tadi, aku sampai tidak menyadari sejak kapan laki-laki bertubuh sempurna itu telah berdiri di sana. Entah kapan ia tiba, aku sama sekali tidak mendengar suara mobilnya yang datang atau kendaraan apapun sebelumnya.Tanpa permisi Arjuna langsung melangkahkan kaki jenjangnya untuk masuk ke dalam rumah saat melihat posisiku terdesak oleh Paklik Samsul. Seolah menyadari jika pada saat ini posisiku sedang tidak aman, nalurinya sebagai seorang laki-laki langsung membawanya kepadaku. Tanpa basa basi, Om Juna langsung saja menarik kaos biru yang dipakai oleh Paklik Samsul dengan sangat kuat. Terlihat dari badan lelaki kurus itu seolah akan ikut terangkat."Hei! Hei! Lepaskan suami saya! Lepaskan sekarang juga!" Bulik Endang berdiri da
BRAK!!!"Yo ndak bisa begitu dong Pak RT. Kalau begitu, artinya Arumi yang mengambil untung paling besar dari rumah ini," sahut Bulik Endang saat mendengar usulan yang di lontarkan oleh Pak RT."Maaf sebelumnya, kan tadi saya hanya mengusulkan, dipakai ya syukur ... Kalau ndak ya saya nggak masalah. Jangan marah dong, Bu." Ucap Pak RT."Tapi jika Anda semua tetap ngotot dan menginginkan hak atas rumah ini, maka jalan satu-satunya adalah rumah ini harus dijual. Siapa yang ingin menempati rumah ini, maka dialah yang harus membayarkan sejumlah uang kepada pihak lainnya sebagai bentuk ganti rugi. Kalau sudah berbentuk uang, maka hasilnya bisa kalian bagi rata. Bagaimana?" Tanya Pak RT kemudian."Ppzzhhh peeppzzz zzeet"Aku memejamkan mata ku saat mendengar kasak kusuk dan juga suara saling berbisik yang terdengar saling bersahutan dari dalam ruangan yang tidak seberapa luas ini."Ya Alloh, kenapa mereka tega sekali kepada ku. Seorang gadis yang benar-benar yang sudah ditinggal oleh ayah da
"Maukah kamu menikah denganku, Nara?" tanya Om Juna yang sekarang menghadapkan wajahku telat di hadapannya.Om Juna berkata sembari menunjukkan sebuah cincin emas dengan permata indah di atasnya. Cincin yang masih berdiri dengan anggunnya di dalam sebuah kotak beludru berwarna merah.Aku benar-benar sangat terkejut. Aku pun sama sekali tidak menyangka jika Om Juna tiba-tiba saja mengeluarkan cincin itu dari tempatnya dan melamar ku di depan Pak RT dan juga yang kainnya.Mataku saling bertatap dengan Om Juna tanpa sedikitpun bisa berkedip. Lidahku terlalu kelu untuk bisa menjawab. Seluruh tubuhku menjadi panas seketika saat ku rasa darahku sudah mulai mendidih."Terimalah, Nduk ..." Ucap Bulik Imah lirih di samping telingaku. Aku tersadar kembali saat Bulik Imah maju dan merangkul pundak ku. Dia yang sekarang menjadi pengganti dari ibuku. Bulik Imah sudah memperlakukan ku seperti anaknya sendiri.Reni pun maju dan mulai menyusul dari sebelah kiri ku. Dia mendekat dan ikut merangkul pun
Rombongan warga yang hadir menemani pernikahanku, pada saat ini ikut mengiringi langkahku hingga sampai ke rumah."Sekali lagi Bulik ucapkan selamat ya, Nduk. Semoga dengan pernikahan ini akan selalu membawakan berkah dan kebahagiaan selalu untuk kalian berdua. Semoga selalu sakinah, mawadah dan juga warahmah. Sehidup dan sesurga nantinya, aamiin." Ucap Bulik Imah setelah para warga sudah kembali ke rumahnya masing-masing.Wanita itu kembali membawaku dalam rengkuhannya, membuatku menangis karena haru yang menderu. Pada saat seperti ini, aku hanya bisa membayangkan ibu."Sudah loh, Bu. Jangan dibuat nangis terus itu si pengantin. Sekarang biarkan Om Juna yang membuatnya menangis bahagia di malam pertama mereka malam ini," seloroh Reni.Air mata yang tadi sempat tertumpah, seolah kembali masuk lagi ke dalam mataku. Wajahku tiba-tiba saja terasa panas gara-gara mendengar ucapan Reni barusan.Secara diam-diam, aku melirik ke arah Om Juna yang baru saja keluar dari pintu pengemudi. Dalam
"cicicuit cicicuit"Terdengar suara burung bersahutan, membangunkanku di pagi yang sudah datang menjelang. Sinar mentari pagi terlihat memasuki celah gorden kamarku."Ah, kenapa aku bisa bangun sesiang ini?" Gumamku. Di saat ibu masih ada, sangat tidak mungkin bagiku untuk bangun terlambat seperti ini. Aku dan ibu selalu bangun sebelum subuh untuk menyiapkan segala sesuatunya yang akan kami bawa ke pasar. Tapi itu semua kini hilang. Sudah tiada lagi.Atau kupikir jika hari kemarin aku terlalu lelah. Dari mulai menghadapi Bulik Endang dan juga suaminya. Hingga menghadapi perdebatan mengenai hak kepemilikan rumah pada malam harinya. Sampai dengan pernikahan yang baru saja semalam baru saja aku lakukan."Ah, iya. Aku sudah menikah!" lirihku agar suaraku tak terdengar oleh Om Juna. Aku sampai lupa jika sekarang aku sudah menjadi istri orang.Dengan perlahan aku bangkit dan melihat tempat dimana Om Juna tidur semalam. Tetapi lelaki itu tidak berada di tempatnya. Kupindai seluruh kamar yang