"Dasar bajingan tak tahu diri! Tak tahu malu! Berani-beraninya kamu selingkuh lagi di belakangku!" Larasati meneriaki suaminya, Aditama.
"Jangan asal tuduh! Minggir Laras, aku ngantuk mau tidur. Malam-malam ngajakin ribut!" Aditama mendorong tubuh istrinya dari depan pintu.
"Terang aja ngantuk, jam dua pagi baru pulang. Berapa ronde tadi kamu bergumul dengan perempuan jalangmu, hah!" Larasati bergeming, ia berusaha menghalangi langkah Aditama.
"Diam, Laras! Pelankan suaramu. Malu kan, kalau Miranda dengar?" Tegur Aditama.
"Hahaha ... sungguh lucu. Seharusnya, kamu yang malu dengan kelakuanmu, bukan aku! Anakmu sudah menginjak remaja, Pa! Pernahkah kamu pikirkan bagaimana perasaannya saat ini?" ujar Larasati, masih dengan nada tinggi.
"Terserah kamu mau bilang apa! Minggir, Laras!" Aditama kembali mendorong tubuh Larasati, agar tak menghalanginya masuk kamar.
Laras membiarkan suaminya lewat. Ia lalu berjalan menuju sofa di ruang keluarga, membaringkan tubuh letihnya di sana.
Sementara itu di kamarnya, Miranda tengah terisak-isak mendengarkan pertengkaran orang tuanya.
Seminggu kemudian.
Di ruang keluarga, Larasati tengah berbaring santai di sofa. Secangkir teh hangat buatan Miranda, terhidang di meja. Sudah seminggu ini Aditama tak pulang ke rumah. Benaknya penuh dengan pertanyaan. Benar ternyata kata orang, bahwa orang yang pernah selingkuh, suatu saat akan mengulangi lagi perbuatannya. Watak. Tabiat. Khilaf? Bullshit! Omong kosong! Kekhilafan adalah senjata yang selalu digunakan para peselingkuh, saat mereka ketahuan.
Oh, please, jangan berlindung di balik kata khilaf, Pecundang! Akui saja kalau kalian melakukan itu karena kalian bejat.
Jika memang hati nurani kalian masih waras, jangankan berselingkuh, untuk melakukan hal buruk sekecil apapun, kalian tidak akan mampu, apalagi melakukan perselingkuhan.
Perempuan itu, seperti apakah dia? Cantikkah dia? Sehebat apa dia, sehingga mampu mencuri Aditama darinya? Oh tidak, aku tidak menyalahkan perempuan itu sepenuhnya atas kejadian ini. Aditama jelas bersalah. Dua-duanya bersalah. Perselingkuhan bisa terjadi jika ada kesepakatan antara pihak lelaki dan perempuan. Tidak perlu mengelak ini itu.
Larasati terus merutuki suami dan selingkuhannya, namun hanya dalam hati. Ingin rasanya ia menjungkir balikkan isi rumah, sambil berteriak memaki mereka berdua, untuk sekedar meluapkan amarahya. Tapi untuk apa? Jika ia melakukan hal itu, Miranda-lah yang justru akan menjadi korbannya. Ia akan semakin terluka. Ke mana Miranda nanti akan bersandar, jika tidak pada dirinya. Tidak ada pilihan lain, selain tegar.
"Mama lagi mikirin apa?" Miranda datang menghampiri mamanya.
Larasati mengambil tehnya, menyesapnya pelan.
"Tidak ada, Nak. Mama hanya sedang merenungi semuanya. Lebih kepada introspeksi diri."
"Miranda sedih sekali, Ma. Miranda tidak menyangka sama sekali, bahwa Papa bisa setega dan sejahat itu sama Mama, mengkhianati Mama hingga berkali-kali. Kenapa selama ini Mama tidak pernah bercerita perihal perilaku Papa pada Miranda?
"Untuk apa, Nak? Itu hanya akan melukai hatimu. Mama tidak pernah cerita, karena waktu itu Miranda masih kecil, belum paham persoalan orang dewasa. Dan saat itu pun selalunya papamu kembali lagi pada Mama. Selalu begitu. Tapi kali ini, entahlah ..." Larasati menjawab dengan nada putus asa.
"Kenapa Mama selalu memaafkan Papa?"
Larasati meneguk kembali tehnya. Menarik napas panjang, lalu menjawab pertanyaan anaknya.
"Entahlah, Nak. Mungkin karena Mama terlalu mencintai Papa. Atau mungkin, karena Mama yang terlalu bodoh."
"Mama tidak bodoh, Miranda yakin itu. Mama hanya terlalu baik, terlalu sabar. Itu menurut Miranda."
Larasati menatap anak gadisnya. Di usianya yang ke-13, pikirannya telah mulai matang. Seperti layaknya orang dewasa.
"Nak, ketahuilah! Di dunia ini ada banyak perempuan-perempuan yang bernasib seperti Mama, ditinggalkan pasangannya, dengan berbagai alasan. Sebagian ada yang terpaksa bertahan karena sesuatu hal, sebagian ada yang memilih berpisah dengan pasangannya."
"Kenapa mereka bertahan, Ma? Kenapa tidak memilih berpisah saja? Bukankah pernikahan mereka sudah tidak sehat?"
'Orang dewasa memang rumit sekali jalan pikirannya', pikir Miranda.
"Ada beberapa alasan, Nak. Diantaranya adalah karena alasan anak, nafkah, jaga image, cinta buta, dan lain-lain."
"Kalau Mama termasuk yang mana, Ma?" tanya Miranda menyelidik.
"Mama termasuk yang pertama, Nak. Mama tidak tega melihatmu tumbuh tanpa sosok seorang ayah. Itu akan sangat menyakitkan hati Mama. Mereka yang memilih pilihan pertama, juga demikian."
"Beneran, hanya karena itu? Bukan karena Mama cinta buta sama Papa, ya?" tukas Miranda, dengan sorot tajam, menuntut kejujuran dari sang mama.
Larasati tersenyum samar, 'ah, anakku, pandai menyelidik engkau rupanya'.
"Entahlah, mungkin memang benar seperti itu, cinta buta. Ini yang harus Miranda ingat, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Belajarlah dari nasib Mama, Nak!"
"Maksudnya apa, Ma?"
"Miranda lihat, kan? Karena Mama teramat mencintai papamu, akibatnya mama selalu memaafkan perselingkuhannya. Juga kesalahan-kesalahan lainnya. Benar, yang engkau katakan, Nak. Hubungan seperti itu memang tidak sehat. Tapi, ya, begitulah ..."
"Jadi, bagaimana seharusnya menyikapi pasangan, Ma?"
"Kenalilah calon pasanganmu sebaik-baiknya sebelum menikah, Nak. Bicarakanlah dahulu segala sesuatunya. Tentang kemungkinan ada pihak ketiga dalam hubungan, harta gono-gini, pola asuh anak, tempat tinggal, dan lain-lainnya."
"Ternyata ribet ya, Ma ...." Miranda mengernyitkan dahinya.
"Ribet nggak ribet, sih. Ada satu hal yang perlu diingat, Nak, bahwa pernikahan itu hanya mengubah status orangnya, bukan orangnya. Semua watak yang ia miliki itu, telah terbentuk sejak lama. Don't try to change people! Orang tuanya yang sudah lama mengasuhnya saja tidak mampu mengubahnya, apalagi kita, yang baru kenal beberapa tahun?"
"Miranda gak paham, Ma. Bisa Mama jelaskan lagi?"
"Nak, jika engkau tengah menjalin hubungan dengan seseorang, pacaran, lalu intuisimu mengatakan bahwa 'ada yang tak beres' dengan pasanganmu, segera tinggalkan. Cari yang benar-benar 'beres' saja sejak awal. Untuk mencegah hal-hal yang tidak baik, terjadi di masa mendatang."
"Kan ada tuh, Ma, yang tadinya bad boy, setelah menikah malah jadi baik gitu."
"Jangan terlalu berharap yang muluk-muluk, Nak. Jangan berjudi dengan realita, berharap nanti jika sudah menikah pasanganmu akan berubah. Jika pada saat pacaran saja, dia sudah kasar, egois, menyepelekanmu, toxic, dan manipulatif, segera tinggalkan dia!"
"I see ... jadi sebenarnya Mama tahu bahwa Papa punya bakat selingkuh dari dulu kan? Tapi Mama tetap mau dinikahi Papa, karena selain Mama cinta mati sama Papa, Mama juga berharap bahwa setelah menikah, sifat Papa yang demikian itu akan berubah. Begitu, kan, Ma?"
"Iya, Nak, benar. Setelah menikah, Mama, dan banyak perempuan di luar sana, terjebak dalam situasi yang sulit. Kami berpikir, ah, tidak apa-apa, nanti kan kalau sudah menikah dia pasti berubah. Nyatanya, setelah menikah sama saja. Oke, tidak apa-apa. Barangkali, nanti kalau sudah punya anak, dia akan berubah. Eh, masih sama saja ternyata. Hingga anak bertambah, ternyata sifatnya sama saja, tidak ada perubahan yang signifikan. Akhirnya, karena sudah telanjur, ya sudah dijalani saja. Dan tentu saja ada, ada sebagian pria yang setelah menikah, sifat-sifat buruknya berkurang bahkan hilang. Tapi itu terjadi hanya pada orang-orang yang memiliki komitmen dari dirinya sendiri untuk berubah, bukan karena adanya selembar dokumen negara yang bernama surat nikah."
"O, begitu, ya, Ma. I see ... Mama ingat gak, tetangga Tante Mira, yang di depan rumahnya ada pohon mangga? Kata Tante Mira, suaminya kasar, pemarah, suka mukul. Tapi dia gak berani melawan. Miranda kesel bukan main waktu diceritain sama Tante. Kenapa sih, gak melawan? Atau lapor polisi kek. Kan itu termasuk KDRT ya, Ma?"
"Kelak jika sudah dewasa, Miranda akan tahu sendiri, betapa kompleksnya permasalahan dalam sebuah rumah tangga. Seperti tetangga Tante Mira tadi, banyak perempuan-perempuan lain di luar sana, yang terjebak dalam toxic relationship. Tapi mereka memilih bertahan. So, apapun alasan mereka untuk bertahan, kita harus menghormatinya, Nak. Butuh jiwa besar dan hati yang maha lapang, untuk menjalani sebuah toxic relationship."
"Kalau menurut Mama, orang yang dikit-dikit cerai itu gimana, Ma?"
"Kan dah dibilangin, alasan apapun yang melatar belakangi seseorang bertahan ataupun bercerai, hormatilah! Sesungguhnya kita ini tidak tahu apa-apa. Yang menjalanilah yang paling tahu. Kita tidak boleh men-judge siapapun. Ada yang tidak mau menghabiskan seluruh hidupnya, untuk mentolerir hal-hal yang tidak disuka dari pasangannya. Karena bagi mereka, bertahan seumur hidup itu terlalu lama. Sehingga mereka memilih bercerai. Ada satu lagi, bahwa sebuah perkara yang menurut awam dianggap sebagai perkara sepele, bisa jadi di mata orang lain, itu merupakan perkara besar. Begitu. Ada yang mau ditanyakan lagi, Sayang?"
"Gak ada sih, Ma. Hanya Miranda rasa, nanti bakalan repot deh hidup tanpa Papa."
"Ya, begitulah. Karena kita terbiasa berada di zona nyaman, Nak. Sudah ada yang mencarikan nafkah untuk kita berdua selama ini. Mama pun sejak wisuda belum pernah bekerja secara formal, karena langsung dilamar papamu. Ngomong-ngomong, inilah yang juga menjadi alasan sebagian perempuan yang masih mempertahankah toxic relationship dalam rumah tangganya. Nafkah. Apalagi jika seseorang itu tidak punya latar belakang pendidikan yang kurang memadai, tidak ada life skill, dan lain-lain. Maka, asal pasangan tidak kasar, tidak KDRT, sebejat apapun, mereka memilih menerima. Walaupun mereka menjalaninya dengan hati remuk redam."
"Seperti Mama?" Miranda balik bertanya.
Sang mama menundukkan kepalanya. Ia menjawab lirih, "Benar, Nak. Seperti Mama."
***
Sementara itu, pada jam yang sama, Aditama tengah membelai seorang gadis cantik bertubuh sintal di sebuah kamar. Mereka baru saja selesai bersenggama. Perempuan itu, Veronica. Dialah yang telah memikat hati Aditama, membuatnya tergila-gila setengah mati. Hingga membuatnya tega meninggalkan istri dan anaknya.
"Jadi kapan Mas mau menikahi Adik?" tanya perempuan itu, sembari membelai dada telanjang Aditama.
"Sabar, Sayangku! Hari ini, Mas sudah menghubungi pengacara yang akan membantu perceraian Mas. Sebentar lagi, kita akan bersatu selamanya. Dan ..." Aditama menggantung ucapannya, sengaja menggoda Veronica.
"Dan apa, Mas?" sergah Veronica tak sabar.
"Dan kita akan segera menikah, lalu kita akan bercinta kapan pun kita mau, Sayangku," ujar Aditama seraya merengkuh Veronica ke dalam pelukannya.Dan mereka pun kembali bercinta, seperti layaknya sepasang pengantin baru yang tengah dimabuk asmara.***"Sabar, ya, Nduk, Allah tidak akan menguji hamba-Nya, diluar batas kemampuannya," nasihat Nyonya Herlambang sambil mengelus-elus tangan Larasati--putrinya.Nyonya Herlambang--sang nenek--baru saja datang sore ini. Ia mendengar kemelut rumah tangga Larasati dari Mira--adik Larasati.Kini, mereka bertiga tengah duduk di ruang keluarga. Ditemani secangkir teh, puding, dan camilan dalam toples.Sementara Larasati masih terisak-isak sedari tadi.Di hadapan sang mama, ia tidak mampu berpura-pura tegar. Ia merasa menjadi anak kecil kembali. Pelukan sang mama selalu menjadi satu-satunya tempat terteduh di dunia, yang mampu menenteramkan hati yang tengah gundah gulana.Larasati meman
Hari ketiga pun sama saja. Tidak ada perubahan signifikan yang terjadi pada Larasati. Kondisinya tidak bertambah baik. Miranda pun segera berinisiatif menghubungi neneknya. Diceritakannya kondisi sang mama sekarang.Hari itu juga, nenek Miranda datang. Setelah meletakkan travelling bag di lantai ruang tengah, ia langsung berjalan menuju kamar anaknya. Nampak Larasati tengah berbaring di ranjang, dengan tatapan mata kosong menatap langit-langit kamar.Ia mendekati Larasati, lalu mencium pipinya sekilas. Membelai rambut Larasati yang kusut tak tersisir berhari-hari. Tidak hanya rambutnya yang kusut masai, pipinya pun sekarang menjadi semakin tirus. Ia jarang makan. Sekalinya mau makan, hanya sedikit sekali porsinya.Perempuan ayu berusia 60 tahun itu menghela napas panjang. "Owalah, Nduk, kok jadi seperti ini akhirnya. Ayo bangun, Nak, bangkitlah demi Miranda. Tak kasihankah engkau pada anak gadismu? Ia kebingungan, Nak. Ia baru saja kehilangan sosok ayahnya
"Lancar, Ma. Bu Maria bilang, Kak Laras sudah mulai menunjukkan kemajuan, walupun tidak signifikan. Bu Maria mengajak kita semua untuk tidak menyerah dalam usaha pemulihan Kak Laras. Dukungan keluarga adalah yang utama," jawab Mira, sambil menyesap teh hangatnya.Miranda menyimak percakapan nenek dan tantenya dengan seksama."Untung depresinya Kak Laras gak sampai bikin dia berniat bunuh diri ya, Ma? Kan ada tuh, yang sampai bunuh diri pasca perceraian.""Benar, Nduk. Rupanya, Laras termasuk tipe orang yang tidak bisa menerima kesedihan di luar ekspektasinya. Ia melampiaskan depresinya dengan berdiam diri, menangisi nasibnya diam-diam, dan tak mau berkomunikasi dengan yang lain. Tapi Mama yakin, dengan pendampingan dari kita, pasti Laras akan pulih seperti sedia kala. Ia hanya butuh untuk menyembuhkan lukanya," ujar Nyonya Herlambang panjang lebar.Miranda menatap neneknya. Ia bersyukur mempunyai seorang nenek yang pintar dan bijak. Yang bisa menjadi sand
Larasati menggelengkan kepalanya. "Tidak tahu, Ma. Mama sendiri tahu dari mana, Ma?""Dari Mira, Nduk. Tak biasanya, Aditama menelepon nomor adikmu. Ia menanyakan kabarmu dan Miranda.""Setelah tiga tahun baru menanyakan kabar kami? Hebat benar dia ... " Larasati mencibirkan bibirnya, lalu tertawa masam.Nyonya Herlambang memandangi putrinya dengan seksama. Ia menduga-duga, apakah rasa cintanya pada Aditama yang dulu menggebu-gebu, kini telah padam?"Ma, sejujurnya, kini Laras tidak peduli lagi dengan papanya Miranda. Dia mau nikah lagi kah, cerai lagi kah, menikah dengan empat wanita sekaligus pun, sungguh Laras tidak peduli. Di hati Laras hanya ada mama, Miranda. Kalianlah yang menjadi alasan terbaik bagi Laras untuk mampu bangkit dari keterpurukan Laras. Laras hidup untuk masa depan, bukan untuk masa lalu," ujar Larasati mantap.Sang mama merasa terharu. Ia senang, karena kini, Larasati telah menjadi lebih tangguh dan lebih realistis.
"Ma, tadi Tante Mira telepon. Katanya Minggu depan, Miranda disuruh ke Jogja, tasyakuran wisudanya Andri. Mama ikut kan?" ujar Miranda pada suatu malam."Enggak ah. Tolong sampaikan pada tantemu, Mama gak bisa ikut. Pinggang Mama capek banget kalau buat membonceng motor jauh-jauh," jawab sang mama."Kan Miranda bisa menyewa mobil, Ma. Atau nanti Miranda minta dijemput Om Heri aja biar Mama bisa ikut," ujar Miranda, merayu sang mama."Enggak ah. Sudah deh, Miranda saja yang berangkat. Mama titip salam saja. Oke?" Larasati tetap kekeuh dengan keputusannya.Miranda mengendikkan bahunya. "Ya, terserah Mama, deh."***"Hai, Cantik! Ayo masuk! Sorry ya, kali ini rumah Tante penuh banget".Miranda tersenyum. Ia mengedarkan pandangan, mencari sosok adik sepupunya, Andri. Setelah mengucapkan selamat pada Andri, Miranda keluar rumah melalui pintu belakang. Sumpek berada di dalam. Ia numpang duduk di teras tetangga belakang rumah tantenya.
"Eh, halo, Mas, ada apa?""Ini, saya mau mengembalikan obeng punya Mas Heri yang saya pinjam kemarin.""Ya, Mas, titipin saya saja gak apa-apa. Rumah lagi kosong soalnya.""Lagi pergi semua apa, Mbak?""Iya, Mas.""Ya, sudah, saya langsung pulang saja. Mari, Mbak ..."Miranda mengganggukkan kepalanya. Ia melepas kepergian Alex dengan senyum manis terkulum di bibir.Akhirnya, ia bisa bertemu lagi dengan pria itu. Miranda menyibakkan tirai dapur, mengintip dari kaca jendela. Terjadi pergulatan batin pada diri Miranda.Di satu sisi, ia ingin sekali mengobrol dengan Alex. Namun, di sisi lain ia menentang hal itu. Masih tergiang di ingatannya, ucapan sang tante beberapa waktu lalu, yang mengatakan bahwa Alex adalah lelaki yang sudah beristri. Miranda berjalan mondar-mandir di dapur, menimbang-nimbang apa yang akan dilakukannya."Selamat malam, Mas, boleh saya bergabung?" Dengan keberanian luar biasa, Miranda menyapa Alex.
"Enggak, Bu Edi. Rania masih di Salatiga, bulan depan mungkin nyusul saya ke sana." Alex menjelaskan pada Bu Edi, salah satu tetangga Alex dan Mira di kampung Gejayan."O, begitu. Ya, sudah, mari, Mas, Mbak, saya duluan," pamit Bu Edi pada Alex dan Miranda.Sepeninggal Bu Edi, Miranda memandang Alex, tatapan matanya seolah meminta penjelasan tentang sesuatu. Alex segera tanggap. "Rania itu nama istriku, Mir. Tadi malam belum sempat ngasih tahu kamu, tantemu dah manggil kamu."Miranda manggut-manggut, tanda mengerti."Boleh kulihat fotonya?"Alex segera mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Membuka galeri, lalu menunjukkan sebuah foto pada Miranda."Wow, cantik sekali. Anggun, berjilbab lagi. Cocok sama kamu, Mas." Miranda memuji istri Alex dengan sepenuh hati."Ah, bisa aja kamu, Mir." Alex tersipu, ia lalu mengalihkan arah pembicaraan. "Berhubung menurut pengakuanmu kamu ini jomlo, maka aku ingin mendengar cerita tentang kel
Miranda menyambar ponselnya dari kasur, lalu masuk kamar mandi. Ia me-reject panggilan dari Alex. Sebagai gantinya, ia mengiriminya sebuah pesan.[Sorry, gak bisa nerima telepon. Aku bangun kesiangan, lagi mau mandi.]Setelah mengamankan ponselnya, Miranda mulai mengguyuri tubuhnya. Ia berburu dengan waktu. Pukul setengah delapan, ia ada rapat penting dengan klien kantornya.Hari ini, Miranda sibuk sekali. Banyak pekerjaan kantor yang menumpuk, maklum banyak proyek baru. Tak terasa, jam dinding sudah menunjukkan pukul empat sore. Miranda bersorak. Finally! Ia segera membereskan mejanya, lalu berpamitan dengan Tita.***Dari jauh, Miranda melihat sosok Alex yang tengah menunggunya di lobi."Hai ...." sapanya pada Alex."Oh, hai ...." Alex segera bangkit dari kursi, lalu menyambut Miranda dengan mesra. Dirangkulnya gadis itu, lalu digandengnya menuju meja resepsionis.Setelah menerima kunci kamar, Alex membimbin
Sesampainya di rumah, Miranda langsung menemui sang mama.“Ma, besok pagi bantuin Miranda berkemas-kemas, ya!”Larasati nampak bingung. “Memangnya dah mau pindah?”“Iya, Ma. Miranda cocok sama pondok yang Tita bilangin kemarin. Miranda dah ketemu sama pemilik pondok. Mereka ramah sekali. Pokonya Miranda mantap mau mondok di situ,” ujar Miranda berapi-api.Larasati merasa terenyuh dengan tekad putrinya. “Kehidupan di pondok itu keras, Nak, jadwalnya padat. Kamu pandai-pandailah beradaptasi di sana.”“Iya, Ma,” jawab Miranda singkat.Tak terasa, sehari telah berlalu. Semua kebutuhan pokok Miranda selama akan berada di pondok, sudah dikemas dalam sebuah travelling bag. Sekarang, waktunya berangkat ke pondok, memulai hidup baru. Larasati memandangi putrinya dengan penuh kasih. Untuk sementara, ia akan berpisah dengan putrinya. Ia menahan air matanya agar tak tumpah. Ia tak ingin nampak
Lagi-lagi, Miranda terjaga dari tidurnya. Diliriknya jam dinding di kamarnya, masih jam dua pagi. 'Sialan!' rutuk Miranda dalam hati. Bagaiamana bisa ia mimpi buruk tiga hari berturut-turut dengan mimpi yang sama pula? Apakah ini hanya kebetulan semata? Ataukah sebuah pertanda buruk?Tiba-tiba, Miranda merasa ketakutan. Untuk pertama kalinya, ia melakukan salat malam--tahajud--untuk menenteramkan hatinya yang gelisah. Ia segera mengambil air wudhu, lalu memulai salatnya. Air matanya bercucuran, karena ia merasa bersalah, telah meninggalkan Allah selama ini. Ia bahkan melakukan zina hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya.Setelah selesai dua rakaat, ia pun berdoa memanjatkan doa, meminta ampun kepada Allah atas semua dosa-dosanya. Lalu ia pun duduk bersila, melafalkan zikir dengan bercucuran air mata. Ampuni aku, Ya Allah. Ampuni aku ....Malam itu, Miranda menghabiskan sisa malamnya dengan berzikir. Terus dan terus. Hingga ia jatuh tertelungkup di atas s
Miranda terjaga dari tidurnya. Ia bingung berada di mana. Kepalanya masih terasa sangat berat. Ia berusaha mengingat-ingat kejadian semalam. Lho, di mana Jatmiko? Miranda mengedarkan pandangannya ke kamar hotel. Tak nampak Jatmiko. Juga barang-barang yang kemarin sempat dilihatnya.Ketika hendak bangkit dari ranjang, ia terkejut mendapati dirinya telanjang. Ia juga merasakan nyeri pada alat kelaminnya. Karena penasaran, ia meraba bagian vitalnya. Ia terhenyak, ketika tangannya menyentuh lendir lengket di sekitar alat vitalnya.Miranda terhenyak, kembali membaringkan tubuhnya. Ia menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia berusaha melogika apa yang telah terjadi dengannya. Setelah beberapa lama berpikir dengan tenang, ia pun perlahan menangis. Ia tak menyangka, Jatmiko sebejat itu. Ia tak menyangka, Jatmiko tega menjebak, lalu memperkosanya.'Oh, bodohnya aku,' rutuk Miranda dalam hati. Ia sungguh menyesal, bertemu dengan Jatmiko. Ia menyesal kemarin dengan
Setelah sarapan bersama, mereka pun kembali berjalan menuju lokasi pantai. Jatmiko mengantarkan Miranda hingga tempat parkir."Daaah ... sampai jumpa nanti siang, ya!" pamit Miranda saat melewati Jatmiko. Pria itu sedang berjalan menuju mobilnya yang diparkir di area luar pantai. Jatmiko membalas lambaian tangan Miranda, lalu melanjutkan langkahnya.Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang, Miranda sudah siap pergi dengan Jatmiko. Ia membuka pesan di aplikasi WA, ada sebuah pesan dari Jatmiko, bahwa ia sedang dalam perjalanan menuju hotel tempat Miranda menginap. Miranda mengambil tas punggung kecilnya, lalu turun ke lobi. Ia akan menunggu Jatmiko di sana.Siang ini, suasana hotel agak sepi. Hanya ada beberapa pengunjung hotel terlihat duduk-duduk di lobi hotel. Hotel tempat Miranda memang dilengkapi dengan dua set sofa untuk duduk tamu-tamu hotel.Dari kejauhan, nampak seorang pria tampan berkulit coklat berambut semi gondrong ten
Setelah menarik napas panjang, Miranda pun mulai menceritakan kisahnya. Reno mendengarkan dengan penuh simpati.“Jadi, kamu sekarang merasa insecure karena kondisimu sekarang, ya, Mir?” Reno berkomentar.“Ya, begitulah. Aku merasa hina banget, Reno.”“Jangan terlalu dipikirkan, let the gone be by the gone, yang penting kamu sudah bertaubat, menyadari kesalahanmu.”“Eh, dah hampir jam 10, pulang, yuk. Panas gila di sini,” ujar Miranda, sambil melihat jam di ponselnya.“Langsung pulang ke Magelang?”“Enggak. Balik ke rumah tanteku dulu, entar sore baru balik Magelang.”“Ya udah, bye Miranda, nice to see you,” pamit Reno pada Miranda yang sedang berkemas.Reno beranjak meninggalkan Miranda. Miranda menyusul pergi kemudian. Miranda merasa simpati dengan kisah cinta pria itu. Ia tak bisa membayangkan kesedihan Reno yang harus kehilangan kekasih hati
Alex tertunduk lesu, mendengar jawaban Miranda. Ia tak menyangka, Miranda sedalam itu mencintai dirinya. "Maafkan aku, Mir, aku sudah merusak hidupmu.""Bukan salahmu, Alex. Aku juga salah. Cinta datang di saat yang tepat, itu saja. Kita berdua salah, karena mengikuti bisikan hawa nafsu. Memang sudah seharusnya kita berpisah.""Tapi kamu perempuan, Mir. Kamu rugi ....""Karena aku sudah tak virgin, maksudmu?"Alex menjawab lirih, "Iya, Mir."Miranda menitikkan air mata. "Itu sudah terjadi, Lex. Aditya, pacarku yang terakhir, dia adalah lelaki yang menjunjung tinggi norma susila, ia kecewa mengetahui aku sudah tidak suci lagi.""Ia langsung memutuskan hubungan kalian begitu saja?""Enggak. Aku yang memutuskan hubungan. Dia mau menerimaku apa adanya, walaupun aku tidak sesuai harapannya. Tapi aku memilih mundur.""Kenapa, Mir? Kan dia menerimamu apa adanya.""Jangan naif, Alex. Oke, saat ini dia bisa bilang kaya' gitu. Tap
"Kamu serius, Dik?"Miranda menggangguk, membenarkan. Ia lega, akhirnya bisa bicara jujur pada Aditya. Walaupun ia tahu, putus bisa menjadi resiko terbesarnya. Miranda melirik wajah Aditya yang pucat pasi."Mas kecewa, kan?""Terus terang, Mas sama sekali tidak menyangka, Dik."Miranda tersenyum kecut. "Jadi, kita resmi putus hari ini, Mas?""Loh, kok kamu bilang gitu, Dik?""Kan sudah jelas, aku tidak termasuk dalam kriteria calon istri idaman Mas Adit.""Tapi ... aku mencintaimu, Dik."Miranda menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia tak tahu harus berkomentar apa."Dik ... kalau misalnya aku tetap menerimamu apa adanya, bagaimana?""Jangan bercanda, Mas. Mas Adit bisa saja bicara seperti itu sekarang, tapi di kemudian hari, Mas bisa saja mengungkit aibku," tukas Miranda. "Aku sangat menghargai pengertianmu, Mas. Namun, kurasa, berpisah lebih baik untuk kita berdua.""Tidak, Dik. Aku mau me
Miranda tak habis pikir, bisa-bisanya Lintang mengabaikan chat WA darinya. Padahal, selama ini ia selalu mengutamakan kepentingan Lintang. 'Dasar egois', rutuk Miranda dalam hati.Miranda membulatkan tekad untuk berpisah dari Lintang secepatnya.[Lintang, aku ingin putus darimu, sekarang juga. Semua hadiah darimu, akan kukembalikan lagi. Tolong, jangan ganggu aku lagi. So sorry ....] Miranda mengirimkan pesan itu.Beberapa menit berlalu, Lintang tak jua membalas pesannya, padahal statusnya sudah centang biru. Miranda merasa kesal. Ia kesal pada Lintang, juga pada dirinya sendiri. Ia menyesal terlibat hubungan asmara dengan pria itu.Pukul enam kurang seperempat, Miranda menuju kasir kafe, membayar tagihan makanannya. Ketika ia hendak menstarter motornya, datanglah Lintang dengan wajah kaku menahan amarah."Cepat naik!" perintah Lintang, pada Miranda.Miranda terpaku di motornya. Namun, sedetik kemudian, ia menstarter motornya, ta
Miranda membalikkan tubuhnya. Ia menatap mata Alex dalam-dalam, terlihat ada pijar kerinduan di sana. Entah siapa yang memulai. Tahu-tahu, keduanya kini sudah berpelukan. Alex menciumi wajah ayu Miranda, dan berhenti di bibir gadis itu. Dipagutnya bibir gadis itu dengan mesra. Miranda merangkulkan tangannya di leher Alex, menikmati sentuhan Alex yang selama ini dirindukannya."I miss you so, Hun," bisik Alex di telinga Miranda.Nafsu Miranda terbakar. Ia membalas ciuman dan sentuhan Alex dengan agresif."Dasar jalang!" Terdengar seseorang mengumpat.Alex dan Miranda terkejut. Mereka segera menghentikan aksi mereka. Napas mereka berdua masih terengah-engah. Wajah Miranda merah padam, ia merasa sangat malu."Ini tak seperti yang kamu pikirkan, Rud," ujar Miranda lirih.Rudi tertawa. "Tak perlu khawatir, Miranda. Kamu boleh saja melakukan apapun yang kamu mau, kamu bebas sekarang. Kita putus mulai saat ini!""Sorry, Bro. Aku