"Enggak, Bu Edi. Rania masih di Salatiga, bulan depan mungkin nyusul saya ke sana." Alex menjelaskan pada Bu Edi, salah satu tetangga Alex dan Mira di kampung Gejayan.
"O, begitu. Ya, sudah, mari, Mas, Mbak, saya duluan," pamit Bu Edi pada Alex dan Miranda.
Sepeninggal Bu Edi, Miranda memandang Alex, tatapan matanya seolah meminta penjelasan tentang sesuatu. Alex segera tanggap. "Rania itu nama istriku, Mir. Tadi malam belum sempat ngasih tahu kamu, tantemu dah manggil kamu."
Miranda manggut-manggut, tanda mengerti.
"Boleh kulihat fotonya?"
Alex segera mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Membuka galeri, lalu menunjukkan sebuah foto pada Miranda.
"Wow, cantik sekali. Anggun, berjilbab lagi. Cocok sama kamu, Mas." Miranda memuji istri Alex dengan sepenuh hati.
"Ah, bisa aja kamu, Mir." Alex tersipu, ia lalu mengalihkan arah pembicaraan. "Berhubung menurut pengakuanmu kamu ini jomlo, maka aku ingin mendengar cerita tentang keluargamu. Apakah boleh?"
Setelah menarik napas panjang, Miranda menceritakan garis besar keluarganya.
Tentang perselingkuhan sang ayah, tentang mamanya yang menderita depresi berbulan-bulan pasca perceraiannya, kematian sang nenek, hingga kematian sang papa. Tak terasa, air mata bercucuran di pipi Miranda.
Alex meraih tangan Miranda, meremasnya dengan lembut. "Maaf, ya, aku bikin kamu nangis."
Miranda menggengkan kepalanya, seraya berucap, "Tidak apa-apa, Mas. Sudah lama berlalu, tapi saat menceritakan keadaan mama saat mengalami depresi, aku memang selalu menangis. Bagiku, itu adalah saat-saat tersulit dalam hidupku."
"Parah banget ya, kondisi mamamu saat itu?"
"Parah banget. Berbaring aja tiap hari, merenung, terus kadang nangis tiba-tiba. Kalau gak disuapi, ya gak mau makan. Bahwa akhirnya mamaku bisa pulih lagi seperti sedia kala, buatku merupakan anugerah terbesar dalam hidupku ...." Belum sempat Miranda menyelesaikan kalimatnya, ada yang membuka pagar dari luar.
"Lho, aku datang kok malah Mas Alex mau pergi? Sini dulu lah, terusin aja ngobrolnya," ujar Mira, sambil melepas sepatu kets-nya.
"Cuma ngobrol ngalor-ngidul kok, Mbak. Saya pamit, ya, Mbak. Mari semuanya ...." Alex berpamitan pada Mira dan Miranda.
Miranda memberi kode kepada Alex jika nanti ia akan mengubunginya via ponsel. Alex menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
Pukul 10 pagi, Miranda mengambil ponselnya.
[Aku boleh ke rumahmu gak, Mas?] Miranda menulis pesan, lalu dikirimkan kepada Alex.
[Boleh, dong. Langsung masuk rumah saja, ya. Pintunya gak dikunci.] balasan dari Alex.
Miranda segera beranjak keluar kamar, lalu berpamitan pada sang tante.
"Nonton apa, Mas?" sapa Miranda pada Alex yang tengah asyik menonton sebuah film di laptopnya.
"Film lama, 'The curious case of Benjamin Button'. Tahu film-nya gak?" jawab Alex seraya mengajak Miranda duduk di sampingnya. Miranda menggelengkan kepalanya, ia memang jarang nonton film. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca.
Mereka berdua duduk di lantai, menekuri laptop yang diletakkan Alex di meja ruang tengah.
"Mau minum apa, Mir?"
"Gak usah deh. Makasih."
Mereka melanjutkan menonton film. " Cantik banget ya, yang jadi Daisy. Keren banget lah aktingnya Brad Pitt." Miranda mengomentari film itu.
"Masih cantikan kamu, kok."
Miranda terbahak. Ditatapnya Alex, seraya berkata, "Gombal mukiyo!"
Alex tertawa. "Lha wong kenyataan, kok malah dibilang gombal."
Mereka kembali melanjutkan menonton. Alur cerita yang romantis, membuat mereka semakin terhanyut. Pada saat Miranda menitikkan air mata karena sebuah adegan sedih, Alex tak segan-segan mengusap air mata Miranda. Lalu diusapnya rambut gadis itu.
Anehnya, Miranda tak mampu menolak perlakuan manis Alex padanya. Ia justru malah menikmatinya. Miranda merasa ada sesuatu yang salah, yang seharusnya tak ia lakukan, tapi ia tak mampu melawannya. Hingga pada suatu ketika, tiba-tiba Alex merengkuh Miranda ke dalam pelukannya, lalu melumat bibir gadis itu dengan penuh gairah.
Miranda terperangah. Terpaku. Tak tahu harus berbuat apa. Tapi salah satu sisi hatinya menjerit, meminta Miranda untuk tidak menolak Alex. Miranda pun membalas ciuman Alex. Bibir keduanya saling berpagutan. Miranda merasakan darahnya berdesir, jantungnya berdegup kencang, merasakan sensasi aneh akibat berciuman dengan Alex.
Alex melepaskan pagutannya. Ia merengkuh kedua tangan Miranda, diletakkannya di dadanya. "A-aku minta maaf, Miranda. Ini terjadi begitu saja. Aku tidak bisa mengendalikan diriku. I'm so sorry ...."
Miranda tersipu.
"It's oke. Aku menikmatinya kok. Dalam hal ini, aku juga bersalah." Miranda menundukkan kepalanya.
"Aku tidak tahu. Sepertinya kamu telah membiusku, Mir. Kamu membuatku terpesona. Kurasa ... mmm ... kurasa, aku sudah jatuh cinta padamu, Mir." Alex tergagap-gagap mengungkapkannya perasaannya.
Miranda terlonjak. Ia tak menyangka Alex secepat ini bertindak, mengungkapkan isi hatinya pada dirinya.
"Sebenarnya, a-aku ... mmm ... aku datang ke Jogja hanya untuk sekedar bisa melihatmu, Mas." Miranda mengungkapkan isi hatinya, dengan kepala tertunduk malu.
"Really?"
Miranda mengganggukkan kepalanya. Alex mengajak gadis itu berdiri. Lalu direngkuhnya lagi gadis itu ke dalam pelukannya. Bibir mereka kembali berpagutan. Kedua tangan Miranda memeluk erat leher Alex. Kedua tangan Alex mengelus lembut rambut Miranda yang tergerai. Lalu turun, menggerayangi punggung Miranda, mengelus-elusnya dengan lembut.
Alex dan Miranda semakin terlarut dalam buaian api asmara yang tengah membakar keduanya. Alex menelusupkan kedua tangannya ke dalam kaos Miranda. Bibirnya kini menciumi leher Miranda yang jenjang. Lalu kembali lagi memagut bibir Miranda dengan penuh nafsu.
Miranda terhanyut ke dalam suatu sensasi rasa yang luar biasa, yang baru pertama kali ini dirasakannya. Ia menikmati setiap sentuhan Alex. Napas keduanya memburu. Ketika Alex tengah meremas dada Miranda, terdengar suara yang sangat berisik dari arah rumah tetangga Alex.
Praaang
Alex dan Miranda sama-sama tersentak. Mereka saling berpandangan. Napas mereka masih memburu.
"So sorry, aku tidak bisa menahan nafsuku. Aku tidak bermaksud melecehkanmu, memanfaatkammu atau apalah. I'm so sorry, Miranda ...." Alex menundukkan kepalanya. Ia berusaha mati-matian memadamkan napsu kejantanannya yang masih membara, menuntut kepuasan. Keringat mengalir dari pelipisnya. Ia merasa bersalah pada Miranda. Dengan susah payah, ia mengatur laju napasnya.
Miiranda tertunduk lesu. "Aku ingin mengatakan sesuatu, Alex. Kuharap setelah mendengar pengakuanku, kamu tidak serta-merta menganggapku wanita murahan."
"Katakanlah, Mir ...."
"A-a-aku, aku tidak menyesal, Mas. Sama sekali tidak menyesal. Aku justru menikmatinya. Aku mencintaimu, Alex. Aku mencintaimu sejak pertama kali aku melihatmu. Mungkin terdengar naif, tapi itulah faktanya."
Mereka kembali berpelukan, saling membelai, dan berciuman lagi. Kali ini, lebih hangat dan lebih intens.
"Sudah jam setengah 12, Mas. Kamu harus siap-siap berangkat kerja kan?" Miranda mengingatkan Alex, ia menarik bibirnya dari pagutan Alex.
Alex melirik jam dinding. Ah, sialan. Seandainya saja hari ini tak ada rapat, tentu ia akan memilih menghabiskan hari ini dengan Miranda. "Jadi, ini pertemuan terakhir kita hari ini? Tidak bisakah kamu menginap lagi, Mir?"
Miranda menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa, Mas. Besok kerjaanku banyak."
"Tapi kita akan tetap berhubungan, kan? Aku ingin bertemu denganmu lagi, secepatnya."
Miranda meraih tangan Alex, menggengamnya erat. "Just call me, oke? We're gonna meet again, soon. I promise you."
"Halah, gombal mukiyo!"
Miranda terkekeh. Setelah itu, ia berpamitan. "Ya udah, aku pulang dulu, ya, Mas."
"Oke, and please be careful. I'm gonna miss you soon. Dan ..."
"Apa, Mas?"
"Panggil aku Alex saja, ya. Gak pakai 'Mas', deal?"
Miranda mengedipkan sebelah matanya, tanda setuju. Ia lalu kembali ke rumah sang tante. Makan siang, istirahat sebentar, lalu pamit pulang ke Magelang lebih awal. Untuk apa berlama-lama di rumah sang tante, jika sudah tidak bisa bertemu Alex lagi.
***
Beberapa hari setelah di rumah, Larasati merasa heran, sejak kepulangannya dari Jogja, ia melihat anak gadisnya begitu ceria. Selalu tersenyum, tidak pernah merengut sama sekali.
"Mama perhatikan, akhir-akhir ini kamu selalu ceria, Nak. Mau cerita sama Mama, Sayang?" Larasati penasaran, ia berusaha mengorek keterangan dari Miranda.
"Tidak ada apa-apa, Mama. Miranda gak menyembunyikan sesuatu pun dari Mama." Miranda mengelak, padahal dalam hatinya ia menyesal karena harus berbohong pada sang mama.
Larasati memasang wajah tak percaya. Miranda pun merajuk. "Ah, Mama ...."
Larasati hanya geleng-geleng kepala, melihat tingah anaknya. 'Anakku sedang jatuh cinta', ujar Larasati dalam hati. Ia pun tersenyum lega.
Di kamarnya, Miranda tengah berbalasan pesan di aplikasi WA dengan Alex.
[Jangan lupa, jam 5 sore. Di lobi hotel Orchid. I miss you so much.] pesan dari Alex.
[Can't wait. Miss you too.] Miranda menambahkan emot love, lalu menekan tanda kirim.
Masih centang dua, mungkin Alex masih sibuk, tak bisa sering-sering membuka ponselnya. Miranda merasa gelisah di kamarnya. Berulangkali ia membalikkan tubuhnya di ranjang. Ia merindukan Alex setengah mati. Ia merindukan belaian Alex, ciuman Alex yang sanggup membakar tubuhnya.
Ia tak sabar menunggu besok sore. Baginya, itu terlalu lama. Dibukanya lagi ponselnya, sudah centang biru. Ia lega. 'See you soon, Alex', ucapnya dalam hati.
Malam itu Miranda memutar 'Arms' dari ponselnya, untuk menemaninya tidur. Malam semakin larut. Miranda tengah tertidur nyenyak, ia memimpikan Alex. Sayup-sayup, terdengar alunan merdu dari Christina Perry dari kamar Miranda.
I never thought that You
would be the one to hold my heart
But you came around
And you knocked me off the ground
from the start
You put your arms around me
And I believe that it's easier for you
to let me go
You put your arms around me
and I'm home
How many times will let you
me change my mind and turn around
I can't decide if I'll let you
save my life or if I'll drown
I hope that you see right through my walls
I hope that you catch me, 'cause I'm already falling
I'll never let a love get so close
You put your arms around me and I'm home
The world is coming down on me
And I can't find a reason to be loved
I never wanna leave you
But I can't make you bleed if I'm alone
You put your arms around me
And I believe that it's easier for you to let me go
I hope that you see right through my walls
I hope that you catch me, 'cause I'm already falling
I'll never let a love get so close
You put your arms around me and I'm home
I tried my best to never let you in to see the truth
And I've never opened up
I've never truly loved 'till you put your arms around me
And I believe that it's easier for you to let me go
I hope that you see right through my walls
I hope that you catch me, 'cause I'm already falling
I'll never let a love get so close
You put your arms around me and I'm home
You put your arms around me
and I'm home
***
"Bangun, Nak! Sudah jam tujuh pagi sekarang." Larasati mengetuk pintu kamar Miranda.
Tidak ada jawaban. Dipanggilnya sekali lagi, masih tak ada jawaban lagi. Dibukanya pintu kamar, terlihat Miranda masih tertidur pulas.
"Bangun, Nak. Sudah siang." Larasati menowel tubuh Miranda beberapa kali.
Miranda menggeliat, menguap lebar, lalu duduk di ranjang. Sambil mengucek-ucek mata, ia bertanya pada sang mama, "Jam berapa ini, Ma?"
"Jam tujuh lebih. Ayo cepetan mandi. Katanya ada meeting hari ini," jawab Larasati sambil merapikan kasur anaknya.
Ketika Miranda hendak keluar kamar, ponselnya berbunyi, terdengar dering nada panggil.
"Nduk, ini ada telepon dari Alex." Teriak sang mama pada Miranda.
Miranda seketika menghentikan langkahnya. Waduh, bagaimana ini?
Miranda menyambar ponselnya dari kasur, lalu masuk kamar mandi. Ia me-reject panggilan dari Alex. Sebagai gantinya, ia mengiriminya sebuah pesan.[Sorry, gak bisa nerima telepon. Aku bangun kesiangan, lagi mau mandi.]Setelah mengamankan ponselnya, Miranda mulai mengguyuri tubuhnya. Ia berburu dengan waktu. Pukul setengah delapan, ia ada rapat penting dengan klien kantornya.Hari ini, Miranda sibuk sekali. Banyak pekerjaan kantor yang menumpuk, maklum banyak proyek baru. Tak terasa, jam dinding sudah menunjukkan pukul empat sore. Miranda bersorak. Finally! Ia segera membereskan mejanya, lalu berpamitan dengan Tita.***Dari jauh, Miranda melihat sosok Alex yang tengah menunggunya di lobi."Hai ...." sapanya pada Alex."Oh, hai ...." Alex segera bangkit dari kursi, lalu menyambut Miranda dengan mesra. Dirangkulnya gadis itu, lalu digandengnya menuju meja resepsionis.Setelah menerima kunci kamar, Alex membimbin
"Secepatnya, Sayang. You know lah, aku harus jauh lebih berhati-hati sekarang, agar Rania gak curiga. Kemarin, ketika aku tidur, aku melihatnya menggeledah saku-saku celanaku, lalu menciumi bajuku. Sepertinya dia lagi nyari jejak."Miranda tercenung. "Don't forget to always clear out chat, Alex. Juga panggilan-panggilan. Bersihin galerimu juga, ya. Jangan sampai ada fotoku di sana. I don't want to lose you, Alex. I love you so much.""I love you too, Hun. So, jangan ngambek ya, kalau kita sekarang gak bisa seperti dulu lagi, gak bisa jalan-jalan berdua kemana-mana sesuka hati, juga check-in di hotel seharian."Miranda menarik napas panjang. "It's oke. Kita jalani dulu apa yang ada."Setelah itu keduanya pun berpisah. Alex melarikan motornya ke arah Jogja, sementara Miranda ke arah Magelang.Pukul satu dini hari, Miranda baru sampai di rumahnya. Ia segera mengeluarkan kunci cadangan. Membuka pintu rumah, lalu masuk ke kamarnya. Segera setelah
"Tinggalkan Alex, Mir. Rania sangat menderita. Percayalah. Kamu gak pingin kan lihat dia frustasi seperti mamamu dulu?"Miranda menggelengkan kepalanya. "Tapi, Tante, Miranda sangat mencintai Alex. Miranda tak yakin bisa segera melupakan Alex.""Berusahalah. Kamu mencintai orang yang salah, itu masalahnya.""Ini tidak adil, Tante. Kami saling mencintai satu sama lain.""Bagaimanapun juga, merusak rumah tangga orang lain itu salah, Mir. Itu perbuatan hina. Dari awal seharusnya engkau menyadari hal itu. Lalu padamkanlah api cinta itu, sebelum menjadi besar, dan akhirnya menghanguskan dirimu sendiri.""Baik, Tante. Miranda akan belajar melupakan Alex."Setelah selesai menasihati Miranda, Mira menemui kakaknya yang sedang mengobrol dengan suaminya di ruang tengah."Ada apa, to, Mir? Kalian membicarakan apa?" desak Larasati pada adiknya."Sebuah masalah, Kak. Namun, Kakak yak perlu khawatir, Mira sudah selesaikan masalahnya."
"Aku berangkat kerja, ya, Sayang ... "Pamit Alex pada Rania, yang masih tergolek di atas ranjang. Rania menarik lagi selimutnya, berusaha menutupi bagian tubuhnya yang terbuka. Karena setelah Subuh tadi, Alex mengajaknya bersenggama. Rania tahu, Alex masih menyimpan kontak Miranda, tapi ia membiarkannya saja.Ia percaya penuh pada Alex. Benar, Alex pernah khilaf dan menjalin hubungan asmara beberapa lama dengan gadis itu. Tapi toh semuanya telah berlalu. Alex telah kembali lagi padanya. Ia juga yakin, Miranda akan segera menemukan lelaki lain yang akan menggantikan posisi Alex.Benar dugaan Rania, karena saat ini, Miranda tengah memadu asmaranya yang menggebu-gebu dengan pacar barunya, Ferdian. Mereka tengah bergumul di ranjang hotel tempat mereka menginap. Miranda tengah berjuang melupakan cinta pertamanya dengan Alex, dengan caranya sendiri.Memikirkan Alex terus-terusan benar-benar membuat Miranda frustasi. Siang malam ia selalu merindukan senyuma
Miranda membalikkan tubuhnya. Ia menatap mata Alex dalam-dalam, terlihat ada pijar kerinduan di sana. Entah siapa yang memulai. Tahu-tahu, keduanya kini sudah berpelukan. Alex menciumi wajah ayu Miranda, dan berhenti di bibir gadis itu. Dipagutnya bibir gadis itu dengan mesra. Miranda merangkulkan tangannya di leher Alex, menikmati sentuhan Alex yang selama ini dirindukannya."I miss you so, Hun," bisik Alex di telinga Miranda.Nafsu Miranda terbakar. Ia membalas ciuman dan sentuhan Alex dengan agresif."Dasar jalang!" Terdengar seseorang mengumpat.Alex dan Miranda terkejut. Mereka segera menghentikan aksi mereka. Napas mereka berdua masih terengah-engah. Wajah Miranda merah padam, ia merasa sangat malu."Ini tak seperti yang kamu pikirkan, Rud," ujar Miranda lirih.Rudi tertawa. "Tak perlu khawatir, Miranda. Kamu boleh saja melakukan apapun yang kamu mau, kamu bebas sekarang. Kita putus mulai saat ini!""Sorry, Bro. Aku
Miranda tak habis pikir, bisa-bisanya Lintang mengabaikan chat WA darinya. Padahal, selama ini ia selalu mengutamakan kepentingan Lintang. 'Dasar egois', rutuk Miranda dalam hati.Miranda membulatkan tekad untuk berpisah dari Lintang secepatnya.[Lintang, aku ingin putus darimu, sekarang juga. Semua hadiah darimu, akan kukembalikan lagi. Tolong, jangan ganggu aku lagi. So sorry ....] Miranda mengirimkan pesan itu.Beberapa menit berlalu, Lintang tak jua membalas pesannya, padahal statusnya sudah centang biru. Miranda merasa kesal. Ia kesal pada Lintang, juga pada dirinya sendiri. Ia menyesal terlibat hubungan asmara dengan pria itu.Pukul enam kurang seperempat, Miranda menuju kasir kafe, membayar tagihan makanannya. Ketika ia hendak menstarter motornya, datanglah Lintang dengan wajah kaku menahan amarah."Cepat naik!" perintah Lintang, pada Miranda.Miranda terpaku di motornya. Namun, sedetik kemudian, ia menstarter motornya, ta
"Kamu serius, Dik?"Miranda menggangguk, membenarkan. Ia lega, akhirnya bisa bicara jujur pada Aditya. Walaupun ia tahu, putus bisa menjadi resiko terbesarnya. Miranda melirik wajah Aditya yang pucat pasi."Mas kecewa, kan?""Terus terang, Mas sama sekali tidak menyangka, Dik."Miranda tersenyum kecut. "Jadi, kita resmi putus hari ini, Mas?""Loh, kok kamu bilang gitu, Dik?""Kan sudah jelas, aku tidak termasuk dalam kriteria calon istri idaman Mas Adit.""Tapi ... aku mencintaimu, Dik."Miranda menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia tak tahu harus berkomentar apa."Dik ... kalau misalnya aku tetap menerimamu apa adanya, bagaimana?""Jangan bercanda, Mas. Mas Adit bisa saja bicara seperti itu sekarang, tapi di kemudian hari, Mas bisa saja mengungkit aibku," tukas Miranda. "Aku sangat menghargai pengertianmu, Mas. Namun, kurasa, berpisah lebih baik untuk kita berdua.""Tidak, Dik. Aku mau me
Alex tertunduk lesu, mendengar jawaban Miranda. Ia tak menyangka, Miranda sedalam itu mencintai dirinya. "Maafkan aku, Mir, aku sudah merusak hidupmu.""Bukan salahmu, Alex. Aku juga salah. Cinta datang di saat yang tepat, itu saja. Kita berdua salah, karena mengikuti bisikan hawa nafsu. Memang sudah seharusnya kita berpisah.""Tapi kamu perempuan, Mir. Kamu rugi ....""Karena aku sudah tak virgin, maksudmu?"Alex menjawab lirih, "Iya, Mir."Miranda menitikkan air mata. "Itu sudah terjadi, Lex. Aditya, pacarku yang terakhir, dia adalah lelaki yang menjunjung tinggi norma susila, ia kecewa mengetahui aku sudah tidak suci lagi.""Ia langsung memutuskan hubungan kalian begitu saja?""Enggak. Aku yang memutuskan hubungan. Dia mau menerimaku apa adanya, walaupun aku tidak sesuai harapannya. Tapi aku memilih mundur.""Kenapa, Mir? Kan dia menerimamu apa adanya.""Jangan naif, Alex. Oke, saat ini dia bisa bilang kaya' gitu. Tap
Sesampainya di rumah, Miranda langsung menemui sang mama.“Ma, besok pagi bantuin Miranda berkemas-kemas, ya!”Larasati nampak bingung. “Memangnya dah mau pindah?”“Iya, Ma. Miranda cocok sama pondok yang Tita bilangin kemarin. Miranda dah ketemu sama pemilik pondok. Mereka ramah sekali. Pokonya Miranda mantap mau mondok di situ,” ujar Miranda berapi-api.Larasati merasa terenyuh dengan tekad putrinya. “Kehidupan di pondok itu keras, Nak, jadwalnya padat. Kamu pandai-pandailah beradaptasi di sana.”“Iya, Ma,” jawab Miranda singkat.Tak terasa, sehari telah berlalu. Semua kebutuhan pokok Miranda selama akan berada di pondok, sudah dikemas dalam sebuah travelling bag. Sekarang, waktunya berangkat ke pondok, memulai hidup baru. Larasati memandangi putrinya dengan penuh kasih. Untuk sementara, ia akan berpisah dengan putrinya. Ia menahan air matanya agar tak tumpah. Ia tak ingin nampak
Lagi-lagi, Miranda terjaga dari tidurnya. Diliriknya jam dinding di kamarnya, masih jam dua pagi. 'Sialan!' rutuk Miranda dalam hati. Bagaiamana bisa ia mimpi buruk tiga hari berturut-turut dengan mimpi yang sama pula? Apakah ini hanya kebetulan semata? Ataukah sebuah pertanda buruk?Tiba-tiba, Miranda merasa ketakutan. Untuk pertama kalinya, ia melakukan salat malam--tahajud--untuk menenteramkan hatinya yang gelisah. Ia segera mengambil air wudhu, lalu memulai salatnya. Air matanya bercucuran, karena ia merasa bersalah, telah meninggalkan Allah selama ini. Ia bahkan melakukan zina hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya.Setelah selesai dua rakaat, ia pun berdoa memanjatkan doa, meminta ampun kepada Allah atas semua dosa-dosanya. Lalu ia pun duduk bersila, melafalkan zikir dengan bercucuran air mata. Ampuni aku, Ya Allah. Ampuni aku ....Malam itu, Miranda menghabiskan sisa malamnya dengan berzikir. Terus dan terus. Hingga ia jatuh tertelungkup di atas s
Miranda terjaga dari tidurnya. Ia bingung berada di mana. Kepalanya masih terasa sangat berat. Ia berusaha mengingat-ingat kejadian semalam. Lho, di mana Jatmiko? Miranda mengedarkan pandangannya ke kamar hotel. Tak nampak Jatmiko. Juga barang-barang yang kemarin sempat dilihatnya.Ketika hendak bangkit dari ranjang, ia terkejut mendapati dirinya telanjang. Ia juga merasakan nyeri pada alat kelaminnya. Karena penasaran, ia meraba bagian vitalnya. Ia terhenyak, ketika tangannya menyentuh lendir lengket di sekitar alat vitalnya.Miranda terhenyak, kembali membaringkan tubuhnya. Ia menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia berusaha melogika apa yang telah terjadi dengannya. Setelah beberapa lama berpikir dengan tenang, ia pun perlahan menangis. Ia tak menyangka, Jatmiko sebejat itu. Ia tak menyangka, Jatmiko tega menjebak, lalu memperkosanya.'Oh, bodohnya aku,' rutuk Miranda dalam hati. Ia sungguh menyesal, bertemu dengan Jatmiko. Ia menyesal kemarin dengan
Setelah sarapan bersama, mereka pun kembali berjalan menuju lokasi pantai. Jatmiko mengantarkan Miranda hingga tempat parkir."Daaah ... sampai jumpa nanti siang, ya!" pamit Miranda saat melewati Jatmiko. Pria itu sedang berjalan menuju mobilnya yang diparkir di area luar pantai. Jatmiko membalas lambaian tangan Miranda, lalu melanjutkan langkahnya.Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang, Miranda sudah siap pergi dengan Jatmiko. Ia membuka pesan di aplikasi WA, ada sebuah pesan dari Jatmiko, bahwa ia sedang dalam perjalanan menuju hotel tempat Miranda menginap. Miranda mengambil tas punggung kecilnya, lalu turun ke lobi. Ia akan menunggu Jatmiko di sana.Siang ini, suasana hotel agak sepi. Hanya ada beberapa pengunjung hotel terlihat duduk-duduk di lobi hotel. Hotel tempat Miranda memang dilengkapi dengan dua set sofa untuk duduk tamu-tamu hotel.Dari kejauhan, nampak seorang pria tampan berkulit coklat berambut semi gondrong ten
Setelah menarik napas panjang, Miranda pun mulai menceritakan kisahnya. Reno mendengarkan dengan penuh simpati.“Jadi, kamu sekarang merasa insecure karena kondisimu sekarang, ya, Mir?” Reno berkomentar.“Ya, begitulah. Aku merasa hina banget, Reno.”“Jangan terlalu dipikirkan, let the gone be by the gone, yang penting kamu sudah bertaubat, menyadari kesalahanmu.”“Eh, dah hampir jam 10, pulang, yuk. Panas gila di sini,” ujar Miranda, sambil melihat jam di ponselnya.“Langsung pulang ke Magelang?”“Enggak. Balik ke rumah tanteku dulu, entar sore baru balik Magelang.”“Ya udah, bye Miranda, nice to see you,” pamit Reno pada Miranda yang sedang berkemas.Reno beranjak meninggalkan Miranda. Miranda menyusul pergi kemudian. Miranda merasa simpati dengan kisah cinta pria itu. Ia tak bisa membayangkan kesedihan Reno yang harus kehilangan kekasih hati
Alex tertunduk lesu, mendengar jawaban Miranda. Ia tak menyangka, Miranda sedalam itu mencintai dirinya. "Maafkan aku, Mir, aku sudah merusak hidupmu.""Bukan salahmu, Alex. Aku juga salah. Cinta datang di saat yang tepat, itu saja. Kita berdua salah, karena mengikuti bisikan hawa nafsu. Memang sudah seharusnya kita berpisah.""Tapi kamu perempuan, Mir. Kamu rugi ....""Karena aku sudah tak virgin, maksudmu?"Alex menjawab lirih, "Iya, Mir."Miranda menitikkan air mata. "Itu sudah terjadi, Lex. Aditya, pacarku yang terakhir, dia adalah lelaki yang menjunjung tinggi norma susila, ia kecewa mengetahui aku sudah tidak suci lagi.""Ia langsung memutuskan hubungan kalian begitu saja?""Enggak. Aku yang memutuskan hubungan. Dia mau menerimaku apa adanya, walaupun aku tidak sesuai harapannya. Tapi aku memilih mundur.""Kenapa, Mir? Kan dia menerimamu apa adanya.""Jangan naif, Alex. Oke, saat ini dia bisa bilang kaya' gitu. Tap
"Kamu serius, Dik?"Miranda menggangguk, membenarkan. Ia lega, akhirnya bisa bicara jujur pada Aditya. Walaupun ia tahu, putus bisa menjadi resiko terbesarnya. Miranda melirik wajah Aditya yang pucat pasi."Mas kecewa, kan?""Terus terang, Mas sama sekali tidak menyangka, Dik."Miranda tersenyum kecut. "Jadi, kita resmi putus hari ini, Mas?""Loh, kok kamu bilang gitu, Dik?""Kan sudah jelas, aku tidak termasuk dalam kriteria calon istri idaman Mas Adit.""Tapi ... aku mencintaimu, Dik."Miranda menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia tak tahu harus berkomentar apa."Dik ... kalau misalnya aku tetap menerimamu apa adanya, bagaimana?""Jangan bercanda, Mas. Mas Adit bisa saja bicara seperti itu sekarang, tapi di kemudian hari, Mas bisa saja mengungkit aibku," tukas Miranda. "Aku sangat menghargai pengertianmu, Mas. Namun, kurasa, berpisah lebih baik untuk kita berdua.""Tidak, Dik. Aku mau me
Miranda tak habis pikir, bisa-bisanya Lintang mengabaikan chat WA darinya. Padahal, selama ini ia selalu mengutamakan kepentingan Lintang. 'Dasar egois', rutuk Miranda dalam hati.Miranda membulatkan tekad untuk berpisah dari Lintang secepatnya.[Lintang, aku ingin putus darimu, sekarang juga. Semua hadiah darimu, akan kukembalikan lagi. Tolong, jangan ganggu aku lagi. So sorry ....] Miranda mengirimkan pesan itu.Beberapa menit berlalu, Lintang tak jua membalas pesannya, padahal statusnya sudah centang biru. Miranda merasa kesal. Ia kesal pada Lintang, juga pada dirinya sendiri. Ia menyesal terlibat hubungan asmara dengan pria itu.Pukul enam kurang seperempat, Miranda menuju kasir kafe, membayar tagihan makanannya. Ketika ia hendak menstarter motornya, datanglah Lintang dengan wajah kaku menahan amarah."Cepat naik!" perintah Lintang, pada Miranda.Miranda terpaku di motornya. Namun, sedetik kemudian, ia menstarter motornya, ta
Miranda membalikkan tubuhnya. Ia menatap mata Alex dalam-dalam, terlihat ada pijar kerinduan di sana. Entah siapa yang memulai. Tahu-tahu, keduanya kini sudah berpelukan. Alex menciumi wajah ayu Miranda, dan berhenti di bibir gadis itu. Dipagutnya bibir gadis itu dengan mesra. Miranda merangkulkan tangannya di leher Alex, menikmati sentuhan Alex yang selama ini dirindukannya."I miss you so, Hun," bisik Alex di telinga Miranda.Nafsu Miranda terbakar. Ia membalas ciuman dan sentuhan Alex dengan agresif."Dasar jalang!" Terdengar seseorang mengumpat.Alex dan Miranda terkejut. Mereka segera menghentikan aksi mereka. Napas mereka berdua masih terengah-engah. Wajah Miranda merah padam, ia merasa sangat malu."Ini tak seperti yang kamu pikirkan, Rud," ujar Miranda lirih.Rudi tertawa. "Tak perlu khawatir, Miranda. Kamu boleh saja melakukan apapun yang kamu mau, kamu bebas sekarang. Kita putus mulai saat ini!""Sorry, Bro. Aku