Lagi-lagi, Miranda terjaga dari tidurnya. Diliriknya jam dinding di kamarnya, masih jam dua pagi. 'Sialan!' rutuk Miranda dalam hati. Bagaiamana bisa ia mimpi buruk tiga hari berturut-turut dengan mimpi yang sama pula? Apakah ini hanya kebetulan semata? Ataukah sebuah pertanda buruk?
Tiba-tiba, Miranda merasa ketakutan. Untuk pertama kalinya, ia melakukan salat malam--tahajud--untuk menenteramkan hatinya yang gelisah. Ia segera mengambil air wudhu, lalu memulai salatnya. Air matanya bercucuran, karena ia merasa bersalah, telah meninggalkan Allah selama ini. Ia bahkan melakukan zina hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya.
Setelah selesai dua rakaat, ia pun berdoa memanjatkan doa, meminta ampun kepada Allah atas semua dosa-dosanya. Lalu ia pun duduk bersila, melafalkan zikir dengan bercucuran air mata. Ampuni aku, Ya Allah. Ampuni aku ....
Malam itu, Miranda menghabiskan sisa malamnya dengan berzikir. Terus dan terus. Hingga ia jatuh tertelungkup di atas s
Sesampainya di rumah, Miranda langsung menemui sang mama.“Ma, besok pagi bantuin Miranda berkemas-kemas, ya!”Larasati nampak bingung. “Memangnya dah mau pindah?”“Iya, Ma. Miranda cocok sama pondok yang Tita bilangin kemarin. Miranda dah ketemu sama pemilik pondok. Mereka ramah sekali. Pokonya Miranda mantap mau mondok di situ,” ujar Miranda berapi-api.Larasati merasa terenyuh dengan tekad putrinya. “Kehidupan di pondok itu keras, Nak, jadwalnya padat. Kamu pandai-pandailah beradaptasi di sana.”“Iya, Ma,” jawab Miranda singkat.Tak terasa, sehari telah berlalu. Semua kebutuhan pokok Miranda selama akan berada di pondok, sudah dikemas dalam sebuah travelling bag. Sekarang, waktunya berangkat ke pondok, memulai hidup baru. Larasati memandangi putrinya dengan penuh kasih. Untuk sementara, ia akan berpisah dengan putrinya. Ia menahan air matanya agar tak tumpah. Ia tak ingin nampak
"Dasar bajingan tak tahu diri! Tak tahu malu! Berani-beraninya kamu selingkuh lagi di belakangku!" Larasati meneriaki suaminya, Aditama."Jangan asal tuduh! Minggir Laras, aku ngantuk mau tidur. Malam-malam ngajakin ribut!" Aditama mendorong tubuh istrinya dari depan pintu."Terang aja ngantuk, jam dua pagi baru pulang. Berapa ronde tadi kamu bergumul dengan perempuan jalangmu, hah!" Larasati bergeming, ia berusaha menghalangi langkah Aditama."Diam, Laras! Pelankan suaramu. Malu kan, kalau Miranda dengar?" Tegur Aditama."Hahaha ... sungguh lucu. Seharusnya, kamu yang malu dengan kelakuanmu, bukan aku! Anakmu sudah menginjak remaja, Pa! Pernahkah kamu pikirkan bagaimana perasaannya saat ini?" ujar Larasati, masih dengan nada tinggi."Terserah kamu mau bilang apa! Minggir, Laras!" Aditama kembali mendorong tubuh Larasati, agar tak menghalanginya masuk kamar.Laras membiarkan suaminya lewat. Ia lalu berjalan menuju sofa di ruang keluarga, mem
"Dan kita akan segera menikah, lalu kita akan bercinta kapan pun kita mau, Sayangku," ujar Aditama seraya merengkuh Veronica ke dalam pelukannya.Dan mereka pun kembali bercinta, seperti layaknya sepasang pengantin baru yang tengah dimabuk asmara.***"Sabar, ya, Nduk, Allah tidak akan menguji hamba-Nya, diluar batas kemampuannya," nasihat Nyonya Herlambang sambil mengelus-elus tangan Larasati--putrinya.Nyonya Herlambang--sang nenek--baru saja datang sore ini. Ia mendengar kemelut rumah tangga Larasati dari Mira--adik Larasati.Kini, mereka bertiga tengah duduk di ruang keluarga. Ditemani secangkir teh, puding, dan camilan dalam toples.Sementara Larasati masih terisak-isak sedari tadi.Di hadapan sang mama, ia tidak mampu berpura-pura tegar. Ia merasa menjadi anak kecil kembali. Pelukan sang mama selalu menjadi satu-satunya tempat terteduh di dunia, yang mampu menenteramkan hati yang tengah gundah gulana.Larasati meman
Hari ketiga pun sama saja. Tidak ada perubahan signifikan yang terjadi pada Larasati. Kondisinya tidak bertambah baik. Miranda pun segera berinisiatif menghubungi neneknya. Diceritakannya kondisi sang mama sekarang.Hari itu juga, nenek Miranda datang. Setelah meletakkan travelling bag di lantai ruang tengah, ia langsung berjalan menuju kamar anaknya. Nampak Larasati tengah berbaring di ranjang, dengan tatapan mata kosong menatap langit-langit kamar.Ia mendekati Larasati, lalu mencium pipinya sekilas. Membelai rambut Larasati yang kusut tak tersisir berhari-hari. Tidak hanya rambutnya yang kusut masai, pipinya pun sekarang menjadi semakin tirus. Ia jarang makan. Sekalinya mau makan, hanya sedikit sekali porsinya.Perempuan ayu berusia 60 tahun itu menghela napas panjang. "Owalah, Nduk, kok jadi seperti ini akhirnya. Ayo bangun, Nak, bangkitlah demi Miranda. Tak kasihankah engkau pada anak gadismu? Ia kebingungan, Nak. Ia baru saja kehilangan sosok ayahnya
"Lancar, Ma. Bu Maria bilang, Kak Laras sudah mulai menunjukkan kemajuan, walupun tidak signifikan. Bu Maria mengajak kita semua untuk tidak menyerah dalam usaha pemulihan Kak Laras. Dukungan keluarga adalah yang utama," jawab Mira, sambil menyesap teh hangatnya.Miranda menyimak percakapan nenek dan tantenya dengan seksama."Untung depresinya Kak Laras gak sampai bikin dia berniat bunuh diri ya, Ma? Kan ada tuh, yang sampai bunuh diri pasca perceraian.""Benar, Nduk. Rupanya, Laras termasuk tipe orang yang tidak bisa menerima kesedihan di luar ekspektasinya. Ia melampiaskan depresinya dengan berdiam diri, menangisi nasibnya diam-diam, dan tak mau berkomunikasi dengan yang lain. Tapi Mama yakin, dengan pendampingan dari kita, pasti Laras akan pulih seperti sedia kala. Ia hanya butuh untuk menyembuhkan lukanya," ujar Nyonya Herlambang panjang lebar.Miranda menatap neneknya. Ia bersyukur mempunyai seorang nenek yang pintar dan bijak. Yang bisa menjadi sand
Larasati menggelengkan kepalanya. "Tidak tahu, Ma. Mama sendiri tahu dari mana, Ma?""Dari Mira, Nduk. Tak biasanya, Aditama menelepon nomor adikmu. Ia menanyakan kabarmu dan Miranda.""Setelah tiga tahun baru menanyakan kabar kami? Hebat benar dia ... " Larasati mencibirkan bibirnya, lalu tertawa masam.Nyonya Herlambang memandangi putrinya dengan seksama. Ia menduga-duga, apakah rasa cintanya pada Aditama yang dulu menggebu-gebu, kini telah padam?"Ma, sejujurnya, kini Laras tidak peduli lagi dengan papanya Miranda. Dia mau nikah lagi kah, cerai lagi kah, menikah dengan empat wanita sekaligus pun, sungguh Laras tidak peduli. Di hati Laras hanya ada mama, Miranda. Kalianlah yang menjadi alasan terbaik bagi Laras untuk mampu bangkit dari keterpurukan Laras. Laras hidup untuk masa depan, bukan untuk masa lalu," ujar Larasati mantap.Sang mama merasa terharu. Ia senang, karena kini, Larasati telah menjadi lebih tangguh dan lebih realistis.
"Ma, tadi Tante Mira telepon. Katanya Minggu depan, Miranda disuruh ke Jogja, tasyakuran wisudanya Andri. Mama ikut kan?" ujar Miranda pada suatu malam."Enggak ah. Tolong sampaikan pada tantemu, Mama gak bisa ikut. Pinggang Mama capek banget kalau buat membonceng motor jauh-jauh," jawab sang mama."Kan Miranda bisa menyewa mobil, Ma. Atau nanti Miranda minta dijemput Om Heri aja biar Mama bisa ikut," ujar Miranda, merayu sang mama."Enggak ah. Sudah deh, Miranda saja yang berangkat. Mama titip salam saja. Oke?" Larasati tetap kekeuh dengan keputusannya.Miranda mengendikkan bahunya. "Ya, terserah Mama, deh."***"Hai, Cantik! Ayo masuk! Sorry ya, kali ini rumah Tante penuh banget".Miranda tersenyum. Ia mengedarkan pandangan, mencari sosok adik sepupunya, Andri. Setelah mengucapkan selamat pada Andri, Miranda keluar rumah melalui pintu belakang. Sumpek berada di dalam. Ia numpang duduk di teras tetangga belakang rumah tantenya.
"Eh, halo, Mas, ada apa?""Ini, saya mau mengembalikan obeng punya Mas Heri yang saya pinjam kemarin.""Ya, Mas, titipin saya saja gak apa-apa. Rumah lagi kosong soalnya.""Lagi pergi semua apa, Mbak?""Iya, Mas.""Ya, sudah, saya langsung pulang saja. Mari, Mbak ..."Miranda mengganggukkan kepalanya. Ia melepas kepergian Alex dengan senyum manis terkulum di bibir.Akhirnya, ia bisa bertemu lagi dengan pria itu. Miranda menyibakkan tirai dapur, mengintip dari kaca jendela. Terjadi pergulatan batin pada diri Miranda.Di satu sisi, ia ingin sekali mengobrol dengan Alex. Namun, di sisi lain ia menentang hal itu. Masih tergiang di ingatannya, ucapan sang tante beberapa waktu lalu, yang mengatakan bahwa Alex adalah lelaki yang sudah beristri. Miranda berjalan mondar-mandir di dapur, menimbang-nimbang apa yang akan dilakukannya."Selamat malam, Mas, boleh saya bergabung?" Dengan keberanian luar biasa, Miranda menyapa Alex.
Sesampainya di rumah, Miranda langsung menemui sang mama.“Ma, besok pagi bantuin Miranda berkemas-kemas, ya!”Larasati nampak bingung. “Memangnya dah mau pindah?”“Iya, Ma. Miranda cocok sama pondok yang Tita bilangin kemarin. Miranda dah ketemu sama pemilik pondok. Mereka ramah sekali. Pokonya Miranda mantap mau mondok di situ,” ujar Miranda berapi-api.Larasati merasa terenyuh dengan tekad putrinya. “Kehidupan di pondok itu keras, Nak, jadwalnya padat. Kamu pandai-pandailah beradaptasi di sana.”“Iya, Ma,” jawab Miranda singkat.Tak terasa, sehari telah berlalu. Semua kebutuhan pokok Miranda selama akan berada di pondok, sudah dikemas dalam sebuah travelling bag. Sekarang, waktunya berangkat ke pondok, memulai hidup baru. Larasati memandangi putrinya dengan penuh kasih. Untuk sementara, ia akan berpisah dengan putrinya. Ia menahan air matanya agar tak tumpah. Ia tak ingin nampak
Lagi-lagi, Miranda terjaga dari tidurnya. Diliriknya jam dinding di kamarnya, masih jam dua pagi. 'Sialan!' rutuk Miranda dalam hati. Bagaiamana bisa ia mimpi buruk tiga hari berturut-turut dengan mimpi yang sama pula? Apakah ini hanya kebetulan semata? Ataukah sebuah pertanda buruk?Tiba-tiba, Miranda merasa ketakutan. Untuk pertama kalinya, ia melakukan salat malam--tahajud--untuk menenteramkan hatinya yang gelisah. Ia segera mengambil air wudhu, lalu memulai salatnya. Air matanya bercucuran, karena ia merasa bersalah, telah meninggalkan Allah selama ini. Ia bahkan melakukan zina hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya.Setelah selesai dua rakaat, ia pun berdoa memanjatkan doa, meminta ampun kepada Allah atas semua dosa-dosanya. Lalu ia pun duduk bersila, melafalkan zikir dengan bercucuran air mata. Ampuni aku, Ya Allah. Ampuni aku ....Malam itu, Miranda menghabiskan sisa malamnya dengan berzikir. Terus dan terus. Hingga ia jatuh tertelungkup di atas s
Miranda terjaga dari tidurnya. Ia bingung berada di mana. Kepalanya masih terasa sangat berat. Ia berusaha mengingat-ingat kejadian semalam. Lho, di mana Jatmiko? Miranda mengedarkan pandangannya ke kamar hotel. Tak nampak Jatmiko. Juga barang-barang yang kemarin sempat dilihatnya.Ketika hendak bangkit dari ranjang, ia terkejut mendapati dirinya telanjang. Ia juga merasakan nyeri pada alat kelaminnya. Karena penasaran, ia meraba bagian vitalnya. Ia terhenyak, ketika tangannya menyentuh lendir lengket di sekitar alat vitalnya.Miranda terhenyak, kembali membaringkan tubuhnya. Ia menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia berusaha melogika apa yang telah terjadi dengannya. Setelah beberapa lama berpikir dengan tenang, ia pun perlahan menangis. Ia tak menyangka, Jatmiko sebejat itu. Ia tak menyangka, Jatmiko tega menjebak, lalu memperkosanya.'Oh, bodohnya aku,' rutuk Miranda dalam hati. Ia sungguh menyesal, bertemu dengan Jatmiko. Ia menyesal kemarin dengan
Setelah sarapan bersama, mereka pun kembali berjalan menuju lokasi pantai. Jatmiko mengantarkan Miranda hingga tempat parkir."Daaah ... sampai jumpa nanti siang, ya!" pamit Miranda saat melewati Jatmiko. Pria itu sedang berjalan menuju mobilnya yang diparkir di area luar pantai. Jatmiko membalas lambaian tangan Miranda, lalu melanjutkan langkahnya.Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang, Miranda sudah siap pergi dengan Jatmiko. Ia membuka pesan di aplikasi WA, ada sebuah pesan dari Jatmiko, bahwa ia sedang dalam perjalanan menuju hotel tempat Miranda menginap. Miranda mengambil tas punggung kecilnya, lalu turun ke lobi. Ia akan menunggu Jatmiko di sana.Siang ini, suasana hotel agak sepi. Hanya ada beberapa pengunjung hotel terlihat duduk-duduk di lobi hotel. Hotel tempat Miranda memang dilengkapi dengan dua set sofa untuk duduk tamu-tamu hotel.Dari kejauhan, nampak seorang pria tampan berkulit coklat berambut semi gondrong ten
Setelah menarik napas panjang, Miranda pun mulai menceritakan kisahnya. Reno mendengarkan dengan penuh simpati.“Jadi, kamu sekarang merasa insecure karena kondisimu sekarang, ya, Mir?” Reno berkomentar.“Ya, begitulah. Aku merasa hina banget, Reno.”“Jangan terlalu dipikirkan, let the gone be by the gone, yang penting kamu sudah bertaubat, menyadari kesalahanmu.”“Eh, dah hampir jam 10, pulang, yuk. Panas gila di sini,” ujar Miranda, sambil melihat jam di ponselnya.“Langsung pulang ke Magelang?”“Enggak. Balik ke rumah tanteku dulu, entar sore baru balik Magelang.”“Ya udah, bye Miranda, nice to see you,” pamit Reno pada Miranda yang sedang berkemas.Reno beranjak meninggalkan Miranda. Miranda menyusul pergi kemudian. Miranda merasa simpati dengan kisah cinta pria itu. Ia tak bisa membayangkan kesedihan Reno yang harus kehilangan kekasih hati
Alex tertunduk lesu, mendengar jawaban Miranda. Ia tak menyangka, Miranda sedalam itu mencintai dirinya. "Maafkan aku, Mir, aku sudah merusak hidupmu.""Bukan salahmu, Alex. Aku juga salah. Cinta datang di saat yang tepat, itu saja. Kita berdua salah, karena mengikuti bisikan hawa nafsu. Memang sudah seharusnya kita berpisah.""Tapi kamu perempuan, Mir. Kamu rugi ....""Karena aku sudah tak virgin, maksudmu?"Alex menjawab lirih, "Iya, Mir."Miranda menitikkan air mata. "Itu sudah terjadi, Lex. Aditya, pacarku yang terakhir, dia adalah lelaki yang menjunjung tinggi norma susila, ia kecewa mengetahui aku sudah tidak suci lagi.""Ia langsung memutuskan hubungan kalian begitu saja?""Enggak. Aku yang memutuskan hubungan. Dia mau menerimaku apa adanya, walaupun aku tidak sesuai harapannya. Tapi aku memilih mundur.""Kenapa, Mir? Kan dia menerimamu apa adanya.""Jangan naif, Alex. Oke, saat ini dia bisa bilang kaya' gitu. Tap
"Kamu serius, Dik?"Miranda menggangguk, membenarkan. Ia lega, akhirnya bisa bicara jujur pada Aditya. Walaupun ia tahu, putus bisa menjadi resiko terbesarnya. Miranda melirik wajah Aditya yang pucat pasi."Mas kecewa, kan?""Terus terang, Mas sama sekali tidak menyangka, Dik."Miranda tersenyum kecut. "Jadi, kita resmi putus hari ini, Mas?""Loh, kok kamu bilang gitu, Dik?""Kan sudah jelas, aku tidak termasuk dalam kriteria calon istri idaman Mas Adit.""Tapi ... aku mencintaimu, Dik."Miranda menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia tak tahu harus berkomentar apa."Dik ... kalau misalnya aku tetap menerimamu apa adanya, bagaimana?""Jangan bercanda, Mas. Mas Adit bisa saja bicara seperti itu sekarang, tapi di kemudian hari, Mas bisa saja mengungkit aibku," tukas Miranda. "Aku sangat menghargai pengertianmu, Mas. Namun, kurasa, berpisah lebih baik untuk kita berdua.""Tidak, Dik. Aku mau me
Miranda tak habis pikir, bisa-bisanya Lintang mengabaikan chat WA darinya. Padahal, selama ini ia selalu mengutamakan kepentingan Lintang. 'Dasar egois', rutuk Miranda dalam hati.Miranda membulatkan tekad untuk berpisah dari Lintang secepatnya.[Lintang, aku ingin putus darimu, sekarang juga. Semua hadiah darimu, akan kukembalikan lagi. Tolong, jangan ganggu aku lagi. So sorry ....] Miranda mengirimkan pesan itu.Beberapa menit berlalu, Lintang tak jua membalas pesannya, padahal statusnya sudah centang biru. Miranda merasa kesal. Ia kesal pada Lintang, juga pada dirinya sendiri. Ia menyesal terlibat hubungan asmara dengan pria itu.Pukul enam kurang seperempat, Miranda menuju kasir kafe, membayar tagihan makanannya. Ketika ia hendak menstarter motornya, datanglah Lintang dengan wajah kaku menahan amarah."Cepat naik!" perintah Lintang, pada Miranda.Miranda terpaku di motornya. Namun, sedetik kemudian, ia menstarter motornya, ta
Miranda membalikkan tubuhnya. Ia menatap mata Alex dalam-dalam, terlihat ada pijar kerinduan di sana. Entah siapa yang memulai. Tahu-tahu, keduanya kini sudah berpelukan. Alex menciumi wajah ayu Miranda, dan berhenti di bibir gadis itu. Dipagutnya bibir gadis itu dengan mesra. Miranda merangkulkan tangannya di leher Alex, menikmati sentuhan Alex yang selama ini dirindukannya."I miss you so, Hun," bisik Alex di telinga Miranda.Nafsu Miranda terbakar. Ia membalas ciuman dan sentuhan Alex dengan agresif."Dasar jalang!" Terdengar seseorang mengumpat.Alex dan Miranda terkejut. Mereka segera menghentikan aksi mereka. Napas mereka berdua masih terengah-engah. Wajah Miranda merah padam, ia merasa sangat malu."Ini tak seperti yang kamu pikirkan, Rud," ujar Miranda lirih.Rudi tertawa. "Tak perlu khawatir, Miranda. Kamu boleh saja melakukan apapun yang kamu mau, kamu bebas sekarang. Kita putus mulai saat ini!""Sorry, Bro. Aku