"Lancar, Ma. Bu Maria bilang, Kak Laras sudah mulai menunjukkan kemajuan, walupun tidak signifikan. Bu Maria mengajak kita semua untuk tidak menyerah dalam usaha pemulihan Kak Laras. Dukungan keluarga adalah yang utama," jawab Mira, sambil menyesap teh hangatnya.
Miranda menyimak percakapan nenek dan tantenya dengan seksama.
"Untung depresinya Kak Laras gak sampai bikin dia berniat bunuh diri ya, Ma? Kan ada tuh, yang sampai bunuh diri pasca perceraian."
"Benar, Nduk. Rupanya, Laras termasuk tipe orang yang tidak bisa menerima kesedihan di luar ekspektasinya. Ia melampiaskan depresinya dengan berdiam diri, menangisi nasibnya diam-diam, dan tak mau berkomunikasi dengan yang lain. Tapi Mama yakin, dengan pendampingan dari kita, pasti Laras akan pulih seperti sedia kala. Ia hanya butuh untuk menyembuhkan lukanya," ujar Nyonya Herlambang panjang lebar.
Miranda menatap neneknya. Ia bersyukur mempunyai seorang nenek yang pintar dan bijak. Yang bisa menjadi sandaran anak-anaknya, saat mereka jatuh.
"Apakah ada wanita di luar sana yang nasibnya seperti Mama, Nek?" tanya Miranda pada neneknya.
"Yang menderita depresi akibat perceraian maksudmu, Nduk? Tentu saja ada. Hanya saja masing-masing wanita memiliki cara tersendiri dalam mengungkapkan depresinya. Ada yang tampak tegar padahal hatinya remuk-redam, ada yang tak mau berkomunikasi dengan siapapun, ada yang menangis berhari-hari, ada yang histeris sambil memukuli atau menghancurkan barang-barang, bahkan ada yang ingin bunuh diri. Karena itulah, butuh persiapan mental bagi wanita yang menempuh jalan perceraian," jawab sang nenek.
"Tante tambahkan satu lagi nih buat Miranda. Mencintai diri sendiri bukanlah tindakan yang egois. Dengan mencintai diri sendiri, kita justru bisa hidup dengan lebih baik," Mira menambahkan.
"Maksudnya bagaimana, Tante? Miranda tidak paham."
"Begini, Mir, hidup di dunia ini kadang tidak mudah. Ada saja yang namanya ujian dan cobaan. Kadang kala, di antara kita ada yang harus melewati hal berat dalam hidup, sampai rasanya sudah tidak ada harapan apa-apa lagi. Namun, dengan kembali mencintai diri sendiri dan membenahi diri, cahaya baru dalam hidup akan kembali bersinar. Dengan mencintai diri sendiri, kita akan selalu menemukan sebuah alasan untuk bangkit lagi dari kegagalan dan kesedihan. Miranda sudah paham sekarang?"
"Iya, Tante, Miranda sudah paham sekarang."
"Sekarang, pergilah ke kamar, temani lagi mamamu. Ini, bawakan martabak kesukaannya," perintah sang nenek pada Miranda. Ia mengambilkan beberapa potong martabak telur ke dalam sebuah piring kecil.
"Iya, Nek!" Miranda bangkit dari kursinya.
Sepeninggal Miranda, Nyonya Herlambang kembali melanjutkan obrolan dengan Mira dan suaminya.
"Ma, apakah tabungan Kak Laras saat ini masih cukup untuk hidup, konseling dan lain-lain?" tanya Mira pada mamanya, dengan nada pelan. Ia takut, Miranda akan mendengar ucapannya dari kamar.
"Masih cukup, Nduk. Aditama kan masih rutin mengirimkan nafkah untuk Miranda tiap bulan. Mama menggunakan uang itu untuk membayar semua kebutuhan sekolah Miranda, termasuk ojek langganan yang mengantar jemput sekolahnya Miranda. Untuk kehidupan sehari-hari, Mama menggunakan uang pensiunan janda Mama. Mama mengambil sebagian tabungan Laras hanya untuk biaya konselingnya kakakmu saja. Semoga saja kakakmu lekas pulih, sehingga tabungannya tidak banyak berkurang," terang sang mama panjang lebar.
Sementara itu di kamar, Miranda tengah mengajak mamanya mengobrol. Miranda mengangsurkan sepotong martabak telur ke tangan kanan mamanya. "Ayo, dimakan martabaknya, Ma. Ini camilan kesukaan Mama sejak dulu, kan? Enak banget lho, Ma."
Larasati memandangi martabak di tangannya. Perlahan-lahan, ia memakan martabak itu sedikit demi sedikit. Miranda terharu. Hatinya bergerimis. Ia sangat bersyukur. Baru kali ini, sang mama mau merespons ucapan Miranda. Alhamdulilah ....
Harapan bahwa sang mama akan kembali pulih seperti sedia kala, kembali menyeruak di sanubarinya.
***
Hari berganti, tiga bulan telah berlalu. Tak terasa, Miranda sudah hampir naik kelas dua SMP. Hari ini, ia baru saja menyelesaikan ujian akhir semester dua. Itu artinya, sebentar lagi libur sekolah akan tiba. Akan lebih banyak waktu yang ia bisa habiskan bersama mamanya. Ia bisa menggantikan tugas sang nenek, menemani dan merawat mamanya. Biarlah sang nenek beristirahat dulu.
"Miranda, sini, Nduk!" Teriakan sang nenek terdengar dari depan rumah. Miranda yang tengah menyapu halaman sore ini, terkejut setengah mati. Ia segera bergegas masuk rumah, mencari sang nenek.
"Lihatlah itu, Nduk!" Sang nenek menunjuk ke arah kamar mandi.
Miranda melihat ke arah yang ditunjukkan neneknya. Terlihat bahwa pintu kamar mandi tertutup, terkunci dari dalam. Ada suara orang yang tengah mandi dari dalam sana. Jika ia dan sang nenek berada di luar, lalu siapakah yang berada di dalam kamar mandi? Mungkinkah itu sang mama? Tapi selama ini kan, sang mama selalu membutuhkan bantuan orang lain untuk keperluan mandi ....
Miranda dan sang nenek masih berdiri terpaku di depan pintu kamar mandi, dengan sejuta tanya. Detik demi detik berlalu dengan sangat lambat.
"Kreeek ... " Pintu kamar mandi terbuka. Miranda dan sang nenek terbelalak. Mereka berdua memandangi Larasati dengan mulut ternganga.
"Mama ..." Larasati memanggil sang mama dengan suara lirih.
Nyonya Herlambang menubruk anaknya. Air mata membuncah. Miranda pun demikian. Mereka berpelukan. Seolah lama tak bersua.
"Miranda Sayangku ..." Larasati mencium pipi Miranda.
Tangis kebahagiaan seakan tak mau berhenti. Miranda dan sang nenek tiada hentinya mengucap syukur kepada Allah swt yang telah berkenan mengembalikan Larasati seperti sedia kala. Alhamdulilah ....
Nyonya Herlambang bergegas menelepon Mira dan suaminya. Dengan suka cita ia mengabarkan kondisi terkini Larasati.
"Beneran, Mama gak bohong, Ma?" Mira mengulangi lagi pertanyaannya. Ia merasa tak percaya dengan kabar yang baru saja didengar dari sang mama.
"Masa' iya, Mama bohong, Nduk. Ayolah cepetan ke sini, kita syukuran kecil-kecilan!" ajak sang mama.
"Nanti sore ya, Ma, nunggu Mas Heri pulang ngantor. Repot kalau ke sana sekarang, mboncengin anak-anak," jawab Mira.
Setelah meletakkan ponselnya, Mira duduk terhenyak di kursi. Ia sangat bersyukur, kakaknya sudah membaik. Ia tak tega melihat kesedihan yang selalu terpancar dari sang mama dan keponakannya, Miranda. Mira kembali meraih ponselnya, menelepon Heri--suaminya.
Sama halnya dengan yang lainnya, Heri pun merasa sangat bahagia mendengar kabar baik tentang iparnya. Benar ternyata, dukungan dari orang terdekat terutama keluarga adalah obat yang mujarab bagi penderita depresi.
Sebulan setelahnya, Larasati telah benar-benar sembuh. Ia sudah mampu mengendarai motor kembali, dan beraktivitas seperti biasa. Ia sudah melupakan kesedihannya. Ia sudah memaafkan segalanya. Ia telah berhasil menerima takdirnya dengan ikhlas. Itulah kunci kesembuhannya.
Larasati berusaha menemani Miranda sebanyak mungkin, ia ingin mengganti waktu yang telah ia lewatkan kemarin. Mengantar dan menjemput sekolah, menemaninya hangout di akhir pekan, sekedar makan bakso atau jalan-jalan ke pusat perbelanjaan.
Tidak hanya terhadap Miranda, Larasati juga lebih perhatian pada sang mama. Ia sungguh sangat bersyukur, mempunyai ibu sesabar sang mama. Ia ingat, saat masa depresi kemarin, sang mama-lah yang selalu mengantarkannya ke kamar mandi. Membantu memandikannya, mengajaknya berbincang sepanjang hari, menyuapinya dan lain-lain.
Padahal kesehatan sang mama sendiri pun sudah menurun, tenaganya sudah banyak berkurang, di usianya kini yang sudah hampir menginjak 61 tahun.
Waktu berlalu begitu cepat. Karena sesuatu hal, Mira dan Heri harus pindah ke Jogja. Ini membuat kebersamaan Nyonya Herlambang beserta anak-anaknya sedikit berkurang. Dulu, tiap bulan Mira dan anak-anaknya bisa 3--4 kali dalam sebulan mengunjunginya. Tapi untunglah ada Larasati dan Miranda yang menemaninya setiap hari. Kadang-kadang, Larasati memboncengkan mamanya, diajaknya beliau jalan-jalan ke alun-alun atau belanja di Gardena.
Kini Larasati telah menemukan passion-nya. Ia menerima pesanan cake ulang tahun dan kue kering lainnya. Sang mama dengan senang hati membantu semampunya.
Larasati menjalani hidupnya dengan bahagia. Ia kini giat mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, untuk masa depan Miranda. Apalagi, kini Miranda sudah duduk di kelas 1 SMA. Tiga tahun lagi ia akan kuliah.
Sore itu, Nyonya Herlambang mengajak Larasati mengobrol di teras rumah. Miranda sendiri masih ada di sekolah, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.
"Nduk, apa kamu sudah tahu kalau Aditama sudah bercerai dari perempuan itu?" tanya sang mama pada Larasati.
Larasati menggelengkan kepalanya. "Tidak tahu, Ma. Mama sendiri tahu dari mana, Ma?""Dari Mira, Nduk. Tak biasanya, Aditama menelepon nomor adikmu. Ia menanyakan kabarmu dan Miranda.""Setelah tiga tahun baru menanyakan kabar kami? Hebat benar dia ... " Larasati mencibirkan bibirnya, lalu tertawa masam.Nyonya Herlambang memandangi putrinya dengan seksama. Ia menduga-duga, apakah rasa cintanya pada Aditama yang dulu menggebu-gebu, kini telah padam?"Ma, sejujurnya, kini Laras tidak peduli lagi dengan papanya Miranda. Dia mau nikah lagi kah, cerai lagi kah, menikah dengan empat wanita sekaligus pun, sungguh Laras tidak peduli. Di hati Laras hanya ada mama, Miranda. Kalianlah yang menjadi alasan terbaik bagi Laras untuk mampu bangkit dari keterpurukan Laras. Laras hidup untuk masa depan, bukan untuk masa lalu," ujar Larasati mantap.Sang mama merasa terharu. Ia senang, karena kini, Larasati telah menjadi lebih tangguh dan lebih realistis.
"Ma, tadi Tante Mira telepon. Katanya Minggu depan, Miranda disuruh ke Jogja, tasyakuran wisudanya Andri. Mama ikut kan?" ujar Miranda pada suatu malam."Enggak ah. Tolong sampaikan pada tantemu, Mama gak bisa ikut. Pinggang Mama capek banget kalau buat membonceng motor jauh-jauh," jawab sang mama."Kan Miranda bisa menyewa mobil, Ma. Atau nanti Miranda minta dijemput Om Heri aja biar Mama bisa ikut," ujar Miranda, merayu sang mama."Enggak ah. Sudah deh, Miranda saja yang berangkat. Mama titip salam saja. Oke?" Larasati tetap kekeuh dengan keputusannya.Miranda mengendikkan bahunya. "Ya, terserah Mama, deh."***"Hai, Cantik! Ayo masuk! Sorry ya, kali ini rumah Tante penuh banget".Miranda tersenyum. Ia mengedarkan pandangan, mencari sosok adik sepupunya, Andri. Setelah mengucapkan selamat pada Andri, Miranda keluar rumah melalui pintu belakang. Sumpek berada di dalam. Ia numpang duduk di teras tetangga belakang rumah tantenya.
"Eh, halo, Mas, ada apa?""Ini, saya mau mengembalikan obeng punya Mas Heri yang saya pinjam kemarin.""Ya, Mas, titipin saya saja gak apa-apa. Rumah lagi kosong soalnya.""Lagi pergi semua apa, Mbak?""Iya, Mas.""Ya, sudah, saya langsung pulang saja. Mari, Mbak ..."Miranda mengganggukkan kepalanya. Ia melepas kepergian Alex dengan senyum manis terkulum di bibir.Akhirnya, ia bisa bertemu lagi dengan pria itu. Miranda menyibakkan tirai dapur, mengintip dari kaca jendela. Terjadi pergulatan batin pada diri Miranda.Di satu sisi, ia ingin sekali mengobrol dengan Alex. Namun, di sisi lain ia menentang hal itu. Masih tergiang di ingatannya, ucapan sang tante beberapa waktu lalu, yang mengatakan bahwa Alex adalah lelaki yang sudah beristri. Miranda berjalan mondar-mandir di dapur, menimbang-nimbang apa yang akan dilakukannya."Selamat malam, Mas, boleh saya bergabung?" Dengan keberanian luar biasa, Miranda menyapa Alex.
"Enggak, Bu Edi. Rania masih di Salatiga, bulan depan mungkin nyusul saya ke sana." Alex menjelaskan pada Bu Edi, salah satu tetangga Alex dan Mira di kampung Gejayan."O, begitu. Ya, sudah, mari, Mas, Mbak, saya duluan," pamit Bu Edi pada Alex dan Miranda.Sepeninggal Bu Edi, Miranda memandang Alex, tatapan matanya seolah meminta penjelasan tentang sesuatu. Alex segera tanggap. "Rania itu nama istriku, Mir. Tadi malam belum sempat ngasih tahu kamu, tantemu dah manggil kamu."Miranda manggut-manggut, tanda mengerti."Boleh kulihat fotonya?"Alex segera mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Membuka galeri, lalu menunjukkan sebuah foto pada Miranda."Wow, cantik sekali. Anggun, berjilbab lagi. Cocok sama kamu, Mas." Miranda memuji istri Alex dengan sepenuh hati."Ah, bisa aja kamu, Mir." Alex tersipu, ia lalu mengalihkan arah pembicaraan. "Berhubung menurut pengakuanmu kamu ini jomlo, maka aku ingin mendengar cerita tentang kel
Miranda menyambar ponselnya dari kasur, lalu masuk kamar mandi. Ia me-reject panggilan dari Alex. Sebagai gantinya, ia mengiriminya sebuah pesan.[Sorry, gak bisa nerima telepon. Aku bangun kesiangan, lagi mau mandi.]Setelah mengamankan ponselnya, Miranda mulai mengguyuri tubuhnya. Ia berburu dengan waktu. Pukul setengah delapan, ia ada rapat penting dengan klien kantornya.Hari ini, Miranda sibuk sekali. Banyak pekerjaan kantor yang menumpuk, maklum banyak proyek baru. Tak terasa, jam dinding sudah menunjukkan pukul empat sore. Miranda bersorak. Finally! Ia segera membereskan mejanya, lalu berpamitan dengan Tita.***Dari jauh, Miranda melihat sosok Alex yang tengah menunggunya di lobi."Hai ...." sapanya pada Alex."Oh, hai ...." Alex segera bangkit dari kursi, lalu menyambut Miranda dengan mesra. Dirangkulnya gadis itu, lalu digandengnya menuju meja resepsionis.Setelah menerima kunci kamar, Alex membimbin
"Secepatnya, Sayang. You know lah, aku harus jauh lebih berhati-hati sekarang, agar Rania gak curiga. Kemarin, ketika aku tidur, aku melihatnya menggeledah saku-saku celanaku, lalu menciumi bajuku. Sepertinya dia lagi nyari jejak."Miranda tercenung. "Don't forget to always clear out chat, Alex. Juga panggilan-panggilan. Bersihin galerimu juga, ya. Jangan sampai ada fotoku di sana. I don't want to lose you, Alex. I love you so much.""I love you too, Hun. So, jangan ngambek ya, kalau kita sekarang gak bisa seperti dulu lagi, gak bisa jalan-jalan berdua kemana-mana sesuka hati, juga check-in di hotel seharian."Miranda menarik napas panjang. "It's oke. Kita jalani dulu apa yang ada."Setelah itu keduanya pun berpisah. Alex melarikan motornya ke arah Jogja, sementara Miranda ke arah Magelang.Pukul satu dini hari, Miranda baru sampai di rumahnya. Ia segera mengeluarkan kunci cadangan. Membuka pintu rumah, lalu masuk ke kamarnya. Segera setelah
"Tinggalkan Alex, Mir. Rania sangat menderita. Percayalah. Kamu gak pingin kan lihat dia frustasi seperti mamamu dulu?"Miranda menggelengkan kepalanya. "Tapi, Tante, Miranda sangat mencintai Alex. Miranda tak yakin bisa segera melupakan Alex.""Berusahalah. Kamu mencintai orang yang salah, itu masalahnya.""Ini tidak adil, Tante. Kami saling mencintai satu sama lain.""Bagaimanapun juga, merusak rumah tangga orang lain itu salah, Mir. Itu perbuatan hina. Dari awal seharusnya engkau menyadari hal itu. Lalu padamkanlah api cinta itu, sebelum menjadi besar, dan akhirnya menghanguskan dirimu sendiri.""Baik, Tante. Miranda akan belajar melupakan Alex."Setelah selesai menasihati Miranda, Mira menemui kakaknya yang sedang mengobrol dengan suaminya di ruang tengah."Ada apa, to, Mir? Kalian membicarakan apa?" desak Larasati pada adiknya."Sebuah masalah, Kak. Namun, Kakak yak perlu khawatir, Mira sudah selesaikan masalahnya."
"Aku berangkat kerja, ya, Sayang ... "Pamit Alex pada Rania, yang masih tergolek di atas ranjang. Rania menarik lagi selimutnya, berusaha menutupi bagian tubuhnya yang terbuka. Karena setelah Subuh tadi, Alex mengajaknya bersenggama. Rania tahu, Alex masih menyimpan kontak Miranda, tapi ia membiarkannya saja.Ia percaya penuh pada Alex. Benar, Alex pernah khilaf dan menjalin hubungan asmara beberapa lama dengan gadis itu. Tapi toh semuanya telah berlalu. Alex telah kembali lagi padanya. Ia juga yakin, Miranda akan segera menemukan lelaki lain yang akan menggantikan posisi Alex.Benar dugaan Rania, karena saat ini, Miranda tengah memadu asmaranya yang menggebu-gebu dengan pacar barunya, Ferdian. Mereka tengah bergumul di ranjang hotel tempat mereka menginap. Miranda tengah berjuang melupakan cinta pertamanya dengan Alex, dengan caranya sendiri.Memikirkan Alex terus-terusan benar-benar membuat Miranda frustasi. Siang malam ia selalu merindukan senyuma
Sesampainya di rumah, Miranda langsung menemui sang mama.“Ma, besok pagi bantuin Miranda berkemas-kemas, ya!”Larasati nampak bingung. “Memangnya dah mau pindah?”“Iya, Ma. Miranda cocok sama pondok yang Tita bilangin kemarin. Miranda dah ketemu sama pemilik pondok. Mereka ramah sekali. Pokonya Miranda mantap mau mondok di situ,” ujar Miranda berapi-api.Larasati merasa terenyuh dengan tekad putrinya. “Kehidupan di pondok itu keras, Nak, jadwalnya padat. Kamu pandai-pandailah beradaptasi di sana.”“Iya, Ma,” jawab Miranda singkat.Tak terasa, sehari telah berlalu. Semua kebutuhan pokok Miranda selama akan berada di pondok, sudah dikemas dalam sebuah travelling bag. Sekarang, waktunya berangkat ke pondok, memulai hidup baru. Larasati memandangi putrinya dengan penuh kasih. Untuk sementara, ia akan berpisah dengan putrinya. Ia menahan air matanya agar tak tumpah. Ia tak ingin nampak
Lagi-lagi, Miranda terjaga dari tidurnya. Diliriknya jam dinding di kamarnya, masih jam dua pagi. 'Sialan!' rutuk Miranda dalam hati. Bagaiamana bisa ia mimpi buruk tiga hari berturut-turut dengan mimpi yang sama pula? Apakah ini hanya kebetulan semata? Ataukah sebuah pertanda buruk?Tiba-tiba, Miranda merasa ketakutan. Untuk pertama kalinya, ia melakukan salat malam--tahajud--untuk menenteramkan hatinya yang gelisah. Ia segera mengambil air wudhu, lalu memulai salatnya. Air matanya bercucuran, karena ia merasa bersalah, telah meninggalkan Allah selama ini. Ia bahkan melakukan zina hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya.Setelah selesai dua rakaat, ia pun berdoa memanjatkan doa, meminta ampun kepada Allah atas semua dosa-dosanya. Lalu ia pun duduk bersila, melafalkan zikir dengan bercucuran air mata. Ampuni aku, Ya Allah. Ampuni aku ....Malam itu, Miranda menghabiskan sisa malamnya dengan berzikir. Terus dan terus. Hingga ia jatuh tertelungkup di atas s
Miranda terjaga dari tidurnya. Ia bingung berada di mana. Kepalanya masih terasa sangat berat. Ia berusaha mengingat-ingat kejadian semalam. Lho, di mana Jatmiko? Miranda mengedarkan pandangannya ke kamar hotel. Tak nampak Jatmiko. Juga barang-barang yang kemarin sempat dilihatnya.Ketika hendak bangkit dari ranjang, ia terkejut mendapati dirinya telanjang. Ia juga merasakan nyeri pada alat kelaminnya. Karena penasaran, ia meraba bagian vitalnya. Ia terhenyak, ketika tangannya menyentuh lendir lengket di sekitar alat vitalnya.Miranda terhenyak, kembali membaringkan tubuhnya. Ia menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia berusaha melogika apa yang telah terjadi dengannya. Setelah beberapa lama berpikir dengan tenang, ia pun perlahan menangis. Ia tak menyangka, Jatmiko sebejat itu. Ia tak menyangka, Jatmiko tega menjebak, lalu memperkosanya.'Oh, bodohnya aku,' rutuk Miranda dalam hati. Ia sungguh menyesal, bertemu dengan Jatmiko. Ia menyesal kemarin dengan
Setelah sarapan bersama, mereka pun kembali berjalan menuju lokasi pantai. Jatmiko mengantarkan Miranda hingga tempat parkir."Daaah ... sampai jumpa nanti siang, ya!" pamit Miranda saat melewati Jatmiko. Pria itu sedang berjalan menuju mobilnya yang diparkir di area luar pantai. Jatmiko membalas lambaian tangan Miranda, lalu melanjutkan langkahnya.Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang, Miranda sudah siap pergi dengan Jatmiko. Ia membuka pesan di aplikasi WA, ada sebuah pesan dari Jatmiko, bahwa ia sedang dalam perjalanan menuju hotel tempat Miranda menginap. Miranda mengambil tas punggung kecilnya, lalu turun ke lobi. Ia akan menunggu Jatmiko di sana.Siang ini, suasana hotel agak sepi. Hanya ada beberapa pengunjung hotel terlihat duduk-duduk di lobi hotel. Hotel tempat Miranda memang dilengkapi dengan dua set sofa untuk duduk tamu-tamu hotel.Dari kejauhan, nampak seorang pria tampan berkulit coklat berambut semi gondrong ten
Setelah menarik napas panjang, Miranda pun mulai menceritakan kisahnya. Reno mendengarkan dengan penuh simpati.“Jadi, kamu sekarang merasa insecure karena kondisimu sekarang, ya, Mir?” Reno berkomentar.“Ya, begitulah. Aku merasa hina banget, Reno.”“Jangan terlalu dipikirkan, let the gone be by the gone, yang penting kamu sudah bertaubat, menyadari kesalahanmu.”“Eh, dah hampir jam 10, pulang, yuk. Panas gila di sini,” ujar Miranda, sambil melihat jam di ponselnya.“Langsung pulang ke Magelang?”“Enggak. Balik ke rumah tanteku dulu, entar sore baru balik Magelang.”“Ya udah, bye Miranda, nice to see you,” pamit Reno pada Miranda yang sedang berkemas.Reno beranjak meninggalkan Miranda. Miranda menyusul pergi kemudian. Miranda merasa simpati dengan kisah cinta pria itu. Ia tak bisa membayangkan kesedihan Reno yang harus kehilangan kekasih hati
Alex tertunduk lesu, mendengar jawaban Miranda. Ia tak menyangka, Miranda sedalam itu mencintai dirinya. "Maafkan aku, Mir, aku sudah merusak hidupmu.""Bukan salahmu, Alex. Aku juga salah. Cinta datang di saat yang tepat, itu saja. Kita berdua salah, karena mengikuti bisikan hawa nafsu. Memang sudah seharusnya kita berpisah.""Tapi kamu perempuan, Mir. Kamu rugi ....""Karena aku sudah tak virgin, maksudmu?"Alex menjawab lirih, "Iya, Mir."Miranda menitikkan air mata. "Itu sudah terjadi, Lex. Aditya, pacarku yang terakhir, dia adalah lelaki yang menjunjung tinggi norma susila, ia kecewa mengetahui aku sudah tidak suci lagi.""Ia langsung memutuskan hubungan kalian begitu saja?""Enggak. Aku yang memutuskan hubungan. Dia mau menerimaku apa adanya, walaupun aku tidak sesuai harapannya. Tapi aku memilih mundur.""Kenapa, Mir? Kan dia menerimamu apa adanya.""Jangan naif, Alex. Oke, saat ini dia bisa bilang kaya' gitu. Tap
"Kamu serius, Dik?"Miranda menggangguk, membenarkan. Ia lega, akhirnya bisa bicara jujur pada Aditya. Walaupun ia tahu, putus bisa menjadi resiko terbesarnya. Miranda melirik wajah Aditya yang pucat pasi."Mas kecewa, kan?""Terus terang, Mas sama sekali tidak menyangka, Dik."Miranda tersenyum kecut. "Jadi, kita resmi putus hari ini, Mas?""Loh, kok kamu bilang gitu, Dik?""Kan sudah jelas, aku tidak termasuk dalam kriteria calon istri idaman Mas Adit.""Tapi ... aku mencintaimu, Dik."Miranda menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia tak tahu harus berkomentar apa."Dik ... kalau misalnya aku tetap menerimamu apa adanya, bagaimana?""Jangan bercanda, Mas. Mas Adit bisa saja bicara seperti itu sekarang, tapi di kemudian hari, Mas bisa saja mengungkit aibku," tukas Miranda. "Aku sangat menghargai pengertianmu, Mas. Namun, kurasa, berpisah lebih baik untuk kita berdua.""Tidak, Dik. Aku mau me
Miranda tak habis pikir, bisa-bisanya Lintang mengabaikan chat WA darinya. Padahal, selama ini ia selalu mengutamakan kepentingan Lintang. 'Dasar egois', rutuk Miranda dalam hati.Miranda membulatkan tekad untuk berpisah dari Lintang secepatnya.[Lintang, aku ingin putus darimu, sekarang juga. Semua hadiah darimu, akan kukembalikan lagi. Tolong, jangan ganggu aku lagi. So sorry ....] Miranda mengirimkan pesan itu.Beberapa menit berlalu, Lintang tak jua membalas pesannya, padahal statusnya sudah centang biru. Miranda merasa kesal. Ia kesal pada Lintang, juga pada dirinya sendiri. Ia menyesal terlibat hubungan asmara dengan pria itu.Pukul enam kurang seperempat, Miranda menuju kasir kafe, membayar tagihan makanannya. Ketika ia hendak menstarter motornya, datanglah Lintang dengan wajah kaku menahan amarah."Cepat naik!" perintah Lintang, pada Miranda.Miranda terpaku di motornya. Namun, sedetik kemudian, ia menstarter motornya, ta
Miranda membalikkan tubuhnya. Ia menatap mata Alex dalam-dalam, terlihat ada pijar kerinduan di sana. Entah siapa yang memulai. Tahu-tahu, keduanya kini sudah berpelukan. Alex menciumi wajah ayu Miranda, dan berhenti di bibir gadis itu. Dipagutnya bibir gadis itu dengan mesra. Miranda merangkulkan tangannya di leher Alex, menikmati sentuhan Alex yang selama ini dirindukannya."I miss you so, Hun," bisik Alex di telinga Miranda.Nafsu Miranda terbakar. Ia membalas ciuman dan sentuhan Alex dengan agresif."Dasar jalang!" Terdengar seseorang mengumpat.Alex dan Miranda terkejut. Mereka segera menghentikan aksi mereka. Napas mereka berdua masih terengah-engah. Wajah Miranda merah padam, ia merasa sangat malu."Ini tak seperti yang kamu pikirkan, Rud," ujar Miranda lirih.Rudi tertawa. "Tak perlu khawatir, Miranda. Kamu boleh saja melakukan apapun yang kamu mau, kamu bebas sekarang. Kita putus mulai saat ini!""Sorry, Bro. Aku