Belum genap satu minggu orang tuanya dimakamkan, Sera sudah harus berhadapan dengan dua laki-laki berjas mahal yang mendatangi rumahnya. Dua orang itu memiliki wajah yang sangar dan tidak ada raut ramah sama sekali. Yang ia tahu mereka adalah suruhan Ardhi Prasetyo, anak dari salah seorang pengusaha terkenal yang memiliki kebun sawit beratus-ratus hektar di Kalimantan.
“Gunawan Idris memiliki total utang 900 juta. Satu hari sebelum kecelakaan itu terjadi, dia seharusnya sudah melunasi utangnya dan membayarnya secara kontan kepada Ardhi Prasetyo. Tetapi Gunawan malah kabur dengan istrinya karena tidak mampu membayar utangnya. Lalu Ardhi Prasetyo memberikan satu pilihan yang harus dipenuhi kalau mau utangnya lunas tanpa pembayaran,” jelas salah satu orang dari dua laki-laki yang duduk di ruang tamu rumah Sera.
Sera dengan harap-harap cemas menunggu kelanjutan ucapan laki-laki itu.
“Di surat ini, yang sudah ditandatangani oleh Gunawan Idris beserta istri dan juga oleh Ardhi Prasetyo disebutkan bahwa Sera Al-Idris, anak semata wayang Gunawan Idris telah dengan suka rela menjadi istri yang dinikahi secara siri oleh Ardhi Prasetyo.” Laki-laki itu lalu menyerahkan sebuah surat dengan tanda tangan basah di atas materai milik ayah dan ibunya. Juga milik seseorang bernama Ardhi Prasetyo yang disebut-sebut laki-laki di depannya sebagai suami sahnya.
Sera langsung panas dingin. Hatinya menjerit tak tertahankan. Bagaimana mungkin orang tuanya tega menyerahkan darah dagingnya sendiri untuk seseorang yang bahkan tidak pernah ia kenal? Sera ingin menangis, tetapi air matanya sudah kering. Sudah ia habiskan untuk menangisi orang tuanya yang ternyata malah mengkhianatinya.
Kenapa dunia begitu kejam padanya?
“Dalam tiga hari terhitung dari hari ini, Anda harus sudah mulai pindah dari rumah ini untuk tinggal di apartemen yang sudah disiapkan untuk Anda,” ucap laki-laki satunya lagi. Laki-laki itu kemudian menyerahkan sebuah kartu akses apartemen dan ponsel baru kepada Sera.
Dalam sekali lihat saja Sera tahu bahwa kartu akses itu hanya dimiliki oleh apartemen high class yang harga sewanya bisa mencapai puluhan juta dalam satu bulan.
“Bagaimana kalau saya menolak?” tanya Sera dengan suara bergetar. Tangannya menggenggam dua benda itu dengan dengar gemetar.
“Berdasarkan isi surat, Anda sudah sah menjadi istri Bapak Ardhi Prasetyo dan sebaiknya Anda menuruti semua yang ada dalam surat ini, kami tidak bisa menjamin hidup Anda akan tenang kalau Anda menolak atau bahkan melarikan diri. Anda juga tidak diperkenankan untuk menyebarkan status Anda sebagai istri dari Bapak Ardhi Prasetyo karena itu akan mempengaruhi citra beliau.”
Dan di sinilah Sera sekarang. Berada di ujung jalan yang akan membawanya ke neraka dunia.
Sera menarik napas dengan kasar. Dadanya sesak sekali. Ia menggeret koper berukuran sedang di tangan kanannya dan menyeberangi jalan dengan isi kepala yang melayang jauh ke memori terakhir bersama orang tuanya. Kenangan saat ia berhasil mendapat gelar sarjana.
Mereka merayakannya dengan makan di sebuah restoran yang cukup mewah. Bercakap-cakap tentang masa kecil Sera yang dulu bandel dan nakal, tentang Sera yang mulai mengenal pacaran saat menginjak sekolah menengah, hingga tentang rencana Sera setelah wisuda.
Semua kenangan itu tampak kabur dan menyesakkan dada.
Tidak sampai sepuluh menit, Sera sudah tiba di depan gedung yang tampak lengang itu. Hanya terlihat satpam yang sedang bercakap dengan seorang laki-laki tua berjas necis, ada juga dua orang wanita yang baru keluar dari gedung itu dengan tampilan yang glamor. Dandanan dari ujung kepala hingga ujung kaki tampak begitu mewah. Sera seperti anak itik buruk rupa yang hilang. Dia hanya mengenakan jeans belel dan kaos putih yang berbalut jaket bomber berwarna hjau lumut. Kakinya hanya dibalut sepatu sport yang sudah lusuh.
Dengan beban berat yang seakan menindih pundaknya, ia berjalan memasuki gedung dan menuju resepsionis.“Ada yang bisa saya bantu, Bu?” tanya petugas resepsionis yang bertugas. Petugas itu menampilkan senyum sopan yang terlihat cukup ramah.
“Saya penghuni baru apartemen ini, Mbak,” ucap Sera. Ia mengeluarkan kartu akses dari sling bag yang melingkar di pundak dan menunjukkan ke resepsionis. “Nama saya Sera Al-Idris, penghuni unit 509.”
Sebenarnya Sera tidak perlu melakukan itu. Ia bisa tinggal naik ke atas dengan menggunakan lift, tetapi untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan ia akhirnya tetap bertanya dengan resepsionis untuk memastikan bahwa namanya memang terdaftar sebagi penghuni salah satu unit apartemen di gedung itu, seperti yang dijelaskan laki-laki yang datang ek rumahnya tempo hari.
“Ah, iya benar. Data atas nama Sera Al-Idris sudah terdaftar sebagai penghuni unit nomor 509. Sudah dibayarkan lunas untuk dihuni sampai satu tahun ke depan oleh Bapak Adi Kurniawan.”
Benar. Salah satu dari tiga laki-laki yang datang ada yang bernama Adi Kurniawan. Sera menebak kalau laki-laki itu adalah tangan kanan Ardhi Prasetyo.
“Terima kasih, Mbak,” kata Sera sambil tersenyum tipis.
Ia langsung menuju lift yang berada di sebelah kanan dari pintu depan seperti yang telah diarahkan oleh resepsionis.
Di dalam lift, Sera langsung bersandar lemas. Ia tidak tahu dan tidak bisa membayangkan apa yang menantinya di atas sana.
Unit apartemennya sudah dibayar lunas untuk satu tahun. Apa itu artinya dia harus melayani Ardhi Prasetyo selama itu?
Sera menggeleng keras. Ia adalah perempuan dewasa yang tahu pasti bahwa dijadikan istri siri oleh Ardhi Prasetyo itu artinya dia harus mau dengan suka rela menjadi budak seks laki-laki itu. Ia merasa menjadi wanita simpanan. Bagaimana tidak? Ia dinikahi hanya sebatas karena sebuah perjanjian yang dibuat tanpa sepengetahuan dirinya. Bahkan bertemu dengan laki-laki yang sekarang berstatus sebagai suaminya pun belum pernah.
Sera sampai di lantai lima. Saat lift terbuka ia langsung menyeret kakinya yang memberat dengan perasaan ngeri di dalam hatinya. Begitu sampai di depan unit 509, jantungnya seperti jatuh ke dasar bumi.
“Kamu akan baik-baik saja, Sera,” bisiknya menguatkan diri.
Ia menyentuhkan kartu akses pada sebuah layar di samping pintu hinggga berbunyi ‘tit’ lalu pintu terbuka. Dengan gemetar ia mendorong pintu perlahan. Ia langsung mendapati ruangan gelap gulita.
Tangannya meraba-raba tembok untuk menemukan sakelar lampu. Begitu ketemu, ia langsung menekannya dan lampu menyala terang. Ruangan iru benar-benar memiliki definisi kemewahan yang nyata.
Sera takjub dibuatnya.
Ia memiliki beberapa teman yang cukup kaya yang tinggal di apartemen mewah. Tetapi yang ada di depan matanya ini jelas memiliki level yang jauh lebih mewah.
Sera melangkahkan kaki ke tengah ruangan yang terdapat sofa kulit berwarna cokelat dengan meja kaca lebar di depan sofa. Beberapa meter di dapnnya ada TV LED yang lebar. Di sisi kiri ruangan itu ada dapur dan pantri yang terpisah oleh rak tinggi berisi buku-buku tebal, dan juga bunga-bunga di dalam vas yang tampak segar.Di sisi kanan terdapat dua ruangan dengan pintu tertutup rapat. Sera berjalan ke arah pintu terdekat dan membukanya.
Lagi-lagi ia dihadapkan pada ruangan yang luas, dan mewah. Di tengah ruangan itu terdapat ranjang berukuran king yang tertutup oleh bed cover berwarna cokelat tua dengan motif garis-garis tipis tak beraturan. Sera membuka pintu lebar-lebar, memasuki ruangan itu lalu matanya tertuju pada pintu di sisi kanan. Seperti yang sera tebak, di dalam sana terdapat banyak pakaian wanita yang membuat Sera syok. Di sana terdapat gaun-gaun yang tidak pernah Sera bayangkan akan melekat di tubuhnya.
Sera dengan sungkan menyentuh gaun-gaun yang semuanya masih ada tag harganya. Sera tidak bisa untuk tidak ternganga melihat harga yang tertera di semua baju itu. Semuanya berkisar di angka jutaan. Di bagian ujung ruangan itu terdapat berderet sepatu, high heels, dan tas-tas branded yang selama ini kebanyakan hanya Sera lihat di toko.
Sera semakin syok saat melihat ada berbagai macam bra dan celana dalam dengan berbagai motif dan model. Dengan hati-hati ia mengecek ukuran bra dan celana dalam itu.
Sial! Batinnya. Semua sesuai dengan ukurannya.
Sera baru memindai kamar mandi yang tidak kalah mewahnya dengan ruangan yang lain saat ponselnya berbunyi nyaring. Ponsel khusus yang harus Sera gunakan.Kontak dengan nama ‘Adi Kurniawan’ adalah si penelepon.
Dengan berat hati, Sera mengangkat telepon itu.
“Saya sudah mendapat laporan kalau Anda sudah sampai di apartemen,” ucap Adi. Nada suaranya masih sama. Datar dan dingin.
“Ya,” jawab Sera singkat. Ia bahkan sudah tidak kaget kalau ada seseorang di luar sana yang mengawasi gerak-geriknya seperti buronan.
“Jam tujuh malam nanti, Bapak Ardhi akan berkunjung.”
Sera meneguk ludah dengan perasaan yang menggila. Jam tujuh malam, itu artinya hanya tersisa beberapa jam lagi sebelum Sera bertemu dengan laki-laki yang sudah menjadi suaminya. Laki-laki yang bahkan tidak pernah Sera temui secara langsung. Sera hanya beberapa kali melihat wajah Ardhi Prasetyo di TV. Siapa sangka laki-laki itu kini menjadi suaminya? Dunia suka sekali bercanda.
“Tolong Anda mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin. Gaun, alat make up, dan semua yang Anda perlukan sudah tersedia semua di sana,” sambung Adi. “Bapak Ardhi suka wanita yang anggun, jadi tolong jangan bersikap seperti wanita nakal karena Bapak Ardhi akan sangat membencinya.”
Wanita nakal katanya? Di hadapan mantan pacarnya pun Sera segan, bagaimana mungkin Sera bertingkah seperti wanita nakal di depan seseorang yang asing?
Sera hanya terus mendengarkan intruksi dari Adi tanpa mengatakan apa-apa. Ia terlalu frustrasi untuk berkata-kata.“Jangan sampai mengecewakan Bapak Ardhi, karena Anda sendirilah yang akan sangat dirugikan nanti.”
Bahkan hingga Adi mengakhiri sambungan, Sera hanya terpaku di sebelah ranjang dengan ponsel yang berada dalam genggaman yang menguat.
to be continued.
Sera baru saja selesai mandi saat suara ponselnya kembali bersuara nyaring. Dengan mengenakan handuk sebagai pembungkus tubuh telanjangnya, Sera keluar dari kamar mandi untuk melihat si penelepon. Kali ini pemilik nama ‘Ardhi Prasetyo’ yang muncul di layar. Badan Sera langsung panas, entah karena apa. Detak jantungnya berkejaran. Sera membiarkan ponsel itu berdering lama sebelum akhirnya dengan sangat terpaksa Sera menggeser layar untuk mengangkat panggilan telepon itu. “Saya mau bicara,” ucap suara dingin dari seberang telepon. Dingin sekali. Dingin yang membekukan tulang. Sera menatap jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah tujuh. “Kasih saya waktu sepuluh menit untuk siap-siap,” jawab Sera dengan menahan getaran dalam suara. “Saya nggak punya banyak waktu. Cepatlah keluar! Waktu saya terlalu mahal untuk dibuang sia-sia hanya untuk nunggu kamu. Keluar sekarang!” Dengan tubuh bergetar, Sera keluar dari kamar. Tangan
Satu minggu berlalu sejak Ardhi untuk pertama kalinya bertandang dan yang Sera lakukan hanyalah berdiam diri di apartemen. Menyiksa diri hanya dengan makan buah-buahan yang tersedia di kulkas. Ia tidak nafsu makan sama sekali. Setiap kali mencoba memasukkan nasi, ia akan langsung muntah. Dan itu cukup membuatnya tersiksa. Ditambah dengan kepala yang berdenyut nyeri membuatnya semakin malas untuk berbuat sesuatu. Namun, pada akhirnya ia memaksakan diri untuk tetap makan dan menguatkan diri. Ia tidak akan membiarkan dirinya tumbang hanya karena seorang iblis tak berperasaan seperti Ardhi. Sera keluar dari apartemen dan menuju sebuah kedai kopi di pojok kota yang biasa ia datangi selama ia menyelesaikan skripsi. Waktu menunjukkan pukul dua siang, dan kedai cukup lengang. Hanya ada beberapa orang yang menempati kursi-kursi kayu di dalam sana. Setelah memesan, Sera memilih untuk naik ke rooftop dan duduk di kursi paling ujung yang dekat dengan batas pagar yang terbuat dar
Berbeda dengan sikapnya yang selalu bertingkah layaknya bajingan, Ardhi memperlakukan Sera dengan sangat berhati-hati saat mereka berhubungan badan untuk pertama kalinya. Saat Sera menunjukkan kesakitan, Ardhi akan berhenti, bertanya pada Sera apakah perempuan itu baik-baik saja. Sera tidak bisa untuk tidak terenyuh karena tidak menyangka Ardhi akan memperlakukannya dengan sangat lembut seakan tidak mau menyakitinya. Saat Sera tak mampu untuk menahan air mata karena merasa ngilu yang luar biasa di bawah sana pun Ardhi dengan sabar menghapus air matanya. Perempuan itu bahkan bisa dengan jelas melihat wajah memuja Ardhi saat mereka berdua bergelung dalam gairah yang menyala. Sera merasa seperti sedang dicintai dan dihargai dengan penuh kasih. Sera merasa hampir gila saat mereka mencapai puncak kenikmatan yang membuat Sera menggeletar. Pelepasan yang sungguh menakjubkan, walaupun harus dibarengi dengan perih yang menggila. Keduanya saling merengkuh, meno
Menjadi seorang istri di saat umurnya bahkan belum menginjak usia dua puluh tiga tahun jelas tidak pernah terlintas dalam benak Sera. Ia sudah merancang masa depan dengan baik. Setelah lulus kuliah ia akan melamar kerja di tempat yang direkomendasikan oleh dosen pembimbingnya. Rencana berumah tangga jelas belum ada di agendanya untuk lima tahun ke depan.Namun, sayangnya bayangan itu buyar seketika karena hidup Sera berubah sekejap hanya dalam kurun waktu tidak lebih dari sebulan.Bulan lalu, ia masih bisa memakan masakan ibunya yang paling juara. Bulan lalu, ia masih bisa menikmati waktu dengan ayahnya, menemaninya menonton tayangan sepak bola di tengah malam, jalan-jalan pagi mengelilingi kompleks perumahan, makan bubur ayam di pinggir jalan, berbelanja di supermarket dengan membawa daftar yang telah dituliskan oleh ibunya, sungguh … terlalu banyak waktu yang ia habiskan dengan ayahnya. Bulan lalu, ia bisa keluar ru
Sera bangun pukul lima. Tidak lebih dari dua jam ia terlelap. Pagi yang tidak seperti biasanya karena ada satu makhluk asing yang berbagi ranjang yang sama dengannya semalam. Pertama kalinya tidur di atas ranjang yang sama dengan Ardhi membuatnya resah dan gelisah. Logikanya meneriakkan protes, namun sudut hatinya juga tidak tinggal diam. Menurut si sudut hati, hal ini wajar karena mereka adalah pasangan suami istri yang sah di mata agama. Logikanya berteriak sebaliknya. Tahu bahwa mereka bukan pasangan suami-istri yang normal layaknya pasangan di luar sana. Sera tidak tahu mana yang normal untuk hubungan yang terjalin dengan Ardhi saat ini. Di dalam kamar mandi, Sera mengguyur tubuh dari ujung kepala dengan air dingin dari shower. Sudah menjadi kebiasaan sejak kecil. Sedingin apa pun cuaca di pagi hari, ia tidak pernah mau mandi dengan air hangat dan ini berlangsung sampai ia dewasa.
Ardhi adalah sosok laki-laki yang sangat passionate dalam bekerja. Disiplin adalah motto hidupnya. Dan ia mewajibkan itu menjadi motto pegawai di kantornya. Sekali melanggar kedislipinan yang laki-laki itu terapkan, bisa dipastikan karirnya akan langsung tamat saat itu juga. Karena kedislipinan inilah yang semakin memajukan perusahaan. Para karyawan sudah terbiasa dengan ritme kerja Ardhi Prasetyo meski laki-laki berusia tiga puluh dua tahun itu baru menduduki posisinya sebagai CEO sejak setahun yang lalu, menggantikan Randi Prasetyo, sang ayah yang terkena stroke dan sampai kini hanya bisa beraktivitas seperti sedia kala. Separuh tubuhnya lumpuh hingga ke mana-mana harus duduk di atas kursi roda selama sisa hidupnya.Kedatangan Ardhi di kantor pusat yang berada di daerah Sudirman−pada sebuah gedung tinggi di lantai 30−disambut para pegawai yang berjumlah enam belas−delapan pegawai laki-laki dan delapan pegaw
Pulang ke rumah itu artinya Ardhi siap mendengarkan omelan sang ibu yang katanya rindu kepada anaknya yang jarang pulang. Padahal hampir setiap dua minggu sekali Ardhi menyempatkan untuk pulang ke rumah untuk menghabiskan waktu dengan sang ibu yang katanya kesepian.“Boy! I miss you soooo much!”Itu adalah teriakan dari seorang wanita berusia hampir enam puluh tahun. Tampilan wanita itu begitu anggun dan rapi. Tubuh sintalnya terbalut terusan selutut sederhana yang berwarna merah muda. Meski terlihat sederhana, namun semua orang tahu bahwa harga dari baju itu jelas tidak murah. Rambut pendek sebatas bahu yang sebagian sudah memutih itu tertata rapi. Tampilan sederhana tapi berkelas. Itulah definisi yang cocok untuk wanita yang biasa dipanggil Ardhi dengan sebutan Ibu. Mantan aktris terkenal pada zamannya. Selia Prasetyo, istri tercinta ayahnya.“I miss you too, Ibu!” Ardhi
Selia menatap Ardhi dengan tatapan yang penuh kekecewaan. Keluarga Tarendra sudah pergi sejak setengah jam yang lalu, namun Ardhi dan kedua orang tuanya belum beranjak dari posisi masing-masing.“Ibu dan Ayah kenapa nggak bilang sama saya dulu tentang hal ini?” tanya Ardhi dengan menahan kesal.“Seharusnya kamu sudah paham, Ardhi. Dua bulan lagi rapat direksi. Kamu sudah harus bertunagan sebelum itu kalau tidak mau menyerahkan posisimu sebagai CEO," ujar Selia dengan gusar.Ardhi tak gentar dan menatap ibunya tanpa berkedip. “Tidak akan ada pertunangan, Bu. Saya tidak berniat menikahi Thalia.”“Cepat atau lambat kamu tetap akan menikah. Dengan Thalia atau bukan," tegas Selia. Wanita paruh baya itu pun menatap anak semata wayangnya dengan ketegasan yang nyata.Ardhi menautkan jari-jemarinya. "Saya tahu, Bu. Kalau sudah saatnya menikah, saya akan
“Ardhi nggak pernah begitu waktu masih sama aku dulu. Dia nggak pernah bersikap begitu dengan siapa pun.” Arunika yang pertama membuka percakapan begitu Ardhi keluar dari ruangan milik laki-laki itu yang menyisakan dirinya bersama Sera. Ia tersenyum getir. “How can people changes a lot? What did you do to him?” “It’s just about time,” Sera menjawab dengan jujur. “And no. I didn’t do anything. Ardhi nggak berubah. Dia hanya nggak mau berusaha menunjukkan jati dirinya yang sesungguhnya karena dia pikir dia bisa menutupi luka di hatinya setelah ditinggal Kak Sarah dengan melakukan itu. Dan dia nggak sadar kalau yang dia lakukan membuat orang lain terluka. Membuat kamu terluka. Yang pada akhirnya juga berbalik melukai dirinya sendiri.” Sera mengendikkan bahu. Ia baru menyadari kalau ini baru kali pertama mereka berdua saling bicara kepada satu sama lain dan rasanya sungguh aneh karena Arunika bicara seolah-olah mereka cukup dekat
Ardhi bersedekap. Meski ada jarak yang memisahkan mereka lebih dari satu meter laki-laki itu tetap terlihat menjulang di hadapan Arunika. Ia sama sekali tidak terintimidasi oleh ucapan sinis Arunika. Laki-laki itu memberikan tatapan serius yang tidak bisa ditolak oleh Arunika.“Dunia nggak berpusat pada hidup kamu aja, Arunika,” ucap Ardhi dengan serius, “You have to accept that fact. Setiap orang punya panggungnya sendiri-sendiri dan sayangnya kamu nggak bisa menyeret aku dan Sera ke panggung sandiwara hidup kamu. Jangan terus memaksakan sesuatu yang nggak bisa kamu lakukan.”Senyum sinis Arunika lenyap. Arunika mengernyit. Mempertahankan ekspresi wajahnya agar tetap teguh, tetapi gagal. Ia melepas topeng sinis sialan itu dan tersenyum sedih. Menunjukkan sisi terlemahnya di depan Ardhi.“Kalau kamu nggak cuci otaknya David, dia nggak akan membuang aku, Berengsek!”Bahkan saat mengumpati Ardhi, ia tidak terdeng
Sebuah kotak kardus cokelat seukuran kotak sepatu di depan pintu apartemennya langsung menyita perhatian Sera saat ia baru kembali dari rumah ibu mertuanya untuk mengambil rendang dan aneka masakan rumahan yang ia buat bersama Selia sejak pagi. Ia sangat yakin kalau saat ia pergi tadi, kotak itu tak ada di sana.Saat Sera membungkuk untuk mengambil kotak itu, Sera langsung tahu bahwa Ardhi bukanlah pengirimnya. Laki-laki kaku itu tidak pernah memberikan sesuatu secara anonim kepadanya. Tidak akan pernah lagi, karena Sera pernah mengancam Ardhi agar tidak bersikap menjadi laki-laki misterius dan penuh rahasia. Selain karena ancaman itu, Ardhi juga lebih suka mempercayakan segala hal kepada asistennya yang paling setia karena ia tak mau repot.Kotak mencurigakan itu ditujukan untuk dirinya. Namanya tertera di pojok kanan atas. Selain itu tak ada informasi lain.Setelah meletakkan barang-barang bawaannya di atas meja dapur, Sera membuka“Astaga, ada-ad
Halo kakak-kakak pembaca. Perkenalkan saya Nafta, penulis cerita TURUN RANJANG. Mohon maaf sekali karena ini bukan update. Setelahmenulis sebanyak 133 bab, saya putuskan untuk membuat pengumuman ini sekaligus untuk menyapa pembaca yang sudah sangat loyal dengan cerita ini. Kisah ini akan saya tutup di bab 136, yang itu artinya tinggal 3 bab lagi menuju tamat. Saya sedih sekaligus lega karena akhirnya bisa menamatkan cerita ini setelah 8 bulan lamanya menuliskan kisah Ardhi dan Sera di GoodNovel. Mungkin beberapa dari kalian merasa kalau belum siap berpisah dengan Ardhi dan Sera, tapi cerita ini memang seharusnya selesai ketika Sera sudah mengetahui rahasia di balik pernikahannya dengan Ardhi. Saya sengaja tambahkan sedikit konflik dengan memunculkan David dan Arunika untuk melengkapi cerita. So, sampai ketemu di 3 bab terakhir yang akan saya upload minggu ini^^ Mohon maaf sekali karena cerita ini tidak akan ada ekstra part. Jadi cerita akan
“Mau sampai kapan kamu nggak bicara sama aku?” ujar Ardhi dengan nada sedikit geram. “You can’t do this to me, Sera. Aku nggak bermaksud menyisihkan kamu dari masalah. I’m just trying to protect you, don’t you get it?”Sera sudah mengabaikan suaminya itu sejak siang hingga menjelang malam hanya karena tidak diizinkan Ardhi untuk bertemu dan bicara secara langsung dengan David saat laki-laki itu tiba-tiba datang berkunjung ke apartemen mereka.Ardhi gemas sekali dengan tingkah Sera yang menurutnya terlalu berlebihan. Sudah Ardhi bilang kalau menghadapi David yang sedang emosi jauh lebih mudah dibandingkan dengan menghadapi Sera yang marah kepadanya. Sebenarnya aksi kali ini lebih pantas disebut merajuk. Dan hal ini juga seringkali mempersulit dirinya karena Sera selalu sengaja melakukannya. Wanita itu hanya diam, tak menanggapi satu pun ucapan Ardhi hingga laki-laki itu bingung harus bagaimana.“Se
Roda kehidupan berputar. Kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup tak bertahan selamanya. Dan itu seringkali terjadi dalam hidup Ardhi dan Sera. Mereka sudah cukup terbiasa untuk bisa menghadapinya dengan kepala dingin saat masalah datang hingga sedikit menyisihkan kebahagiaan dan ketenangan selama satu bulan pasca hari pernikahan. David yang sempat ‘menghilang’ dan tidak muncul di acara keluarga itu kini menunjukkan batang hidung. Tepat satu minggu sebelum rapat direksi, David muncul di depan pintu apartemen Ardhi dan Sera. Dan bukannya langsung membukakan pintu untuk sepupu Ardhi itu, Ardhi dan Sera malah sibuk berdebat. Membiarkan David menunggu di balik pintu. “Kamu udah setuju kalau kita akan bicara dengan mereka. Kita, ardhi. Bukan cuma kamu sendiri.” Sera menantang Ardhi dengan tatapan tajam yang gagal membuat Ardhi terintimidasi. “Aku memang bilang gitu, Sera. Tapi nggak sekarang. Aku nggak tahu David mau bicara soal apa. Aku nggak tahu gimana suasana h
“Keluarga kamu ternyata nggak seburuk yang aku bayangin,” ucap Sera saat keduanya memasuki lift untuk naik ke lantai sebelas. “Maksud kamu?” “Mereka kelihatan tulus waktu ngasih selamat buat kita,” jelas Sera. “Mereka mulai sadar kalau nggak sepantasnya ngata-ngatain kamu dan menyisihkan kamu dari bagian keluarga Prasetyo. Mungkin beberapa orang masih akan meremehkan kamu dan menyebut kamu nggak layak menjadi bagian keluarga Prasetyo. Tapi kan kita nggak bisa memuaskan hati semua orang. So let it be. Lama-lama mereka akan capek sendiri.” Ardhi merangkulkan lengan di bahu Sera dan menariknya mendekat. Ia menciumi puncak kepala Sera berkali-kali. “Kamu juga harus tahu, kalau kamu memang pantas jadi istriku. Cuma kamu, Sera. Jangan lupakan itu.” “Aku nggak akan ada di sini sekarang kalau aku nggak yakin bisa bertahan sama kamu di tengah-tengah rumitnya hubungan keluarga. Aku bisa ngerti kok. Keluargaku juga banyak dramanya. Jadi aku bisa n
Sera pernah bermimpi memiliki pernikahan megah dengan pasangan tampan bak pangeran dalam negeri dongeng yang ceritanya pernah ia baca dan ia tonton kala masih SD. Seiring Sera tumbuh dewasa, khayalan itu perlahan mengabur. Ia mulai bisa berpikir realistis bahwa pangeran tampan berkuda putih yang akan jatuh cinta pada pandangan pertama kepadanya itu tidak akan pernah hadir dalam hidupnya. Sampai ia bertemu dengan Ardhi dan terlibat dalam jerat kehidupan pelik yang banyak tangis dan kesedihan, ia pun segera sadar bahwa hidup memang tidak seindah yang diceritakan dalam dongeng. Namun, tidak lantas hidup ini buruk.Sera sudah belajar banyak tentang kehidupan selama hampir satu tahun mengenal Ardhi. Bahagia itu ada dan hadir menjelma cinta dan kasih sayang yang ia dan Ardhi rasakan terhadap satu sama lain. Saling memahami dan saling mengerti satu sama lain adalah bentuk dari usaha mereka mencapai bahagia itu. Hari ini, bisa dibilang merupakan salah satu hari membahagiakan bagi Ser
Entah apa yang akhirnya David katakan kepada Arunika. Wanita itu tak lagi menemui Ardhi. Tak juga mengirimkan pesan ‘aneh’ yang memicu kesalahpahaman. David juga tidak merecoki Ardhi dengan segala tuduhan dan umpatannya yang memuakkan. Ya, sebenarnya beberapa hari yang lalu, Ardhi-lah yang sengaja meminta dengan baik-baik kepada David melalui telepon agar laki-laki itu menahan diri dulu untuk tidak membuat masalah baru dan berhenti menemui wanita yang sempat dikencaninya hanya demi menutupi rasa sakit hatinya karena Arunika. Untungnya, David mau mendengarkannya meski tak benar-benar memberikan respons yang baik. Dan kabar terakhir yang Ardhi dengar dari sepupu-sepupunya yang lain, David sedang ada urusan pekerjaan di Bali dan Arunika ikut serta. Ardhi cukup bersyukur akan hal itu karena ia bisa berfokus pada acara pernikahannya dengan Sera yang tinggal menghitung jam. Saat ini sudah tengah malam. Ia dan Sera ada di kamar Ardhi di rumah orang tuanya. Mereka dipaksa me