Share

Rumah Tangga

Penulis: naftalenee
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sera bangun pukul lima. Tidak lebih dari dua jam ia terlelap. Pagi yang tidak seperti biasanya karena ada satu makhluk asing yang berbagi ranjang yang sama dengannya semalam. Pertama kalinya tidur di atas ranjang yang sama dengan Ardhi membuatnya resah dan gelisah.

 

Logikanya meneriakkan protes, namun sudut hatinya juga tidak tinggal diam. Menurut si sudut hati, hal ini wajar karena mereka adalah pasangan suami istri yang sah di mata agama. Logikanya berteriak sebaliknya. Tahu bahwa mereka bukan pasangan suami-istri yang normal layaknya pasangan di luar sana. Sera tidak tahu mana yang normal untuk hubungan yang terjalin dengan Ardhi saat ini.

Di dalam kamar mandi, Sera mengguyur tubuh dari ujung kepala dengan air dingin dari shower. Sudah menjadi kebiasaan sejak kecil. Sedingin apa pun cuaca di pagi hari, ia tidak pernah mau mandi dengan air hangat dan ini berlangsung sampai ia dewasa.

Wanita itu tidak banyak menghabiskan watu di kamar mandi. Keluar dengan mengenakan jubah mandi dan mengeringkan rambut panjangnya menggunakan handuk. Matanya langsung tertuju pada makhluk ‘asing’ yang posisi tidurnya menjadi tengkurap dengan kedua tangan tersimpan di bawah bantal.

 

Sera mendekat dengan gerakan pelan, menaikkan selimut yang melorot hingga memperlihatkan bagian punggung Ardhi yang tanpa baju−ada bekas cakaran melintang yang memerah, Sera tahu betul itu ulahnya semalam, bokser yang menggantung dan sedikit tersingkap menampilkan paha yang kuat dan atletis hingga memperlihatkan betis yang berbulu cukup lebat. Sera seperti diingatkan saat kaki yang kekar itu bergesekan dengan kakinya yang ramping. Wanita itu hampir mengumpat saat merasakan kedutan aneh menjalar di antara kedua pahanya.

Setelah menaikkan selimut hingga sebatas leher, Sera keluar dari kamar. Mencari tempat terjauh dari Ardhi untuk mengamankan kewarasan yang menipis. Dalam hati ia berkali-kali menggumankan mantra yang kurang lebih berbunyi seperti ini, “Ingat Sera, kamu cuma dijadikan budak seks oleh laki-laki itu. Tidak boleh pakai perasaan.”

Sera menuju pantry, menyeduh teh dari bunga chamomile kering yang dibelikan oleh Adi atas pesanannya. Wanita itu juga memesan bunga rosella, krisan, dan bunga telang kering. Juga teh hijau dan teh hitam yang popular di kalangan masyarakat. Ia mulai suka minum teh sejak ia memutuskan untuk berhenti minum kopi. Ia sempat keracunan kafein karena minum kopi sampai bergelas-gelas dalam sehari hingga asam lambungnya naik dan harus dilarikan ke rumah sakit. Itu saat ia semester enam yang artinya sudah lebih dari setahun yang lalu.

Setengah enam lewat sedikit, Sera membuka kulkas−yang tadi sebelum menyeduh the sudah sempat ia buaka dan tutup kembali hanya untuk mengecek untuk menyiapkan sarapan Ardhi. Semalam, setelah Ardhi lelap, Sera menyempatkan untuk membuka ponsel dan menghubungi Adi. Menanyakan perihal sarapan Ardhi.

Sera mengeluarkan bahan-bahan diantaranya seplastik roti tawar yang baru berkurang dua lembar−Sera mengambil empat lembar−lalu mengeluarkan wortel, kubis, bawang bombay, dua lembar kornet dan keju cheddar serta bahan-bahan lain yang ia perlukan untuk membuat sandwich. Ya, sarapan sehari-hari Ardhi adalah sandwich dan kopi. Begitu kata Adi.

Sementara Sera membuatkan sarapan untuk Ardhi, di kamar yang mereka tiduri semalam, laki-laki itu tengah menggeliat malas sesaat setelah mendengar suara alarm yang berbunyi nyaring. Memekakkan telinganya hingga mencipta gerutuan kesal dari bibir Ardhi.

Butuh beberapa waktu untuk Ardhi hingga matanya terbuka. Menyipit saat cahaya dari sisi kanannya menabrak wajah. Gorden berwarna putih yang menutupi pintu menuju balkon sudah terbuka. Sesaat kemudian kepalanya tertengok ke kanan dan kiri, meniti ruangan yang bukan tempat di mana ia biasa terbangun.

Desahan kecil keluar dari bibirnya saat teringat semalam ia memutuskan untuk tinggal dan tidur di satu kamar yang sama dengan Sera−wanita yang telah menjadi istrinya sejak tiga minggu yang lalu−untuk pertama kalinya.

Sisi kirinya sudah kosong. Tangannya otomatis tergerak untuk meraba lapisan sprei di sana. Sudah dingin. Itu artinya Sera sudah terbangun sejak lama, atau mungkin diam-diam pindah ke kamar sebelah saat ia sudah lelap. Ardhi tidak terlalu memusingkan itu dan memilih langung turun dari ranjang untuk segera mandi.

Ia keluar dari kamar mandi−tidak lebih dari lima belas menit−dengan handuk putih terlilit di bagian pinggang, menutupi tubuh bagian bawahnya hingga sebatas dengkul, dan mendapati Sera sedang berdiri membelakanginya. Menata pakaian kerja miliknya di atas ranjang yang sudah rapi.

“Adi mengantarkan pakaianmu tadi,” ucap Sera.

 

Wanita itu berbalik setelah mendengar suara pintu yang terbuka. Tatapannya tertuju langsung pada tubuh Ardhi yang masih basah. Terlihat seperti bintang iklan sabun. Juga tidak melewatkan gerakan seksi−Sera pasti sudah gila−saat Ardhi mengusap tengkuk dengan handuk kecil.

“Saya sudah siapkan sarapan,” kata Sera lagi dengan gugup. Saat ini ia sedang mati-matian menahan diri untuk tidak menelan ludah. Pertahanan dirinya sungguh lemah. Ia merapal mantra dalam hati agar tidak goyah.

Ardhi mengangguk. Berjalan mendekat ke arah Sera yang berdiri membatu seperti patung. “Kamu mau menunggui saya pakai baju?” tanyanya dengan melempar tatapan aneh kea rah Sera.

Yang ditatap tidak kunjung berkedip. Jiwanya seperti tidak ada di tempat.

“Sera, saya tanya kamu mau menunggui saya pakai baju?” ulang Ardhi dengam geram.

“Hah?”

Hanya respons singkat itu yang keluar dari bibir Sera. Benar-benar menguji kesabaran Ardhi padahal hari masih terlampau pagi.

“Saya mau pakai baju. Kamu mau tetap di sini karena ingin melihat saya mengenakan baju?” Ardhi mengulangi dengan intonasi yang lebih keras dengan penekanan kata di mana-mana.

Sera seketika tersadar dan menggeleng cepat. Wajahnya mungkin sudah semerah tomat karena malu. “Saya keluar,” ujar Sera dan kabur dari kamar secepat angin berhembus.

***

Pukul setengah tujuh tepat saat Ardhi menampakkan diri di pantry yang menyatu dengan dapur, dalam setelan kemeja slim-fit pas badan berwarna putih bersih, celana abu-abu yang tersetrika halus dan klimis. Jatuh dengan begitu tepat membungkus kaki panjang nna kekar milik Ardhi. Jas berwarna senada dengan celananya dan dasi berwarna hitam bergaris tersampir di lengan kiri. Memperlihatkan jam tangan mahal yang menyembul dari lengan bajunya yang sudah dikancingkan. Tangan kanannya menenteng ponsel. Sibuk membaca sesuatu dari layar enam inch itu. Definisi kesempurnaan yang tergambar jelas di kepala Sera.

Sera menemani Ardhi memakan sarapannya dalam diam. Lebih tepatnya tidak tahu harus mengobrolkan masalah apa. Sudah berapa kali ia bilang, mereka bukan pasangan suami-istri yang normal. Dan yang ia tahu, obrolan pagi yang manis penuh cinta hanya ada pada pernikahan normal. Benar, ia dan Ardhi tidak ada di posisi itu. Jadi, Sera memilih diam. Ardhi pun, tidak ada tanda-tanda mau membuka percakapan. Berminat sedikit pun tidak.

Sandwich empat potong yang berbentuk segitu itu berkurang dua. Dihabiskan oleh Ardhi hanya dalam beberapa menit. Kemudian menandaskan kopi hitam buatan Sera yang terasa pas di lidahnya saat ia cecap.

“Bantu saya pasang dasi,” ucap Ardhi.

Sera mengikuti gerakan mata Ardhi yang menatap dasi yang tersampir di punggung kursi yang tidak ditempati.

“Kenapa? Tidak bisa memasang dasi?” ejek Ardhi begitu menemukan ekspresi kebingungan di wajah Sera.

“Oh, nggak. Saya bisa, kok.” Sera tersenyum tipis. Beranjak dari duduknya untuk mengambil dasi itu dan memasangkannya di balik kerah kemeja Ardhi. Ia bisa memasang dasi sejak SMP. Diajari oleh ibunya. Katanya ia harus bisa melakukan itu agar suatu saat nanti bisa membantu sang ayah−yang sudah diajarkan cara memasang dasi namun tak kunjung bisa.

Berbeda dengan saat ia membantu memasangkan dasi untuk sang ayah, tangan Sera gemetaran. Seperti ada yang menabuh genderang di jantungnya hingga berdegup kencang. Sera membenci perasaan ini ketika tubuhnya bereaksi begitu mengerikan setiap kali berada di sekitar Ardhi.

Sera berhasil mengikatkan dasi dengan rapi setelah beberapa kali gagal dengan hasl yang tidak bagus. Meski begitu Ardhi tidak protes. Laki-laki itu dengan sabra menunggu Sera menyelesaikan pekerjaannya.

“Kamu harus mulai membiasakan diri mengikat dasi.” Ucapan itu bernada perintah namun berhasil menimbulkan gejolak aneh yang lagi-lagi harus segera Sera tepis agar tidak mengendap dan mengembang menjadi sesuatu yang berbahaya.

“Saya mau ikut kursus boleh?”

“Kursus apa?”

“Merangkai bunga. Saya bosan terkurung di sini.”

“Tidak ada yang mengurung dan menahanmu di sini.”

“Jadi, saya boleh ikut kursus?”

“Terserah dirimu. Itu bukan menjadi urusanku selama kamu tidak melupakan tugasmu.”

Tugasnya sebagai pemuas seks, maksud laki-laki itu? Sera tersenyum getir. Hanya sesaat sebelum menghapus senyum itu dari wajahnya dan menampilkan wajah datar. Tidak hanya Ardhi yang bisa mengklaim wajah sedatat tembok. Dirinya juga bisa. “Kamu tenang saja. Yang kamu butuhkan cuma badan saya yang pasrah di bawah kamu setiap kamu minta. Iya, saya tahu.”

Rahang Ardhi mengeras. Bayang wajahnya menggelap. Menghapus semua kelunakan yang sempat terpatri di sana. “Apa maksudmu berkata seperti itu?”

Sera ingin sekali menjawab, “Memangnya apa lagi? Saya di sini memang hanya untuk memuaskanmu, bukan?” Namun yang keluar dari bibirnya hanyalah, “Tidak ada. Kamu berangkat saja. Sudah hamper jam tujuh. Adi sudah menunggu di parkiran.”

Ardhi langsung berbalik meninggalkan Sera setelah menarik jas dan mengenakannya dengan cepat. Sera sekali lagi tidak melewatkan adegan yang tanpa cacar itu dengan bibir yang hamper menganga. Cepat sekali perubahan emosi dalam dirinya setiap kali menyangkut tentang Ardhi, dan juga tentang sikap laki-laki itu terhadapnya.

Normalnya, pasangan suami istri yang akan berpisah di pagi hari mereka akan berpamitan dengan mesra. Sang istri membawakan jas dan tas kerja hingga dpan pintu saat suami sedang mengenakan kaus kaki dan sepatu. Lalu berlanjut, entah itu berciuman di bibir, memberikan kecupan ringan di pipi, atau sang istri mencium punggung tangan suami. Namun, sekali lagi, Ardhi dan Sera bukan pasangan suami-istri yang normal. Boro-boro berciuman, sekadar berpamitan pun tidak.

Ardhi pergi. Seperti hari-hari sebelumnya. Meninggalkan pintu berdebam tanpa menatap Sera sama sekali.

 

to be continued.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Jessica Sims
kok kyk film fifty shade of grey ya? apa biru dr film itu?
goodnovel comment avatar
Achikandry
histeris dan mengharukan
goodnovel comment avatar
Syam Anugrah Iman
its no bad....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • TURUN RANJANG   Ardhi Prasetyo

    Ardhi adalah sosok laki-laki yang sangat passionate dalam bekerja. Disiplin adalah motto hidupnya. Dan ia mewajibkan itu menjadi motto pegawai di kantornya. Sekali melanggar kedislipinan yang laki-laki itu terapkan, bisa dipastikan karirnya akan langsung tamat saat itu juga. Karena kedislipinan inilah yang semakin memajukan perusahaan. Para karyawan sudah terbiasa dengan ritme kerja Ardhi Prasetyo meski laki-laki berusia tiga puluh dua tahun itu baru menduduki posisinya sebagai CEO sejak setahun yang lalu, menggantikan Randi Prasetyo, sang ayah yang terkena stroke dan sampai kini hanya bisa beraktivitas seperti sedia kala. Separuh tubuhnya lumpuh hingga ke mana-mana harus duduk di atas kursi roda selama sisa hidupnya.Kedatangan Ardhi di kantor pusat yang berada di daerah Sudirman−pada sebuah gedung tinggi di lantai 30−disambut para pegawai yang berjumlah enam belas−delapan pegawai laki-laki dan delapan pegaw

  • TURUN RANJANG   Perjodohan Konyol

    Pulang ke rumah itu artinya Ardhi siap mendengarkan omelan sang ibu yang katanya rindu kepada anaknya yang jarang pulang. Padahal hampir setiap dua minggu sekali Ardhi menyempatkan untuk pulang ke rumah untuk menghabiskan waktu dengan sang ibu yang katanya kesepian.“Boy! I miss you soooo much!”Itu adalah teriakan dari seorang wanita berusia hampir enam puluh tahun. Tampilan wanita itu begitu anggun dan rapi. Tubuh sintalnya terbalut terusan selutut sederhana yang berwarna merah muda. Meski terlihat sederhana, namun semua orang tahu bahwa harga dari baju itu jelas tidak murah. Rambut pendek sebatas bahu yang sebagian sudah memutih itu tertata rapi. Tampilan sederhana tapi berkelas. Itulah definisi yang cocok untuk wanita yang biasa dipanggil Ardhi dengan sebutan Ibu. Mantan aktris terkenal pada zamannya. Selia Prasetyo, istri tercinta ayahnya.“I miss you too, Ibu!” Ardhi

  • TURUN RANJANG   Rahasia Masa Lalu

    Selia menatap Ardhi dengan tatapan yang penuh kekecewaan. Keluarga Tarendra sudah pergi sejak setengah jam yang lalu, namun Ardhi dan kedua orang tuanya belum beranjak dari posisi masing-masing.“Ibu dan Ayah kenapa nggak bilang sama saya dulu tentang hal ini?” tanya Ardhi dengan menahan kesal.“Seharusnya kamu sudah paham, Ardhi. Dua bulan lagi rapat direksi. Kamu sudah harus bertunagan sebelum itu kalau tidak mau menyerahkan posisimu sebagai CEO," ujar Selia dengan gusar.Ardhi tak gentar dan menatap ibunya tanpa berkedip. “Tidak akan ada pertunangan, Bu. Saya tidak berniat menikahi Thalia.”“Cepat atau lambat kamu tetap akan menikah. Dengan Thalia atau bukan," tegas Selia. Wanita paruh baya itu pun menatap anak semata wayangnya dengan ketegasan yang nyata.Ardhi menautkan jari-jemarinya. "Saya tahu, Bu. Kalau sudah saatnya menikah, saya akan

  • TURUN RANJANG   Teman Baru

    Sera tersenyum lebar saat menginjakkan kaki di sebuah rumah minimalis bergaya bohemian bercat cokelat yang di depannya terdapat berbagai tanaman bunga yang amat sangat cantik. Sera bisa mengenali beberapa jenis bunga di sana.Di antaranya ada bunga krisan, mawar dengan berbagai jenis warna, lili, gerbera, carnation, matahari, gardenia, daffodil, dan hydrangea. Sudah seperti toko bunga saja. Sera tersenyum. Terasa sangat menyejukkan mata.Tempat kursus merangkai bunga itu terlihat lengang. Sera membuka pintu dan langsung terdengar lonceng di atasnya.Di ruangan yang cukup lebar itu tertata beberapa baris meja yang di setiap mejanya terdapat bunga-bunga yang sempat Sera lihat di depan. Sudah ada empat orang perempuan yang datang. Sera tersenyum menyapa mereka.“Mau ikut kursus merangkai bunga juga?” tanya perempuan yang mengenakan jilbab berwarna merah muda.“Iya,” jawab

  • TURUN RANJANG   Pelampiasan

    Sera kaget saat masuk ke dalam apartemen dan mendapati Ardhi tertidur di sofa dalam posisi duduk. Laki-laki itu masih mengenakan baju kerja yang sama dengan yang ia kenakan tadi pagi. Bahkan sepatunya tidak dilepas. Benar-benar kebiasaan yang sesungguhnya tidak Sera sukai. Namun, Sera jelas tak punya kuasa untuk meminta Ardhi untuk menuruti wanita itu agar mau melepas sepatu dan meletakkannya di rak yang tepat berada di dekat pintu masuk. Bisa-bisa Sera malah disembur dengan kata-kata menyakitkan karena laki-laki itu tidak suka diatur.Tidak suka diatur tapi hobinya mengatur orang lain. Yah, begitulah Ardhi.Sera geleng-geleng kepala kecil melihat Ardhi di posisi itu, kemudian memilih untuk langsung ke kamar untuk bersih-bersih badan yang terasa lengket dan gerah karena keringat. Meninggalkan Ardhi yang masih lelap bahkan saar Sera keluar dari kamar dalam keadaan yang sudah segar.Menuju ke dapur, Sera membuka kul

  • TURUN RANJANG   Makan Malam Gagal

    Keanehan Ardhi masih belum usai. Laki-laki itu mengatakan akan tetap tinggal dan tidur di apartemen lagi. Laki-laki itu bahkan menwarakan untuk makan malam bersama setelah berhubungan seks yang luar biasa sore tadi.Sera bingung bagaimana caranya menolak. Karena sebagian besar hatinya mengaminkan keberadaan Ardhi di apartemen ini adalah jawaban dari Tuhan atas doanya yang mengharapkan pernikahan yang normal. Ya, Sera sedikit merevisi doanya. Tidak lagi mengharapkan pernikahan yang harmonis, namun cukup sebuah pernikahan normal seperti saat ini. Dengan Sera yang duduk berseberangan dengan Ardhi di pantry.Mereka memutuskan makan di pantry karena Sera protes saat Ardhi mengusulkan makan di ruang makan. Ruangan yang masih ada jejak-jejak percintaan, setidaknya di kepala Sera yang makin ternodai.“Mendapat pelajaran apa saja tadi?”“Hah?”“Tadi kamu bilang pergi kurs

  • TURUN RANJANG   Rasa yang Masih Ada

    “Hasan ke mana?” tanya Ardhi melihat ke sekeliling. Mood-nya menurun drastis ketika ia sampai di kantor dan tidak menemukan keberadaan Hasan padahal sudah hampir pukul setengah sembilan. Jelas saja Ardhi sewot, mobilitas di kantor itu sudah harus aktif sejak pukul delapan dan saat ini sudah lewat dari setengah jam namun batang hidung Hasan belum tampak juga. “Masih di perjalanan, Pak. Kendaraannya sempat mogok,” “Alasan basi. Awas saja, setelah ini saya pecat dia!”Ardhi berdecak malas. Baru kemarin dirinya menggebu karena ingin segera mencalonkan Hasan menjadi Manajer Pemasaran, hari ini rasanya Ardhi ingin membatalkan niatnya itu karena kesal. Waktunya terbuang sia-sia hanya untuk menunggui anak buahnya itu padahal sudah ia ingatkan kemarin untuk ikut melakukan kunjungan ke mall yang berada di Kelapa Gading. Mall yang resmi dibuka saat Ardhi ditunjuk sebagai CEO menggantikan ayah

  • TURUN RANJANG   Asing

    Orang suruhan Ardhi benar-benar datang saat Sera baru saja selesai mandi dan berpakaian. Sera kira hanya akan ada satu orang, tetapi ternyata yang datang ada tiga orang. Mereka semua laki-laki dan dua di antaranya adalah orang yang sama dengan laki-laki yang mendatangi rumah Sera beberapa minggu lalu bersama Adi.Sera juga mengira bahwa pakaian yang dimaksud Ardhi hanya satu atau dua koper. Ternyata lebih dari itu. Meskipun begitu tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena wardrobe room yang terisi pakaian-pakaian Sera itu masih kosong separo. Lebih tepatnya sengaja dikosongkan. Sera pun tidak keberatan karena sebagian besar pakaian yang awalnya ada di sana itu kelewat seksi dan Sera benar-benar malas untuk mengenakannya.“Maaf, Bu, kami izin masuk,” ucap salah satu dari ketiga laki-laki−yang berambut cepak dengan garis muka sangar−dengan gerakan yang sopan.“Silakan masuk.”

Bab terbaru

  • TURUN RANJANG   Menjadi Dewasa [2] - (END)

    “Ardhi nggak pernah begitu waktu masih sama aku dulu. Dia nggak pernah bersikap begitu dengan siapa pun.” Arunika yang pertama membuka percakapan begitu Ardhi keluar dari ruangan milik laki-laki itu yang menyisakan dirinya bersama Sera. Ia tersenyum getir. “How can people changes a lot? What did you do to him?” “It’s just about time,” Sera menjawab dengan jujur. “And no. I didn’t do anything. Ardhi nggak berubah. Dia hanya nggak mau berusaha menunjukkan jati dirinya yang sesungguhnya karena dia pikir dia bisa menutupi luka di hatinya setelah ditinggal Kak Sarah dengan melakukan itu. Dan dia nggak sadar kalau yang dia lakukan membuat orang lain terluka. Membuat kamu terluka. Yang pada akhirnya juga berbalik melukai dirinya sendiri.” Sera mengendikkan bahu. Ia baru menyadari kalau ini baru kali pertama mereka berdua saling bicara kepada satu sama lain dan rasanya sungguh aneh karena Arunika bicara seolah-olah mereka cukup dekat

  • TURUN RANJANG   Menjadi Dewasa

    Ardhi bersedekap. Meski ada jarak yang memisahkan mereka lebih dari satu meter laki-laki itu tetap terlihat menjulang di hadapan Arunika. Ia sama sekali tidak terintimidasi oleh ucapan sinis Arunika. Laki-laki itu memberikan tatapan serius yang tidak bisa ditolak oleh Arunika.“Dunia nggak berpusat pada hidup kamu aja, Arunika,” ucap Ardhi dengan serius, “You have to accept that fact. Setiap orang punya panggungnya sendiri-sendiri dan sayangnya kamu nggak bisa menyeret aku dan Sera ke panggung sandiwara hidup kamu. Jangan terus memaksakan sesuatu yang nggak bisa kamu lakukan.”Senyum sinis Arunika lenyap. Arunika mengernyit. Mempertahankan ekspresi wajahnya agar tetap teguh, tetapi gagal. Ia melepas topeng sinis sialan itu dan tersenyum sedih. Menunjukkan sisi terlemahnya di depan Ardhi.“Kalau kamu nggak cuci otaknya David, dia nggak akan membuang aku, Berengsek!”Bahkan saat mengumpati Ardhi, ia tidak terdeng

  • TURUN RANJANG   This Means War

    Sebuah kotak kardus cokelat seukuran kotak sepatu di depan pintu apartemennya langsung menyita perhatian Sera saat ia baru kembali dari rumah ibu mertuanya untuk mengambil rendang dan aneka masakan rumahan yang ia buat bersama Selia sejak pagi. Ia sangat yakin kalau saat ia pergi tadi, kotak itu tak ada di sana.Saat Sera membungkuk untuk mengambil kotak itu, Sera langsung tahu bahwa Ardhi bukanlah pengirimnya. Laki-laki kaku itu tidak pernah memberikan sesuatu secara anonim kepadanya. Tidak akan pernah lagi, karena Sera pernah mengancam Ardhi agar tidak bersikap menjadi laki-laki misterius dan penuh rahasia. Selain karena ancaman itu, Ardhi juga lebih suka mempercayakan segala hal kepada asistennya yang paling setia karena ia tak mau repot.Kotak mencurigakan itu ditujukan untuk dirinya. Namanya tertera di pojok kanan atas. Selain itu tak ada informasi lain.Setelah meletakkan barang-barang bawaannya di atas meja dapur, Sera membuka“Astaga, ada-ad

  • TURUN RANJANG   DEAR PEMBACA

    Halo kakak-kakak pembaca. Perkenalkan saya Nafta, penulis cerita TURUN RANJANG. Mohon maaf sekali karena ini bukan update. Setelahmenulis sebanyak 133 bab, saya putuskan untuk membuat pengumuman ini sekaligus untuk menyapa pembaca yang sudah sangat loyal dengan cerita ini. Kisah ini akan saya tutup di bab 136, yang itu artinya tinggal 3 bab lagi menuju tamat. Saya sedih sekaligus lega karena akhirnya bisa menamatkan cerita ini setelah 8 bulan lamanya menuliskan kisah Ardhi dan Sera di GoodNovel. Mungkin beberapa dari kalian merasa kalau belum siap berpisah dengan Ardhi dan Sera, tapi cerita ini memang seharusnya selesai ketika Sera sudah mengetahui rahasia di balik pernikahannya dengan Ardhi. Saya sengaja tambahkan sedikit konflik dengan memunculkan David dan Arunika untuk melengkapi cerita. So, sampai ketemu di 3 bab terakhir yang akan saya upload minggu ini^^ Mohon maaf sekali karena cerita ini tidak akan ada ekstra part. Jadi cerita akan

  • TURUN RANJANG   Another Storm is Coming Up [2]

    “Mau sampai kapan kamu nggak bicara sama aku?” ujar Ardhi dengan nada sedikit geram. “You can’t do this to me, Sera. Aku nggak bermaksud menyisihkan kamu dari masalah. I’m just trying to protect you, don’t you get it?”Sera sudah mengabaikan suaminya itu sejak siang hingga menjelang malam hanya karena tidak diizinkan Ardhi untuk bertemu dan bicara secara langsung dengan David saat laki-laki itu tiba-tiba datang berkunjung ke apartemen mereka.Ardhi gemas sekali dengan tingkah Sera yang menurutnya terlalu berlebihan. Sudah Ardhi bilang kalau menghadapi David yang sedang emosi jauh lebih mudah dibandingkan dengan menghadapi Sera yang marah kepadanya. Sebenarnya aksi kali ini lebih pantas disebut merajuk. Dan hal ini juga seringkali mempersulit dirinya karena Sera selalu sengaja melakukannya. Wanita itu hanya diam, tak menanggapi satu pun ucapan Ardhi hingga laki-laki itu bingung harus bagaimana.“Se

  • TURUN RANJANG   Another Storm is Coming Up

    Roda kehidupan berputar. Kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup tak bertahan selamanya. Dan itu seringkali terjadi dalam hidup Ardhi dan Sera. Mereka sudah cukup terbiasa untuk bisa menghadapinya dengan kepala dingin saat masalah datang hingga sedikit menyisihkan kebahagiaan dan ketenangan selama satu bulan pasca hari pernikahan. David yang sempat ‘menghilang’ dan tidak muncul di acara keluarga itu kini menunjukkan batang hidung. Tepat satu minggu sebelum rapat direksi, David muncul di depan pintu apartemen Ardhi dan Sera. Dan bukannya langsung membukakan pintu untuk sepupu Ardhi itu, Ardhi dan Sera malah sibuk berdebat. Membiarkan David menunggu di balik pintu. “Kamu udah setuju kalau kita akan bicara dengan mereka. Kita, ardhi. Bukan cuma kamu sendiri.” Sera menantang Ardhi dengan tatapan tajam yang gagal membuat Ardhi terintimidasi. “Aku memang bilang gitu, Sera. Tapi nggak sekarang. Aku nggak tahu David mau bicara soal apa. Aku nggak tahu gimana suasana h

  • TURUN RANJANG   The Day [2]

    “Keluarga kamu ternyata nggak seburuk yang aku bayangin,” ucap Sera saat keduanya memasuki lift untuk naik ke lantai sebelas. “Maksud kamu?” “Mereka kelihatan tulus waktu ngasih selamat buat kita,” jelas Sera. “Mereka mulai sadar kalau nggak sepantasnya ngata-ngatain kamu dan menyisihkan kamu dari bagian keluarga Prasetyo. Mungkin beberapa orang masih akan meremehkan kamu dan menyebut kamu nggak layak menjadi bagian keluarga Prasetyo. Tapi kan kita nggak bisa memuaskan hati semua orang. So let it be. Lama-lama mereka akan capek sendiri.” Ardhi merangkulkan lengan di bahu Sera dan menariknya mendekat. Ia menciumi puncak kepala Sera berkali-kali. “Kamu juga harus tahu, kalau kamu memang pantas jadi istriku. Cuma kamu, Sera. Jangan lupakan itu.” “Aku nggak akan ada di sini sekarang kalau aku nggak yakin bisa bertahan sama kamu di tengah-tengah rumitnya hubungan keluarga. Aku bisa ngerti kok. Keluargaku juga banyak dramanya. Jadi aku bisa n

  • TURUN RANJANG   The Day

    Sera pernah bermimpi memiliki pernikahan megah dengan pasangan tampan bak pangeran dalam negeri dongeng yang ceritanya pernah ia baca dan ia tonton kala masih SD. Seiring Sera tumbuh dewasa, khayalan itu perlahan mengabur. Ia mulai bisa berpikir realistis bahwa pangeran tampan berkuda putih yang akan jatuh cinta pada pandangan pertama kepadanya itu tidak akan pernah hadir dalam hidupnya. Sampai ia bertemu dengan Ardhi dan terlibat dalam jerat kehidupan pelik yang banyak tangis dan kesedihan, ia pun segera sadar bahwa hidup memang tidak seindah yang diceritakan dalam dongeng. Namun, tidak lantas hidup ini buruk.Sera sudah belajar banyak tentang kehidupan selama hampir satu tahun mengenal Ardhi. Bahagia itu ada dan hadir menjelma cinta dan kasih sayang yang ia dan Ardhi rasakan terhadap satu sama lain. Saling memahami dan saling mengerti satu sama lain adalah bentuk dari usaha mereka mencapai bahagia itu. Hari ini, bisa dibilang merupakan salah satu hari membahagiakan bagi Ser

  • TURUN RANJANG   Before The Day

    Entah apa yang akhirnya David katakan kepada Arunika. Wanita itu tak lagi menemui Ardhi. Tak juga mengirimkan pesan ‘aneh’ yang memicu kesalahpahaman. David juga tidak merecoki Ardhi dengan segala tuduhan dan umpatannya yang memuakkan. Ya, sebenarnya beberapa hari yang lalu, Ardhi-lah yang sengaja meminta dengan baik-baik kepada David melalui telepon agar laki-laki itu menahan diri dulu untuk tidak membuat masalah baru dan berhenti menemui wanita yang sempat dikencaninya hanya demi menutupi rasa sakit hatinya karena Arunika. Untungnya, David mau mendengarkannya meski tak benar-benar memberikan respons yang baik. Dan kabar terakhir yang Ardhi dengar dari sepupu-sepupunya yang lain, David sedang ada urusan pekerjaan di Bali dan Arunika ikut serta. Ardhi cukup bersyukur akan hal itu karena ia bisa berfokus pada acara pernikahannya dengan Sera yang tinggal menghitung jam. Saat ini sudah tengah malam. Ia dan Sera ada di kamar Ardhi di rumah orang tuanya. Mereka dipaksa me

DMCA.com Protection Status