Genggaman tangan Mas Tama terasa begitu mendalam dan erat, aku ingin melepas namun ia menahan agar jemari kami tetap bertautan. Mbak Aira masih menangis pilu, suamiku juga masih merangkul tubuhnya dengan penuh perasaan."Apa salahku, Mas? Mengapa tiba tiba diri ini dimadu tanpa alasan? Apakah aku sudah membuatmu sakit hati? Tolong sebutkan kesalahanku?""Kita hanya semakin hari semakin jauh, Aira, kita saling mendiamkan dan kupikir kau mungkin sudah tak memerlukan ku di sisimu?""Kau tidak peka Mas, aku mendiamkanmu untuk menunggu kau mendekatiku dan memberiku perlakuan romantis lagi seperti dulu. Nyatanya, kau membeku dan semakin menjauh," jawab wanita itu lemah, tiba tiba ia lemas dan tersungkur pingsan di pelukan Mas Tama. Aku yang terhenyak, hanya bisa berdiri dengan bingung, takut dan semakin pesimis akan kelangsungan hubungan dengan orang yang seminggu baru bersamaku.Lihatlah mereka saling memeluk dan mencurahkan Rindu, saling memprotes dan memberi alasan bahwa sebenarnya hubun
"kalau begitu aku pulang dulu ya Mas,"ucapku sambil menghampiri Mas Tama dan mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangannya.Suamiku yang paham dengan itu lantas mengulurkan tangannya untuk ku cium, tapi tiba-tiba sang istri menepisnya dan menahan lengan suaminya."Jangan sentuh Mas Tama di hadapanku, aku tidak bisa menyaksikan itu.""Oh, maaf, baiklah," jawabku lirih."Pulanglah Dan bicarakan ini pada orang tuamu, katakan pada mereka bahwa aku tidak bersedia untuk menyerahkan suamiku!" Mas Tama ingin protes dan membelaku tapi wanita itu mencengkeram tangannya dan memberinya isyarat agar pria itu tidak ikut campur pada urusan kami, meski terlihat memiliki wajah ayu yang penuh kelembutan namun Mbak Aira ternyata wanita yang tegas dan cukup punya prinsip. Aku salut padanya."Satu-satunya hal yang sudah menjauhkan kita sejauh ini hanya tentang kebungkaman, mulai hari ini aku tidak akan diam lagi. Akan ku pertahankan apa yang menjadi hakku dan aku cintai orang yang mencintaiku. Kita
".Mari kita lihat keputusan apa yang akan diambil Tama untuk dirimu dan istrinya. Kau jangan buru-buru untuk bertindak dan membuat keputusan karena pikiranmu sedang kacau sekarang. Om rasa ... Dia melakukan itu pasti ada alasannya.""Kenapa Om begitu yakin?""Karena aku juga laki laki," jawabnya."Kalau memang punya prinsip, kenapa dia tidak jujur, bahkan aku tidak akan menentang kalau mereka saling mencintai dan istrinya pun merestui. Tidak ada alasan untuk menghalangi kebahagiaan seseorang dibanding dia harus melibatkan Raisa dalam kekacauan besar ini," ucap Bunda sambil menatap Om Vicky."Sebagai pemimpin keluarga yang bertanggung jawab atas kalian semua, aku akan menemui Tama esok hari, juga menemui orang tuanya.""Orang tuanya juga salah, kenapa mendukung kehobongan dengan rangkaian kebohongan yang lain. Harusnya mereka juga terbuka,", rutuk bunda yang tak kuasa menahan kekecewaan.Hatiku makin remuk redam, aku merasa sangat hancur dan bersalah atas kejadian ini, aku berada di
Saat aku pergi untuk menemui Mas Tama di kantin, dari jauh kulihat siluet dirinya yang sedang duduk dengan serius menunggu kehadiranku.Hatiku bimbang bertemu, tapi kerinduan dalam diriku membuncah. Kusadari bahwa meski statusku istri tapi kerinduan ini seakan rasa yang terlarang."Apa kabarmu Mas?""Raisa ... aku nyaris mati memikirkan jika aku tak berjumpa denganmu, aku sangat rindu," ucapnya sambil meraih tanganku. Mendengar ucapannya yang menyentuh, hatiku sontak kembali sedih dan teriris."Bagaimana kelangsungan kita Mas, apa kita harus berpisah?""Jangan bilang begitu, aku tidak menikah untuk berpisah," jawabnya."Tolong ambil keputusan Mas, tolong tegaskan pada semua orang jika kau memang memilih mempertahankan," ujarku mendesak.Mas Tama menggenggam tanganku dengan jemari tangannya yang erat, di jari ku masih ada cincin pernikahan kami sementara di jarinya cincin itu sudah tidak ada lagi."Kau bahkan tidak berani memakai cincin pernikahan kita dan sudah menggantinya dengan ci
Karena Mbak Aira memintaku untuk mendatanginya ke rumahnya, aku yang merasa tahu diri dan tidak punya pilihan untuk menolak Hanya mengiyakan dan berjanji akan menemuinya selepas pulang kerja.Pukul lima sore, aku sudah berdiri di depan gerbang rumah bercat putih itu. Kupencet bel dan tak lama kemudian putri suamiku yang bernama Naura menyapa dan membukakan gerbang."Apa kabar Naura?""Tante mau ketemu Bunda?""Iya.""Tante istrinya ayah, ya?" Duh, pertanyaan anak itu membuatku malu sendiri untuk menjawabnya. Secara tak disengaja, kini aku punya dua anak sambung yang mau tak mau harus kucintai seperti mencintai ayah mereka."Apakah Bunda di dalam?""Iya, tapi Tante belum jawab, apakah Tante istrinya Ayah?""Bu-bukan," jawabku dengan tenggorokan tercekat."Tapi kemarin, saya lihat, ada foto nikah Tante dan ayah."Kuturunkan diriku, sejajar dengan bocah yang kurasa masih kelas satu SD itu. Kupaksakan senyum di dekatnya dan berusaha memberinya kalimat yang cukup masuk akal."Begini ... u
"Jangan membuat dirimu jadi wanita durhaka dan menempatkan diriku sebagai suami yang zalim. Aku menikah karena memang itu hakku dan agama tidak melarangnya, lagi pula tanggung jawab dan nafkah tetap kuberikan padamu jadi seharusnya kau tidak mencak-mencak seperti ini.""Kau ... gak punya malu kamu ya, Mas.""Hmm, dengar, ayah ibu mertua, saya menghargai kalian semua, tapi tolong jangan memprovokasi Aira untuk melawan saya.""Tidak bisa, kau yang lebih dulu bikin masalah baru tanpa menyelesaikan masalah yang ada, kau itu gila!" ucap Ibu mertua."Dengar ...." Tiba tiba ayah Mbak Aira menyela, "jika kau merasa Raisa harus kau hargai maka anak kami harus mendapatkan penghargaan yang sama. Kau telah menikahi Raisa atas izin dan restu orang tuanya begitu pula dengan Aira. Kau tidak bisa lantas mencampakkan anakku gara-gara sudah punya istri baru, ini tidak adil untuknya dan tidak adil untuk cucu-cucuku.""Justru kemarin malam kami datang padanya untuk minta maaf dan minta restu.""Kau ba
Perlahan kubuka mata dan menyadari diri ini tertidur dalam posisi meringkuk di karpet tanpa bantqk atau selimut. Saat bangkit kepalaku seakan berputar pusing dan terasa berat sekali. Kupandang pantulan wajahku di cermin di mana ia terlihat pucat dan lemas sekali. Kuhela napas sambil beranjak ke kamar mandi untuk mengosongkan kandung kemih.Saat berdiri di depan cermin kamar mandi untuk mencuci muka, tiba tiba aku menyadari sesuatu, gejala yang sudah timbul padaku sejak Minggu Minggu terakhir ini. Seingatnya, membaur dengan suami dalam masa subur, mungkinkah, mual, pusing, lemas yang kurasakan sekarang adalah tanda tanda kehamilan.Kubuka laci dan mengeluarkan testpack dari sana, niatnya, aku ingin mengeceknya, tapi tiba tiba kuurungkan saja karena tidak sanggup melihat hasilnya. Aku akan semakin pusing saja dengan melihat hasil tespek. Ditambah masalah yang sedang berkelahi dalam pikiranku akan membuat situasinya semakin kacau."Kalau hamil, Alhamdulillah. Kalau tidak, tak mengapa.
"Aira! Hentikan, jangan berteriak, kau membuatku malu.""Malu? Jadi kau malu, jadi kau menyadari bahwa pernikahan diam-diam adalah aib yang harus disembunyikan?!""Aku tidak malu sama sekali atas pernikahanku tapi lama-lama aku malu dengan sikapmu yang seperti anak-anak. Pahamilah bahwa aku berusaha bicara denganmu secara pribadi namun kau selalu membuat drama dan malah mengundang orang tuamu. Kau tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan semuanya dari awal sampai akhir karena kau selalu histeris dan menangis. Aku harus bagaimana?!""Apa kau tidak sadar bahwa aku tidak menerima pernikahanmu dan kenyataan pahit ini.""Tapi aku sudah menikah dan aku tidak akan meninggalkan Raisa!" Mas Tama yang juga kehilangan kesabaran akhirnya berteriak juga untungnya posisi kami sedang di dalam rumah meski itu di ruang tamu yang langsung menghadap ke jalan. Suasana kompleks masih sepi sehingga aku bisa sedikit merasa lega, namun aku tidak akan membiarkan ini berlanjut begitu lama."Mas, teganya ka