"Aira! Hentikan, jangan berteriak, kau membuatku malu.""Malu? Jadi kau malu, jadi kau menyadari bahwa pernikahan diam-diam adalah aib yang harus disembunyikan?!""Aku tidak malu sama sekali atas pernikahanku tapi lama-lama aku malu dengan sikapmu yang seperti anak-anak. Pahamilah bahwa aku berusaha bicara denganmu secara pribadi namun kau selalu membuat drama dan malah mengundang orang tuamu. Kau tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan semuanya dari awal sampai akhir karena kau selalu histeris dan menangis. Aku harus bagaimana?!""Apa kau tidak sadar bahwa aku tidak menerima pernikahanmu dan kenyataan pahit ini.""Tapi aku sudah menikah dan aku tidak akan meninggalkan Raisa!" Mas Tama yang juga kehilangan kesabaran akhirnya berteriak juga untungnya posisi kami sedang di dalam rumah meski itu di ruang tamu yang langsung menghadap ke jalan. Suasana kompleks masih sepi sehingga aku bisa sedikit merasa lega, namun aku tidak akan membiarkan ini berlanjut begitu lama."Mas, teganya ka
"Raisa, Om Rafiq mengkhawatirkanmu, jaga dirimu," ucapnya saat aku meninggalkan mereka. Kubalikkan badan sekilas sambil tersenyum tipis lalu melanjutkan tugas tugasku.*Pukul lima sore aku kembali, kumasukkan motor ke halaman rumah lalu menutup kembali gerbang setinggi satu meter setengah itu. Saat akan membuka pintu, aku sangat terkejut melihat ada coretan cat semprot di lantai yang bertuliskan pelakor dan sebuah kotak di sana. Saat kubuka, aku terkejut dengan bangkai tikus dan darah yang mengerikan. Ini jelas jelas teror dan kebencian yang mereka kirimkan, namun, aku tak tahu siapa pelakunya. Mungkin mba Aira atau mungkin juga keluarganya.Kuvideokan gambar mengerikan itu kaku mengirimnya ke nomor Bunda dan Mas Tama. Aku ingin tahu apa reaksi mereka.(Astaghfirullah Nak, siapa yang melakukan itu.)(Sudah banyak penderitaan dan hinaan yang Raisa alami sejak tiga hari terakhir. Rasanya sudah tak sanggup lagi Bunda ....)(Sabar anakku, kita akan cari tahu pelakunya.)(Aku tidak punya
Lalu beginilah kami sekarang, duduk berhadapan antara dua keluarga, keluarga Om Adi dan keluarga papa tiri serta bundaku. Kami saling bertanya kabar lalu diam untuk beberapa saat hingga Om Vicky mulai membuka percakapan dan membicarakan hal yang sebenarnya terjadi."Kami tidak pernah tahu kalau Ananda Tama sudah punya istri. Wanita itu datang dan menyalahkan Raisa berhari-hari membuat masalah dan teror, menyalahkan Raisa sebagai wanita kedua dalam rumah tangganya lalu membuat situasi semakin keruh. Apa kalian sudah tahu dan memikirkan ini sebelumnya."Mendapatkan pertanyaan seperti itu Om Adi dan tante Sisil diam saja. Mereka berdua saling pandang, Om Adi nampak menunduk sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu tersenyum getir."Begini, wanita itu tidak pernah kami anggap sebagai istri anak kami, karena pernikahan mereka berlangsung tanpa restu. Kami sudah mencegahnya tapi mereka bersi keras sehingga kami memutuskan untuk menolak pernikahan itu selamanya.""Tapi, faktanya ti
"Begini saja Mas Adi, bagaimana kalau kita datangkan Tama ke tempat ini dan bertanya padanya?" tanya Om Vicky pada ayah mertua."Mas Tama sudah Janji tidak akan meninggalkan saya," ucap Mbak Aira."Tapi Aira ... Tolong pikirkan nasib Raisa juga, dia sudah terlanjur jadi istri suamimu dan mustahil dia akan diceraikan sebelum sebulan menikah, dia akan dipermalukan.""Heh, sepertinya kalian semua hanya memikirkan maslahat Raisa?" Wanita itu tertawa getir sambil mengusap air mata."Bukan begitu, Nak, kami semua justru ingin mencari solusi agar kehidupan kalian bisa berlangsung dengan damai tanpa ada yang disakiti," ucap Bunda."Namun saya sudah terlanjur disakiti, Saya tidak menerima poligami ini dan saya tidak akan menyetujuinya. Saya punya anak-anak dan kami masih berhak atas ayah mereka.""Kami pun tidak akan membiarkan Raisa kehilangan suaminya dan hidup merana,"ucap Om Adi sambil menuding menantunya."Ayah ... teganya ayah memaksa saya untuk menerima persetujuan poligami, mengapa aya
Setelah percakapan dengan orang tuaku kuputuskan untuk pulang saja, aku sampai di rumah menjelang Maghrib dan mendapati Mas Tama sudah ada di sana.Sekarang di sinilah kami, duduk saling berhadapan di meja makan sambil menggenggam gelas kopi masing-masing. Cuaca yang agak dingin di luar sana, seolah menularkan kedinginan yang menusuk ke dalam sini hingga kami pun sama-sama kaku dan tidak bisa memulai pembicaraan."Kau bertemu orang tuaku?""Betul.""Lalu?""Aku sudah putuskan, kita harus bercerai.""Tapi aku tidak mau bercerai.""Maka akan kutebus perceraian itu apapun caranya," jawabku."Apa gunanya, apa tujuanmu?""Agar kau dan anakmu bisa kembali bersama dan hidup nyaman.""Apa gunanya ... kau sudah mendapatkan penghinaan dan cibiran karena pernikahan kita. Meski kau menceraikanku, cibiran itu tidak akan hilang dari hidupmu.""Setidaknya, aku jujur dan mengambil inisiatif untuk membersihkan namaku,"jawabku singkat."Meski begitu ... aku tidak setuju kita bercerai, aku tak percaya c
"Lalu apa yang terjadi kalau kita sudah bersama, bukankah itu akan semakin canggung?""Aku hanya ingin tahu bagaimana keseharian kalian dan bagaimana kalian menjalani hubungan.""Tapi itu akan menyakitkan dirimu Mbak, juga menyakitkan diriku di kala menyaksikan kalian bersama. Mungkin tidak satu rumah adalah pilihan terbaik.""Jika kau mempertahankan suamiku maka ikutilah aturanku."Mengikuti aturannya? Konyol sekali, mengapa aku harus mengikuti aturannya, bukankah pernikahan ini bukan salahku, mengapa harus aku yang menanggung beban dan penyiksaan."Namun ....""Aku tidak mau Mas tama menyingkirkanku dari hidupnya, tapi di sisi lain, aku tahu bahwa dia mencintaimu. Jadi, tolong, bekerja samalah.""Bagaimana dengan Naura dan adiknya.""Akan kuberi tahu bahwa kau adalah maduku, dia harus bersikap baik pada ibu tirinya. Apa kau siap pindah ke sini.""Aku tidak mau Mbak, aku punya rumah, pekerjaan dan kehidupan. Maafkan aku, tapi aku tak mau setuju dengan idemu."Wanita itu tersenyum sin
"Apa? kalian akan di sini?""Ya," jawab wanita itu sambil menyingkap rambutnya ke samping, pesonanya memancar, pesona yang tersembunyi dari balik jilbab yang selalu ia ulurkan. Baru kali ini aku melihat pancaran aura wanita yang begitu cantik dan luar biasa, anting berlian di telinganya berkilau dan itu cukup membuat hati seseorang berdebar. Aku yang wanita saja terkagum kagum, apalagi pria.Kini dengan mudahnya ia berkata 'Iya' akan tinggal denganku tanpa memikirkan perasaanku, bisa kubayangkan hari hari yang akan kulewati, penuh kesesakan hati, kekesalan dan cemburu. Bisa kubayangkan bahwa ia akan menunjukkan sebuah pelajaran dan betapa berartinya hubungan dia dan Mas Tama. Aku yang datang sebagai orang kedua akan diperoleh olok olehnya dengan suka hati, sungguh, aku seakan melihat maut di depan mata."Kenapa kau termenung di situ, apa kau tak akan meletakkan belanjaanmu, dan bergabung makan dengan kami?"Ingin menolak, tapi itu tak sopan dan rasanya bukan adab yang baik dalam meny
Setelah keadaan reda, setelah tadi percakapan mereka kutinggalkan bersama anak anak untuk pindah makan ke ruang tengah, akhirnya suara dari arah meja makan menjadi senyap, tidak ada dentingan sendok ke atas piring atau perdebatan lagi.Aku kembali dua puluh menit kemudian, melihat dua sejoli yang sama sama saling membisu, si wanita menangis, sedang suaminya menatap tajam.Aku yang dengan membawa piring bekas makan anak anak, merasa canggung dipandangi oleh mereka berdua. Tapi, aku tidak bisa berhenti di sana dengan ragu, sehingga kuputuskan saja untuk mengabaikan mereka berdua, melanjutkan pekerjaanku membereska meja tanpa mengatakan apa apa. Selagi kususun piring kotor, wanita itu mendelik padaku, sementara aku hanya membalas dengan desahan napas, aku harus bersabar.Sebenarnya, yang dia lakukan di meja makan sudah sangat keterlaluan, mengingat di sini ia hanya tamu, beruntung sekali dirinya karena aku tidak sampai murka. Kalau aku mau, aku bisa menyiram kuah balado itu ke rambut dan
Empat Minggu kemudian.Iring iringan pengantin terdengar penuh kesemarakan. Dari jarak seratus meter aku bisa menangkap suara tetabuhan rebana yang mengantar Mas Haris sekeluarga untuk meminang diriku, membawaku ke meja akad untuk disahkan sebagai istri, untuk diikat ke tali pernikahan yang akan kami jaga selamanya. Aku didudukkan di meja akad sambil membawa serta bayiku karena aku ingin semua orang tahu bahwa diri ini bukanlah seorang gadis, melainkan janda dengan satu anak di mana semua orang harus tahu dan menerima diri ini beserta dengan putraku. Sudah ku tanyakan pada mereka sebelumnya Kalau ada yang keberatan maka pernikahan ini tidak akan terjadi tapi alhamdulillah mereka semua merestui sehingga terjadilah akad yang detik ini sedang berlangsung."Bismillah, Haris Aditya Saya nikahkan kamu dengan Raisa Almira binti Muhammad Ikbal almarhum yang diwakilkan kepada saya sebagai wali dengan Mas kawin seperangkat alat salat, uang tunai sepuluh juta dibayar tunai.""Saya terima nik
Suatu pagi Bunda menemuiku di balkon, aku yang baru saja selesai memandikan Nayla lalu menggendongnya dan membiarkan bayiku sedikit terkena matahari agar tubuhnya tidak menguning. Lagi pula sinar matahari hangat dan mengandung vitamin D jadi itu akan baik untuk perkembangan dan pertumbuhannya."Apa kabar sayang?" bunda datang dan mencium bayiku."Baik Bunda," jawabku."Aku senang kalian terlihat sehat dan ceria. Oh ya, belakangan pipimu jadi lebih tirus ya ....""Mungkin karena rutinitas baru menjaga bayi yang membuat berat badan saya menurun," balasku tergelak."Tapi meski sedikit kurus kau tetap cantik. Btw, bagaimana kabar Haris, sudah tiga hari dia tidak datang.""Ada acara Bund, semacam pelatihan dan pertemuan.""Tapi dia baik baik aja kan?""Tentu, Alhamdulillah."Bunda menggumam dan tersenyum penuh arti, dia menatapku dan bayiku bergantian lalu berkata,"Mungkin ini sudah saatnya untuk berbahagia dan lepas dari semua masa lalu yang telah menyakiti dirimu anakku."“Iya, semoga
"Saya dengar begitu sedih perasaan Raisa memikirkan nasibnya, hati saya terenyuh dan pedih sekali membayangkan semua itu. Karenanya saya semakin yakin untuk menjadikan dia istri karena saya tahu dia adalah wanita yang baik dan penuh dengan kesabaran.""Bagaimana kalau aku menolakmu, panjang sekali kau ingin menjadi ayah anakku!" "Aku tahu kau marah kamu maafkan Aku tapi aku tidak bisa membendung perasaanku, aku prihatin dan ingin....""Cukup! jangan campur adukkan perasaan kasihanmu itu dengan empati, lalu kau berusaha untuk menikahiku. itu sama sekali bukanlah cinta dan kau tidak akan berhasil menjalani rumah tangga tanpa cinta.""Aku belajar darimu tentang kenaifan karena begitu tulusnya mencintai seseorang, aku lebih memilih untuk bersamamu karena sudah tahu latar belakang dan bagaimana perjalanan hidupmu, tolong bantu aku mendapatkan keyakinanmu, Raisa.""Nak ...." Bunda seakan memberi isyarat agar aku memberi kesempatan kepada haris untuk menunjukkan perasaan dia yang sebenarnya
"Cantik sekali putrimu, Raisa," ujar Mbak Aira."Terima kasih Mbak, Alhamdulillah.""Apakah kau mengalami kesulitan selama hamil?" tanyanya."Kalau masalah yang lain tidak satu-satunya kesulitan yang saya hadapi hanya berasal dari kalian berdua," balasku.Mendengar aku menjawab seperti itu mas Tama segera mahalan nafas dan memberi isyarat agar aku tidak terus mencari gara-gara tapi karena kepanasan sudah benci dan sakit hati aku tidak mampu membendung sikap sinis dan kekecewaanku. Mestinya aku bersikap dewasa dalam situasi seperti ini, terlebih mereka datang dengan niat baik, tapi diri ini seakan tidak mampu menyembunyikan gejolak sakit hati yang tiba-tiba meronta.Tadinya aku ingin terus bersikap tenang dan sabar tapi lama-kelamaan sepertinya aku tidak akan punya kesempatan untuk membalas perbuatan mereka kalau tidak hari ini."Ini kan mau main yang baik ya sebaiknya kita tidak usah berdebat dalam keadaan seperti ini, Aku ingin kita fokus untuk menyambut kedatangan bayi dengan rasa s
Sampainya di rumah sakit aku segera mendaftar dan diantar langsung ke ruang bersalin oleh beberapa perawat. Aku diminta untuk berganti pakaian dan langsung memeriksa bukaan di meja pemeriksaan."Bukaan tiga Buk, bisa jalan-jalan dulu, kan waktu sambil menunggu bukaan kami akan memeriksa kelanjutannya nanti.""Terima kasih," jawabku pada Bidan pemeriksa."Eh tapi rencananya lahiran normal kan?""Insya Allah," jawabku."Bagus, karena posisi anaknya juga baik jadi melahirkan secara normal saja.""Terima kasih ibu bidan," jawabku sambil tersenyum ramah, wanita itu mengangguk dan tersenyum lebar lalu meninggalkanku yang masih terguling di ranjang rumah sakit.*"Bagaimana Nak?""Masih bukaan tiga.""Oh masih tujuh jam lagi," balas Bunda."Semoga lancar," desahku."Semoga dengan kelahiran bayi ini membawa berkah dan kebahagiaan dalam hidupmu, tuntas sudah masalah perceraian dan kau bisa melanjutkan segalanya dengan lega.""Alhamdulillah."*"Surprise!"Aku aku terkejut saat beberapa sahaba
Mendengar pengusiran dari ayah tiriku tentu saja Mas Tama langsung diam saja. Dia berdiri membeku tapi tidak melangkahkan kakinya untuk segera keluar dari rumah ini. Mas Tama menatapku dan orang tuaku secara bergantian.Aku sendiri entah apa reaksiku, meski sudah dibohongi dan diceraikan dengan cara demikian aku sama sekali tidak merasa sedih atau terluka. Mungkin karena perasaan di dalam hatiku sudah mati, jadi apapun yang akan Mas tamalakukan tidak ada bedanya di mataku. Dia mau mempertahankanku atau meninggalkanku semuanya tidak ada bedanya karena tetap saja aku akan merasa kesepian dan sendiri. Dia akan tetap sibuk dengan mbak Aira dan anak-anaknya sementara aku tetap akan jatuh dalam kesendirian."Terima kasih atas kebijaksanaan dan keputusanmu Mas aku sangat terharu sekali dan bahagia karena akhirnya hubungan kita akan selesai dan prahara di antara kita selesai juga.""Aku mengambil keputusan ini dengan perasaan yang amat sedih dan sesungguhnya aku sangat berat melepaskanmu Rais
"Maaf, kebetulan saya sedang pusing dan lelah sekali naik motor jadi saya putuskan untuk ikut dengan pak Wisnu saja.""Dengar Raisa, dia atau pun dia bukan siapa siapa untuk kamu, aku ini suami kamu Raisa!" Ucap Mas Tama."Oh ya? tapi kamu tidak memberiku pilihan, Mas. Maaf ya, aku pulang dulu," ucapku sambil mengarahkan sensor ke motor agar joknya terbuka dan aku bisa meletakkan helm lalu terkunci lagi."Pergi dulu ya," ucapku sambil naik ke atas mobil Pak Wisnu.Melihatku melenggang pergi kedua pria tadi hanya saling pandang. Haris nampak menghela napas sedang Mas Tama langsung menendang kerikil kerikil kecil yang kebetulan ada di aspal untuk menunjukkan kemarahannya. Mobil meluncur meninggalkan halaman rumah sakit, melaju mulus di jalan raya sedang aku hanya diam dalam kebungkaman dan pikiranku sendiri."Aku mengerti situasi yang sedang kamu hadapi dan aku turut bersimpati dengan itu. Seperti apa yang kamu alami di siang ini ... itu cukup menegangkan dan menguras perasaan." Pria
Aku segera memacu motor dan meninggalkan Mas Tama yang masih berdiri di pekarangan dengan wajah bingung dan harapan yang sudah aku patahkan. mungkin karena terlalu sakit hati juga aku sampai memacu motor dengan kecepatan tinggi dan sampai di rumah Bunda 10 menit lebih cepat.Kuturunkan koper dari motor lalu memanggil Mbak Tini asisten rumah tangga bunda untuk meminta dia mengantar barangku kamar."Tolong antarkan koper saya Mbak," perintahku kepada Mbak Tini."Baik mbak Raisa.""Katakan pada Bunda kalau aku tidak akan sarapan dan langsung meluncur ke rumah sakit, aku ingin makan siang dengan beliau jadi tolong beritahu untuk menyiapkan ayam kecap seperti janjinya.""Siap, Mbak.""Terima kasih Mbak Tini.""Sama sama."Saat aku kembali menaiki motor untuk meluncur pergi, kebetulan bunda sedang ada di balkon lantai dua. Melihatku terburu buru, bunda hanya menitipkan pesan agar aku berhati hati dan segera pulang saat pekerjaanku selesai."Hati hati, Nak. Cepat pulang sore nanti.""Iya Bun
Sepulang kerja, lepas dari rangkaian kegiatan panjang dan beberapa cerita yang terjadi hari ini Aku benar-benar merasa lelah. Setelah berendam dengan air panas aku duduk di depan kaca rias, sambil menyisir rambut dan menatap wajahku.Kuperhatikan diri ini dan mengingat-ingat kembali bagaimana selama ini aku telah mengambil keputusan untuk menentukan jalan hidup. Rupanya aku sudah terlalu banyak terjebak dalam pengaruh dan mudah dirayu jadi aku terkesan tidak bisa menentukan prinsip dan pilihanku sendiri alias plin-plan. Kondisiku yang sedang hamil juga memberi andil, membuat mood tidak stabil, kadang aku berada di mode mandiri yang tegar luar biasa, kadang juga sebagai wanita lemah yang sangat kesepian dan membutuhkan seseorang di sampingnya.Dan puncak dari semua itu, aku tetap saja pura-pura bahagia meski di ujung hari aku akan kembali pada tangisanku sendiri, membuka topeng pencitraanku, lalu meringkuk di tengah keremangan malam di sudut kamar ini. Akhir akhir ini aku memang lebi