Setelah keadaan reda, setelah tadi percakapan mereka kutinggalkan bersama anak anak untuk pindah makan ke ruang tengah, akhirnya suara dari arah meja makan menjadi senyap, tidak ada dentingan sendok ke atas piring atau perdebatan lagi.Aku kembali dua puluh menit kemudian, melihat dua sejoli yang sama sama saling membisu, si wanita menangis, sedang suaminya menatap tajam.Aku yang dengan membawa piring bekas makan anak anak, merasa canggung dipandangi oleh mereka berdua. Tapi, aku tidak bisa berhenti di sana dengan ragu, sehingga kuputuskan saja untuk mengabaikan mereka berdua, melanjutkan pekerjaanku membereska meja tanpa mengatakan apa apa. Selagi kususun piring kotor, wanita itu mendelik padaku, sementara aku hanya membalas dengan desahan napas, aku harus bersabar.Sebenarnya, yang dia lakukan di meja makan sudah sangat keterlaluan, mengingat di sini ia hanya tamu, beruntung sekali dirinya karena aku tidak sampai murka. Kalau aku mau, aku bisa menyiram kuah balado itu ke rambut dan
"Apa rencana jangka panjangmu untuk kehidupan kita, Mas?" tanya aku saat kita sedang duduk di meja makan, suamiku yang sedang mengesap minumannya berhenti sejenak dan seakan paham dengan kata kataku, dia menarik napas dalam lalu menjawab."Aku berencana untuk membagi aset dengan adil lalu menjalani kehidupan sebisaku," jawabnya."Sepertinya Mbak Aira tidak akan pernah menyerah untuk memisahkan kita," keluhku sambil menyendokkan makanan."Jika begitu sulit, maka akan kuceraikan saja dia," jawabnya sambil menyeruput mie dari mangkuk.Kedengarannya itu melegakan untukku andai saja suamiku benar-benar berpisah dengan istri pertamanya, aku akan lepas dari teror wanita arogan yang hanya ingin menang sendiri itu. Tapi di sisi lain aku juga punya rasa iba, rasanya tidak elok sekali berbahagia di atas kehancuran orang lain. Lagipula, jangankan mendengarkan kata cerai melihat kami bersama saja Mbak Aira sudah sangat menderita. Akan ada gelombang besar dalam hidup kami semua jika Mas Tama be
"Mbak, tunggu!""Seperti halnya kau sibuk dengan pekerjaanmu aku juga sibuk dengan urusan hidupku jadi aku telah mengatakan apa yang kau inginkan tinggal kau saja yang harus memikirkan!" Suara hentakan kaki Kakak maduku menggemaran hampir memenuhi seluruh lorong rumah sakit. Siluet wanita dengan tunik biru selutut itu, benar-benar mempengaruhi dan sedikit menakutiku. Aku merasa gentar dan gugup di hadapannya, aku begitu ingin mengatakan banyak hal dan menjaga perasaan dan sedikit tahu diri maka aku lebih banyak menahan diri.Dia ingin bahwa aku tidak menerima warisan dari Mas Tama, dia ingin menguasai semuanya dengan dalih bahwa itu memang adalah haknya sejak awal. Dia berhak atas segala sesuatu karena dialah yang mendampingi hidup suamiku dari nol dulu. Dia ingin mengesampingkan aku karena kehadiranku hanya seperti hiburan saja bagi suaminya, Aku baginya hanya tempelan, hanya boneka hiburan, aku tidak punya hak bicara atau menentang. Ah, mirisnya. Haruskah aku memberitahu mas tama
Mendengar ucapan Mas Tama yang begitu menohok dan tajam itu Mbak Aira langsung terdiam beku sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia nampak shock dan ketakutan, juga kecewa sekali atas kalimat yang dilontarkan suaminya."Mas, kamu bilang apa?"Mas Tama hanya mendengkus sambil memejamkan mata dan mencengkeram kedua tangannya. Lelaki itu juga terlihat menyesali kalimat yang sudah terucap."Beginikah cara kamu mengungkapkan terima kasih padaku yang telah mendampingimu dari awal, sudah banyak pengorbanan yang kulakukan, bahkan tidaklah mudah kehidupan yang kujalani, aku juga bersusah payah melahirkan anak-anak untuk menjadi penerus keturunanmu, inikah balasanmu!""Dengar ya, jangan jadikan masa lalu dan anak-anak sebagai senjata untuk membuat diriku merasa bersalah!" "Kamu kejam Mas," ucap Mbak Aira sambil membungkuk, tertunduk jatuh terduduk dan menangis sambil menutupi wajahnya."Teganya kamu bilang bahwa aku tidak berperasaan. Andai Aku memang jahat maka sudah kuviralkan istr
"Mas, sepertinya situasi ini sudah tidak bisa dikendalikan," ucapku sambil membatu Mas Tama membangunkan sang istri."Tolong bantu aku, menggotongnya.""Baiklah."Dengan penuh rasa bersalah dan tak nyaman aku segera mengangkat wanita itu bersama mas tama naik ke atas tempat tidur."Bagaimana pun, aku yang salah, Mas," ucapku lirih."Sudah tolong jangan bicarakan Siapa yang salah dan yang benar aku hanya ingin Aira cepat sadar agar aku bisa membawanya pulang.""Harusnya kita tidak perlu melanjutkan hubungan ini kalau istrimu merasa sangat tersiksa dan depresi seperti ini mas, Aku kasihan padanya," ucapku sedih. Air mataku mengembang dan sudah tak sanggup kutahan lagi.Ting!Bel pintu rumah berbunyi, kulirik waktu masih menunjukkan pukul 08.00 malam. Itu artinya masih ada potensi untuk orang yang datang berkunjung kemari. Aku segera menyukai air mata dan pergi ke pintu untuk melihat Siapa yang datang. Saat ku buka daun pintu aku terkejut karena yang datang adalah Bunda dan om Vicky.
Malam bergulir larut, aku bisa mendengar dari lantai bawah bahwa kini suamiku dan istrinya sudah bersiap-siap untuk pergi. Dia sempat datang ke kamar dan mengetuk pintu tapi aku tidak membukanya jadi Mas Tama hanya berpamitan dari luar saja."Sayang, aku pulang ya?"Dia mengatakan itu, sementara aku memejamkan mata meresapi kalimat yang dia katakan dengan penuh kelembutan tapi seperti belati yang menusuk hatiku. Tadi dia bilang sayang pada istrinya kini dia bilang sayang padaku. Tapi aku yakin tidak mungkin dalam hatinya ada dua cinta yang sama besarnya. Pasti ada yang lebih dominan di mana Mas Tama condong kepadanya.Ini aku sudah melihat buktinya, aku melihat bagaimana suamiku begitu khawatir tentang keadaan istrinya yang pingsan dia merawatnya dengan penuh kehati-hatian dan perhatian, ia membujuknya, mengecup pipinya dan memeluknya dengan penuh kasih sayang. Melihatnya saja hatiku nyeri, ditambah aku harus mengalami masalah demi masalah yang menghimpit hati.*Kedengar mesin mobil
Karena aku merasa putus asa dengan kepergian Mas Tama maka tidak ada yang bisa kulakukan selain pasrag dengan keadaan dan bangkit untuk menghadapi apa saja yang menungguku di depan mata.Kukenakan sepatu, pergi kerja dengan hati yang aku kuat kuatkan. Kukendarai motorku dengan cepat agar aku tidak perlu terjebak macet dan cepat sampai di tujuan. Sekitar lima belas menit kemudian, Aku sudah sampai di pelataran rumah sakit. Kutaruh helmku ke atas motor lalu langkah menyusuri lokasi parkir menuju lobi utama. Ku sapa security yang sedang berjaga dia membalas menyapa dan menyunggingkan senyum.Saat aku masuk ke ruang daftar dan informasi ada beberapa orang yang kebetulan ada di sana, aku tersenyum dan melambai kecil pada mereka sambil menyapa, tapi Mereka terlihat menatapku dengan aneh dan seakan-akan menyembunyikan sesuatu dari senyum yang mereka paksakan untukku."Ada apa?" tanyaku heran."Hmm, tidak ada," balasnya."Baiklah, saya ke ruang KIA dulu," jawabku.Saat mulai menyalakan komp
"Iya Pak Saya akan berusaha menyelesaikan masalah ini dengan baik, jangan khawatir," jawabku sambil bangkit dan undur .diri dari hadapannya. Pria itu hanya memberi isyarat dengan tangannya agar aku segera menjauh darinya.Melihat gestur atasanku yang sangat menyakitkan hatiku menjadi perih dan ingin menangis saja. Namun aku menahan rasa sakit itu karena tidak ingin sampai menjatuhkan air mata di hadapannya. Kususuri lorong rumah sakit dengan perasaan remuk redam di setiap ruangan yang kulewati semua orang memperhatikan dengan tatapan sejuta makna. Aku tahu mereka menghakimiku, aku sangat terluka dengan apa yang kuhadapi saat ini.“Bagaimana?” tanya mira saat aku kembali dari ruang direktur.“Hmmm, begitulah, aku dimarahi,” jawabku sambil menahan tetesan air mata yang mengaburkan pandanganku.“Aku benar benar prihatin, tak kusangka bahwa pernikahan yang berlangsung dengan megah itu akan menjadi tragis begini, bahkan parahnya aku adalah bridesmaid saat itu, hmm, menyesal terlibat dala