"Lalu apa yang terjadi kalau kita sudah bersama, bukankah itu akan semakin canggung?""Aku hanya ingin tahu bagaimana keseharian kalian dan bagaimana kalian menjalani hubungan.""Tapi itu akan menyakitkan dirimu Mbak, juga menyakitkan diriku di kala menyaksikan kalian bersama. Mungkin tidak satu rumah adalah pilihan terbaik.""Jika kau mempertahankan suamiku maka ikutilah aturanku."Mengikuti aturannya? Konyol sekali, mengapa aku harus mengikuti aturannya, bukankah pernikahan ini bukan salahku, mengapa harus aku yang menanggung beban dan penyiksaan."Namun ....""Aku tidak mau Mas tama menyingkirkanku dari hidupnya, tapi di sisi lain, aku tahu bahwa dia mencintaimu. Jadi, tolong, bekerja samalah.""Bagaimana dengan Naura dan adiknya.""Akan kuberi tahu bahwa kau adalah maduku, dia harus bersikap baik pada ibu tirinya. Apa kau siap pindah ke sini.""Aku tidak mau Mbak, aku punya rumah, pekerjaan dan kehidupan. Maafkan aku, tapi aku tak mau setuju dengan idemu."Wanita itu tersenyum sin
"Apa? kalian akan di sini?""Ya," jawab wanita itu sambil menyingkap rambutnya ke samping, pesonanya memancar, pesona yang tersembunyi dari balik jilbab yang selalu ia ulurkan. Baru kali ini aku melihat pancaran aura wanita yang begitu cantik dan luar biasa, anting berlian di telinganya berkilau dan itu cukup membuat hati seseorang berdebar. Aku yang wanita saja terkagum kagum, apalagi pria.Kini dengan mudahnya ia berkata 'Iya' akan tinggal denganku tanpa memikirkan perasaanku, bisa kubayangkan hari hari yang akan kulewati, penuh kesesakan hati, kekesalan dan cemburu. Bisa kubayangkan bahwa ia akan menunjukkan sebuah pelajaran dan betapa berartinya hubungan dia dan Mas Tama. Aku yang datang sebagai orang kedua akan diperoleh olok olehnya dengan suka hati, sungguh, aku seakan melihat maut di depan mata."Kenapa kau termenung di situ, apa kau tak akan meletakkan belanjaanmu, dan bergabung makan dengan kami?"Ingin menolak, tapi itu tak sopan dan rasanya bukan adab yang baik dalam meny
Setelah keadaan reda, setelah tadi percakapan mereka kutinggalkan bersama anak anak untuk pindah makan ke ruang tengah, akhirnya suara dari arah meja makan menjadi senyap, tidak ada dentingan sendok ke atas piring atau perdebatan lagi.Aku kembali dua puluh menit kemudian, melihat dua sejoli yang sama sama saling membisu, si wanita menangis, sedang suaminya menatap tajam.Aku yang dengan membawa piring bekas makan anak anak, merasa canggung dipandangi oleh mereka berdua. Tapi, aku tidak bisa berhenti di sana dengan ragu, sehingga kuputuskan saja untuk mengabaikan mereka berdua, melanjutkan pekerjaanku membereska meja tanpa mengatakan apa apa. Selagi kususun piring kotor, wanita itu mendelik padaku, sementara aku hanya membalas dengan desahan napas, aku harus bersabar.Sebenarnya, yang dia lakukan di meja makan sudah sangat keterlaluan, mengingat di sini ia hanya tamu, beruntung sekali dirinya karena aku tidak sampai murka. Kalau aku mau, aku bisa menyiram kuah balado itu ke rambut dan
"Apa rencana jangka panjangmu untuk kehidupan kita, Mas?" tanya aku saat kita sedang duduk di meja makan, suamiku yang sedang mengesap minumannya berhenti sejenak dan seakan paham dengan kata kataku, dia menarik napas dalam lalu menjawab."Aku berencana untuk membagi aset dengan adil lalu menjalani kehidupan sebisaku," jawabnya."Sepertinya Mbak Aira tidak akan pernah menyerah untuk memisahkan kita," keluhku sambil menyendokkan makanan."Jika begitu sulit, maka akan kuceraikan saja dia," jawabnya sambil menyeruput mie dari mangkuk.Kedengarannya itu melegakan untukku andai saja suamiku benar-benar berpisah dengan istri pertamanya, aku akan lepas dari teror wanita arogan yang hanya ingin menang sendiri itu. Tapi di sisi lain aku juga punya rasa iba, rasanya tidak elok sekali berbahagia di atas kehancuran orang lain. Lagipula, jangankan mendengarkan kata cerai melihat kami bersama saja Mbak Aira sudah sangat menderita. Akan ada gelombang besar dalam hidup kami semua jika Mas Tama be
"Mbak, tunggu!""Seperti halnya kau sibuk dengan pekerjaanmu aku juga sibuk dengan urusan hidupku jadi aku telah mengatakan apa yang kau inginkan tinggal kau saja yang harus memikirkan!" Suara hentakan kaki Kakak maduku menggemaran hampir memenuhi seluruh lorong rumah sakit. Siluet wanita dengan tunik biru selutut itu, benar-benar mempengaruhi dan sedikit menakutiku. Aku merasa gentar dan gugup di hadapannya, aku begitu ingin mengatakan banyak hal dan menjaga perasaan dan sedikit tahu diri maka aku lebih banyak menahan diri.Dia ingin bahwa aku tidak menerima warisan dari Mas Tama, dia ingin menguasai semuanya dengan dalih bahwa itu memang adalah haknya sejak awal. Dia berhak atas segala sesuatu karena dialah yang mendampingi hidup suamiku dari nol dulu. Dia ingin mengesampingkan aku karena kehadiranku hanya seperti hiburan saja bagi suaminya, Aku baginya hanya tempelan, hanya boneka hiburan, aku tidak punya hak bicara atau menentang. Ah, mirisnya. Haruskah aku memberitahu mas tama
Mendengar ucapan Mas Tama yang begitu menohok dan tajam itu Mbak Aira langsung terdiam beku sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia nampak shock dan ketakutan, juga kecewa sekali atas kalimat yang dilontarkan suaminya."Mas, kamu bilang apa?"Mas Tama hanya mendengkus sambil memejamkan mata dan mencengkeram kedua tangannya. Lelaki itu juga terlihat menyesali kalimat yang sudah terucap."Beginikah cara kamu mengungkapkan terima kasih padaku yang telah mendampingimu dari awal, sudah banyak pengorbanan yang kulakukan, bahkan tidaklah mudah kehidupan yang kujalani, aku juga bersusah payah melahirkan anak-anak untuk menjadi penerus keturunanmu, inikah balasanmu!""Dengar ya, jangan jadikan masa lalu dan anak-anak sebagai senjata untuk membuat diriku merasa bersalah!" "Kamu kejam Mas," ucap Mbak Aira sambil membungkuk, tertunduk jatuh terduduk dan menangis sambil menutupi wajahnya."Teganya kamu bilang bahwa aku tidak berperasaan. Andai Aku memang jahat maka sudah kuviralkan istr
"Mas, sepertinya situasi ini sudah tidak bisa dikendalikan," ucapku sambil membatu Mas Tama membangunkan sang istri."Tolong bantu aku, menggotongnya.""Baiklah."Dengan penuh rasa bersalah dan tak nyaman aku segera mengangkat wanita itu bersama mas tama naik ke atas tempat tidur."Bagaimana pun, aku yang salah, Mas," ucapku lirih."Sudah tolong jangan bicarakan Siapa yang salah dan yang benar aku hanya ingin Aira cepat sadar agar aku bisa membawanya pulang.""Harusnya kita tidak perlu melanjutkan hubungan ini kalau istrimu merasa sangat tersiksa dan depresi seperti ini mas, Aku kasihan padanya," ucapku sedih. Air mataku mengembang dan sudah tak sanggup kutahan lagi.Ting!Bel pintu rumah berbunyi, kulirik waktu masih menunjukkan pukul 08.00 malam. Itu artinya masih ada potensi untuk orang yang datang berkunjung kemari. Aku segera menyukai air mata dan pergi ke pintu untuk melihat Siapa yang datang. Saat ku buka daun pintu aku terkejut karena yang datang adalah Bunda dan om Vicky.
Malam bergulir larut, aku bisa mendengar dari lantai bawah bahwa kini suamiku dan istrinya sudah bersiap-siap untuk pergi. Dia sempat datang ke kamar dan mengetuk pintu tapi aku tidak membukanya jadi Mas Tama hanya berpamitan dari luar saja."Sayang, aku pulang ya?"Dia mengatakan itu, sementara aku memejamkan mata meresapi kalimat yang dia katakan dengan penuh kelembutan tapi seperti belati yang menusuk hatiku. Tadi dia bilang sayang pada istrinya kini dia bilang sayang padaku. Tapi aku yakin tidak mungkin dalam hatinya ada dua cinta yang sama besarnya. Pasti ada yang lebih dominan di mana Mas Tama condong kepadanya.Ini aku sudah melihat buktinya, aku melihat bagaimana suamiku begitu khawatir tentang keadaan istrinya yang pingsan dia merawatnya dengan penuh kehati-hatian dan perhatian, ia membujuknya, mengecup pipinya dan memeluknya dengan penuh kasih sayang. Melihatnya saja hatiku nyeri, ditambah aku harus mengalami masalah demi masalah yang menghimpit hati.*Kedengar mesin mobil