"Jangan membuat dirimu jadi wanita durhaka dan menempatkan diriku sebagai suami yang zalim. Aku menikah karena memang itu hakku dan agama tidak melarangnya, lagi pula tanggung jawab dan nafkah tetap kuberikan padamu jadi seharusnya kau tidak mencak-mencak seperti ini.""Kau ... gak punya malu kamu ya, Mas.""Hmm, dengar, ayah ibu mertua, saya menghargai kalian semua, tapi tolong jangan memprovokasi Aira untuk melawan saya.""Tidak bisa, kau yang lebih dulu bikin masalah baru tanpa menyelesaikan masalah yang ada, kau itu gila!" ucap Ibu mertua."Dengar ...." Tiba tiba ayah Mbak Aira menyela, "jika kau merasa Raisa harus kau hargai maka anak kami harus mendapatkan penghargaan yang sama. Kau telah menikahi Raisa atas izin dan restu orang tuanya begitu pula dengan Aira. Kau tidak bisa lantas mencampakkan anakku gara-gara sudah punya istri baru, ini tidak adil untuknya dan tidak adil untuk cucu-cucuku.""Justru kemarin malam kami datang padanya untuk minta maaf dan minta restu.""Kau ba
Perlahan kubuka mata dan menyadari diri ini tertidur dalam posisi meringkuk di karpet tanpa bantqk atau selimut. Saat bangkit kepalaku seakan berputar pusing dan terasa berat sekali. Kupandang pantulan wajahku di cermin di mana ia terlihat pucat dan lemas sekali. Kuhela napas sambil beranjak ke kamar mandi untuk mengosongkan kandung kemih.Saat berdiri di depan cermin kamar mandi untuk mencuci muka, tiba tiba aku menyadari sesuatu, gejala yang sudah timbul padaku sejak Minggu Minggu terakhir ini. Seingatnya, membaur dengan suami dalam masa subur, mungkinkah, mual, pusing, lemas yang kurasakan sekarang adalah tanda tanda kehamilan.Kubuka laci dan mengeluarkan testpack dari sana, niatnya, aku ingin mengeceknya, tapi tiba tiba kuurungkan saja karena tidak sanggup melihat hasilnya. Aku akan semakin pusing saja dengan melihat hasil tespek. Ditambah masalah yang sedang berkelahi dalam pikiranku akan membuat situasinya semakin kacau."Kalau hamil, Alhamdulillah. Kalau tidak, tak mengapa.
"Aira! Hentikan, jangan berteriak, kau membuatku malu.""Malu? Jadi kau malu, jadi kau menyadari bahwa pernikahan diam-diam adalah aib yang harus disembunyikan?!""Aku tidak malu sama sekali atas pernikahanku tapi lama-lama aku malu dengan sikapmu yang seperti anak-anak. Pahamilah bahwa aku berusaha bicara denganmu secara pribadi namun kau selalu membuat drama dan malah mengundang orang tuamu. Kau tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan semuanya dari awal sampai akhir karena kau selalu histeris dan menangis. Aku harus bagaimana?!""Apa kau tidak sadar bahwa aku tidak menerima pernikahanmu dan kenyataan pahit ini.""Tapi aku sudah menikah dan aku tidak akan meninggalkan Raisa!" Mas Tama yang juga kehilangan kesabaran akhirnya berteriak juga untungnya posisi kami sedang di dalam rumah meski itu di ruang tamu yang langsung menghadap ke jalan. Suasana kompleks masih sepi sehingga aku bisa sedikit merasa lega, namun aku tidak akan membiarkan ini berlanjut begitu lama."Mas, teganya ka
"Raisa, Om Rafiq mengkhawatirkanmu, jaga dirimu," ucapnya saat aku meninggalkan mereka. Kubalikkan badan sekilas sambil tersenyum tipis lalu melanjutkan tugas tugasku.*Pukul lima sore aku kembali, kumasukkan motor ke halaman rumah lalu menutup kembali gerbang setinggi satu meter setengah itu. Saat akan membuka pintu, aku sangat terkejut melihat ada coretan cat semprot di lantai yang bertuliskan pelakor dan sebuah kotak di sana. Saat kubuka, aku terkejut dengan bangkai tikus dan darah yang mengerikan. Ini jelas jelas teror dan kebencian yang mereka kirimkan, namun, aku tak tahu siapa pelakunya. Mungkin mba Aira atau mungkin juga keluarganya.Kuvideokan gambar mengerikan itu kaku mengirimnya ke nomor Bunda dan Mas Tama. Aku ingin tahu apa reaksi mereka.(Astaghfirullah Nak, siapa yang melakukan itu.)(Sudah banyak penderitaan dan hinaan yang Raisa alami sejak tiga hari terakhir. Rasanya sudah tak sanggup lagi Bunda ....)(Sabar anakku, kita akan cari tahu pelakunya.)(Aku tidak punya
Lalu beginilah kami sekarang, duduk berhadapan antara dua keluarga, keluarga Om Adi dan keluarga papa tiri serta bundaku. Kami saling bertanya kabar lalu diam untuk beberapa saat hingga Om Vicky mulai membuka percakapan dan membicarakan hal yang sebenarnya terjadi."Kami tidak pernah tahu kalau Ananda Tama sudah punya istri. Wanita itu datang dan menyalahkan Raisa berhari-hari membuat masalah dan teror, menyalahkan Raisa sebagai wanita kedua dalam rumah tangganya lalu membuat situasi semakin keruh. Apa kalian sudah tahu dan memikirkan ini sebelumnya."Mendapatkan pertanyaan seperti itu Om Adi dan tante Sisil diam saja. Mereka berdua saling pandang, Om Adi nampak menunduk sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu tersenyum getir."Begini, wanita itu tidak pernah kami anggap sebagai istri anak kami, karena pernikahan mereka berlangsung tanpa restu. Kami sudah mencegahnya tapi mereka bersi keras sehingga kami memutuskan untuk menolak pernikahan itu selamanya.""Tapi, faktanya ti
"Begini saja Mas Adi, bagaimana kalau kita datangkan Tama ke tempat ini dan bertanya padanya?" tanya Om Vicky pada ayah mertua."Mas Tama sudah Janji tidak akan meninggalkan saya," ucap Mbak Aira."Tapi Aira ... Tolong pikirkan nasib Raisa juga, dia sudah terlanjur jadi istri suamimu dan mustahil dia akan diceraikan sebelum sebulan menikah, dia akan dipermalukan.""Heh, sepertinya kalian semua hanya memikirkan maslahat Raisa?" Wanita itu tertawa getir sambil mengusap air mata."Bukan begitu, Nak, kami semua justru ingin mencari solusi agar kehidupan kalian bisa berlangsung dengan damai tanpa ada yang disakiti," ucap Bunda."Namun saya sudah terlanjur disakiti, Saya tidak menerima poligami ini dan saya tidak akan menyetujuinya. Saya punya anak-anak dan kami masih berhak atas ayah mereka.""Kami pun tidak akan membiarkan Raisa kehilangan suaminya dan hidup merana,"ucap Om Adi sambil menuding menantunya."Ayah ... teganya ayah memaksa saya untuk menerima persetujuan poligami, mengapa aya
Setelah percakapan dengan orang tuaku kuputuskan untuk pulang saja, aku sampai di rumah menjelang Maghrib dan mendapati Mas Tama sudah ada di sana.Sekarang di sinilah kami, duduk saling berhadapan di meja makan sambil menggenggam gelas kopi masing-masing. Cuaca yang agak dingin di luar sana, seolah menularkan kedinginan yang menusuk ke dalam sini hingga kami pun sama-sama kaku dan tidak bisa memulai pembicaraan."Kau bertemu orang tuaku?""Betul.""Lalu?""Aku sudah putuskan, kita harus bercerai.""Tapi aku tidak mau bercerai.""Maka akan kutebus perceraian itu apapun caranya," jawabku."Apa gunanya, apa tujuanmu?""Agar kau dan anakmu bisa kembali bersama dan hidup nyaman.""Apa gunanya ... kau sudah mendapatkan penghinaan dan cibiran karena pernikahan kita. Meski kau menceraikanku, cibiran itu tidak akan hilang dari hidupmu.""Setidaknya, aku jujur dan mengambil inisiatif untuk membersihkan namaku,"jawabku singkat."Meski begitu ... aku tidak setuju kita bercerai, aku tak percaya c
"Lalu apa yang terjadi kalau kita sudah bersama, bukankah itu akan semakin canggung?""Aku hanya ingin tahu bagaimana keseharian kalian dan bagaimana kalian menjalani hubungan.""Tapi itu akan menyakitkan dirimu Mbak, juga menyakitkan diriku di kala menyaksikan kalian bersama. Mungkin tidak satu rumah adalah pilihan terbaik.""Jika kau mempertahankan suamiku maka ikutilah aturanku."Mengikuti aturannya? Konyol sekali, mengapa aku harus mengikuti aturannya, bukankah pernikahan ini bukan salahku, mengapa harus aku yang menanggung beban dan penyiksaan."Namun ....""Aku tidak mau Mas tama menyingkirkanku dari hidupnya, tapi di sisi lain, aku tahu bahwa dia mencintaimu. Jadi, tolong, bekerja samalah.""Bagaimana dengan Naura dan adiknya.""Akan kuberi tahu bahwa kau adalah maduku, dia harus bersikap baik pada ibu tirinya. Apa kau siap pindah ke sini.""Aku tidak mau Mbak, aku punya rumah, pekerjaan dan kehidupan. Maafkan aku, tapi aku tak mau setuju dengan idemu."Wanita itu tersenyum sin