Leonardo menatap Florence dengan tatapan penuh cinta seperti biasa, walaupun kejadian itu sudah satu minggu terjadi namun luka ditubuh Leonardo sembuh total seakan ia tak pernah terluka.
Pria itu menarik pinggang Florence dan menghadiahi kecupan singkat di pipi wanita itu.
"Leo." Florence memanyunkan bibirnya seraya menepuk pelan lengan besar suaminya.
"Aku bahagia akhirnya bisa bersama denganmu."
"Ya, begitupun aku."
"Sekarang aku percaya, kita tak akan berpisah. Yah, aku yakin semua akan ada balasannya dan sekarang aku mendapatkanmu setelah semuanya."
"Kau tau, saat melihat mu penuh luka saat itu, aku ikut sesak Leo. Rasanya ku ingin berbagi rasa sakit itu denganmu."
"Jangan, jangan ikut merasakan apa yang aku rasakan saat itu. Aku tak ingin kau tersakiti." Ucap Leonardo dengan menatap manik biru Florence.
"DADDY!!!"
Florence tertawa mendengar teriakan putri kecilnya Alaizya, sedangkan Leonardo menghembuskan napasnya k
Semua mafioso yang berada di landasan saling melirik kekanan dan kiri, mereka masih belum mengerti akan ucapan Leonardo. "Apa yang kalian dengar benar, aku memutuskan untuk memberhentikan Regnarok hingga waktu yang belum bisa aku tentukan. Terimakasih atas segala bentuk dukungan dan jiwa raga kalian untuk Regnarok, apa yang telah kalian lakukan akan sangat berjasa bagi Regnarok. Sekarang aku meminta maaf apabila saat aku menjadi ketua kalian aku sering membuat kalian marah atau sejenisnya tapi percayalah aku bersyukur menjadi bagian dari kalian." "Jadi sekali lagi aku tekankan, Regnarok memang dibubarkan namun Regnarok masih tetap berada di hati kita. Regnarok memang sudah tak lagi menguasai benua Eropa ataupun Amerika namun Regnarok menguasai jiwa kita. Kita akan terus bersama disetiap langkah kita akan menjadi keluarga. Mintalah bantuan padaku atau pada anggota yang lainnya, kami siap membantu. Dengan Regnarok kita bertemu maka saat ini kita disatukan menjadi sauda
ItaliaSeorang gadis duduk dibangku sekolahnya yang nyaman, sesekali ia menjawab soal yang bukan untuk anak yang seumur dirinya.Ya, gadis berumur 7 tahun itu duduk dengan mengerjakan soal untuk Senior High School. Tiba-tiba ditengah kegiatannya, kertas yang ia gunakan diseret paksa hingga robek.Awalnya anak itu diam dan tetap menatap ke bawah bangkunya, ia sama sekali tak berniat menatap si pelaku."Sombong sekali! Aku sudah meminta tolong namun kau menolakku! Kau justru menyibukkan dirimu dengan mengerjakan soal-soal sialan in?!" Ucap anak lelaki dengan merobek kertas anak gadis itu."JAWAB AKU?!""Sepertinya ia tuli." Ucap salah satu teman anak lelaki itu.Tiba-tiba anak lelaki yang bertubuh tinggi itu mencengkram dagu si anak perempuan hingga wajah cantiknya terlihat.Manik birunya terlihat sangat tenang walaupun sedang diperlakukan seperti sampah, tak ada kemarahan di dalam dirinya."Ja
Seorang pria dengan berbadan tegap dan berjalan kokoh didalam lorong sebuah apartemen, dia adalah Artha Leonardo De Lavega putra dari Arthur dan Tabitha De Lavega. Sekarang ia menenteng sebuket bunga untuk gadis yang besok akan menjadi istrinya. Ia menenteng buket itu hingga saat ia berdiri dihadapan pintu kamar gadisnya, pendengarnya tak sengaja mendengar suara desahan seseorang. Ia tak bodoh, ia paham betul suara apa yang ia dengar, dan ia yakin pendengarannya masih berfungsi dengan baik.Leonardo membuka pintu apartemen milik gadisnya yang ternyata sudah dalam keadaan terbuka sedikit, pria itu sedikit mengintip dan ternyata benar di dalam sana sudah ada seorang pria dan wanita yang bergelut dengan kobaran api gairah, Leonardo mengepalkan erat tanganya sampai menunjukkan buku-buku jarinya. Ia mengetatkan rahangnya keras, dan ia akan membalas apa yang sudah dilakukan oleh gadis itu, ralat sudah menjadi wanita sekarang.Leonardo meraih ponselnya merekam aktifitas panas
Maxime menurunkan tubuh Leonardo diatas ranjang king size yang tersedia didalam kamar VIP di hotel tersebut. Tak lama Leonardo mendudukkan tubuhnya dan bersender dikepala ranjang."Max, pesankan aku Vodka sekarang.""Tidak, kau sudah sangat mabuk Leo.""Aku tak apa.""Leo, hentikan tidurlah.""Baiklah, pergi saja sekarang. Aku ingin sendiri.""Leo aku tak bisa meninggalkanmu sendirian.""Pergilah Max aku ingin menyendiri dulu. Aku ingin saat kau pergi pesankan aku vodka dan minta pelayan untuk mengantarkannya kemari.""Baiklah.""Cepatlah pergi." Usir Leonardo pelan dengan menggunakan tangannya."Iya, jika kau butuh sesuatu hubungi aku.""Iya."Maxime melirik sebentar kearah Leonardo yang terlihat sangat berantakan, pria itu terlihat sangat kacau. Dan mungkin meninggalkannya sendiri adalah pilihan yang paling baik sekarang. Maxime pun melenggangkan kakinya keluar dari kamar hotel ia mendekati pelayan
Leonardo mengganti pakaiannya dengan kemeja dan jas formal, pria itu harus segera pergi ke kantor untuk bicara pada Reoxane, Leonardo menuruni tangga dengan cepat, netranya menangkap sosok kedua orang tuanya yang sudah bersiap untuk terbang ke Italia."Mom." Leonardo mendekati Tabitha dan mencium pipinya lembut."Jaga dirimu, jangan bermain dengan wanita murahan lagi." Peringat Tabitha tajam yang langsung dibalas kekehan geli dari Leonardo dan Arthur."Sudahlah, lagi pula ia pasti sadar apa yang benar dan salah." Ucap Arthur mengeratkan pelukannya pada pinggang Tabitha."Aku heran, putramu membuat kesalahan tapi kau justru mendukungnya.” Ucap Tabitha malas dan membalik haluan memasuki jet pribadi milik Arthur."Sudahlah jangan pikirkan." Ucap Arthur yang hanya tinggal berdua dengan Leonardo."Ya, ucapan Mommy sangat pedas.""Kau baru tau? Daddy bahkan selalu mendengarnya setiap pagi. Entah karena sarapan belum siap, atau k
Porto Venere, Italia Arthur menyandarkan kepalanya saat bodyguardnya yang ia tugaskan menjaga Leonardo tiba-tiba menemuinya. "Ada apa?" Tanya Arthur dingin. "Tuan muda melakukan kesalahan boss." "Apa maksudmu?" Tanya Arthur lalu berdiri memutari meja dan duduk diatas meja dengan menatap lekat pada bodyguardnya. "Tuan muda menghamili seorang gadis yatim piatu." Ujarnya dengan menundukkan kepalanya segan menatap manik tajam milik Arthur. "Itu tak mungkin." "Kami sudah mengawasinya boss, kami pikir gadis itu tak hamil karena dua minggu kami mengawasi tak ada perubahan, tapi semalam ia dicegat oleh sekelompok preman, kami menolongnya dan ia mengejar temanya kemudian pingsan." "Lanjutkan." Ucap Arthur yang kini berdiri tepat dihadapan pria itu. "Dia dibawa ke rumah sakit dan ternyata dia hamil." Bodyguard itu langsung menundukkan kepalanya ia masih takut menatap manik elang milik Arthur. "Jad
Arthur meninju wajah putranya lalu mencengkram erat kerah kemeja Leonardo sementara Tabitha histeris melihat Arthur yang dengan cepat memukul Leonardo. "Arthur lepaskan dia!" "Kau sudah bicara padanya, sekarang biarkan aku bicara dengan dia." Ucap Arthur tak terbantahkan bahkan Tabitha pun mundur dan hanya bisa menangis melihat lebam dan darah segar yang keluar dari sudut bibir putranya. "Jangan pernah berpikir untuk menggugurkan bayi itu!" Desis Arthur tajam. "Dad." Leonardo menatap Arthur dengan segan ini adalah pertama kalinya Arthur melayangkan tangannya pada Leonardo. "Daddy pernah melakukan kesalahan dengan mengeluarkan kalimat itu, dan Daddy menyesalinya sampai sekarang Leo." Ujar Arthur yang langsung membuat Tabitha teringat pertengkarannya dengan Arthur dulu. "Maksud Daddy?" "Bayi itu tak salah, yang salah orang tuanya Leo." "Aku tak mengerti." "Selama ini Daddy selalu mendukungmu, Daddy selalu membelam
Tabitha bersama dengan Alexander sudah berada di apartemen milik Florence, sedangkan wanita yang sebentar lagi akan menyandang nama keluarga De Lavega itu tak berhenti menghela napasnya gugup. "Tak perlu gugup, kau akan menjadi putriku. Dan aku berjanji akan menjagamu." Janji Tabitha seraya menggenggam tangan Florence yang dingin. "Aku hanya tak pernah berpikir sampai kesini nyonya." "Jangan memanggilku dengan sebutan itu, karena mulai hari ini kau panggil aku Mom." "Tapi_" "Aku sudah memanggilmu putriku, lalu kau masih memanggilku nyonya?" Tanya Tabitha seraya membingkai wajah Florence. "Tidak." "Bagus, kau mengerti kan panggil aku Mom dan panggil Daddy Leo dengan sebutan Daddy." "Baiklah, Mom." Tabitha tersenyum hangat ia pun memeluk Florence. "Bagus, sekarang kita pergi." Tabitha melepas pelukannya dan memberi jarak seraya membelai pelan pipi Florence. Florence menganggukkan kepalanya lalu ber