Porto Venere, Italia
Arthur menyandarkan kepalanya saat bodyguardnya yang ia tugaskan menjaga Leonardo tiba-tiba menemuinya.
"Ada apa?" Tanya Arthur dingin.
"Tuan muda melakukan kesalahan boss."
"Apa maksudmu?" Tanya Arthur lalu berdiri memutari meja dan duduk diatas meja dengan menatap lekat pada bodyguardnya.
"Tuan muda menghamili seorang gadis yatim piatu." Ujarnya dengan menundukkan kepalanya segan menatap manik tajam milik Arthur.
"Itu tak mungkin."
"Kami sudah mengawasinya boss, kami pikir gadis itu tak hamil karena dua minggu kami mengawasi tak ada perubahan, tapi semalam ia dicegat oleh sekelompok preman, kami menolongnya dan ia mengejar temanya kemudian pingsan."
"Lanjutkan." Ucap Arthur yang kini berdiri tepat dihadapan pria itu.
"Dia dibawa ke rumah sakit dan ternyata dia hamil." Bodyguard itu langsung menundukkan kepalanya ia masih takut menatap manik elang milik Arthur.
"Jadi ini benar?"
"Ya, boss."
"Dan kau tak memberitahuku masalah sepenting ini!" Desis Arthur tajam.
"Kami hanya takut dugaan kami salah, oleh karena itu kami memencar boss, sekelompok mengawasi tuan muda dan satunya mengawasi gadis itu."
"Apa Leo tau masalah ini?"
"Tuan muda sudah menemui gadis itu dua minggu lalu, tapi ia tak berniat tanggung jawab tapi ia memberi sesuatu kepada gadis itu."
"Apa?"
"Sepertinya sebuah cek."
Arthur yang mendengar ucapan bodyguardnya langsung menggeram, ia kini tengah diambang kemarahan akibat perbuatan putranya.
"Kita terbang ke New York sekarang, aku harus menemui gadis itu."
"Baik, akan kami siapkan."
"Tunggu." Ucapan Arthur menghentikan langkah kaki bodyguardnya.
"Jangan katakan masalah ini pada Tabitha, hanya kau dan aku yang mengetahui masalah ini."
"Baik boss."
Bodyguard itu pun melenggang keluar dari ruang pribadi Arthur, sedangkan pria yang tak lagi muda itu pun memijit pelipisnya menghadapi sikap putranya.
"Apa yang kau lakukan Leo?" Gumam Arthur tertahan.
Arthur membenahi jas yang melekat di tubuhnya lalu keluar mendekati Tabitha yang tengah menonton TV.
"Aku harus pergi." Ucap Arthur tanpa basa-basi.
"Kemana?"
"New York."
"Ada urusan apa kau kesana?"
"Tidak terlalu penting."
"Aku ikut."
"Jangan, kau disini saja."
"Tidak aku ikut!" Putusnya seraya berdiri dan berkacak pinggang di depan Arthur.
"Baiklah, persiapkan dirimu."
"Oke." Tabitha tersenyum penuh kemenangan, ia pun berjalan dengan langkah lebar memasuki kamarnya, mengganti pakaian dengan yang lebih formal.
Arthur menunggu Tabitha di halaman mansion, pria itu sedikit berdecak jika mengingat kelakuan Leonardo.
"Arthur?"
Arthur pun menolehkan kepalanya kesamping dimana Tabitha sudah berdiri dengan dress selutut yang berwarna navy ditambah dengan rambutnya yang dibiarkan terurai, sungguh wanita-nya selalu tampak cantik dan Arthur tak akan berhenti menganguminya.
"Kenapa?" Tanya Tabitha sedikit risih dengan tatapan yang diberikan oleh Arthur.
"Tidak, kau sangat cantik."
"Kau juga tampan."
"Tapi aku tua."
"Ya, tapi aku akan tetap mencintaimu."
"Aku tau." Arthur mengecup singkat bibir tipis Tabitha lalu mengalihkan pandangannya ke jet yang sudah mendarat di halaman mansion.
"Ayo."
Tabitha menganggukkan kepalanya dan berjalan dengan mengapit lengan Arthur memasuki jet pribadi milik suaminya.
***
Florence menatap nanar kearah dinding putih rumah sakit ia masih tak percaya ada nyawa yang hidup dirahimnya sekarang, ucapan Cathrine waktu itu menjadi nyata, ia hamil sekarang. Florence membelai lembut perutnya yang masih datar lalu ingatannya saat Leonardo menemuinya waktu itu kembali terlintas.
"Florence?" Cathrine menepuk pelan bahu Florence.
Florence sedikit tersentak, ia pun tersadar dari lamunannya dan menatap lekat kearah Cathrine.
"Apa?"
"Sekarang bagaimana?"
"Bagaimana apanya?"
"Sekarang kau hamil Flo, pikirkan masa depanmu."
"Masa depanku bersama bayi ini Cath."
"Apa maksudmu?"
"Aku akan tetap mempertahankannya, apapun yang terjadi."
"Ya Tuhan, jangan bodoh bagaimana jika boss di Cafe mengetahui hal ini! Kau akan dipecat!"
"Aku tau, tapi itu tak akan terjadi selama perutku tak membesar."
"Florence, jika terjadi sesuatu padamu bagaimana?”
"Sesuatu apanya?"
"Kau bekerja di dua tempat yang berbeda, kau bekerja tanpa henti. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan bayi mu?"
"Aku akan berusaha menjaganya semampuku.”
"Baiklah, itu pilihan mu."
Florence mengganggukkan kepalanya dan menggenggam erat telapak tangan Cathrine.
"Baiklah ayo kita pulang, kau harus istirahat dengan tenang."
"Ya, terimakasih Cath."
Cathrine menganggukkan kepalanya, ia pun membantu Florence menuruni brangkar lalu mereka pun menjalankan kakinya ketempat administrasi untuk membayar biaya rumah sakit Florence.
"Tunggu disini." Ujar Cathrine mendudukkan Florence di kursi tunggu, Cathrine pun mendekati ke tempat administrasi bercakap disana. Lalu tak lama Cathrine kembali dengan raut wajah bingungnya.
"Ada apa?"
"Mereka bilang seluruh biaya pengobatanmu sudah dilunasi."
"Apa?!" Florence seketika berdiri dan semakin mengikis jarak dengan Cathrine.
"Aku juga tak tau, bukan aku yang melunasi biaya pengobatanmu."
"Lalu jika bukan kau siapa?"
"Aku tak tau Flo, mereka tak mengatakannya padaku siapa yang melunasi tagihanmu."
"Siapa yang melunasinya?" Florence berpikir dengan satu tanganya yang berada dipinggang.
"Sudah jangan pikirkan, lebih baik kita sekarang pulang."
"Ya kau benar."
Cathrine mengantarkan Florence sampai di depan apartemen kecil milik sahabatnya, Florence melambaikan tangannya kala Cathrine melaju menjuhinya. Florence membalikkan tubuhnya dan berjalan memasuki apartemennya. Wanita itu membuka knop pintu lalu menguncinya. Dan ia pun meletakkan tasnya diatas meja lalu membaringkan tubuhnya di ranjang kecil didalam kamar sempitnya.
Keesokan harinya Florence terbangun dengan sedikit terganggu akibat rasa mual yang melandanya, ia segera ke kamar kandi memuntahkan isi perutnya walaupun yang keluar hanya cairan bening. Setelah memuntahkan isi perutnya Florence terduduk di tepi ranjang dengan memegangi kepalanya yang terasa pening, wanita itu mengusap pelan perutnya yang masih rata.
"Apa ini yang dinamakan morning sickness?" Gumamnya dengan suara yang sangat pelan.
Tak lama terdengar suara ketukan pintu yang cukup keras, Florence berdecak kesal, siapa tamu yang datang pagi-pagi buta seperti ini! Florence meraih hoddie diatas kursi lalu memakainya dan ia pun membuka pintu itu, terlihat seorang pria yang tak lagi muda dengan pakaian yang mewah dan terlihat sangat berkharisma, Florence yakin pria di depannya bukan pria sembarangan.
"Boleh saya masuk?" Ucapnya dengan suara bariton yang sedikit membuat Florence tersentak.
"Ah, silahkan." Florence mempersilahkan pria itu duduk di kursi tuanya.
"Maaf tempat tinggalku seperti ini." Ujar Florence saat mata pria didepanya meneliti seisi apartemennya.
"Ya, tak apa. Kau tinggal sendiri?" Ucap pria itu dengan melepas satu kancing tengah jas mewahnya.
"Tidak, em. Maksudku ya, aku tinggal disini sendiri tapi sebelum itu aku tinggal dengan bibiku dua tahun lalu."
"Kemana bibi mu?"
"Dia sudah tiada." Ucap Florence menundukkan kepalanya.
"Aku minta maaf."
"Tidak apa." Florence menatap pria yang terlihat angkuh namun berwibawa di depanya. Ia merasa tak asing dengan wajah pria itu.
"Maaf." Florence menjeda kalimatnya lalu menatap pria di depannya.
"Anda siapa?" Tanya Florence ragu.
"Aku calon mertuamu."
Deg! Calon mertua! Florence meneguk salivanya kasar, siapa pria di depannya ini kenapa tiba-tiba memperkenalkan diri sebagai calon mertuanya?!
"Maaf, tapi aku tak memiliki kekasih jadi itu tak mungkin." Ucapnya dengan sedikit gugup.
"Aku Arthur De Lavega, ayah dari Leonardo. Dan aku juga tau putraku adalah calon ayah dari anak yang ada didalam rahim mu."
"Apa?!" Florence melebarkan matanya saat mendengar penuturan pria di depannya, hell! Ia lupa pria dihadapannya adalah Arthur De Lavega salahkan ia yang kurang berita!
"Aku kesini untuk memberikan tawaran padamu."
"Maaf, tapi aku tak bisa." Tolak Florence mentah-mentah, ia hanya takut Arthur akan memintanya untuk melenyapkan bayi itu.
"Dengar dulu."
"Aku_"
"Jika kau berpikir aku datang untuk memintamu melenyapkan bayi itu, kau salah. Karena aku kesini justru ingin memperbaiki kesalahan yang telah putraku perbuat terhadapmu." Sela Arthur cepat memotong ucapan Florence.
"Aku tak mengerti."
"Aku kesini untuk memintamu menjadi mempelai wanita untuk putraku Leonardo."
"Maaf, tapi aku_"
"Florence, jangan pikirkan ego mu. Tapi pikirkan bayi itu. Aku datang untuk masa depannya, memberikan ia nama De Lavega yang memang sudah seharusnya menjadi haknya."
"Bagaimana jika putramu menolak?"
"Itu akan menjadi urusanku."
"Tuan Arthur aku sama sekali tak memaksa kalian untuk melakukan ini semua, lagi pula aku bisa menghidupinya sendiri."
"Dengan bekerja di dua tempat yang berbeda? Kurasa itu justru membahayakan kesehatannya." Sindir Arthur halus.
"Aku yakin_"
"Ms. Wilson bersedia lah menjadi mempelai wanita untuk putraku, ini bukan untukmu atau pun untuk Leo, tapi ini untuk bayi itu. Kau tak ingin kan bayi mu dipandang buruk di mata sosial?"
"Aku_"
"Justru sebaliknya jika kau menikah dengan Leo, pasti bayi mu akan dihormati."
"Percayalah padaku, jika Leo berusaha mengancamu maka aku akan melindungimu." Ucap Arthur lagi.
"Baiklah, aku setuju."
"Bagus, kalau begitu aku pergi."
"Ya."
Arthur menegakkan tubuhnya lalu berjalan keluar dari apartemen milik Florence namun diambang pintu Arthur berhenti dan memutar tubuhnya menghadap Florence.
"Aku cukup bahagia mendengar kabar ini, jadi tolong jaga cucuku dengan baik." Ucap Arthur dengan senyum yang sangat tipis.
"Tentu." Florence membalas senyum Arthur dan pria itu pun pergi dari sana.
Florence mendudukan tubuhnya membelai pelan perutnya lalu menyenderkan tubuhnya ke belakang kursi.
"Semoga ini benar." Lirihnya.
***
Leonardo sibuk berkutat dengan berbagai dokumen di meja kerjanya, pria itu mengabaikan bunyi dering yang berasal dari ponselnya hingga akhirnya ia pun meraih ponsel itu dan melihat si penelpon, Arthur.
Leonardo melepas kacamata bacanya lalu menggeser tombol hijau dan menyenderkan tubuhnya di kursi kebesarannya.
"Ya Dad?"
"Pulang sekarang juga Leo."
"Apa?!"
"Daddy ingin bicara padamu, jadi pulanglah."
"Tapi Dad, pekerjaanku belum selesai."
"Kau bisa meminta Reoxane untuk menghandle pekerjaanmu."
"Ada masalah apa Dad?"
"Jangan banyak bicara! Cepatlah pulang."
"Baiklah."
Leonardo menutup sambungan teleponya lalu menghela napasnya kasar, ia keluar dari ruangannya dan memasuki ruangan Reoxane yang berada tepat di samping kanannya.
"Reo?"
"Ya, ada apa boss?" Tanya pria itu dengan senyum yang mengembang.
"Hentikan senyum bodohmu!"
"Astaga! Apa lagi ini Leo? Aku hanya tersenyum!"
"Aku tak suka kau tersenyum layaknya pria bodoh!"
"Terserah! Dasar Mr. Frozen!"
"Aku tak perduli, handle berkas yang ada dimeja kerjaku, aku harus pulang."
"Ada apa? Kenapa tiba-tiba?"
"Daddy memintaku pulang."
"Ada masalah Leo?"
"Ku berdoa semoga tidak." Ujar Leonardo dingin lalu memutar haluan keluar dari ruangan Reoxane berjalan kearah lift dan turun kearea parkir khusus di basemant.
Leonardo meraih kunci mobil Ferrari miliknya dan menjalankan mobil itu dengan kecepatan yang lumayan tinggi di jalanan padat New York. Akhirnya ia pun sampai di mansion. Leonardo melepas jas yang melekat di tubuhnya menyisahkan kemeja biru laut yang melekat di tubuh atletisnya.
Pria itu dengan tegap berjalan memasuki mansion dimana Arthur sudah duduk dengan menyilangkan tangannya didepan dada.
"Ada apa Daddy memanggilku kemari?"
"Ikut Daddy." Ucap Arthur dan berlalu memasuki ruang pribadinya dengan Leonardo yang mengekorinya.
Setelah sampai di dalam ruang pribadi milik Arthur, pria yang tak lagi muda itu pun duduk dengan menatap Leonardo yang juga duduk dihadapannya dan sialnya anaknya itu terlihat sangat tenang setelah menghamili seoarang wanita bahkan ia tanpa dosa tengah menyesap vodka dengan dosis alkohol yang tinggi 58%.
"Leo, Daddy ingin bicara."
"Katakan saja Dad."
"Apa kau menghamili seorang gadis?"
"Aku tak ingat."
"Come on son! Aku tau kau bermain dengan banyak wanita tapi kali ini berbeda!"
"Apa maksud Daddy?"
"Kau menghamilinya!"
"Bisa saja itu milik orang lain." Ucap Leonardo acuh.
"Itu tak mungkin, bodyguard Daddy yang mengawasimu telah mengawasi wanita itu dan mereka bilang dia wanita baik-baik!"
"Jadi selama ini Daddy menguntit segala aktifitasku?" Tanya Leonardo dengan mengangkat satu alisnya.
"Itu demi keselamatanmu."
"Kenapa Dad?"
"Daddy hanya tak ingin kau membuat kesalahan."
"Well, aku sudah salah dengan meniduri gadis itu."
"Kau mengakuinya?"
"Ya, dan bayi itu hadir atas faktor ketidak sengajaan Dad." Ucap Leonardo dengan mengetuk gelas vodka ditangan kananya.
"Leo, bayi itu tak bersalah!"
"Jadi Daddy mau aku berbuat apa?" Tanya Leonardo serius.
"Nikahi wanita itu."
"Aku tak ingin menikah!" Tolak Leonardo.
"Kau harus!"
"Dad! Dua minggu yang lalu pernikahanku baru saja batal, lalu sekarang aku akan menikah lagi? Itu tak mungkin! Apa yang akan dikatakan media tentangku!"
"Itu urusanmu." Ucap Arthur tak perduli.
"Daddy tak bisa memaksaku!"
"Leo, kita bisa lakukan diam-diam."
"Tidak!"
"Kau harus! Kau sudah menghamili wanita itu! Jadi terima atau tidak kau harus mau menikahinya!"
Prang!
Arthur menolehkan kepalanya ke ambang pintu, disana istrinya berdiri dengan wajah kaget dan tangan yang masih mengambang diudara disertai dengan dua pecahan gelas yang terlihat memprihatinkan diatas lantai.
"Tabitha." Lirih Arthur.
"Mommy." Leonardo langsung berdiri dan menundukkan kepalanya.
"Apa maksud perkataanmu Arthur?!" Sentak Tabitha yang tengah berjalan mendekati ayah dan anak yang saling diam itu.
"Jawab aku!" Desak Tabitha seraya menatap tajam kearah suaminya.
"Ta_"
"Leo, apa yang dikatakan Daddy mu salah kan?" Tanya Tabitha menatap Leonardo dari atas sampai bawah.
"Daddy benar Mom." Lirih Leonardo yang langsung membuat wajah Tabitha memerah karena emosi.
"APA-APAAN KAU! MOMMY TAK MENDIDIKMU SEPERTI INI!" Sungut Tabitha memunculkan urat disekitar lehernya.
"Maafkan aku."
Tabitha berjalan mendekati Leonardo, Arthur mencekal lengan Tabitha tapi wanita itu dengan keras menghentakkan tangan Arthur sampai terlepas dari lenganya.
"Biarkan aku bicara pada putraku!" Desis Tabitha tajam.
"Baiklah." Arthur mengalah ia pun mundur dan menyilangkan kedua tangannya didepan dada.
"MOMMY SUDAH BILANG JAUHI WANITA-WANITA ITU! LIHATLAH INI AKIBATNYA!"
"Dia berbeda, dia bukan jalang seperti yang kau maksudkan." Ujar Arthur membenahi.
"Kau sudah mengetahui hal ini?!"
"Iya."
"Lalu kenapa kau menyembunyikannya dariku!" Sentak Tabitha kesal.
"Dengarkan aku_"
"Aku tak percaya kau menyembunyikan masalah sebesar ini padaku Arthur! Leonardo juga putraku!"
"Maafkan aku."
"Kenapa kau lakukan ini Leo?!!" Tabitha bertanya sekali lagi namun Leonardo tetap mengunci mulutnya enggan untuk menjawab, jujur saja jika Mommy-nya sudah turun tangan ia tak berani.
"LEONARDO DE LAVEGA!! JAWAB AKU! MENGAPA KAU MELAKUKAN SEMUA INI?!"
"Mommy."
Plak!
Satu tamparan mendarat mulus di pipi kanan Leonardo, Tabitha menampar putranya dengan tangis yang menggenang."Mommy kecewa padamu!" Desis Tabitha tajam.
"Maafkan aku Mom." Sesal Leonardo.
"Honey, dengarkan penjelasan putra kita terlebih dahulu."
"Aku tak mau! Sekarang pilihannya hanya dua, nikahi wanita itu atau lupakan bahwa aku adalah Mommy mu!!" Ucap Tabitha yang langsung membuat Leonardo mendongak.
"Tabitha!" Peringat Arthur tajam.
"Mommy, sangat kecewa padamu Leo." Tangis Tabitha pecah seketika, ia menangis sesegukan. Arthur yang paham pun langsung merengkuh istrinya kedalam dekapannya.
"Kita hanya perlu menggugurkan bayi itu, masalah selesai." Ucap Leonardo tanpa pikir panjang.
Bugh!
"ARTHUR!!"
Arthur meninju wajah putranya lalu mencengkram erat kerah kemeja Leonardo sementara Tabitha histeris melihat Arthur yang dengan cepat memukul Leonardo. "Arthur lepaskan dia!" "Kau sudah bicara padanya, sekarang biarkan aku bicara dengan dia." Ucap Arthur tak terbantahkan bahkan Tabitha pun mundur dan hanya bisa menangis melihat lebam dan darah segar yang keluar dari sudut bibir putranya. "Jangan pernah berpikir untuk menggugurkan bayi itu!" Desis Arthur tajam. "Dad." Leonardo menatap Arthur dengan segan ini adalah pertama kalinya Arthur melayangkan tangannya pada Leonardo. "Daddy pernah melakukan kesalahan dengan mengeluarkan kalimat itu, dan Daddy menyesalinya sampai sekarang Leo." Ujar Arthur yang langsung membuat Tabitha teringat pertengkarannya dengan Arthur dulu. "Maksud Daddy?" "Bayi itu tak salah, yang salah orang tuanya Leo." "Aku tak mengerti." "Selama ini Daddy selalu mendukungmu, Daddy selalu membelam
Tabitha bersama dengan Alexander sudah berada di apartemen milik Florence, sedangkan wanita yang sebentar lagi akan menyandang nama keluarga De Lavega itu tak berhenti menghela napasnya gugup. "Tak perlu gugup, kau akan menjadi putriku. Dan aku berjanji akan menjagamu." Janji Tabitha seraya menggenggam tangan Florence yang dingin. "Aku hanya tak pernah berpikir sampai kesini nyonya." "Jangan memanggilku dengan sebutan itu, karena mulai hari ini kau panggil aku Mom." "Tapi_" "Aku sudah memanggilmu putriku, lalu kau masih memanggilku nyonya?" Tanya Tabitha seraya membingkai wajah Florence. "Tidak." "Bagus, kau mengerti kan panggil aku Mom dan panggil Daddy Leo dengan sebutan Daddy." "Baiklah, Mom." Tabitha tersenyum hangat ia pun memeluk Florence. "Bagus, sekarang kita pergi." Tabitha melepas pelukannya dan memberi jarak seraya membelai pelan pipi Florence. Florence menganggukkan kepalanya lalu ber
Florence menjalankan kakinya dengan ragu memasuki kamar Leonardo, wanita itu menggigit bibir bawahnya gugup tangannya tak berhenti meremas, ia sangat gugup jika berhadapan dengan Leonardo.Setelah sampai tepat di depan pintu kamar berwarna hitam pekat milik Leonardo, tangannya hendak mengetuk pintu kamar itu namun ia urungkan hingga kepalan tangannya mengudara."Aku istrinya kenapa pintunya harus ku ketuk?!" Gumamnya seraya memukul pelan kepalanya sendiri.Ia pun akhirnya menghembuskan nafasnya kasar lalu tangannya dengan bergetar memegang knop pintu lalu memutarnya hingga terdengar suara klik, ia pun mendorong pintu itu perlahan.Saat pintu terbuka manik birunya langsung terkunci pada sosok seorang pria yang tengah duduk dengan menggunakan kain bathrobe dan satu tangannya yang memegang segelas vodka."Masuklah, dan tutup pintunya!" Titah pria itu dengan suara yang dingin.Florence tak menjawab tapi ia mengangkat sedikit gaunnya lalu berjala
Florence membuka matanya perlahan saat matahari menyilaukan matanya, wanita itu bangkit dari baringannya mencari keberadaan Tabitha, tapi sama sekali tak ia temukan, Florence melirik kearah jam yang menunjuk pukul delapan pagi, wanita itu langsung menoyor kepalanya."Aku terlambat! Mr. John pasti akan memarahiku!" Florence langsung memasuki kamar mandi dan bersiap didalam kamar.Sementara di kamar lain Leonardo terus merutuki nasibnya yang buruk setelah bertemu dengan Florence, mulai dari bayi itu, lalu dipukul Daddy-nya, dan terakhir semalam asetnya ditendang oleh Mommy-nya sendiri! Hell! Wanita itu memang kurang ajar!Leonardo keluar dari kamarnya dengan pakaian formal seperti biasa. Pria itu dengan tegap berjalan melewati lorong mansion, sesekali beberapa maid menyapanya ataupun menundukkan tubuhnya sebagai tanda hormat namun sama sekali tak digubris oleh pria itu.Pendengarannya menajam saat mendengar suara orang yang tengah berjalan di dibelakangnya,
Setelah memberikan minuman pada Florence, Leonardo kembali kelantai bawah dengan tangan yang sudah mengepal menahan amarah. Pria itu sedikit tidak terima jika miliknya ditatap dengan tatapan memuja oleh pria lain, sekalipun itu adalah temannya sendiri, Maxime.Leonardo menjalankan kakinya kearah Maxime yang tengah menatapnya dengan tangan yang memegang gelas berisikan wine dan menatapnya dengan tatapan yang sangat dibenci Leonardo."Sudah menyembunyikan istrimu itu Leo?""Apa maksudmu?" Tanya Leonardo seraya mendudukkan tubuhnya disofa empuk yang berhadapan dengan Maxime."Ayolah, kau pikir aku tak mengerti dengan apa yang kau lakukan tadi?""Max!" Peringat Leonardo tajam tapi dengan wajah yang masih datar."Dengar, istrimu itu cukup cantik, dan aku rasa aku tertarik padanya." Ujar Maxime tenang dengan menyesap wine ditanganya."Jaga ucapanmu!""Well, dia tengah hamil kan?"Leonardo tak menjawab, Maxime melirik kesal kea
Malam hari Florence terbangun dari tidurnya, wanita itu melirik kesamping dan tak menemukan Leonardo disana. Mungkin benar pria itu memang menganggapnya sebagai calon ibu dari anaknya tapi tidak sebagai istrinya, buktinya sekarang pria itu mungkin memilih tidur di kamar lain.Florence menghembuskan napasnya kasar mungkin ia harus menerima semua ini sebagai takdirnya. Florence kembali ketujuan awalnya untuk mengambil minum, ia haus.Florence menurunkan kakinya dari ranjang, ia pun menjalankan kakinya keluar dari kamarnya dan berjalan dengan langkah gontai menuju pantry namun saat melewati kamar tamu ia mendengar sesuatu, Florence memberanikan diri untuk membuka kamar itu hal yang pertama yang ia lihat adalah Leonardo yang tengah tertidur, tapi pria itu seakan terganggu dalam tidurnya.Florence menelan ludah susah payah, ia bingung tapi ia tak bisa diam saja disana. Alhasil ia pun menjalankan kakinya mendekati ranjang yang ditempati Leonardo.Pelipis pria i
Leonardo menatap dingin kearah Reoxane yang terduduk dihadapannya."Apa yang ingin kau bicarakan?""Kemarin ada Mr. France meminta beberapa peti senjata dari kita.""Mereka sudah membicarakan masalah uangnya?""Ya, mereka akan mengirimkan uangnya setelah kita mengirimkan barangnya.""Batalkan!""Leo, ini keuntungan besar.""Kita akan setuju jika orang itu mau membayar kita terlebih dahulu.""Baiklah, aku akan bicara pada mereka.""Apa jenis senjata yang mereka inginkan?""Revolver dan Senapan.""Baiklah, siapkan dan pastikan uangnya sudah terlebih dahulu mereka kirimkan.""Baiklah.""Mau apa lagi?""Tidak, aku hanya melaporkan itu.""Kau sudah melaporkannya.""Iya aku tau.""Pergilah
Florence menggeliat dari tidurnya, ia mengerjabkan matanya beberapa kali mencari kesadaran. Saat matanya benar-benar terbuka Florence menegakkan tubuhnya dan menyenderkan tubuhnya dikepala ranjang.Terdengar bunyi gemercik air dari kamar mandi, Florence menduga itu adalah Leonardo, ia tak ambil pusing. Wanita itu menurunkan kakinya dan berjalan kearah walk in closet, mengambil kemeja, jas dan dasi yang pas untuk dipadukan. Setelah semuanya sudah siap ia pun meletakkannya diatas ranjang.Terdengar decitan pintu yang dibuka, Florence mengalihkan atensinya kebelakang dimana Leonardo sudah berdiri dengan menggunakan handuk dan tetesan air yang berasal dari rambutnya."Semua sudah kusiapkan, tinggal sarapanmu saja." Ucap Florence menatap Leonardo sesekali menelan salivanya kasar mengenyahkan pikirannya tentang tubuh tegap Leonardo yang menggoda."Oke." Singkat, padat dan jelas. Mungkin itu adalah balasan paling dibenci oleh Florence yang keluar dari bibir Leon