Leonardo mengganti pakaiannya dengan kemeja dan jas formal, pria itu harus segera pergi ke kantor untuk bicara pada Reoxane, Leonardo menuruni tangga dengan cepat, netranya menangkap sosok kedua orang tuanya yang sudah bersiap untuk terbang ke Italia.
"Mom." Leonardo mendekati Tabitha dan mencium pipinya lembut.
"Jaga dirimu, jangan bermain dengan wanita murahan lagi." Peringat Tabitha tajam yang langsung dibalas kekehan geli dari Leonardo dan Arthur.
"Sudahlah, lagi pula ia pasti sadar apa yang benar dan salah." Ucap Arthur mengeratkan pelukannya pada pinggang Tabitha.
"Aku heran, putramu membuat kesalahan tapi kau justru mendukungnya.” Ucap Tabitha malas dan membalik haluan memasuki jet pribadi milik Arthur.
"Sudahlah jangan pikirkan." Ucap Arthur yang hanya tinggal berdua dengan Leonardo.
"Ya, ucapan Mommy sangat pedas."
" Kau baru tau? Daddy bahkan selalu mendengarnya setiap pagi. Entah karena sarapan belum siap, atau karena orang yang terlambat mengantar susu." Ucap Arthur dengan terkekeh geli mengingat aktifitasnya setiap pagi dengan sang istri di Italy.
"Syukurlah aku disini, jadi telingaku bisa terhindar dari ucapan Mommy."
"Ya, kau benar."
"Hati-hati dijalan Dad."
"Kau juga, jaga dirimu." Arthur menjeda kalimatnya lalu menepuk bahu Leo pelan.
"Dengar, Daddy tak akan melarangmu melakukan apapun, selama ini Daddy selalu mendukungmu. Tapi ingat, jika kau sudah melakukan kesalahan yang fatal, jangan salahkan Daddy jika sisi gelap Daddy akan keluar."
"Ya, jangan khawatirkan itu."
"Bagus, Daddy pergi. Jaga dirimu Son." Ungkap Arthur dan berjalan memasuki jet pribadinya.
Tak lama jet itu pun mengudara, Leonardo menatap jet yang sudah terbang itu dengan memasukkan satu tangannya di saku celana kainnya. Tak lama ponselnya berbunyi, pria itu dengan cepat meraihnya dan tertera nama Reoxane disana.
"Ya?" Tanya Leonardo dengan berjalan memasuki mobil Lykan Hypersport hitamnya.
"Dimana kau?"
"Jalan."
"Bukanya kau ingin menemuiku? Kenapa lama? Kau tau aku sedang ada janji dengan adikmu?!"
"Cerewet!"
"Hei! Enak saja! Jaga bicaramu Mr. Frozen!"
"Diamlah! By the way ada urusan apa kau dengan Fio?"
"Itu privasiku! Cepatlah aku menunggumu."
"Sialan!!"
"Apa mulutmu tak bisa dijaga sebentar saja Leo? Kau ini terlalu kaku!!"
"Diam!" Leonardo dengan cepat mematikan sambungan teleponnya dan menginjak pedal gasnya menuju kantor.
Tak lama mobil pria itu pun melesat dengan cepat memasuki basemant kantor yang memang disiapkan untuk tempat parkir petinggi kantor. Setelah selesai memarkirkan mobilnya, Leonardo dengan angkuhnya berjalan memasuki kantor menaiki lift, dan berdiri dengan memasukkan dua tangannya.
Leonardo melirik kesamping dimana seorang pria tengah menundukkan kepalanya segan dan tak berani menatap Leonardo.
"Apa kau pikir aku akan membunuhmu?"
"T-tidak tuan." Jawabnya tergagap.
"Lalu kenapa kau menundukkan kepalamu?"
"A-aku hanya menghormatimu."
Leonardo tak menjawab tapi ia tau ada ketakutan dimata pria itu. Tak lama pintu lift terbuka Leonardo menatap sekilas pria disampingnya.
"Aku tak akan membunuhmu jika kau tak membuat kesalahan. Jadi pastikan kau bekerja dengan benar agar kau tak aku bunuh." Ujarnya dengan senyum miring dibibirnya. Ketahuilah Leo hanya bercanda tapi yang pasti berdampak besar pada pria disampingnya. Bahkan tubuh pria disampingnya sedikit menggigil setelah mendengar joke garing dari atasannya.
Leonardo menjalankan kakinya memasuki ruangan CEO yang sudah dijaga oleh dua bodyguadnya. Pria itu tak menampilkan senyum sedikitpun pada beberapa staf yang menyapanya. Ia benar-benar dingin."Ekhm!"
"Kau sudah datang?" Reoxane langsung menegakkan tubuhnya setelah menyadari kedatangan Leonardo.
Leonardo berjalan dan mendudukkan tubuhnya di kursi kebesarannya, ia menatap Reoxane yang juga tengah duduk menatapnya.
"Jadi ada apa?" Tanya Reoxane seraya menyesap wine ditanganya.
"Aku meniduri seorang gadis."
"Itu hal biasa, memangnya kenapa?"
"Aku salah, dia bukan jalang." Ucap Leonardo datar.
"Uhuk!" Reoxane tersedak wine yang diminumnya setelah mendengar ucapan Leonardo.
"Kenapa?" Tanya Leonardo dengan mengangkat satu alisnya
"Kau gila!"
"Jika aku gila aku tak mungkin duduk disini." Balasnya tanpa pikir panjang.
"Ya Tuhan, bisakah kau bersikap cemas?! Bagaimana jika gadis itu hamil?!"
"Oleh karena itu aku memintamu datang kemari." Balas Leonardo cepat.
"Apa maksudmu Leo?"
"Cari gadis itu."
"Kau pikir mencari gadis itu mudah?!"
"Kenapa kau selalu berteriak?"
"Apa maksudmu?"
"Kau selalu berteriak."
"Aku tak berteriak, jika aku berteriak sudah pasti urat dileherku akan terlihat."
"Oh."
"Ya Tuhan, Leo hentikan sikap acuhmu! Ini gawat jika sampai gadis itu hamil bagaimana dengan reputasimu?"
"Tak akan terjadi apapun, temui Max dia bersamaku malam itu kurasa dia akan memberikanmu informasi."
"Ya dasar pengatur."
"Terserah, pergilah aku ada meeting."
"Sialan!"
"Aku tak dengar." Balas Leonardo acuh dan membuka laptopnya mulai mengerjakan pekerjaannya menyisahkan Reoxane dengan umpatan kecil kepada sahabat plus bossnya itu.
***
Florence melamunkan kata-kata yang terucap dari Cathrine, ia tak bisa fokus bekerja seharian ini.
"Florence?"
"Iya boss?"
"Kenapa kau terus melamun?
"Ah, aku tak apa."
"Kau terlihat sedang murung?"
"Tidak, aku baik."
"Baiklah, kembali bekerja."
"Baik boss." Florence pun berjalan dan mulai mengantarkan pesanan pada pengunjung cafe.
Ya, wanita itu bekerja di dua tempat yang berbeda untuk menyambung kehidupannya. Dari pagi sampai sore ia akan bekerja sebagai pelayan disebuah cafe kecil dan dimalam hari ia akan bekerja di hotel sebagai pelayan dan pembersih.
Florence mulai melayani pembeli dengan baik, wanita itu selalu bersikap ramah, oleh karena itu ia banyak dikagumi oleh beberapa pengunjung cafe tapi satu hal yang selalu diingatnya. Ia tak bisa mendekati pria jika dirinya belum siap, ia harus bisa menjamin kehidupanya dulu baru bisa memikirkan masalah asmara. Namun impiannya runtuh begitu saja karena kejadian malang yang menimpanya.
Florence kembali teringat dengan kejadian itu, tangannya gemetar dan ia tak sengaja menjatuhkan nampan yang berisikan pesanan untuk meja nomer 12, meja yang diisikan oleh seorang pria yang sama persis dengan yang menodainya malam itu. Pelipisnya berkeringat ia tak ingin mengingat kejadian itu tapi mengapa pria itu ada disini.
"Flo ada apa?" Tanya Jeasy temannya.
"Em, tidak."
"Tapi kau terlihat gugup."
"Aku tak apa, Jassy maaf kau layani tamu di meja itu ya. Aku ingin kebelakang sebentar." Ujarnya setelah menunjuk meja dimana Leonardo berada.
"Ya."
Florence segera membalikan tubuhnya dan memasuki ruang kecil untuk istirahat pegawai. Wanita itu memegang dadanya yang sesak tangisnya tak boleh tumpah hanya karena pria bedebah itu!
"Kau kuat Flo, ingatlah kau tak lemah!" Teguhnya semangat.
Tak lama Jassy kembali datang dengan raut wajah yang sedikit cemas.
"Ada apa?" Tanya Florence bingung.
"Dia mencarimu.”
"Apa?!"
"Aku tak tau, tiba-tiba dia mencarimu."
"Aku tak mau menemuinya, katakan saja aku tak ada." Tolaknya mentah-mentah.
"Kau yakin?"
"Ya."
"Baiklah."
Jassy keluar dari ruangan itu dan menghadapi Leonardo. Florence mengintip dari sela pintu saat Jassy bercakap dengan pria sialan itu. Dan tak lama pria itu berdiri tapi ia tak memutar haluan untuk keluar! Shit!! Dia berjalan kearahnya!!
Florence menelan ludahnya susah payah, wanita itu bahkan mengedarkan pandangannya mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk menyelamatkannya dari pria sialan itu. Tapi terlambat, nyatanya Leonardo sekarang sudah memasuki ruangan itu bahkan susah menguncinya.
"Mau apa kau?!" Tanya Florence histeris.
"Listen to me!"
"Aku tak mau! Keluar sekarang!"
"Dengarkan aku!"
"Aku tak mau!!" Florence meraih sebuah balok kecil disamping kirinya dan menodongkan itu didepan Leonardo.
"Kau akan memukulku?"
"Ya, jika kau berani mendekatiku!"
"Baiklah." Leonardo malah mendekati Florence sampai tubuh wanita itu terpantuk di dinding.
"Jauhkan tubuhmu!!"
"Pukul aku!"
Florence melemah ia tak berani memukul Leonardo apalagi posisinya sekarang adalah berada dikungkungan pria itu. Leonardo mengurungnya dengan kedua lengannya.
"Kenapa kau melepaskan kayu itu?" Tanya Leonardo dingin.
"Ku mohon, lepaskan aku." Pinta Florence dengan memejamkan matanya, God! Ia sangat takut pada pria didepanya sekarang!
"Aku tak akan menyakitmu."
"Lalu?" Florence membuka matanya dan mulai berani menatap manik pria di hadapanya.
"Aku hanya ingin memberikanmu sesuatu."
"Apa maksudmu?"
Leonardo tak menjawab pertanyaannya ia hanya meraih sebuah cek di saku jasnya dan memberikan cek itu pada Florence.
"Ambilah, itu sebagai permintaan maafku atas kejadian malam itu."
Mata Florence seketika membelalak, yang benar saja setelah menodainya pria sialan didepannya ini ingin menghinanya!
"Ambilah." Ucap Leonardo lalu memberikan cek itu kepada Florence.
Florence melihat cek yang bertuliskan lima juta dollar, tapi ia justru berdecak lalu tanpa kata merobek cek itu dan membuangnya asal.
"Aku tak meminta apapun padamu! Aku tak butuh uang itu! Kau pikir harga diri seorang wanita dihargai dengan lima juta dollar?! Ambil kembali uangmu aku tak butuh!!"
"Kau sadar dengan ucapanmu?" Tanyanya dingin.
"Kau pikir aku main-main?"
"Kau tak tau aku?" Tanya Leonardo dengan mengangkat satu alisnya.
"Ya, aku mengenalmu kau putra Arthur De Lavega kan? Leonardo De Lavega? Dan aku baru tau ternyata orang besar seperti tuan Arthur memiliki putra biadab sepertimu!" Sentaknya tegas lalu menubrukan tubuhnya pada tubuh Leonardo hingga melepaskanya.
Florence keluar dari dalam ruangan itu namun suara Leonardo membuatnya terpaksa menghentikan jalannya.
"Dengar, itu urusanmu menerima uang itu atau tidak! Tapi jika kau hamil jangan datang padaku dan meminta tanggung jawab!" Ucap Leonardo menatap Florence dengan tatapan menghina.
"Ya, dan aku pastikan jika itu terjadi aku tak akan berlutut dikakimu dan mengemis meminta tanggung jawab! Karena aku bisa menghidupinya sendiri!" Balas Florence lalu wanita itu melenggang pergi dari hadapan Leonardo yang terlihat mengeluarkan smirknya.
"Florencia Maureen Wilson, kita akan lihat apa yang terjadi setelah ini." Ucapnya dengan disertai senyum devil-nya.
***
Dua minggu setelah kejadian di cafe tempatnya bekerja, Florence sudah tak lagi memikirkan pria sialan itu. Ia benar-benar meninggalkan Florence dan tak lagi mengganggunya. Hal ini menjadi lebih baik untuk Florence ia lebih tenang dalam bekerja seperti sekarang ia tengah berbincang dengan Cathrine setelah membersihkan kamar tamu yang sudah ditinggalkan.
"Bagaimana apa terjadi perubahan padamu Flo?" Tanya Cathrine menatap lekat pada Florence disebelahnya."
"Tidak ada."
"Kau yakin?"
"Ya."
"Tapi kenapa kau terlihat pucat?"
"Aku tak apa Cath."
"Baiklah, hubungi aku jika terjadi sesuatu padamu.”
"Ya, tentu saja."
"Kita pulang bersama?" Tanya Cathrine pada Florence setelah melihat jam yang ternyata sudah melewati waktu kerjanya.
"Sepertinya tidak, aku harus membeli beberapa keperluan untuk apartemen ku."
"Kau tak mau aku temani?"
"Tidak perlu."
"Serius?"
"Ya."
"Baiklah."
Setelah bersiap untuk pulang Florence memilih berjalan kaki untuk membeli beberapa keperluan di apartemennya. Namun ditengah jalan ia dihadang oleh beberapa preman, wanita itu langsung meringsut dan menjahui kerumunan preman itu, sial ia menginjak kaleng dan menimbulkan bunyi yang sontak saja itu membuat para preman sadar akan kehadirannya.
"Hei, siapa itu?!" Sentak seorang preman dan berjalan mendekati Florence.
Napas Florence seketika tersenggal ia segera beringsut mundur menjahui preman-preman yang sudah berjalan mendekatinya.
"Sepertinya kita akan bersenang-senang malam ini."
"Mau apa kalian?!" Sentak Florence tegas.
"Kau tak bodoh kan? Kau pasti paham keinginan kami."
Florence menggigil ketakutan sontak saja ia langsung berlari namun tangannya berhasil di cekal oleh salah satu preman itu.
"Mau kemana kau?"
"Lepaskan aku!!"
Preman-preman itu mengerumuni Florence, wanita itu terjebak ditengah kerumunan preman-preman itu. Ia mencengkram erat tasnya, ia ketakutan sekarang.
Bugh!
Satu tendangan melayang menghantam seorang preman yang langsung saja terjerembab diatas tanah.
"Pergilah!"
Florence masih belum mengerti, seketika ada beberapa orang dengan bertubuh kingkong langsung menyerang preman-preman itu. Mereka tampak seperti bodyguad orang yang berpengaruh, terlihat tampilan mereka yang memakai setelan jas hitam dengan earphone di masing-masing telinga kanannya.
"Pergilah Nona!!"
Seakan tersadar, Florence langsung berlari kearah yang berlawanan ia langsung kembali ke hotel dan mendapati Cathrine akan memasuki mobilnya.
"CATHRINE!!"
Merasa namanya dipanggil, Cathrine pun membalikkan tubuhnya dan mendapati Florence tengah berlari dengan nafas yang tersenggal-senggal.
"Ada apa denganmu?" Tanya Cathrine panik.
"A-aku ..." Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, tubuh Florence limbung untung saja Cathrine langsung menahanya.
"Flo! Ada apa denganmu!"
"Sial!!" Cathrine merutuk ia pun dengan cepat memadukan tubuh Florence ke dalam mobilnya.
"Ada apa denganmu Flo?!" Tanyanya cemas dan langsung menginjak pedal gas mengarah ke sebuah rumah sakit terdekat dengan hotel.
Cathrine berlari kearah lobby dan meminta pertolongan, akhirnya ia pun keluar dengan empat orang suster yang membawa brangkar lalu memindahkan tubuh Florence ke brangkar itu. Kemudian mereka pun bergegas mengantar Florence kedalam ruang penangan pertama.
"Sebaiknya anda tunggu disini." Ucap suster lalu Cathrine menganggukkan kepalanya lemah.
Tak lama seorang dokter datang dan Cathrine dengan cepat berdiri menatap dokter itu
"Tolong selamatkan sahabatku."
"Aku akan berusaha." Balasnya dan kembali melanjutkan jalannya memasuki ruangan.
Cukup lama Cathrine menunggu hingga akhirnya dokter yang memeriksa Florence keluar.
"Bagaimana?" Tanya Cathrine panik.
"Kau tak perlu khawatir, ia hanya sedikit shock."
"Syukurlah."
"Tapi untunglah tak membahayakan bayinya."
Cathrine mencerna kalimat yang diucapkan dokter dihadapannya. Tunggu, bayi? Apa Florence hamil?! "Tunggu, maksudmu temanku hamil?"
"Ya, dia tengah hamil."
"APA?!" Teriak Cathrine histeris.
"Nyonya, kendalikan dirimu ku tau kau bahagia tapi jangan berteriak.”
"Bahagia bagaimana! Aku cemas!" Rutuknya tajam.
Dokter itu pun menggelengkan kepalanya dan berlalu menjauhi Cathrine yang tengah menutup wajahnya dengan kedua telapak tanganya.
"Habis kau Flo." Lirihnya dan menyandarkan kepalanya ke dinding.
TO BE CONTINUED ...
Porto Venere, Italia Arthur menyandarkan kepalanya saat bodyguardnya yang ia tugaskan menjaga Leonardo tiba-tiba menemuinya. "Ada apa?" Tanya Arthur dingin. "Tuan muda melakukan kesalahan boss." "Apa maksudmu?" Tanya Arthur lalu berdiri memutari meja dan duduk diatas meja dengan menatap lekat pada bodyguardnya. "Tuan muda menghamili seorang gadis yatim piatu." Ujarnya dengan menundukkan kepalanya segan menatap manik tajam milik Arthur. "Itu tak mungkin." "Kami sudah mengawasinya boss, kami pikir gadis itu tak hamil karena dua minggu kami mengawasi tak ada perubahan, tapi semalam ia dicegat oleh sekelompok preman, kami menolongnya dan ia mengejar temanya kemudian pingsan." "Lanjutkan." Ucap Arthur yang kini berdiri tepat dihadapan pria itu. "Dia dibawa ke rumah sakit dan ternyata dia hamil." Bodyguard itu langsung menundukkan kepalanya ia masih takut menatap manik elang milik Arthur. "Jad
Arthur meninju wajah putranya lalu mencengkram erat kerah kemeja Leonardo sementara Tabitha histeris melihat Arthur yang dengan cepat memukul Leonardo. "Arthur lepaskan dia!" "Kau sudah bicara padanya, sekarang biarkan aku bicara dengan dia." Ucap Arthur tak terbantahkan bahkan Tabitha pun mundur dan hanya bisa menangis melihat lebam dan darah segar yang keluar dari sudut bibir putranya. "Jangan pernah berpikir untuk menggugurkan bayi itu!" Desis Arthur tajam. "Dad." Leonardo menatap Arthur dengan segan ini adalah pertama kalinya Arthur melayangkan tangannya pada Leonardo. "Daddy pernah melakukan kesalahan dengan mengeluarkan kalimat itu, dan Daddy menyesalinya sampai sekarang Leo." Ujar Arthur yang langsung membuat Tabitha teringat pertengkarannya dengan Arthur dulu. "Maksud Daddy?" "Bayi itu tak salah, yang salah orang tuanya Leo." "Aku tak mengerti." "Selama ini Daddy selalu mendukungmu, Daddy selalu membelam
Tabitha bersama dengan Alexander sudah berada di apartemen milik Florence, sedangkan wanita yang sebentar lagi akan menyandang nama keluarga De Lavega itu tak berhenti menghela napasnya gugup. "Tak perlu gugup, kau akan menjadi putriku. Dan aku berjanji akan menjagamu." Janji Tabitha seraya menggenggam tangan Florence yang dingin. "Aku hanya tak pernah berpikir sampai kesini nyonya." "Jangan memanggilku dengan sebutan itu, karena mulai hari ini kau panggil aku Mom." "Tapi_" "Aku sudah memanggilmu putriku, lalu kau masih memanggilku nyonya?" Tanya Tabitha seraya membingkai wajah Florence. "Tidak." "Bagus, kau mengerti kan panggil aku Mom dan panggil Daddy Leo dengan sebutan Daddy." "Baiklah, Mom." Tabitha tersenyum hangat ia pun memeluk Florence. "Bagus, sekarang kita pergi." Tabitha melepas pelukannya dan memberi jarak seraya membelai pelan pipi Florence. Florence menganggukkan kepalanya lalu ber
Florence menjalankan kakinya dengan ragu memasuki kamar Leonardo, wanita itu menggigit bibir bawahnya gugup tangannya tak berhenti meremas, ia sangat gugup jika berhadapan dengan Leonardo.Setelah sampai tepat di depan pintu kamar berwarna hitam pekat milik Leonardo, tangannya hendak mengetuk pintu kamar itu namun ia urungkan hingga kepalan tangannya mengudara."Aku istrinya kenapa pintunya harus ku ketuk?!" Gumamnya seraya memukul pelan kepalanya sendiri.Ia pun akhirnya menghembuskan nafasnya kasar lalu tangannya dengan bergetar memegang knop pintu lalu memutarnya hingga terdengar suara klik, ia pun mendorong pintu itu perlahan.Saat pintu terbuka manik birunya langsung terkunci pada sosok seorang pria yang tengah duduk dengan menggunakan kain bathrobe dan satu tangannya yang memegang segelas vodka."Masuklah, dan tutup pintunya!" Titah pria itu dengan suara yang dingin.Florence tak menjawab tapi ia mengangkat sedikit gaunnya lalu berjala
Florence membuka matanya perlahan saat matahari menyilaukan matanya, wanita itu bangkit dari baringannya mencari keberadaan Tabitha, tapi sama sekali tak ia temukan, Florence melirik kearah jam yang menunjuk pukul delapan pagi, wanita itu langsung menoyor kepalanya."Aku terlambat! Mr. John pasti akan memarahiku!" Florence langsung memasuki kamar mandi dan bersiap didalam kamar.Sementara di kamar lain Leonardo terus merutuki nasibnya yang buruk setelah bertemu dengan Florence, mulai dari bayi itu, lalu dipukul Daddy-nya, dan terakhir semalam asetnya ditendang oleh Mommy-nya sendiri! Hell! Wanita itu memang kurang ajar!Leonardo keluar dari kamarnya dengan pakaian formal seperti biasa. Pria itu dengan tegap berjalan melewati lorong mansion, sesekali beberapa maid menyapanya ataupun menundukkan tubuhnya sebagai tanda hormat namun sama sekali tak digubris oleh pria itu.Pendengarannya menajam saat mendengar suara orang yang tengah berjalan di dibelakangnya,
Setelah memberikan minuman pada Florence, Leonardo kembali kelantai bawah dengan tangan yang sudah mengepal menahan amarah. Pria itu sedikit tidak terima jika miliknya ditatap dengan tatapan memuja oleh pria lain, sekalipun itu adalah temannya sendiri, Maxime.Leonardo menjalankan kakinya kearah Maxime yang tengah menatapnya dengan tangan yang memegang gelas berisikan wine dan menatapnya dengan tatapan yang sangat dibenci Leonardo."Sudah menyembunyikan istrimu itu Leo?""Apa maksudmu?" Tanya Leonardo seraya mendudukkan tubuhnya disofa empuk yang berhadapan dengan Maxime."Ayolah, kau pikir aku tak mengerti dengan apa yang kau lakukan tadi?""Max!" Peringat Leonardo tajam tapi dengan wajah yang masih datar."Dengar, istrimu itu cukup cantik, dan aku rasa aku tertarik padanya." Ujar Maxime tenang dengan menyesap wine ditanganya."Jaga ucapanmu!""Well, dia tengah hamil kan?"Leonardo tak menjawab, Maxime melirik kesal kea
Malam hari Florence terbangun dari tidurnya, wanita itu melirik kesamping dan tak menemukan Leonardo disana. Mungkin benar pria itu memang menganggapnya sebagai calon ibu dari anaknya tapi tidak sebagai istrinya, buktinya sekarang pria itu mungkin memilih tidur di kamar lain.Florence menghembuskan napasnya kasar mungkin ia harus menerima semua ini sebagai takdirnya. Florence kembali ketujuan awalnya untuk mengambil minum, ia haus.Florence menurunkan kakinya dari ranjang, ia pun menjalankan kakinya keluar dari kamarnya dan berjalan dengan langkah gontai menuju pantry namun saat melewati kamar tamu ia mendengar sesuatu, Florence memberanikan diri untuk membuka kamar itu hal yang pertama yang ia lihat adalah Leonardo yang tengah tertidur, tapi pria itu seakan terganggu dalam tidurnya.Florence menelan ludah susah payah, ia bingung tapi ia tak bisa diam saja disana. Alhasil ia pun menjalankan kakinya mendekati ranjang yang ditempati Leonardo.Pelipis pria i
Leonardo menatap dingin kearah Reoxane yang terduduk dihadapannya."Apa yang ingin kau bicarakan?""Kemarin ada Mr. France meminta beberapa peti senjata dari kita.""Mereka sudah membicarakan masalah uangnya?""Ya, mereka akan mengirimkan uangnya setelah kita mengirimkan barangnya.""Batalkan!""Leo, ini keuntungan besar.""Kita akan setuju jika orang itu mau membayar kita terlebih dahulu.""Baiklah, aku akan bicara pada mereka.""Apa jenis senjata yang mereka inginkan?""Revolver dan Senapan.""Baiklah, siapkan dan pastikan uangnya sudah terlebih dahulu mereka kirimkan.""Baiklah.""Mau apa lagi?""Tidak, aku hanya melaporkan itu.""Kau sudah melaporkannya.""Iya aku tau.""Pergilah