Florence membalikkan tubuhnya dan mendapati Leonardo tengah memejamkan matanya tepat di belakangnya saat ini.
"Leo."
"Hm?"
"Kau disini?" Tanya Florence dengan mengkerutkan alisnya bingung.
"Memang tidak boleh?"
"Bukankah kau sedang marah padaku?"
"Siapa?"
"Kau, dan bukan kah kau tak mau melihatku lagi?"
"Dari siapa kau mendapat ucapan itu?" Tanya Leonardo dengan membuka matanya.
Florence tak menjawab, ia masih betah menatap wajah Leonardo yang mampu menenangkan hatinya yang tadi gelisah.
"Dengar, aku memanggilmu lewat Gia tadi. Sebenarnya aku ingin mengerjaimu tapi setelah lama menunggu kau tak datang-datang," Leonardo menjeda kalimatnya. "Dan kau malah tidur disini." Lanjut Leonardo cenderung merengek.
Florence tersenyum samar, ia paham sekarang. Gia, wanita itu berusaha mengadu domba dirinya dan Leonardo. Astaga! Ia benar-benar akan membalas ini pada Gia.
"Maafkan aku." Cicit Florence di dalam deka
Florence menikmati ice cream ditangannya sementara Leonardo menyetir mobilnya, sesekali Florence memberikan ice creamnya berbagi dengan sang suami. Dan Leonardo pun tak menolak.Setelah ice creamnya habis, Florence bingung ia tak menemukan tisu untuk mengelap tangannya yang lengket. Leonardo yang mengerti dengan kondisi istrinya pun langsung menangkap tangan Florence dan membersihkan jari jemari Florence kedalam mulutnya, tak ada rasa jijik atau apapun dalam diri Florence, sebaliknya wanita itu tampak tersenyum bahagia.Setelah dirasa jari jemari Florence sudah bersih, Leonardo pun mengecup satu persatu jari istrinya dan menempatkan tangan wanita itu ke paha kirinya.Florence tersenyun simpul, ia lalu meraih anggur yang ada di hadapannya. Lalu memakan anggur itu, entahlah ia senang sekali mengemil akhir-akhir ini.Saat tangan Florence akan menyuapi mulutnya anggur, tangan itu melayang dan berhenti tepat di depan mulut Leonardo. Florence mengerti ia pun me
Gia menjalankan kakinya menjauhi mobil Loenardo yang juga perlahan mulai menghilang. Wanita itu sesekali mengusap air mata yang perlahan mulai menurun. Tangannya bergetar menyentuh dadanya yang sesak, sesekali ia menutup matanya berharap rasa sesak itu hilang dari dadanya.Tangannya yang tadi memegang buket bunga Leonardo perlahan naik dan ia menatap buket bunga mawar yang di rancang indah, buket bunga itu milik Florence bukan miliknya. Ia kembali mengalirkan air matanya."Mengapa nasibku sangat sedih seperti ini Tuhan." Ucap Gia dengan menaikkan kepalanya menatap langit hitam yang hanya bertabur beberapa bintang.Benar saja tak lama hujan turun, Gia tetap berada di tempatnya. Tak lama sebuah payung melindunginya. Gia menatap pada sebuah tangan besar yang tepat berada di sisi kanannya. Ia menengadahkan kepalanya menatap si pelaku. Gia menatap wajah itu, ia langsung menubrukkan tubuhnya memeluk erat dada bidang pria yang ada dihadapannya."Sst, menangislah
Leonardo membeku ditempatnya saat mendengar bahwa Michell telah tewas. Ia mejalankan kakinya mendekati Maxime dan menatap pria itu penuh keseriusan."Jangan bercanda Max!" Ucap Leonardo dengan tegas."Aku tak bercanda, Leo. Temanku yang satu unit dengan Michell menemukan Michell sudah tewas di dalam kamarnya.""Tapi bagaimana bisa! Ini pasti ada sangkut pautnya dengan sindikat itu.""Bisa jadi.""Kita lihat."Leonardo lalu menjalankan kakinya keluar dari ruangan Maxime, diikuti oleh Maxime dari belakang. Leonardo dengan cepat menaiki motornya sementara Maxime berlari memasuki mobilnya. Leonardo mengemudikan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata ia tak perduli orang akan mencacinya, yang terpenting adalah ia bisa mengetahui penyebab dari kematian Michell.Leonardo memberhentikan motornya tepat didepan apartemen milik Michell. Diikuti oleh Maxime yang juga sudah keluar dari mobilnya. Kedua orang itu sama-sama berdiri tepat didepan
Leonardo menatap pada Alfonzo, ia menegakkan duduknya dan semakin menatap penuh intimidasi pada lawan bicaranya."Apa maksud dari ucapanmu?" Tanya Leonardo dengan mengangkat satu alisnya."Ya, seperti yang kau ketahui aku mencoba untuk mendekati Gia lagi. Dan ternyata wanita itu mau menerimaku kembali.""Bagus kalau begitu, jadi kau bisa menikahinya nanti." Jawab Leonardo acuh."Apa kau sama sekali tak memperdulikan Gia lagi?""Aku perduli, namun kau harus ingat. Aku dan dia hanya sebatas kakak adik tak lebih." Sanggah Leonardo tajam."Well, aku tau.""Lalu untuk apa kau kemari?""Aku kemari hanya ingin berterimakasih padamu Leonardo." Ucap Alfonzo menjeda dan menaikkan penglihatannya menatap wajah tegas Leonardo."Atas?""Karena kau yang mendatangi mansionku waktu itu. Sebab itulah aku mulai berpikir dengan saran yang kau aj
Leonardo dan Alfonzo sama sama menatap kedua wanitanya didepan mereka yang tengah sibuk berpelukan. Leonardo berdehem menyadarkan kedua wanita di depannya hingga membuat Florence melepas pelukannya pada Gia."Jadi kalian sudah berdamai?" Tanya Alfonzo dengan mengangkat satu alisnya."Tidak ada pertengkaran diantara kami." Sanggah Florence dengan senyum manisnya."Ya, Florence benar. Kami tak bertengkar." Tambah Gia dengan mengapit tangan kanan Florence."Baguslah." Komentar Leonardo pendek.Florence mendengus menghadapi Leonardo yang tampak sangat acuh, padahal jika dipikirkan masalahnya dengan Gia berhubungan dengan Leonardo. Namun lihatlah pria itu tampak sangat tenang ditempatnya berdiri."Adakah respon lain selain 'baguslah'?" Tanya Florence dengan menekan kata 'baguslah'.Leonardo dengan gerakan cepat namun tetap hati-hati menarik pergelangan tangan Florence hingga tubuh istrinya menabrak dada bidangnya yang keras."Jangan
Florence menatap sendu pada Abigial, sesekali wanita itu melirik takut pada sepupunya. "Abi dengarkan aku ...""Tak ada yang perlu kau katakan Flo!""Abi_" Abigail menjalankan kakinya kearah pintu utama mansion berhenti disana dan membalikkan tubuhnya berhadapan dengan Florence."Aku sangat iri pada hidupmu, sejak kecil kau selalu diistimewakan oleh Mommy ku, apa aku pernah protes akan hal itu? Tidak kan? Lalu saat Mommy meminta mu untuk tetap tinggal dirumah sementara aku bekerja, apakah aku berontak? Tidak kan? Itu semua karena aku selalu memandam rasa iri ku, Flo!""Abi, kau salah paham. Aku bukan tetap diam dirumah aku ikut bekerja.""Pembohong!""Abi_""Sadarkah kau Flo, salah satu alasan mengapa aku pergi dari apartemen adalah karena mu, aku sesak saat kau berada didekatku!""Abigail, aku_" Ucapan Florence terhenti saat m
Florence tersentak saat tiba-tiba mobil yang ia tumpangi berhenti mendadak. Wanita itu dengan gerakan cepat memegangi perutnya berusaha melindungi bayi yang tumbuh di rahimnya. Florence menatap sang supir dengan mengangkat satu alisnya."Ada apa?" Tanya Florence pelan dengan suara yang khawatir."Ada seseorang yang tertabrak nyonya.""Siapa?"Benar saja setelah ucapan Florence lama-kelamaan sudah berkumpul orang di depan mobilnya. Florence pun turun namun tetap dihalangi bodyguard Leonardo."Tolong tetap di dalam nyonya.""Aku ingin lihat korbannya.""Tapi Nyonya_""Ini perintah!" Ucap Florence menalak ucapan bodyguard Leonardo."Baik Nyonya."Florence benar-benar keluar dari mobilnya dan menghampiri kerumunan itu. Langkah kakinya memelan saat menatap punggung pria yang tengah memunggunginya, netra milik Florence menatap pria itu yang mulai membersihkan jas nya yang kotor, tak lama pria itu membalikkan tubuhnya da
Florence menatap kepergian suaminya, punggung suaminya yang mulai menjauh dan ditelan oleh pintu, Florence menatap sekilas pada ponselnya yang berdering. Wanita itu mengangkat panggilan telepon dari nomor yang tidak dikenal, ia mengernyitkan dahinya lalu tetap meletakkan ponsel itu ditelinga kanannya."Halo?""Hai, Cia."Florence menegang kaku ditempatnya saat ini, suara jernih dari ujung telepon membuatnya kembali teringat akan sosok Edward, dan panggilan khas yang diberikan pria itu benar-benar mengganggu Florence. Florence langsung memperbaiki posisi duduknya, menelan salivanya susah payah lalu kembali menghela napasnya lembut."Edward?""Ya, Cia. Ini aku Edward." Ucap suara itu dengan nada girangnya."Dari mana kau dapat nomorku?""Temanmu yang memberikannya.""Siapa?""Yang tadi siang bersamamu."Floren
ItaliaSeorang gadis duduk dibangku sekolahnya yang nyaman, sesekali ia menjawab soal yang bukan untuk anak yang seumur dirinya.Ya, gadis berumur 7 tahun itu duduk dengan mengerjakan soal untuk Senior High School. Tiba-tiba ditengah kegiatannya, kertas yang ia gunakan diseret paksa hingga robek.Awalnya anak itu diam dan tetap menatap ke bawah bangkunya, ia sama sekali tak berniat menatap si pelaku."Sombong sekali! Aku sudah meminta tolong namun kau menolakku! Kau justru menyibukkan dirimu dengan mengerjakan soal-soal sialan in?!" Ucap anak lelaki dengan merobek kertas anak gadis itu."JAWAB AKU?!""Sepertinya ia tuli." Ucap salah satu teman anak lelaki itu.Tiba-tiba anak lelaki yang bertubuh tinggi itu mencengkram dagu si anak perempuan hingga wajah cantiknya terlihat.Manik birunya terlihat sangat tenang walaupun sedang diperlakukan seperti sampah, tak ada kemarahan di dalam dirinya."Ja
Semua mafioso yang berada di landasan saling melirik kekanan dan kiri, mereka masih belum mengerti akan ucapan Leonardo. "Apa yang kalian dengar benar, aku memutuskan untuk memberhentikan Regnarok hingga waktu yang belum bisa aku tentukan. Terimakasih atas segala bentuk dukungan dan jiwa raga kalian untuk Regnarok, apa yang telah kalian lakukan akan sangat berjasa bagi Regnarok. Sekarang aku meminta maaf apabila saat aku menjadi ketua kalian aku sering membuat kalian marah atau sejenisnya tapi percayalah aku bersyukur menjadi bagian dari kalian." "Jadi sekali lagi aku tekankan, Regnarok memang dibubarkan namun Regnarok masih tetap berada di hati kita. Regnarok memang sudah tak lagi menguasai benua Eropa ataupun Amerika namun Regnarok menguasai jiwa kita. Kita akan terus bersama disetiap langkah kita akan menjadi keluarga. Mintalah bantuan padaku atau pada anggota yang lainnya, kami siap membantu. Dengan Regnarok kita bertemu maka saat ini kita disatukan menjadi sauda
Leonardo menatap Florence dengan tatapan penuh cinta seperti biasa, walaupun kejadian itu sudah satu minggu terjadi namun luka ditubuh Leonardo sembuh total seakan ia tak pernah terluka.Pria itu menarik pinggang Florence dan menghadiahi kecupan singkat di pipi wanita itu."Leo." Florence memanyunkan bibirnya seraya menepuk pelan lengan besar suaminya."Aku bahagia akhirnya bisa bersama denganmu.""Ya, begitupun aku.""Sekarang aku percaya, kita tak akan berpisah. Yah, aku yakin semua akan ada balasannya dan sekarang aku mendapatkanmu setelah semuanya.""Kau tau, saat melihat mu penuh luka saat itu, aku ikut sesak Leo. Rasanya ku ingin berbagi rasa sakit itu denganmu.""Jangan, jangan ikut merasakan apa yang aku rasakan saat itu. Aku tak ingin kau tersakiti." Ucap Leonardo dengan menatap manik biru Florence."DADDY!!!"Florence tertawa mendengar teriakan putri kecilnya Alaizya, sedangkan Leonardo menghembuskan napasnya k
Leonardo terus melawan, menendang, memukul bahkan memelintir leher lawannya tanpa ampun. Pria itu layaknya dewa perang, malam ini. Tanpa menggunakan senjata api ia maju melawan 16 musuhnya saat ini. Tangannya mengayun penuh keganasan dengan samurai yang ia genggam. Bahkan saat ini jas hitam dan kaos putih polos yang tengah ia kenakan sudah terkotori dengan darah musuhnya.Pria itu bergerak, ia menusukkan samurainya tepat di jantung lawan, sisanya ia menyerang menggunakan feelingnya. Pria itu menebas kepala lawannya berkali-kali hingga kepala-kepala itu seakan tak ada harganya sama sekali.Setelah selesai dengan keenam belas musuhnya, Leonardo terus berjalan hingga dekat di depan pintu masuk yang menjulang tinggi mansion Jacob.Langkah kakinya terhenti kala dihadapkan dengan 48 orang berpakaian serba hitam. Leonardo berdecak keras, pria itu menghela napasnya dan mengambil ancang-ancang.Ia berlari, menerkam musuhnya dengan kejam. Menebas kepala, dan anggot
Leonardo mengedarkan pandangannya ke penjuru mansion, terasa sepi. Pria itu menuruni tangga dan memanggil Karin tak sabaran."Ya Tuan?" Tanya Karin dengan menundukkan kepalanya."Florence?""Beliau belum terlihat sejak pulang, Tuan." Balas Karin sopan."Baiklah." Leonardo mengangguk dan mempersilahkan Karin pergi.Pria bermanik biru itu mendudukkan tubuhnya tepat di sofa besar di ruang keluarga. Ia memijit pelipisnya yang menegang, rasanya semua masalah ini terlalu rumit. Ia tak bisa menerimanya begitu saja. Ditengah pikirannya yang berkecamuk, terdengar derap langkah kaki yang begitu ia kenali.Leonardo menolehkan kepalanya ke belakang, tepatnya di undakan tangga. Pria itu lantas memberikan senyum palsunya guna menyambut putri kecilnya yang terlihat seperti baru bangun.Alaizya berjalan dengan memeluk boneka hitam miliknya. Entahlah gadis itu seakan tertarik pada warna hitam
"... Maaf tapi aku memilih putriku." Ucap Florence dengan menundukkan kepalanya."Florence, kita bisa membawa putrimu dengan kita. Kita bisa membawanya pulang.""Bukan itu masalahnya. Jika kau tak bisa pulang tanpa ku, maka aku juga tak bisa pergi tanpa putriku.""Lalu?"Florence melirikkan matanya menatap Leonardo yang tengah menundukkan kepalanya."Aku tau, meskipun kau adalah Daddy ku yang sesungguhnya. Namun asal kau tau, selama aku hidup sosok seorang ayah tak pernah ada di dalam hidupku. Namun setelah aku menikah, sosok itu aku dapatkan dari Daddy Arthur. Ia lah sosok ayah pertama yang ada di dalam hidupku. Lalu tiba-tiba kau hadir tanpa ada pertanda, mengaku sebagai Daddy ku kemudian memaksaku berpisah dengan suamiku. Walaupun aku tau, aku kecewa terhadapnya, namun diantara kami kini hadir seorang nyawa, putriku tak akan hidup dengan satu orang tuanya. Kami akan terus bersama dalam membesarkan putri kami, tak akan aku biarkan nasibku dialami
Siang berganti malam, kini tiga kelompok besar bersatu, antara Regnarok, The Devil, dan De' Eagler.Leonardo menatap penuh ancaman pada area depan markas, pria itu sesekali mencengkram erat pinggiran jendela menyalurkan rasa sesak yang terus menerus menghimpit dadanya. Sementara tepat di belakang Leonardo, terdapat Arthur, Alfonzo dan Jones beserta Brian dan yang lainnya."Aku akan mencegah lewat samping kanan dan kiri." Ucap Jones memecah keheningan."Ya, dan aku akan mencegah lewat belakang." Timpal Alfonzo dengan mengetukkan jarinya di dagu."Dan Regnarok akan mencegah lewat depan. Brian dan Alexander akan mengawasi lewat atas.""Kenapa kami tak langsung turun?" Tanya Brian menatap Arthur."Aku yakin, mereka sebagian datang dengan helikopter.""Baiklah, aku mengerti. Tugasku adalah menghancurkam helikopter itu sebelum mendarat disini?""Ya, kau cerdas Brian." Puji Arthur."Lalu bagaimana rencananya? Apa saat mereka da
Florence menghentikan langkah kakinya saat mendengar dering ponsel Leonardo yang tak berhenti. Wanita itu mencari asal suara, dan ia menemukan ponsel suaminya tepat di atas meja ruang tamu. Florence meraihnya lalu terdapat nama 'Jacob' di layar ponsel.Florence menatap pintu ruang kerja Leonardo, ia langsung menjalankan kakinya menuju ruangan itu seraya bergumam."Dasar suami ceroboh! Bagaimana bisa ponsel di biarkan disana!" Rutuk Florence pelan.Florence mengetuk pintu tiga kali, terdengar sahutan dari dalam ruangan. Florence membuka knop pintu lalu menatap Leonardo yang tengah berkutat dengan berbagai dokumen di atas meja kerjanya."Ada apa?" Tanya Leonardo dengan mengangkat satu alisnya."Sejak tadi ponsel mu berdering."Leonardo mengernyitkan dahinya bingung, ia lalu menatap apa yang tengah digenggam oleh Florence."Ah, aku melupakannya."Florence mengangguk, ia menjalankan kakinya mendekati Leonardo lalu duduk tepat di ha
"Ucapan mu bisa dipercaya?""Kau bisa tanyakan pada semua orang.""Dan tunggu, Wilson? Apa kau paman Florence?""Oh maksudmu, Cia?""Ya, Florence.""Ya, aku pamannya yang ternistakan.""Maksudmu?""Sudahlah, terlalu menyakitkan untuk diingat." Jawab Alrick mengenaskan.Leonardo mendirikan tubuhnya masih dengan mengunci tatapannya pada Alrick."Kau akan disini, sampai misi ini selesai.""Aku bahkan tak tau misi yang kau maksudkan. Kau bisa menahanku kapanpun kau mau, asal kau memberikan aku uang, yah tak banyak hanya 10 juta dollar.""Kau memerasku!!""Hanya penawaran, lagi pula aku sudah memberikan informasi yang penting padamu.""Sialan!""Terserah, jika kau tak memberikan aku uang itu maka jangan harap kau dapat informasi lagi dariku.""FINE!" Teriak Leonardo dengan desisan tajamnya.Leonardo bergegas keluar dari ruang penyiksaan, sungguh! Pria itu benar-benar m