Abbiya bergegas pulang, janji dengan teman-temannya ke klub malam sudah dua kali ia batalkan karena kesibukannya akhir-akhir ini. Persiapan peralihan jabatan dari Papanya sudah selesai, sehingga ia bisa santai sejenak berkumpul dengan Geng Playboy.
“Bi, makan malam dirumah?“ Mama Risna menghubunginya melalui telepon.
“Iya Ma, ini Biya udah dijalan. Papa udah pulang?“ jawab Biya.
“Sudah, Papamu lagi mandi. Ya sudah, Mama tunggu sayang!“
“Oke, bye Ma.“ jawab Biya sebelum panggilan telepon berakhir.
Biya sangat mencintai keluarganya terutama sang Mama. Walaupun termasuk fakeboy, dia tidak pernah berbuat kasar kepada teman-teman wanitanya. Yah, hanya sedikit bermain mata, ia mampu menarik perhatian wanita incarannya. Entah sudah berapa puluh wanita yang dipacarinya, namun sepertinya tidak ada yang serius.
Biya turun dari mobilnya, sopir pribadi dan asistennya mengikuti langkahnya masuk ke dalam rumah mewah orang tuanya.
“Maaa, Biya pulang,“ ucap Biya yang disambut oleh kepala pelayan di rumahnya.
“Den Biya mau langsung mandi apa gimana?“ tanya kepala pelayan rumah tersebut. Ia membawahi sekitar sepuluh orang yang bekerja.
“Saya sendiri aja Pak, tolong buatkan minum mereka. Saya keatas dulu.“ Biya meninggalkannya dan naik ke kamarnya.
Asisten pribadinya, Ahmad Zainuddin akrab dipanggil Jay. Dia sudah tahan banting dengan sikap majikannya. Bahkan, ia adalah asisten ke sepuluh yang disodorkan Papanya Biya. Sedangkan sopir pribadinya Imron adalah salah satu karyawan terbaik di kantor cabang Malang yang ditarik oleh Biya ke kantor pusat Jakarta.
Tak lama kemudian, orang tua Biya muncul dengan Biya, mereka makan malam bersama. Imron dan Jay biasanya makan dalam satu meja dengan majikannya, hal yang sudah mereka jalani sejak mereka bekerja kepada keluarga Mahesa Dipta.
“Bi, kamu mau pergi lagi?“ tanya Papa Esa kepada anaknya. Biasanya, Jay akan langsung pulang jika Biya tidak ada kegiatan lain. Tapi dengan Jay yang duduk menikmati minumannya sudah menandakan anaknya akan pergi lagi ke tempat lain.
“Iya Pa, aku sudah dua kali batalkan janjiku sama anak-anak. Gak enak kalau gak jadi lagi,“ kata Biya sambil menggeser kursi di sebelahnya.
“Ya udah, ayo makan dulu,“ ucap Papa Esa kepada mereka.
Makan malam berlangsung khidmat seperti biasanya. Menu yang disajikan malam itu benar-benar tidak bisa Biya tolak. Dengan lahap ia menghabiskan makan malamnya.
“Kamu pulang ke rumah lagi kan Bi?“ tanya Papa Esa kembali kepada anak laki-laki satu-satunya itu.
“Sepertinya tidak Pa, Biya pulang ke apartemen.“ jawab Biya kepada Papanya.
“Ya udah hati-hati. Dan kalian berdua, kawal anakku dengan benar,“ ucapan Papa Esa memang tidak main-main. Setelah kecewa dengan anak perempuannya, Papa Esa lebih protektif kepada Biya yang akan menjadi pewaris kerajaan bisnis keluarga Mahesa.
“Siap Pak!“ Jay dan Imron mengawal Biya kemanapun pria itu pergi. Bahkan, mereka sering menemani Biya yang sedang bercinta dengan wanita-wanitanya.
Biya masuk ke dalam klub’ malam, di sana sudah menunggu ketiga teman-temannya. Aldy, Candra dan Dion. Mereka sering disebut Genk Playboy ABCD.
“Akhirnya lu datang juga Bi! Gue udah lumutan disini,“ ucap Dion yang memang terkenal tidak sabaran.
“Minum dong, haus!“ Biya belum menjawab pertanyaan temannya, ia memilih meminta minuman kepada salah satu pegawai di klub tersebut.
“Siap boss!“ Nanda adalah pegawai di tempat itu yang sudah hafal betul minuman kesukaan Biya.
“Mana barang baru yang lu janjiin ke gue?“ tanya Biya tanpa basa-basi kepada Dion.
“Bentar lagi datang Bi, sabar. Tapi dia minta tinggi lho,“ jelas Dion kepada Biya.
“Masih ting-ting?“ tanya Biya menegaskan kembali ucapan Dion tempo hari.
“Iye, katanya perlu duit buat masuk kuliah,“ jawab santai Dion.
“Berapa dia minta?“ tanya Biya kembali kepada Dion.
“Tiga ratus Bi, gimana?“ Dion memastikan apakah Biya mau dengan harga yang diminta Elsa.
Belum sempat Biya menjawab pertanyaan Dion, seorang perempuan cantik dan lugu menghampiri keempat pria tersebut.
“Kak Dion?“ tanya Elsa yang sudah berdiri dihadapannya.
“Iya, kamu Elsa?“ tanya Dion tak percaya.
“Iya Kak, saya Elsa,“ ucapnya dengan tenang. Biya hanya memperhatikan tubuh gadis itu dari atas sampai bawah. Ia dapat menangkap bahwa Elsa tidak biasa berpenampilan seperti itu.
“Duduk sini Lo,“ ucap Biya sambil menepuk bagian sofa yang kosong tepat di sebelahnya.
“Makasih Kak,“ jawab Elsa patuh.
“Lo mau minum atau langsung aja?“ tanya Dion kepada Elsa.
“Langsung aja boleh?“ tanya Elsa dengan polosnya. Gadis itu terlihat seperti perempuan baik-baik. Namun, Biya masih menelisik motif Elsa berani menjual harga dirinya. Sebenarnya Biya tidak peduli, itu bukan urusannya. Namun sorot mata Elsa yang polos dan lugu membuatnya tertarik. Lagi-lagi Biya menekan perasaannya, yang penting apa yang dia mau dia dapatkan dan tidak peduli yang lain.
“Ya udah, gue setuju harganya. Lu pilih mau dimana?“ tanya Biya tanpa basa-basi.
“Disini boleh Kak?“ Elsa menunjukkan ponselnya, aplikasi online pemesanan hotel yang ia pilih. Ia menunjukkan tempat yang ia maksud.
“Oke, gue cabut dulu! Nda, masukin bill gue seperti biasa!“ Biya menggandeng perempuan yang diketahui bernama Elsa. Ia membawanya ke sebuah hotel berbintang yang sudah Elsa tunjuk tadi.
“Kak, boleh beli minum?“ tanya Elsa sambil membetulkan letak barang bawaannya.
“Boleh, kamu beli sendiri.“ Biya menyerahkan dua lembar uang seratus ribuan setelah ia menepikan kendaraannya di sebuah minimarket tak jauh dari hotel tujuan.
Biya memperhatikan gerak gerik Elsa, gadis polos yang entah Dion temukan dimana. Sebuah notifikasi email masuk dari Jay mengenai biodata Elsa yang ia minta sebelumnya sudah dalam genggaman. Ia menaruh ponselnya dan mengurungkan niat untuk membuka ketika Elsa sudah keluar dari minimarket dengan membawa kantong belanjaan di tangannya.
“Maaf Kak, lama ya?“ Elsa sudah kembali masuk ke mobil Biya. Ia memperhatikan raut wajah Biya yang tidak bisa ia artikan.
“Enggak, ya udah pasang dulu safety beltnya,“ ucap Biya sedikit gugup mengalihkan pembicaraan.
Biya memarkirkan mobilnya di area VIP, kebetulan ia sering menjamu tamunya ditempat ini. Dengan mudah ia dikenali oleh pegawai di hotel tersebut.
“Pak Biya, kamar sudah siap, mari saya antar.“ Manager hotel tersebut membungkukkan badannya tanda hormat dan membawakan tas milik Biya.
“Makasih Pak, belum pulang?“ tanya Biya kepadanya.
“Saya shift malam Pak, kalau membutuhkan sesuatu bisa ke saya, tidak usah sungkan,“ kata manager hotel itu.
“Baiklah, sepertinya saya butuh bantuanmu sekarang,“ ucap Biya sambil mengerlingkan matanya genit kepada Elsa.
Mereka sudah di depan pintu kamar pesanan Biya, ia meminta Elsa masuk terlebih dahulu.
“Kalau gitu, Elsa ijin mandi ya Kak?“ Elsa meninggalkan Biya dan manager hotel yang sepertinya masih akan berbincang.
“Sana, yang wangi!“ perintahnya kepada Elsa sambil mengibaskan tangannya.
Elsa menutup pintu kamar dan membiarkan Biya di luar berbincang dengan manager hotel.
“Pak, tolong bawakan kostum penari pole dance seperti minggu lalu dan minuman seperti biasanya, gak pake lama.“ Permintaan Biya sebenarnya bukan selayaknya permintaan tetapi lebih ke perintah. Ia sudah biasa dengan permintaan nyeleneh Biya jika sudah menginap bersama dengan wanitanya.
“Gue bakalan bikin Lo gak bisa lupa sama yang namanya Abbiya Mahesa Dipta.“ Biya menutup pintu dan duduk menunggu pesanannya datang dan tentunya Elsa yang sedang mandi.
Tepat Elsa keluar dari kamar mandi, Biya baru saja menerima paperbag kostum yang ia minta dari manager hotel tadi.
“Kebetulan, pake dulu ini. Gue pengen liat body lu kayak apa.“ Biya berkata sambil menyerahkan paperbag.
“Baik Kak.“ Elsa hendak masuk lagi ke kamar mandi namun ditahan oleh Biya.
“Disini aja, lagian bentar lagi gue liat semuanya Elsa.“ Biya duduk di sofa sudut dekat ranjang.
“Iya Kak,“ ucap Elsa gugup. Untuk pertama kalinya ia membuka pakaiannya di depan pria yang akan mengambil harta berharga dalam hidupnya.
Beberapa saat kemudian, Biya mengedipkan matanya berkali-kali. Ia mengagumi tubuh Elsa yang ramping walaupun sedikit kurus menurutnya, bagian favorit Biya menyembul dengan sempurna di balik dress mini khas penari pole yang boleh dikatakan minimalis.
“Lu bisa pole kan?“ tanya Biya memastikan informasi yang didapatnya dari Dion.
“Bisa Kak.“ Elsa menjawab malu-malu.
“Nari dulu buat pemanasan,“ titah Biya yang sudah tidak tahan. Ia mencubit bagian belakang tubuh Elsa yang sempurna, padat dan tidak terlalu besar.
“Baik Kak.“ Elsa mengambil ponselnya dan menyetel lagu yang sesuai untuk dia menari.
Biya sudah rapi dengan kemeja putihnya. Disampingnya, Elsa yang sedang membereskan tempat tidur sesekali melirik ke arah Biya.“Uangnya udah gue transfer ke rekeningmu. Pergunakan dengan baik,“ kata Biya sambil menyesap kopinya.“Makasih kak Biya,“ kata Elsa sambil menatap pantulan wajahnya di cermin.“Sini Lo, gue mau bicara dan Lo harus nurut sama gue.“ Ketegasan Biya pada Elsa memiliki latar belakang yang baik sebenarnya. Biya pada dasarnya memiliki jiwa sosial yang bagus sama seperti Papa Esa.“Iya Kak,“ jawab Elsa yang sudah duduk manis menghadapnya. Biya juga sudah duduk di sofa sudut kamar hotel tersebut memperhatikan Elsa dengan tatapan mengintimidasi, sehingga
Seminggu berlalu, setelah Biya bermalam dengan Elsa ia kembali bertemu dengan teman-temannya di klub malam biasa mereka ngumpul. Biya datang bersama dengan Jay.“Nda, Lo yakin pernah lihat Elsa kesini sama cowok?“ tanya Biya kepada Nanda memastikan.“Iya, tanya aja Dion,“ jawab Nanda tenang karena memang begitulah adanya.“Awas Lo, gue patahin Lo punya kaki!“ Biya merasa dibohongi oleh Elsa. Ia bertekad akan menjemputnya nanti.“Jangan galak gitu Bi, kasian. Kalau Lo mau adopsi dia, didik yang bener. Jangan pakai kekerasan,“ ucap Aldy mengingatkan Biya. Dia adalah teman paling senior diantara empat orang dalam geng playboy. Boleh dibilang, Aldy adalah playboy insaf.
Biya memandang kesal ke arah pintu kaca dimana Adya sudah berada di luar. Ia meminta anak buahnya mengantar Elsa kembali ke tempat kostnya.“Lo jangan ngelayap kemana-mana lagi. Pulang dan tidur, besok Lo ada kuliah kan?“ Biya bertanya kepada Elsa, ia memandang perempuan yang masih menunduk takut.“Iya Kak.“ Elsa menjawab pertanyaan Biya dengan perasaan takut.“Ya udah, balik Lo!“ Biya mengibaskan tangannya kepada Elsa agar wanita itu kembali ke tempat tinggalnya.Setelah kepergian Elsa, Biya kembali duduk di sofa. Ia menghempaskan tubuhnya, perasaan kesal karena ditolak masih menyelimuti dirinya.“Jay, Lo cari tahu
Adya mengikuti langkah Jay ke parkiran, hatinya bergemuruh. Mimpi apa dia sampai berurusan dengan Biya. Pria yang seharusnya ia hindari di klub malam tempat ia bekerja.“Lo gak usah takut, Biya sebenarnya orang baik. Lo beruntung disukai Biya, cewek lain kudu nungging dulu, itu pun belum tentu Biya mau.“ Dalam perjalanan menuju tempat kosnya, Jay kembali memberi petuah kepada Adya.“Tapi saya gak suka sama dia Pak Jay,“ ucap Adya polos.“Sekarang Lo bisa bilang gitu karena gak kenal siapa Biya, gak usah buru-buru ambil keputusan. Mandi dan istirahat, pikirkan baik-baik ucapan gue barusan.“ Jay menghentikan mobilnya tepat di depan rumah kost sederhana. Di tempat itulah Adya berteduh dari hujan dan panas.
Biya mengajaknya ke sebuah toko kosmetik tempat ia biasa mentraktir wanita-wanitanya. Biya meminta Adya untuk membeli perlengkapan makeup yang ia butuhkan. “Kak Biya, disini bermerk semua. Aku mana cukup uangku,“ bisik Adya polos. “Bego, gue ajak kesini ya gue yang bayar Adya. Udah sana!“ Biya setengah mengusirnya. Ia meminta salah satu pegawai untuk membantu Adya memilih apa yang cocok untuknya. “Galak pisan, keluar duit gak pake mikir. Memang ini mall punya bapak moyangnya apa!“ gerutu Adya yang kebetulan di dengar oleh pegawai yang membantunya. “Maaf Dek, Pak Biya memang pemilik mall ini. Saran saya hati-hati kalau bicara, baik-baikin deh.“ Pegawai tersebut menyodorkan salah satu warna terbaru cushion merk Korea. “Serius Mbak?“ tanya Adya penasaran. “Betul, saya kerja disini sudah hampir sepuluh tahun. Tadinya pemiliknya almarhum
Biya yang sudah dalam perjalanan pulang ke apartemen menghubungi Jay, pria itu harus bertanggung jawab atas penolakan Adya kepadanya. Biya kesal, kenapa Jay tidak menjelaskan maksud ajakan Biya yang sebenarnya. “Jay, Lo ngomong ke Adya gimana sih?“ Biya sudah duduk di sofa ruang tamu apartemen Jay. Ia menahan kekesalannya karena Adya benar-benar tidak mau bermalam dengannya. “Kan gue bilang Bos, ajak jalan-jalan. Kenalan dulu, jangan buru-buru diajak bobo bareng,“ kata Jay menjelaskan. “Astaga, pantesan dia nolak gue ajak ke apartemen!“ Biya berdecak kesal. Ia memandang Jay marah. “Pelan-pelan Bos, Adya bukan tipikal cewek seperti Bella atau Chyntia. Sabar, itu kalau mau dapetin dia. Gue tahu Lo suka beneran sama itu cewek,“ Jay berusaha membujuk Biya agar meredam emosinya. “Iya, gue memang suka, tapi itu cewek jual mahal Jay. Dipegang tangan doang neh, gak mau, gimana
Pagi ini Bella yang sudah mandi akhirnya berpamitan pulang kepada Biya, walaupun sudah bermalam dengan wanita lain tak bisa membuat Biya melupakan bayang-bayang Adya dalam pikirannya. Di depan televisi, ia berdecak kesal karena pikirannya tentang Adya tidak bisa ia hindari. “Punya ilmu pelet apa sih tu cewek, astaga gue bisa gila kalau begini caranya.“ Biya mengomel sendiri. Weekend kali ini adalah weekend yang menyebalkan baginya. Ia mengirimkan pesan singkat kepada Jay untuk memintanya datang. Dan secepat kilat pria itu sudah berada di hadapannya. Tak berselang lama, Biya sedang menyantap sarapan yang dibawa Jay, karena yakin jika majikannya itu belum makan. “Jadi apa solusimu Jay?“ tanya Biya setela
Biya duduk diantara teman-temannya, luka kecil di pelipisnya bahkan tidak dipedulikan. Semua memandang heran Biya yang senyam-senyum sendiri sambil meneguk minumannya.“Lo dari mana?“ tanya Aldy kepada Biya.“Ketemu Adya, eh bantuin itu cewek urus dokumen identitas. Habis dirampok dia, untung gue gak buru-buru pergi dari sana,“ kata Biya dengan bangga.“Itu pelipis luka karena baku hantam?“ tanya Jay khawatir. Ia meminta salah satu pegawai klub memberikan kotak obat untuk Biya.“Yoi, mereka main keroyokan. Mana badannya gede-gede, awas aja ketemu mereka lagi gue masukin ke penjara itu preman.“ Biya berdecak kesal mengingat wajah-wajah tengil perampok tadi.“Udah, luka Lo kudu dibersihkan. Gue bisa dipecat sama Pak Mahesa kalau biarin Lo luka-luka kayak gini,“ Jay mengomelinya.“Aawwhhh, pelan-p