Adya mengikuti langkah Jay ke parkiran, hatinya bergemuruh. Mimpi apa dia sampai berurusan dengan Biya. Pria yang seharusnya ia hindari di klub malam tempat ia bekerja.
“Lo gak usah takut, Biya sebenarnya orang baik. Lo beruntung disukai Biya, cewek lain kudu nungging dulu, itu pun belum tentu Biya mau.“ Dalam perjalanan menuju tempat kosnya, Jay kembali memberi petuah kepada Adya.
“Tapi saya gak suka sama dia Pak Jay,“ ucap Adya polos.
“Sekarang Lo bisa bilang gitu karena gak kenal siapa Biya, gak usah buru-buru ambil keputusan. Mandi dan istirahat, pikirkan baik-baik ucapan gue barusan.“ Jay menghentikan mobilnya tepat di depan rumah kost sederhana. Di tempat itulah Adya berteduh dari hujan dan panas.
“Makasih Pak, hati-hati dijalan.“ Adya menutup pintu mobil Jay dan segera masuk ke kamarnya.
Jay memperhatikan langkah gadis itu hingga menghilang dari pandangannya. Setelah yakin Adya sudah masuk ke kamarnya, Jay melajukan mobil kembali ke apartemennya.
Tempat tinggal Jay hanya bersebelahan dengan Biya, pria itu memang tidak bisa jauh-jauh dari Jay. Apa yang dilakukan Biya dan penari tadi, Jay sudah paham. Yang perlu ia pastikan kembali adalah latar belakang Adya yang membuatnya tersentuh.
“Kau yakin informasi ini tidak salah?“ Jay bertanya kepada anak buahnya melalui sambungan telepon.
“Yakin seratus persen, kebetulan istri saya satu kampung dengan Nona Adya,“ ungkapnya meyakinkan Jay.
“Oke, besok saya kirim bonusnya. Terima kasih,“ ucap Jay sebelum mengakhiri sambungan teleponnya.
Jay duduk di sofa apartemen mewahnya, ia membaca sekali lagi informasi yang didapatkan tadi. Menganggukkan kepalanya yakin dengan langkah apa yang akan diambilnya nanti.
Keesokan harinya, Jay yang masih tertidur dikejutkan dengan bunyi ponselnya yang terus-terusan. Ia meraba-raba sisi lain tempat tidurnya mencari keberadaan benda pipih tersebut.
“Bukain pintu, gue di depan!“ Suara tegas dan tanpa basa-basi Biya membuat Jay yang masih mengantuk membuka matanya lebar-lebar. Ia mengedarkan pandangannya mencari jam dinding. Jay menghela nafasnya tidak percaya, untuk apa Biya sepagi ini mencarinya, bahkan ini pun hari libur.
“Siap.“ Jay dengan malas bangkit dari kasur empuknya. Ia berjalan keluar kamarnya untuk membukakan pintu Biya.
“Masih tidur Lo?“ Biya sudah duduk di sofa, wajahnya yang segar mengisyaratkan bahwa ia sedang bahagia. Bertolak belakang dengan Jay yang masih tampak lesu.
“Ngantuk gue, mau kemana sih udah rapi gini?“ Jay memperhatikan penampilan Biya yang sudah segar.
“Nagih janji Lo, mana biodata cewek sombong semalam, gue pengen tahu.“ Biya menagih janjinya.
“Kasian Bos, pesen saya baik-baik deh sama dia.“ Jay menyerahkan amplop coklat berisi biodata Adya lengkap. Biya tidak peduli ucapan Jay, ia hanya ingin tahu kehidupan Adya yang sebenarnya.
“Ibunya sakit, gue bisa manfaatin sebenarnya. Tapi benar Lo, kasian juga. Tapi gue suka sama dia Jay!“ Teriak Biya kepada Jay yang sudah menghilang ke dapur. Ia sedang membuatkan minum untuk majikannya.
“Gue udah buatin janji sama Adya, ajak makan siang dulu buat pemanasan. Buat foreplay gitu, biar dia kenal dulu. Gimana?“ tanya Jay yang sudah selangkah lebih maju mengusahakan Adya untuknya.
“Mau itu cewek sombong?“ tanya Biya tak percaya.
“Mau, ya walaupun tadinya nolak. Pelan-pelan saja, Adya beda sama cewek-cewek yang udah Lo tiduri.“ Jay memperingatkan Biya.
“Kalau diajak ngamar ntar nolak, gue ajak ngemall aja deh. Jam berapa janjiannya?“ tanya Biya lagi.
“Jam sebelas Bos, dia udah mau. Selanjutnya tergantung usaha.“ Jay duduk di depan Biya merapikan kembali kertas-kertas yang berisi biodata Adya.
“Jangan emosi, dia udah bilang ke gue semalam kalau gak suka sama Lo, jadi sabar!“ Seru Jay mengingatkan sekali lagi.
“Itu cewek gak normal kalau gak suka sama gue,“ ucap Biya kesal.
“Kalau ada yang gak suka sama Lo, itu artinya Lo masih manusia biasa. Bukan pangeran apalagi malaikat baik hati,“ tutur Jay menyadarkan Biya.
“Brengsek Lo!“ Biya melempar tisu ke arah Jay.
“Itu kenyataan dan Lo harus akui kalau Adya gak tertarik sama Lo. Dan itu sukses bikin Lo blingsatan kayak gini.“ Jay mencibir Biya yang masih gengsi mengakui.
“Ya udah, gue jalan sekarang.“ Biya berpamitan kepada Jay untuk menjemput Adya. Ia keluar dari apartemen Jay menuju parkiran VIP, tempat dimana mobil mewahnya terparkir.
Sepanjang perjalanan ia bersiul gembira, Adya memang tidak seksi dan tinggi. Perempuan bertubuh mungil itu sukses membuat hati Biya bergetar. Ia menuju tempat kost Adya untuk menjemput pujaan hati. Biya menghubungi Adya ketika sudah sampai tepat di depan rumah kost khusus wanita. Rumah sederhana berpagar hijau, Adya keluar dari pintu samping rumah dengan memakai rok selutut dan atasan kaos putih yang sederhana. Lengkap dengan sepatu kets dan mini bag milik Adya satu-satunya.
“Udah lama?“ Adya bertanya basa-basi untuk mengusir kecanggungan diantara keduanya. Adya sudah duduk disamping Biya yang kebetulan memakai atasan berwarna putih juga.
“Baru, langsung makan siang ya? Gue laper, tadi gak sarapan,“ ucap jujur Biya.
“Oke.“ Adya duduk dengan tenang. Walaupun begitu, Biya masih bisa melihatnya jelas kegugupan gadis itu.
Biya mengajak Adya makan di sebuah restoran steak di daerah Tanjung Duren. Ia memarkirkan mobilnya dan mengajaknya masuk ke restoran tersebut.
“Dasar pria aneh, bisa-bisanya gandeng tangan gue udah berasa gue bininya!“ Adya bermonolog dalam hati. Yang membuatnya kagum kepada Biya adalah sikap Biya kepadanya yang tampak natural dan tidak dibuat-buat.
“Lo senyum-senyum sama orang tapi maki-maki gue dalam hati, dosa Lo,“ ucap Biya. Jiwa cenayang Jay sudah menular dengan lancar kepadanya.
“Enggak Kak, biasa aja kok.“ Adya membantah ucapan Biya, walaupun kenyataannya memang seperti itu.
“Lo pesen aja mau makan yang mana, gak usah malu-malu.“ Biya sudah memesan menu favoritnya, sehingga ia tidak memerlukan buku menu lagi.
Suasana restoran memang ramai di jam makan siang, keduanya sibuk dengan makanan masing-masing hingga Biya menyadari bahwa Adya belum memesan minuman.
“Lo gak pesen minum? Bisa Lo makan gak ada minumannya?“ tanya Biya heran.
“Kata Kak Biya makanan bukan minuman, lagian ini mahal!“ Adya memperhatikan setiap detail menu beserta harganya.
“Astaga, Lo polos apa bego sih! Minum punya gue, biar gue pesan lagi.“ Biya memanggil salah satu pegawai restoran untuk membuatkan minuman yang sama. Adya memanyunkan bibirnya kesal, Biya menghinanya.
“Kalau mulut Lo kayak gitu terus, lama-lama gue kuncir itu bibi biar panjang kayak ekor kuda!“ Ucapan Biya sukses membuat Adya mengatupkan mulutnya lagi, dengan wajah kesalnya Adya melanjutkan makannya.
“Habis makan mau kemana?“ tanya Biya.
“Terserah kakak aja, kan diajak.“ Adya yang berpenampilan polos membuat Biya gemas.
“Lo gak dandan? Apa gak ada alat make-up?“ Biya penasaran, biasanya para wanita akan berlomba-lomba untuk tampil cantik di hadapannya. Namun Adya berbeda, gadis itu tetap percaya diri dan santai berhadapan dengan Biya.
“Dandan, cuma pake lipstik tipis, tapi gak pake bedak. Udah habis, nunggu gajian masih dua hari lagi kak, kenapa?“ Adya memandang Biya yang tengah membalas pesan singkat di ponselnya.
“Gue bayar dulu, habis ini ikut gue.“ Biya membayar tagihan makannya bersama Adya dan mengajaknya ke mall terdekat.
Dalam perjalanannya, Biya tak habis pikir dengan tingkah Adya yang tenang dan tidak terusik dengan penampilan polosnya. “Ini cewek memang langka, perlu dilestarikan.“ Biya mengulum senyum penuh arti.“
Biya mengajaknya ke sebuah toko kosmetik tempat ia biasa mentraktir wanita-wanitanya. Biya meminta Adya untuk membeli perlengkapan makeup yang ia butuhkan. “Kak Biya, disini bermerk semua. Aku mana cukup uangku,“ bisik Adya polos. “Bego, gue ajak kesini ya gue yang bayar Adya. Udah sana!“ Biya setengah mengusirnya. Ia meminta salah satu pegawai untuk membantu Adya memilih apa yang cocok untuknya. “Galak pisan, keluar duit gak pake mikir. Memang ini mall punya bapak moyangnya apa!“ gerutu Adya yang kebetulan di dengar oleh pegawai yang membantunya. “Maaf Dek, Pak Biya memang pemilik mall ini. Saran saya hati-hati kalau bicara, baik-baikin deh.“ Pegawai tersebut menyodorkan salah satu warna terbaru cushion merk Korea. “Serius Mbak?“ tanya Adya penasaran. “Betul, saya kerja disini sudah hampir sepuluh tahun. Tadinya pemiliknya almarhum
Biya yang sudah dalam perjalanan pulang ke apartemen menghubungi Jay, pria itu harus bertanggung jawab atas penolakan Adya kepadanya. Biya kesal, kenapa Jay tidak menjelaskan maksud ajakan Biya yang sebenarnya. “Jay, Lo ngomong ke Adya gimana sih?“ Biya sudah duduk di sofa ruang tamu apartemen Jay. Ia menahan kekesalannya karena Adya benar-benar tidak mau bermalam dengannya. “Kan gue bilang Bos, ajak jalan-jalan. Kenalan dulu, jangan buru-buru diajak bobo bareng,“ kata Jay menjelaskan. “Astaga, pantesan dia nolak gue ajak ke apartemen!“ Biya berdecak kesal. Ia memandang Jay marah. “Pelan-pelan Bos, Adya bukan tipikal cewek seperti Bella atau Chyntia. Sabar, itu kalau mau dapetin dia. Gue tahu Lo suka beneran sama itu cewek,“ Jay berusaha membujuk Biya agar meredam emosinya. “Iya, gue memang suka, tapi itu cewek jual mahal Jay. Dipegang tangan doang neh, gak mau, gimana
Pagi ini Bella yang sudah mandi akhirnya berpamitan pulang kepada Biya, walaupun sudah bermalam dengan wanita lain tak bisa membuat Biya melupakan bayang-bayang Adya dalam pikirannya. Di depan televisi, ia berdecak kesal karena pikirannya tentang Adya tidak bisa ia hindari. “Punya ilmu pelet apa sih tu cewek, astaga gue bisa gila kalau begini caranya.“ Biya mengomel sendiri. Weekend kali ini adalah weekend yang menyebalkan baginya. Ia mengirimkan pesan singkat kepada Jay untuk memintanya datang. Dan secepat kilat pria itu sudah berada di hadapannya. Tak berselang lama, Biya sedang menyantap sarapan yang dibawa Jay, karena yakin jika majikannya itu belum makan. “Jadi apa solusimu Jay?“ tanya Biya setela
Biya duduk diantara teman-temannya, luka kecil di pelipisnya bahkan tidak dipedulikan. Semua memandang heran Biya yang senyam-senyum sendiri sambil meneguk minumannya.“Lo dari mana?“ tanya Aldy kepada Biya.“Ketemu Adya, eh bantuin itu cewek urus dokumen identitas. Habis dirampok dia, untung gue gak buru-buru pergi dari sana,“ kata Biya dengan bangga.“Itu pelipis luka karena baku hantam?“ tanya Jay khawatir. Ia meminta salah satu pegawai klub memberikan kotak obat untuk Biya.“Yoi, mereka main keroyokan. Mana badannya gede-gede, awas aja ketemu mereka lagi gue masukin ke penjara itu preman.“ Biya berdecak kesal mengingat wajah-wajah tengil perampok tadi.“Udah, luka Lo kudu dibersihkan. Gue bisa dipecat sama Pak Mahesa kalau biarin Lo luka-luka kayak gini,“ Jay mengomelinya.“Aawwhhh, pelan-p
Mama Risna terlihat mondar mandir di dalam kamarnya, ia resah. Seperti apa wanita yang dipacari oleh Biya, ia tidak menyangka Biya bisa tertarik dengan wanita malam.“Ma, jangan Kau mondar-mandir kayak setrikaan begitu, capek Papa lihatnya,“ Papa Esa menegurnya.“Ish, Papa ini juga tenang-tenang saja. Dipikirkan dong anaknya!“ Risna mengomel.“Dipikirkan bagaimana, anak sudah besar ya sudah. Tinggal diawasi, diingatkan kalau salah. Apalagi?“ tanya Papa Esa dengan nada datar seperti biasanya.“Itu perempuan juga siapa yang dipacari Pa, udah diajak kemana-mana sama Biya. Ini gak bisa, gak bisa!“ Mama Risna terlihat sibuk menghubungi seseorang melalui ponselnya.“Kita undang ke rumah kalau memang Mama penasaran. Tidak seperti itu caranya,“ tegur Papa Esa.“Ide bagus, Mama mau hubungi Biya untuk aj
Biya berangkat ke kantor seperti biasanya, ada beberapa dokumen yang harus ditandatangani dan selesaikan sebelum menjemput Adya siang nanti.“Jay, gak ada jadwal ketemu klien kan?“ tanya Biya memastikan. Ia sudah duduk di kursi kebesarannya menyesap kopi hitam favoritnya.“Sudah dikosongkan, hari ini free. Khusus untuk agenda mempertemukan Bu Risna dan yayang Adya,“ jawab Jay meledek Biya.“Lagak Lo, udah bosan ikut gue Lo?“ Biya berkata sinis kepada Jay yang belakangan sudah lebih berani membantahnya. Namun, Biya paham betul alasan Jay sehingga ia tidak bisa memarahinya.“Jangan marah-marah dulu, mau dipesankan burger apa yang lain? Mumpung masih ada waktu,“ Jay menawarkan sarapan lagi kepada Biya karena ia tahu, sarapannya tadi di rumah Biya kurang menikmati.“Kayak biasanya aja, pesenin yang seger-seger deh. Biar adem otak
Setelah Adya menikmati makan malam dengan orang tua Biya, ia sempat berbincang sebentar di ruang tengah. Papa Esa dan Mama Risna hanya bertanya hal-hal umum untuk menghindari suasana tidak enak. Tepat pukul sembilan malam, Biya mengantar gadis itu kembali ke rumah kost nya.“Makasih Kak, Adya masuk dulu.“ Gadis itu berpamitan masuk ke dalam rumah kost. Biya mengantarkan gadis itu pulang dengan hati gembira.“Istirahat, jangan drakor terus.“ Biya menyandarkan tubuhnya di badan mobilnya untuk memastikan gadis pujaannya masuk ke dalam kamarnya. Ia cukup melihat dari kaca spion mobil kesayangannya untuk memastikan Adya masuk.Sementara itu, di kediaman Mahesa Dipta terjadi perbedaan pendapat antara Papa Esa dan Mama Risna.“Papa yakin? Mama masih belum percaya kalau Biya beneran cinta sama gadis itu. Bisa jadi, Biya hanya dimanfaatkan Pa!“ Mama Risna sedikit menaikkan
Denting suara gelas crystal goblet, arthur coctail, dan sejenisnya coba Adya tata sepelan dan sehati-hati mungkin pada tempatnya. Pekerjaan yang seperti terlihat sepele, hanya menata gelas, tapi sebenarnya beresiko tinggi. Setiap kali melakukan rutinitas paginya itu, Adya selalu selipkan doa dan wajah ibunya akan muncul dalam benak dan hatinya. Wajah pucat dan senyuman tulus seorang ibu yang membuat seorang Adya selalu berhati-hati melakukan pekerjaannya. Harga gelas-gelas itu bisa melebihi gajinya selama setahun, jadi sebisa mungkin Adya tak memecahkannya, ataupun hanya meretakkannya. Memang benar pikir Adya, kalau hati manusia seperti layaknya gelas-gelas itu, bila tidak di jaga dan di perlakukan dengan sepenuh jiwa akan mudah retak bahkan pecah.Adya menatap wajahnya pada pantulan gelas-gelas kristal itu. Senyuman terlukis di sana. Kebersamaan bersama Abiya semalam tiba-tiba terlinta