Denting suara gelas crystal goblet, arthur coctail, dan sejenisnya coba Adya tata sepelan dan sehati-hati mungkin pada tempatnya. Pekerjaan yang seperti terlihat sepele, hanya menata gelas, tapi sebenarnya beresiko tinggi. Setiap kali melakukan rutinitas paginya itu, Adya selalu selipkan doa dan wajah ibunya akan muncul dalam benak dan hatinya. Wajah pucat dan senyuman tulus seorang ibu yang membuat seorang Adya selalu berhati-hati melakukan pekerjaannya. Harga gelas-gelas itu bisa melebihi gajinya selama setahun, jadi sebisa mungkin Adya tak memecahkannya, ataupun hanya meretakkannya. Memang benar pikir Adya, kalau hati manusia seperti layaknya gelas-gelas itu, bila tidak di jaga dan di perlakukan dengan sepenuh jiwa akan mudah retak bahkan pecah.
Adya menatap wajahnya pada pantulan gelas-gelas kristal itu. Senyuman terlukis di sana. Kebersamaan bersama Abiya semalam tiba-tiba terlinta
Abbiya bergegas pulang, janji dengan teman-temannya ke klub malam sudah dua kali ia batalkan karena kesibukannya akhir-akhir ini. Persiapan peralihan jabatan dari Papanya sudah selesai, sehingga ia bisa santai sejenak berkumpul dengan Geng Playboy. “Bi, makan malam dirumah?“ Mama Risna menghubunginya melalui telepon. “Iya Ma, ini Biya udah dijalan. Papa udah pulang?“ jawab Biya. “Sudah, Papamu lagi mandi. Ya sudah, Mama tunggu sayang!“ “Oke, bye Ma.“ jawab Biya sebelum panggilan telepon berakhir. Biya sangat mencintai keluarganya terutama sang Mama. Walaupun termasuk fakeboy, dia tidak pernah berbuat kasar kepada teman-teman wanitanya. Yah, hanya
Biya sudah rapi dengan kemeja putihnya. Disampingnya, Elsa yang sedang membereskan tempat tidur sesekali melirik ke arah Biya.“Uangnya udah gue transfer ke rekeningmu. Pergunakan dengan baik,“ kata Biya sambil menyesap kopinya.“Makasih kak Biya,“ kata Elsa sambil menatap pantulan wajahnya di cermin.“Sini Lo, gue mau bicara dan Lo harus nurut sama gue.“ Ketegasan Biya pada Elsa memiliki latar belakang yang baik sebenarnya. Biya pada dasarnya memiliki jiwa sosial yang bagus sama seperti Papa Esa.“Iya Kak,“ jawab Elsa yang sudah duduk manis menghadapnya. Biya juga sudah duduk di sofa sudut kamar hotel tersebut memperhatikan Elsa dengan tatapan mengintimidasi, sehingga
Seminggu berlalu, setelah Biya bermalam dengan Elsa ia kembali bertemu dengan teman-temannya di klub malam biasa mereka ngumpul. Biya datang bersama dengan Jay.“Nda, Lo yakin pernah lihat Elsa kesini sama cowok?“ tanya Biya kepada Nanda memastikan.“Iya, tanya aja Dion,“ jawab Nanda tenang karena memang begitulah adanya.“Awas Lo, gue patahin Lo punya kaki!“ Biya merasa dibohongi oleh Elsa. Ia bertekad akan menjemputnya nanti.“Jangan galak gitu Bi, kasian. Kalau Lo mau adopsi dia, didik yang bener. Jangan pakai kekerasan,“ ucap Aldy mengingatkan Biya. Dia adalah teman paling senior diantara empat orang dalam geng playboy. Boleh dibilang, Aldy adalah playboy insaf.
Biya memandang kesal ke arah pintu kaca dimana Adya sudah berada di luar. Ia meminta anak buahnya mengantar Elsa kembali ke tempat kostnya.“Lo jangan ngelayap kemana-mana lagi. Pulang dan tidur, besok Lo ada kuliah kan?“ Biya bertanya kepada Elsa, ia memandang perempuan yang masih menunduk takut.“Iya Kak.“ Elsa menjawab pertanyaan Biya dengan perasaan takut.“Ya udah, balik Lo!“ Biya mengibaskan tangannya kepada Elsa agar wanita itu kembali ke tempat tinggalnya.Setelah kepergian Elsa, Biya kembali duduk di sofa. Ia menghempaskan tubuhnya, perasaan kesal karena ditolak masih menyelimuti dirinya.“Jay, Lo cari tahu
Adya mengikuti langkah Jay ke parkiran, hatinya bergemuruh. Mimpi apa dia sampai berurusan dengan Biya. Pria yang seharusnya ia hindari di klub malam tempat ia bekerja.“Lo gak usah takut, Biya sebenarnya orang baik. Lo beruntung disukai Biya, cewek lain kudu nungging dulu, itu pun belum tentu Biya mau.“ Dalam perjalanan menuju tempat kosnya, Jay kembali memberi petuah kepada Adya.“Tapi saya gak suka sama dia Pak Jay,“ ucap Adya polos.“Sekarang Lo bisa bilang gitu karena gak kenal siapa Biya, gak usah buru-buru ambil keputusan. Mandi dan istirahat, pikirkan baik-baik ucapan gue barusan.“ Jay menghentikan mobilnya tepat di depan rumah kost sederhana. Di tempat itulah Adya berteduh dari hujan dan panas.
Biya mengajaknya ke sebuah toko kosmetik tempat ia biasa mentraktir wanita-wanitanya. Biya meminta Adya untuk membeli perlengkapan makeup yang ia butuhkan. “Kak Biya, disini bermerk semua. Aku mana cukup uangku,“ bisik Adya polos. “Bego, gue ajak kesini ya gue yang bayar Adya. Udah sana!“ Biya setengah mengusirnya. Ia meminta salah satu pegawai untuk membantu Adya memilih apa yang cocok untuknya. “Galak pisan, keluar duit gak pake mikir. Memang ini mall punya bapak moyangnya apa!“ gerutu Adya yang kebetulan di dengar oleh pegawai yang membantunya. “Maaf Dek, Pak Biya memang pemilik mall ini. Saran saya hati-hati kalau bicara, baik-baikin deh.“ Pegawai tersebut menyodorkan salah satu warna terbaru cushion merk Korea. “Serius Mbak?“ tanya Adya penasaran. “Betul, saya kerja disini sudah hampir sepuluh tahun. Tadinya pemiliknya almarhum
Biya yang sudah dalam perjalanan pulang ke apartemen menghubungi Jay, pria itu harus bertanggung jawab atas penolakan Adya kepadanya. Biya kesal, kenapa Jay tidak menjelaskan maksud ajakan Biya yang sebenarnya. “Jay, Lo ngomong ke Adya gimana sih?“ Biya sudah duduk di sofa ruang tamu apartemen Jay. Ia menahan kekesalannya karena Adya benar-benar tidak mau bermalam dengannya. “Kan gue bilang Bos, ajak jalan-jalan. Kenalan dulu, jangan buru-buru diajak bobo bareng,“ kata Jay menjelaskan. “Astaga, pantesan dia nolak gue ajak ke apartemen!“ Biya berdecak kesal. Ia memandang Jay marah. “Pelan-pelan Bos, Adya bukan tipikal cewek seperti Bella atau Chyntia. Sabar, itu kalau mau dapetin dia. Gue tahu Lo suka beneran sama itu cewek,“ Jay berusaha membujuk Biya agar meredam emosinya. “Iya, gue memang suka, tapi itu cewek jual mahal Jay. Dipegang tangan doang neh, gak mau, gimana
Pagi ini Bella yang sudah mandi akhirnya berpamitan pulang kepada Biya, walaupun sudah bermalam dengan wanita lain tak bisa membuat Biya melupakan bayang-bayang Adya dalam pikirannya. Di depan televisi, ia berdecak kesal karena pikirannya tentang Adya tidak bisa ia hindari. “Punya ilmu pelet apa sih tu cewek, astaga gue bisa gila kalau begini caranya.“ Biya mengomel sendiri. Weekend kali ini adalah weekend yang menyebalkan baginya. Ia mengirimkan pesan singkat kepada Jay untuk memintanya datang. Dan secepat kilat pria itu sudah berada di hadapannya. Tak berselang lama, Biya sedang menyantap sarapan yang dibawa Jay, karena yakin jika majikannya itu belum makan. “Jadi apa solusimu Jay?“ tanya Biya setela