Biya sudah rapi dengan kemeja putihnya. Disampingnya, Elsa yang sedang membereskan tempat tidur sesekali melirik ke arah Biya.
“Uangnya udah gue transfer ke rekeningmu. Pergunakan dengan baik,“ kata Biya sambil menyesap kopinya.
“Makasih kak Biya,“ kata Elsa sambil menatap pantulan wajahnya di cermin.
“Sini Lo, gue mau bicara dan Lo harus nurut sama gue.“ Ketegasan Biya pada Elsa memiliki latar belakang yang baik sebenarnya. Biya pada dasarnya memiliki jiwa sosial yang bagus sama seperti Papa Esa.
“Iya Kak,“ jawab Elsa yang sudah duduk manis menghadapnya. Biya juga sudah duduk di sofa sudut kamar hotel tersebut memperhatikan Elsa dengan tatapan mengintimidasi, sehingga membuat Elsa ketakutan.
“Kamu masih belum delapan belas tahun, dengarkan aku baik-baik Elsa. Lihat wajah gue, jangan nunduk gitu!“ Biya berdecak kesal. Elsa menaikkan kepalanya perlahan melihat takut-takut ke arah Biya.
“Gue bakalan biayain kuliah Lo sampai selesai tapi dengan syarat. Mau gak Lo?“ tanya Biya cuek sambil menjawab pesan singkat dari Jay yang sudah menunggunya di lobby hotel.
“Mau Kak,“ jawab Elsa antusias.
“Gue orangnya keras tapi bisa baik kalau Lo mau nurut sama gue. Pertama, perbaiki cara berpenampilan, sesuaikan dengan usiamu. Kedua, kirim jadwal kuliah ke gue. Ketiga, ini penting. Jangan sekali-kali ke klub malam tanpa ijin dari gue. Keempat, jam malam berlaku dan gue bakalan kasih hukuman jika Lo langgar. Dan satu lagi, kenalkan pria yang mendekatimu padaku.“ Biya menyentil telinga Elsa beberapa kali.
“Sakit Kak!“ jerit Elsa mengusap-usap telinganya lalu memanyunkan bibirnya protes.
“Gue bisa lebih keras dari ini. Jadi gue minta Lo jangan bikin gue marah,“ kata Biya memperingatkan Elsa.
Elsa terdiam sejenak, ia mengingat bungkusan rokok di dalam tasnya. Dia berharap Biya tidak mengetahui karena seperti kata Biya barusan. Dia bisa baik dan juga tegas terhadap wanitanya.
“Dan ini, punya Lo kan? Berhenti merokok, gue gak suka cewek perokok!“ Biya mengayunkan bungkus rokok berwarna putih miliknya. Dada Elsa berdegup kencang. Ia takut Biya menyentilnya lagi.
“Iya Kak, tapi itu masih banyak. Sayang kalau dibuang,“ ucapan polos Elsa ternyata mengusiknya.
“Bilang apa Lo barusan? Ulangi coba!“ suara Biya sudah naik satu oktaf sontak membuat nyalinya menciut.
“Maaf Kak,“ ucap Elsa menatap polos wajah Biya yang terlanjur kesal.
“Berdiri Lo!“ perintah tegas Biya kepadanya. Ulah Elsa ini rupanya membuat Biya semakin mengikat gadis itu dengan uang yang dimilikinya. Elsa yang masih memakai hotpants tipis berdiri sesuai perintah Biya.
“Gue gak suka cewek keras kepala!“ Biya mencubit keras pantat Elsa. Ia ingin memberi peringatan tegas kepada Elsa agar menurutinya.
“Aahhhh, sakit!“ jerit Elsa lagi.
“Diem Lo!“ Biya menariknya mendekat dan menampar pantatnya keras, Biya mengulanginya lagi agar gadis itu paham yang diinginkannya.
“Ampun Kak, Sasa janji gak rokok lagi! Ampun!“ Elsa menjerit kesakitan. Biya sebenarnya bukan marah, hanya cemas karena gadis itu terlalu polos untuk terlihat seperti wanita jalang. Biya ingin Elsa menurut kepadanya.
“Ini peringatan buat Lo. Jangan sampai gue nemuin barang ini sama Lo lagi. Paham?“ tegas Biya sekali lagi.
Elsa mengangguk sambil mengusap pantatnya yang memerah, bekas tangan Biya tergambar jelas di kulit putihnya. Isakan kecil terdengar sayup-sayup di telinga Biya.
“Udah gak usah nangis, Lo disini dulu. Tunggu sampai gue balik lagi,“ ucap Biya kepadanya lalu berdiri dan menyerahkan amplop berisi uang untuk Elsa.
“Ini buat apa Kak?“ tanya Elsa bingung karena uang jasanya sudah diterima tapi Biya kembali memberinya uang. Jejak air matanya terlihat jelas oleh Biya.
“Pindah kost dan beli kebutuhanmu. Aku jalan dulu.“ Biya menepuk pelan pipi Elsa untuk berpamitan.
“Baik Kak, terima kasih.“ Elsa memandang Biya yang keluar dari kamar tersebut.
Jay membukakan pintu mobil untuk Biya seperti biasanya, wajah sumringah Biya menandakan ia tidak akan kesulitan menjalankan rentetan jadwal penting hari ini.
“Jay, meeting jam sepuluh kan?“ tanya Biya memastikan.
“Betul, mau sarapan dulu?“ tanya Jay kepada atasannya.
“Iya, gue lapar Jay. Tadi sama Elsa cuma ngopi.“ Biya membuka pesan singkat yang masuk di ponselnya. Membaca pesan singkat dari Dion yang mengucapkan terima kasih kepadanya.
“Makan dimana ?“ tanya Jay yang sudah hafal kebiasaan atasannya.
“Apa aja,“ jawab pasrah Biya. Ia masih memikirkan Elsa. Bukan, Biya memikirkan gadis itu tidak karena menyukainya tapi membayangkan bagaimana dunia memperlakukan gadis sepolos Elsa.
“Dijewer aja udah nangis. Cih!“ Biya tertawa sendiri mengingat Elsa yang menangis seperti habis dimarahi oleh Ayahnya.
Biya sudah sampai di restoran tempat ia biasa makan bersama dengan Jay. Ia menikmati sarapannya dan sesekali melirik ponselnya. Ia menunggu kabar dari seseorang yang membuatnya resah.
Seperti biasa, kegiatan Biya sehari-hari mengurus perusahaan keluarga yang sudah diamanahkan kepadanya. Biya juga memiliki usaha lain bersama dengan teman-temannya. Setelah sarapan, ia menghadiri meeting penting tentang kerjasama dengan perusahaan asing yang sudah tertarik sejak lama untuk berpartner dengannya.
“Lo jangan kemana-mana, istirahat aja di kamar sampai gue datang,“ pesan singkat Biya kepada Elsa setelah meeting selesai.
“Baik Kak, Elsa di kamar aja kok,“ jawab Elsa patuh.
“Anak baik, Lo beli salep biar gak ngilu. Sorry, tadi kakak mukulnya keras ya?“ Biya melunak. Bayangan wajah polos Elsa membuatnya ingin melindungi gadis itu.
“Perih Kak, sakit.“ Jawaban polos Elsa lagi-lagi membuatnya tergelak.
“Makanya nurut!“ jawab Biya sekali lagi sebelum memasukkan ponselnya kembali ke saku.
Biya yang masih berada di kantornya dikejutkan dengan kedatangan Dion. Pria yang dikenal sebagai jomblo abadi di kalangan teman-temannya.
“Bi, ini laporan keuangan yang Lo minta tempo hari,“ kata Dion setelah dipersilahkan duduk oleh Biya.
“Oke, nanti gue lihat. Sorry, gue mukul Elsa tadi pagi.“ Biya terus terang kepada Dion karena tahu, ia pasti akan menanyakan service yang Elsa berikan semalam.
“Kenapa Bi?“ tanya Dion penasaran.
“Gila aja kalau itu anak dapat om-om gak jelas. Gue mau adopsi dia tapi gue mau cari tahu dulu keluarga dan latar belakangnya. Lu jangan bilang-bilang dulu ke dia,“ jelas Biya kepada Dion.
“Lo apain Bi? Gak sampai berdarah kan?“ tanya Dion serius.
“Brengsek Lo! Gue mukul karena kasih dia hukuman bukan buat bunuh dia Dion.“ Biya menatap kesal Dion yang tidak memahaminya.
“Gue bukan Jay yang ngertiin Lo cuma dari tatapan muka Lo yang ngeselin itu, gue nanya Lo apain sampai nangis itu bocah!“ sulut Dion yang sudah tidak sabar ingin mendengar keterangan dari sang Casanova.
“Gue cuma jewer doang kok, ya sama mukul pantatnya yang gemesin itu sih,“ ucap Biya terkekeh.
“Udah minta maaf?“ tanya Dion lagi sebelum memasukkan buah anggur ke mulutnya. Ia mencomot anggur yang berada di meja Biya.
“Udah dong nyet, emang Lo mikir lambat!“ seru Biya tak terima.
Keduanya tergelak, dua sahabat beda alam ini memang akrab sejak mereka masih duduk di bangku SMA.
Seminggu berlalu, setelah Biya bermalam dengan Elsa ia kembali bertemu dengan teman-temannya di klub malam biasa mereka ngumpul. Biya datang bersama dengan Jay.“Nda, Lo yakin pernah lihat Elsa kesini sama cowok?“ tanya Biya kepada Nanda memastikan.“Iya, tanya aja Dion,“ jawab Nanda tenang karena memang begitulah adanya.“Awas Lo, gue patahin Lo punya kaki!“ Biya merasa dibohongi oleh Elsa. Ia bertekad akan menjemputnya nanti.“Jangan galak gitu Bi, kasian. Kalau Lo mau adopsi dia, didik yang bener. Jangan pakai kekerasan,“ ucap Aldy mengingatkan Biya. Dia adalah teman paling senior diantara empat orang dalam geng playboy. Boleh dibilang, Aldy adalah playboy insaf.
Biya memandang kesal ke arah pintu kaca dimana Adya sudah berada di luar. Ia meminta anak buahnya mengantar Elsa kembali ke tempat kostnya.“Lo jangan ngelayap kemana-mana lagi. Pulang dan tidur, besok Lo ada kuliah kan?“ Biya bertanya kepada Elsa, ia memandang perempuan yang masih menunduk takut.“Iya Kak.“ Elsa menjawab pertanyaan Biya dengan perasaan takut.“Ya udah, balik Lo!“ Biya mengibaskan tangannya kepada Elsa agar wanita itu kembali ke tempat tinggalnya.Setelah kepergian Elsa, Biya kembali duduk di sofa. Ia menghempaskan tubuhnya, perasaan kesal karena ditolak masih menyelimuti dirinya.“Jay, Lo cari tahu
Adya mengikuti langkah Jay ke parkiran, hatinya bergemuruh. Mimpi apa dia sampai berurusan dengan Biya. Pria yang seharusnya ia hindari di klub malam tempat ia bekerja.“Lo gak usah takut, Biya sebenarnya orang baik. Lo beruntung disukai Biya, cewek lain kudu nungging dulu, itu pun belum tentu Biya mau.“ Dalam perjalanan menuju tempat kosnya, Jay kembali memberi petuah kepada Adya.“Tapi saya gak suka sama dia Pak Jay,“ ucap Adya polos.“Sekarang Lo bisa bilang gitu karena gak kenal siapa Biya, gak usah buru-buru ambil keputusan. Mandi dan istirahat, pikirkan baik-baik ucapan gue barusan.“ Jay menghentikan mobilnya tepat di depan rumah kost sederhana. Di tempat itulah Adya berteduh dari hujan dan panas.
Biya mengajaknya ke sebuah toko kosmetik tempat ia biasa mentraktir wanita-wanitanya. Biya meminta Adya untuk membeli perlengkapan makeup yang ia butuhkan. “Kak Biya, disini bermerk semua. Aku mana cukup uangku,“ bisik Adya polos. “Bego, gue ajak kesini ya gue yang bayar Adya. Udah sana!“ Biya setengah mengusirnya. Ia meminta salah satu pegawai untuk membantu Adya memilih apa yang cocok untuknya. “Galak pisan, keluar duit gak pake mikir. Memang ini mall punya bapak moyangnya apa!“ gerutu Adya yang kebetulan di dengar oleh pegawai yang membantunya. “Maaf Dek, Pak Biya memang pemilik mall ini. Saran saya hati-hati kalau bicara, baik-baikin deh.“ Pegawai tersebut menyodorkan salah satu warna terbaru cushion merk Korea. “Serius Mbak?“ tanya Adya penasaran. “Betul, saya kerja disini sudah hampir sepuluh tahun. Tadinya pemiliknya almarhum
Biya yang sudah dalam perjalanan pulang ke apartemen menghubungi Jay, pria itu harus bertanggung jawab atas penolakan Adya kepadanya. Biya kesal, kenapa Jay tidak menjelaskan maksud ajakan Biya yang sebenarnya. “Jay, Lo ngomong ke Adya gimana sih?“ Biya sudah duduk di sofa ruang tamu apartemen Jay. Ia menahan kekesalannya karena Adya benar-benar tidak mau bermalam dengannya. “Kan gue bilang Bos, ajak jalan-jalan. Kenalan dulu, jangan buru-buru diajak bobo bareng,“ kata Jay menjelaskan. “Astaga, pantesan dia nolak gue ajak ke apartemen!“ Biya berdecak kesal. Ia memandang Jay marah. “Pelan-pelan Bos, Adya bukan tipikal cewek seperti Bella atau Chyntia. Sabar, itu kalau mau dapetin dia. Gue tahu Lo suka beneran sama itu cewek,“ Jay berusaha membujuk Biya agar meredam emosinya. “Iya, gue memang suka, tapi itu cewek jual mahal Jay. Dipegang tangan doang neh, gak mau, gimana
Pagi ini Bella yang sudah mandi akhirnya berpamitan pulang kepada Biya, walaupun sudah bermalam dengan wanita lain tak bisa membuat Biya melupakan bayang-bayang Adya dalam pikirannya. Di depan televisi, ia berdecak kesal karena pikirannya tentang Adya tidak bisa ia hindari. “Punya ilmu pelet apa sih tu cewek, astaga gue bisa gila kalau begini caranya.“ Biya mengomel sendiri. Weekend kali ini adalah weekend yang menyebalkan baginya. Ia mengirimkan pesan singkat kepada Jay untuk memintanya datang. Dan secepat kilat pria itu sudah berada di hadapannya. Tak berselang lama, Biya sedang menyantap sarapan yang dibawa Jay, karena yakin jika majikannya itu belum makan. “Jadi apa solusimu Jay?“ tanya Biya setela
Biya duduk diantara teman-temannya, luka kecil di pelipisnya bahkan tidak dipedulikan. Semua memandang heran Biya yang senyam-senyum sendiri sambil meneguk minumannya.“Lo dari mana?“ tanya Aldy kepada Biya.“Ketemu Adya, eh bantuin itu cewek urus dokumen identitas. Habis dirampok dia, untung gue gak buru-buru pergi dari sana,“ kata Biya dengan bangga.“Itu pelipis luka karena baku hantam?“ tanya Jay khawatir. Ia meminta salah satu pegawai klub memberikan kotak obat untuk Biya.“Yoi, mereka main keroyokan. Mana badannya gede-gede, awas aja ketemu mereka lagi gue masukin ke penjara itu preman.“ Biya berdecak kesal mengingat wajah-wajah tengil perampok tadi.“Udah, luka Lo kudu dibersihkan. Gue bisa dipecat sama Pak Mahesa kalau biarin Lo luka-luka kayak gini,“ Jay mengomelinya.“Aawwhhh, pelan-p
Mama Risna terlihat mondar mandir di dalam kamarnya, ia resah. Seperti apa wanita yang dipacari oleh Biya, ia tidak menyangka Biya bisa tertarik dengan wanita malam.“Ma, jangan Kau mondar-mandir kayak setrikaan begitu, capek Papa lihatnya,“ Papa Esa menegurnya.“Ish, Papa ini juga tenang-tenang saja. Dipikirkan dong anaknya!“ Risna mengomel.“Dipikirkan bagaimana, anak sudah besar ya sudah. Tinggal diawasi, diingatkan kalau salah. Apalagi?“ tanya Papa Esa dengan nada datar seperti biasanya.“Itu perempuan juga siapa yang dipacari Pa, udah diajak kemana-mana sama Biya. Ini gak bisa, gak bisa!“ Mama Risna terlihat sibuk menghubungi seseorang melalui ponselnya.“Kita undang ke rumah kalau memang Mama penasaran. Tidak seperti itu caranya,“ tegur Papa Esa.“Ide bagus, Mama mau hubungi Biya untuk aj