Biya memandang kesal ke arah pintu kaca dimana Adya sudah berada di luar. Ia meminta anak buahnya mengantar Elsa kembali ke tempat kostnya.
“Lo jangan ngelayap kemana-mana lagi. Pulang dan tidur, besok Lo ada kuliah kan?“ Biya bertanya kepada Elsa, ia memandang perempuan yang masih menunduk takut.
“Iya Kak.“ Elsa menjawab pertanyaan Biya dengan perasaan takut.
“Ya udah, balik Lo!“ Biya mengibaskan tangannya kepada Elsa agar wanita itu kembali ke tempat tinggalnya.
Setelah kepergian Elsa, Biya kembali duduk di sofa. Ia menghempaskan tubuhnya, perasaan kesal karena ditolak masih menyelimuti dirinya.
“Jay, Lo cari tahu!“ Perintah Biya untuk kesekian kalinya.
“Cari tahu apa?“ tanya Jay yang belum paham maksudnya.
“Cewek baju merah tadi, yang lengkap. Gue tunggu besok pagi.“ Biya menarik salah satu penari pole dalam pangkuannya sebagai penghibur kekesalannya.
Biya meminta perempuan dalam pangkuannya menari kembali, alunan musik yang sempat terhenti dihidupkan kembali oleh salah satu dari mereka. Sejenak ia menikmati tarian yang dilihatnya, ia melihat sekelilingnya dan menyadari sesuatu.
“Yang lain boleh keluar, Lo bertiga disini dulu!“ Perintah Biya kepada tiga penari pole.
Biya menikmati pertunjukan yang memacu adrenalin keperkasaannya. Sejenak ia melupakan sementara urusan dengan Adya. Sesekali ia meminta penari itu mendekat kepadanya. Sentuhan-sentuhan erotis biasa Biya lakukan kepada para penari yang disewanya.
“Lo, mau nemenin gue?” tanya Biya kepada penari berbaju hitam.
“Siap Kak.“ Wanita bernama Bella itu mendekat.
“Lo masih ori?“ tanya Biya memastikan.
“Masih Kak, kenapa?“ Bella penasaran sekaligus bahagia. Kesempatan untuk melayani Biya sudah di depan mata.
“Lo minta berapa, tulis aja disini. Gue minta Lo temenin malam ini.“ Biya menyerahkan ponselnya ke Bella agar perempuan itu menulis harga yang ia minta. Biya memperhatikan wajah Bella lebih intens. Kulit putih dan mulus sudah menjadi standard umum bagi Biya. Ada bagian lain yang menarik hatinya.
“Buah dadanya gede, seksi bener neh anak.“ Biya bermonolog sendiri. Uluran tangan Bella yang menyerahkan kembali ponselnya membuatnya sedikit terkejut.
“Oke, sekarang. Gue udah ngantuk. Yang lain banyakin perawatan. Nanti Jay yang kasih,“ ucap Biya. Ia melambaikan tangannya keluar dari ruangan itu sambil merangkul Bella.
“Jay, gue duluan. Jangan lupa baju merah!“ Perintah Biya sekali lagi mengingatkan asistennya.
“Siap.“ Jay menjawab perintah Biya seperti biasanya. Nanda yang sudah terlihat cemas akhirnya tak kuasa untuk bertanya kepada Jay. Ia bukan tidak paham jika Biya sudah memerintahkan hal seperti itu.
“Jay, Adya jangan diapa-apain. Gue tahu latar belakang keluarganya. Dia orang susah Jay!“ Nanda menggigit bibirnya, ia bergidik ngeri membayangkan Adya sudah dalam target Biya. Sejenak ia menyesali keputusannya membawa masuk Adya ke ruangan itu.
“Dari tatapan matanya, gue lihat Biya gak cuma pengen ditemenin bobo. Kayaknya itu bocah suka beneran.“ Jay dengan tenang mengotak-atik ponselnya menjawab pesan singkat dari seseorang.
Mereka yang masih berkumpul di meja VIP sedang membicarakan Biya yang sedang asyik berduaan dengan Bella. Nanda yang tampak gelisah dan Jay yang tenang bagai air laut.
“Lo emang cenayang Jay. Apa saja tahu yang berhubungan dengan Biya. Bahkan yang bersangkutan belum tahu, Lo udah tahu. Berguru dimana Lo?“ Aldy bertanya lalu terkekeh.
“Serius gue, Lo saksi ya Nda. Biya udah cinta pada pandangan pertama, dia cuma gengsi aja.“ Jay berkata sekali lagi untuk meyakini Nanda dan Aldy.
“Masalahnya, yang udah-udah cuma jadi teman bobo doang Jay! Lu yakin banget memangnya? alasan Lo apa kalau Biya udah bisa move on dari Monica.“ Aldy mencibir ucapan Jay yang dirasa masih dini untuk berkesimpulan bahwa Biya tidak hanya sekedar menyukai Adya.
“Nda dan Lo berdua jadi saksi ya? Lo lihat dalam waktu sebulan lagi apa yang bakal terjadi sama Biya. Yang bikin gue yakin, tatapan mata Biya ke cewek tadi beda. Dan satu lagi, gue gak bakalan biarin Monica deketin Biya lagi.“ Ucapan Jay memang beralasan.
“Baiklah, memang kuakui Monica gak ada hati. Mana saingan Biya udah om-om, tua pula! Gak ada akhlaknya itu cewek.“ Dion yang baru datang berkomentar. Ia mendengar pembicaraan teman-temannya mengenai kehidupan asmara Biya dan Monica saat itu.
“Kebetulan Lo datang, gue minta tolong neh sama kalian. Lo pada kan tahu Biya kayak apa. Gue minta jangan sampai Biya nyakitin Adya. Gue tahu betul latar belakangnya.“ Nanda tidak ada keberanian untuk meminta teman-temannya menghalangi Biya.
“Lo dari tadi ngomongin cewek itu terus, segitu khawatirnya, jangan-jangan Lo suka sama dia?“ pertanyaan Jay menelisik hatinya. Nanda hanya menyayanginya sebagai sahabat karena dia sendiri sudah mempunyai calon istri.
“Gue udah mau nikah, Adya cuma gue anggap adik. Jay, Lo pasti udah dapat biodatanya. Gue cuma minta jangan sampai itu cewek sengsara karena Biya.“ Nanda memastikan sekali lagi.
“Eh, ngomong-ngomong Biya kemana sama cewek pole tadi?“ tanya Dion.
“Bobo, juragan ngantuk. Capek dia seharian kerja,“ jawab Jay. Ia sudah mendapatkan yang Biya minta. Ia menatap layar ponselnya tidak percaya setelah membaca informasi yang ia dapatkan.
“Lo kenapa Jay?“ tanya Dion dan Aldy bersamaan.
“Nda, panggil cewek tadi kesini. Gue mau bicara sama dia,“ titah Jay kepada Nanda.
“Sebentar gue panggil dia dulu.“ Nanda berdiri dan mencari keberadaan Adya. Ia mengajaknya kembali bergabung dengan teman-teman Biya.
“Pak Jay cari saya? Ada apa?“ tanya Adya yang sudah berganti pakaian kerja kembali. Ia duduk di samping Nanda.
“Sorry, gue tahu Lo cewek baik-baik. Tapi masalahnya, majikan gue udah suka sama Lo.“ Jay membuka pembicaraan dengan Adya.
“Maksud Pak Jay apa?“ tanya Adya bingung. Ia menatap Nanda meminta penjelasan namun pria itu hanya mengangkat bahu tidak tahu.
“Gini, gue tahu Biya memang brengsek. Tapi yang harus Lo ingat, dia pernah jadi laki-laki baik sebelum kecewa dengan wanitanya. Gue cuma minta Lo sabar ngadepin dia, perkara Lo gak mau bobo sama dia itu terserah. Gue yakin dia bakalan ngejar lo.“ Penjelasan Jay membuat Adya takut. Wajahnya memucat karena berpikiran yang tidak-tidak.
“Lalu, saya harus gimana?“ tanya Adya kembali.
“Jangan nolak dia dengan cara kasar kayak tadi, dia bakalan ngamuk dan kita-kita yang repot. Lo juga bakal kena getahnya,“ ucap Dion memberitahu.
“Nolak dia memang itu hak Lo, tapi gue ingatkan. Semakin Lo berkeras nolak Biya, dia akan semakin ngejar Lo.“ Jay menambahkan ucapan Dion barusan.
“Jadi gimana?“ Adya masih bingung dengan ucapan teman-teman Biya.
“Mudahnya gini, Biya suka sama Lo. Kalau kata orang itu cinta pada pandangan pertama. Dan orangnya Lo, Dya kalau Lo gak mau bobo sama dia gue paham. Tapi kalau Lo nolak jadi pacarnya berarti Lo bego.“ Aldy menambahkan.
“Lo gak usah takut, Biya gak sejahat yang Lo pikirin. Kayaknya Lo harus balik, jam kerjanya sudah habis. Ada yang bisa anter Adya?“ tanya Nanda kepada yang lain.
“Gue yang anterin, Lo aman sama kita-kita.“ Jay meraih kunci mobilnya dan berpamitan, ia berinisiatif mengantar Adya pulang untuk mengatakan beberapa hal mengenai Biya. Jay tahu, Adya adalah sosok yang pas mendampingi Biya.
Adya mengikuti langkah Jay ke parkiran, hatinya bergemuruh. Mimpi apa dia sampai berurusan dengan Biya. Pria yang seharusnya ia hindari di klub malam tempat ia bekerja.“Lo gak usah takut, Biya sebenarnya orang baik. Lo beruntung disukai Biya, cewek lain kudu nungging dulu, itu pun belum tentu Biya mau.“ Dalam perjalanan menuju tempat kosnya, Jay kembali memberi petuah kepada Adya.“Tapi saya gak suka sama dia Pak Jay,“ ucap Adya polos.“Sekarang Lo bisa bilang gitu karena gak kenal siapa Biya, gak usah buru-buru ambil keputusan. Mandi dan istirahat, pikirkan baik-baik ucapan gue barusan.“ Jay menghentikan mobilnya tepat di depan rumah kost sederhana. Di tempat itulah Adya berteduh dari hujan dan panas.
Biya mengajaknya ke sebuah toko kosmetik tempat ia biasa mentraktir wanita-wanitanya. Biya meminta Adya untuk membeli perlengkapan makeup yang ia butuhkan. “Kak Biya, disini bermerk semua. Aku mana cukup uangku,“ bisik Adya polos. “Bego, gue ajak kesini ya gue yang bayar Adya. Udah sana!“ Biya setengah mengusirnya. Ia meminta salah satu pegawai untuk membantu Adya memilih apa yang cocok untuknya. “Galak pisan, keluar duit gak pake mikir. Memang ini mall punya bapak moyangnya apa!“ gerutu Adya yang kebetulan di dengar oleh pegawai yang membantunya. “Maaf Dek, Pak Biya memang pemilik mall ini. Saran saya hati-hati kalau bicara, baik-baikin deh.“ Pegawai tersebut menyodorkan salah satu warna terbaru cushion merk Korea. “Serius Mbak?“ tanya Adya penasaran. “Betul, saya kerja disini sudah hampir sepuluh tahun. Tadinya pemiliknya almarhum
Biya yang sudah dalam perjalanan pulang ke apartemen menghubungi Jay, pria itu harus bertanggung jawab atas penolakan Adya kepadanya. Biya kesal, kenapa Jay tidak menjelaskan maksud ajakan Biya yang sebenarnya. “Jay, Lo ngomong ke Adya gimana sih?“ Biya sudah duduk di sofa ruang tamu apartemen Jay. Ia menahan kekesalannya karena Adya benar-benar tidak mau bermalam dengannya. “Kan gue bilang Bos, ajak jalan-jalan. Kenalan dulu, jangan buru-buru diajak bobo bareng,“ kata Jay menjelaskan. “Astaga, pantesan dia nolak gue ajak ke apartemen!“ Biya berdecak kesal. Ia memandang Jay marah. “Pelan-pelan Bos, Adya bukan tipikal cewek seperti Bella atau Chyntia. Sabar, itu kalau mau dapetin dia. Gue tahu Lo suka beneran sama itu cewek,“ Jay berusaha membujuk Biya agar meredam emosinya. “Iya, gue memang suka, tapi itu cewek jual mahal Jay. Dipegang tangan doang neh, gak mau, gimana
Pagi ini Bella yang sudah mandi akhirnya berpamitan pulang kepada Biya, walaupun sudah bermalam dengan wanita lain tak bisa membuat Biya melupakan bayang-bayang Adya dalam pikirannya. Di depan televisi, ia berdecak kesal karena pikirannya tentang Adya tidak bisa ia hindari. “Punya ilmu pelet apa sih tu cewek, astaga gue bisa gila kalau begini caranya.“ Biya mengomel sendiri. Weekend kali ini adalah weekend yang menyebalkan baginya. Ia mengirimkan pesan singkat kepada Jay untuk memintanya datang. Dan secepat kilat pria itu sudah berada di hadapannya. Tak berselang lama, Biya sedang menyantap sarapan yang dibawa Jay, karena yakin jika majikannya itu belum makan. “Jadi apa solusimu Jay?“ tanya Biya setela
Biya duduk diantara teman-temannya, luka kecil di pelipisnya bahkan tidak dipedulikan. Semua memandang heran Biya yang senyam-senyum sendiri sambil meneguk minumannya.“Lo dari mana?“ tanya Aldy kepada Biya.“Ketemu Adya, eh bantuin itu cewek urus dokumen identitas. Habis dirampok dia, untung gue gak buru-buru pergi dari sana,“ kata Biya dengan bangga.“Itu pelipis luka karena baku hantam?“ tanya Jay khawatir. Ia meminta salah satu pegawai klub memberikan kotak obat untuk Biya.“Yoi, mereka main keroyokan. Mana badannya gede-gede, awas aja ketemu mereka lagi gue masukin ke penjara itu preman.“ Biya berdecak kesal mengingat wajah-wajah tengil perampok tadi.“Udah, luka Lo kudu dibersihkan. Gue bisa dipecat sama Pak Mahesa kalau biarin Lo luka-luka kayak gini,“ Jay mengomelinya.“Aawwhhh, pelan-p
Mama Risna terlihat mondar mandir di dalam kamarnya, ia resah. Seperti apa wanita yang dipacari oleh Biya, ia tidak menyangka Biya bisa tertarik dengan wanita malam.“Ma, jangan Kau mondar-mandir kayak setrikaan begitu, capek Papa lihatnya,“ Papa Esa menegurnya.“Ish, Papa ini juga tenang-tenang saja. Dipikirkan dong anaknya!“ Risna mengomel.“Dipikirkan bagaimana, anak sudah besar ya sudah. Tinggal diawasi, diingatkan kalau salah. Apalagi?“ tanya Papa Esa dengan nada datar seperti biasanya.“Itu perempuan juga siapa yang dipacari Pa, udah diajak kemana-mana sama Biya. Ini gak bisa, gak bisa!“ Mama Risna terlihat sibuk menghubungi seseorang melalui ponselnya.“Kita undang ke rumah kalau memang Mama penasaran. Tidak seperti itu caranya,“ tegur Papa Esa.“Ide bagus, Mama mau hubungi Biya untuk aj
Biya berangkat ke kantor seperti biasanya, ada beberapa dokumen yang harus ditandatangani dan selesaikan sebelum menjemput Adya siang nanti.“Jay, gak ada jadwal ketemu klien kan?“ tanya Biya memastikan. Ia sudah duduk di kursi kebesarannya menyesap kopi hitam favoritnya.“Sudah dikosongkan, hari ini free. Khusus untuk agenda mempertemukan Bu Risna dan yayang Adya,“ jawab Jay meledek Biya.“Lagak Lo, udah bosan ikut gue Lo?“ Biya berkata sinis kepada Jay yang belakangan sudah lebih berani membantahnya. Namun, Biya paham betul alasan Jay sehingga ia tidak bisa memarahinya.“Jangan marah-marah dulu, mau dipesankan burger apa yang lain? Mumpung masih ada waktu,“ Jay menawarkan sarapan lagi kepada Biya karena ia tahu, sarapannya tadi di rumah Biya kurang menikmati.“Kayak biasanya aja, pesenin yang seger-seger deh. Biar adem otak
Setelah Adya menikmati makan malam dengan orang tua Biya, ia sempat berbincang sebentar di ruang tengah. Papa Esa dan Mama Risna hanya bertanya hal-hal umum untuk menghindari suasana tidak enak. Tepat pukul sembilan malam, Biya mengantar gadis itu kembali ke rumah kost nya.“Makasih Kak, Adya masuk dulu.“ Gadis itu berpamitan masuk ke dalam rumah kost. Biya mengantarkan gadis itu pulang dengan hati gembira.“Istirahat, jangan drakor terus.“ Biya menyandarkan tubuhnya di badan mobilnya untuk memastikan gadis pujaannya masuk ke dalam kamarnya. Ia cukup melihat dari kaca spion mobil kesayangannya untuk memastikan Adya masuk.Sementara itu, di kediaman Mahesa Dipta terjadi perbedaan pendapat antara Papa Esa dan Mama Risna.“Papa yakin? Mama masih belum percaya kalau Biya beneran cinta sama gadis itu. Bisa jadi, Biya hanya dimanfaatkan Pa!“ Mama Risna sedikit menaikkan