Biya mengajaknya ke sebuah toko kosmetik tempat ia biasa mentraktir wanita-wanitanya. Biya meminta Adya untuk membeli perlengkapan makeup yang ia butuhkan.
“Kak Biya, disini bermerk semua. Aku mana cukup uangku,“ bisik Adya polos.
“Bego, gue ajak kesini ya gue yang bayar Adya. Udah sana!“ Biya setengah mengusirnya. Ia meminta salah satu pegawai untuk membantu Adya memilih apa yang cocok untuknya.
“Galak pisan, keluar duit gak pake mikir. Memang ini mall punya bapak moyangnya apa!“ gerutu Adya yang kebetulan di dengar oleh pegawai yang membantunya.
“Maaf Dek, Pak Biya memang pemilik mall ini. Saran saya hati-hati kalau bicara, baik-baikin deh.“ Pegawai tersebut menyodorkan salah satu warna terbaru cushion merk Korea.
“Serius Mbak?“ tanya Adya penasaran.
“Betul, saya kerja disini sudah hampir sepuluh tahun. Tadinya pemiliknya almarhum kakeknya Pak Biya.“
“Hey, jangan ngerumpi. Belanja yang bener!“ Biya menaikkan suaranya. Ia kesal melihat Adya berbincang dengan pegawai toko bukannya sibuk berbelanja.
“Sabar Kak, ini lagi pilih-pilih.“ Zana berkilah. Ia mengambil cushion yang tadi dipilihnya.
“Beli yang lain sekalian, ketemu saya gak boleh pucat kayak mayat hidup kamu,“ Biya mengomel.
“Astaga, maafkan hamba mu ini Tuhan!“ Adya mengelus dadanya kesal.
“Dek, beli ini sekalian. Bagus tahu, mumpung ada yang bayarin,“ bisik pegawai toko tersebut memprovokasi Adya.
“Saya gak bisa pakai itu Mbak, yang lain saja,“ tolak Adya.
“Ya udah, remover ini bagus buat bersihin make-up. Kamu butuh lho,“ tawarnya lagi.
“Nah, kalau ini saya butuh. Ambilkan dua Mbak, sama cushion nya sekalian yang isi ulang,“ kata Adya sambil mencoba lipstik.
Adya berlari kecil menghampiri Biya yang tengah sibuk dengan ponselnya, ia mengatakan jika belanjanya sudah selesai.
“Oke, kita bayar dulu.“ Biya berdiri dari duduknya dan menuju ke kasir.
Setelah membayar, Adya dan Biya berjalan-jalan di dalam mall. Adya yang sebenarnya kurang nyaman berlama-lama dekat dengan Biya berusaha menghargai pria itu.
“Kak, itu tadi belanjaan banyak lho,“ kata Adya khawatir. Ia sempat melihat nominal yang harus dibayar Biya waktu di kasir tadi.
“Gak masalah, itu hadiah buat kamu karena udah temani aku jalan-jalan.“ Biya tersenyum nakal. Tentu saja, senyuman ini hanya Biya yang paham. Adya masih belum mengerti maksud Biya.
“Serius?“ tanya Adya.
“Iya dong, kapan gue tidak serius dengan ucapan,“ kata Biya penuh keyakinan.
“Sudah berapa banyak wanita yang kakak rayu dengan cara ini?“ pertanyaan Adya yang sinis membuat Biya tertawa. Tidak, Biya tidak marah dengan pertanyaan bernada sindiran dari Adya. Gadis yang sebentar lagi berusia delapan belas tahun ini berhasil masuk ke hatinya sejak pertama kali Biya melihatnya.
“Jujur saja sudah ratusan, kenapa?“ jawab enteng Biya tanpa memikirkan akibat dari jawaban jujurnya.
“Gila, kakak gak malu ya bilang kayak gitu?“ tanya Adya lebih sinis lagi.
“Perempuan itu rumit kita jujur marah, kita bohong senang. Kalau ketahuan bohong marah, ah pusing! Beli minuman, haus gue.“ Biya menghampiri salah satu stand penjual minuman mangga kekinian. Dia membeli dua sekaligus untuk Adya juga.
“Ya tapi setidaknya bahasanya Kak, diperhalus,“ kata Adya protes.
“Sama aja beib, judulnya udah banyak wanita yang tidur sama gue, tinggal Lo mau apa tidak? Eh, tapi Lo harus mau!“ Biya segera meralat ucapannya dan mengatakan Adya harus mau dengannya membuat Adya terbahak.
“Dasar lalaki teu boga cedo aib sorangan di umbar-umbar, boa gelo,“ ("Laki-laki gak tahu malu. Aib sendiri dibuka-buka,“) Adya protes dengan kejujuran Biya yang menurutnya memalukan dan kelewat batas.
Biya terbahak dengan kekesalan Adya, ia merangkulnya namun ditepis pelan oleh gadis itu.
“Udah neh, mau beli apa lagi?“ tanya Biya.
“Cukup Kak, makasih.“ Adya menunjukkan paper bag kosmetik yang dibelikan Biya tadi.
“Ya udah, sekarang saatnya ikut gue,“ Biya mengajak Adya ke parkiran.
“Kak, kemana ini?“ tanya Adya curiga.
“Ke apartemen gue, kemana lagi memangnya? Gue ngantuk, pengen bobo.“ Dengan santai Biya masuk ke mobilnya. Mendengar ucapan itu, Adya seketika menghentikan langkahnya. Ia menyadari, mungkin menerima ajakan Biya jalan adalah keputusan yang salah.
Biya yang menyadari Adya tidak ikut masuk ke dalam mobil akhirnya keluar untuk menjemput gadis itu. Ia terheran, kenapa Adya terdiam di depan mobilnya.
“Kok diam aja ayo masuk Adya, udah malam ini,“ ajakan Biya ditolak oleh Adya. Ia menghindari genggaman tangan Biya yang mencoba mengajaknya masuk ke dalam mobil.
“Kak Biya ingkar janji!“ Adya mulai emosi.
“Lho, ingkar janji dari mana? Kan udah jalan-jalannya Beib,“ kilah Biya tak mengerti arti ucapan Adya.
Adya tengah sibuk menghubungi Jay, ia akan meminta pertanggungjawaban pria itu karena ia merasa tertipu.
“Kamu mau call siapa? Sudah masuk dulu, gak enak dilihat orang.“ Biya menuntun Adya perlahan masuk ke dalam mobil agar gadis itu tidak menolak.
“Kata Pak Jay cuma jalan-jalan, gak ada acara bobo bareng apalagi bermalam. Ini namanya penipuan!“ Adya mulai tidak terkontrol emosinya.
“Astaga Adya, jadi Lo beneran gak mau tidur sama gue? Alasan Lo apa? Coba jelaskan ke gue?“ Biya sudah tidak sabar dengan penolakannya.
“Pertama, saya gak bisa dan kedua saya gak suka!“ Adya terisak. Tangannya bergetar hebat ketakutan.
“Tuhan, kayak gue ini mau perkosa anak orang! Sudah dong nangisnya, gue anter pulang deh. Tapi udahan nangisnya, oke?“ tawaran Biya diiyakan oleh Adya. Isakan kecilnya mulai menghilang. Gadis itu lebih tenang namun tidak berani memandang Biya. Sesekali ia mencoba mencuri pandang namun yang kedua kalinya tertangkap basah oleh Biya.
“Kalau mau lihat wajah ganteng gue gak usah malu-malu. Lihat ya lihat aja, gak usah malu tapi mau!“ Goda Biya yang membuatnya menangis kembali.
“Astaga, salah lagi gue. Udah diem, bentar lagi sampai kost kamu neh,“ kata Biya berusaha menenangkan Adya yang kembali emosional.
Adya terdiam dan melihat keluar jendela mobil, benar saja. Sebentar lagi, ia sudah sampai di kos tempat ia tinggal. Ia menghela nafasnya lega karena Biya tidak membohonginya.
“Segitunya Lo nolak gue, jangan panggil Biya jika gak bisa bikin Lo blingsatan nyariin gue.“ Biya berjanji dalam hati, bagaimanapun caranya ia akan menaklukkan Adya yang terang-terangan menolaknya.
“Sudah sampai Kak, makasih.“ Adya bergegas turun dari mobil. Namun cekalan tangan Biya membuatnya berhenti.
“Paper bag nya jangan lupa, gue mau Lo dandan yang cantik. Sorry kalau gue bikin Lo takut,“ kata Biya. Secepat kilat ia mencium kening gadis itu. Adya bahkan hampir tidak bisa bergerak. Untuk pertama kalinya ada pria yang menciumnya. Wajahnya merona karena malu. Secepatnya Adya mencoba menguasai diri agar tidak terlihat di depan Biya.
“Makasih Kak.“ Adya turun dari mobil dengan memegangi keningnya, bekas ciuman dari Biya membuatnya tersipu-sipu.
Biya memperhatikan Adya masuk ke dalam rumah kos-kosan tersebut, setelah memastikan wanita itu masuk, Biya meninggalkan tempat itu.
Adya masuk ke kamarnya terburu-buru, jantungnya berdegup kencang setelah mendapatkan ciuman dari Biya. Ia menolak ajakan bermalam Biya karena sudah janjinya kepada sang Ibu untuk menjaga kehormatannya. Satu-satunya harta berharga yang ia miliki untuk dipersembahkan kepada suaminya kelak.
Biya yang sudah dalam perjalanan pulang ke apartemen menghubungi Jay, pria itu harus bertanggung jawab atas penolakan Adya kepadanya. Biya kesal, kenapa Jay tidak menjelaskan maksud ajakan Biya yang sebenarnya. “Jay, Lo ngomong ke Adya gimana sih?“ Biya sudah duduk di sofa ruang tamu apartemen Jay. Ia menahan kekesalannya karena Adya benar-benar tidak mau bermalam dengannya. “Kan gue bilang Bos, ajak jalan-jalan. Kenalan dulu, jangan buru-buru diajak bobo bareng,“ kata Jay menjelaskan. “Astaga, pantesan dia nolak gue ajak ke apartemen!“ Biya berdecak kesal. Ia memandang Jay marah. “Pelan-pelan Bos, Adya bukan tipikal cewek seperti Bella atau Chyntia. Sabar, itu kalau mau dapetin dia. Gue tahu Lo suka beneran sama itu cewek,“ Jay berusaha membujuk Biya agar meredam emosinya. “Iya, gue memang suka, tapi itu cewek jual mahal Jay. Dipegang tangan doang neh, gak mau, gimana
Pagi ini Bella yang sudah mandi akhirnya berpamitan pulang kepada Biya, walaupun sudah bermalam dengan wanita lain tak bisa membuat Biya melupakan bayang-bayang Adya dalam pikirannya. Di depan televisi, ia berdecak kesal karena pikirannya tentang Adya tidak bisa ia hindari. “Punya ilmu pelet apa sih tu cewek, astaga gue bisa gila kalau begini caranya.“ Biya mengomel sendiri. Weekend kali ini adalah weekend yang menyebalkan baginya. Ia mengirimkan pesan singkat kepada Jay untuk memintanya datang. Dan secepat kilat pria itu sudah berada di hadapannya. Tak berselang lama, Biya sedang menyantap sarapan yang dibawa Jay, karena yakin jika majikannya itu belum makan. “Jadi apa solusimu Jay?“ tanya Biya setela
Biya duduk diantara teman-temannya, luka kecil di pelipisnya bahkan tidak dipedulikan. Semua memandang heran Biya yang senyam-senyum sendiri sambil meneguk minumannya.“Lo dari mana?“ tanya Aldy kepada Biya.“Ketemu Adya, eh bantuin itu cewek urus dokumen identitas. Habis dirampok dia, untung gue gak buru-buru pergi dari sana,“ kata Biya dengan bangga.“Itu pelipis luka karena baku hantam?“ tanya Jay khawatir. Ia meminta salah satu pegawai klub memberikan kotak obat untuk Biya.“Yoi, mereka main keroyokan. Mana badannya gede-gede, awas aja ketemu mereka lagi gue masukin ke penjara itu preman.“ Biya berdecak kesal mengingat wajah-wajah tengil perampok tadi.“Udah, luka Lo kudu dibersihkan. Gue bisa dipecat sama Pak Mahesa kalau biarin Lo luka-luka kayak gini,“ Jay mengomelinya.“Aawwhhh, pelan-p
Mama Risna terlihat mondar mandir di dalam kamarnya, ia resah. Seperti apa wanita yang dipacari oleh Biya, ia tidak menyangka Biya bisa tertarik dengan wanita malam.“Ma, jangan Kau mondar-mandir kayak setrikaan begitu, capek Papa lihatnya,“ Papa Esa menegurnya.“Ish, Papa ini juga tenang-tenang saja. Dipikirkan dong anaknya!“ Risna mengomel.“Dipikirkan bagaimana, anak sudah besar ya sudah. Tinggal diawasi, diingatkan kalau salah. Apalagi?“ tanya Papa Esa dengan nada datar seperti biasanya.“Itu perempuan juga siapa yang dipacari Pa, udah diajak kemana-mana sama Biya. Ini gak bisa, gak bisa!“ Mama Risna terlihat sibuk menghubungi seseorang melalui ponselnya.“Kita undang ke rumah kalau memang Mama penasaran. Tidak seperti itu caranya,“ tegur Papa Esa.“Ide bagus, Mama mau hubungi Biya untuk aj
Biya berangkat ke kantor seperti biasanya, ada beberapa dokumen yang harus ditandatangani dan selesaikan sebelum menjemput Adya siang nanti.“Jay, gak ada jadwal ketemu klien kan?“ tanya Biya memastikan. Ia sudah duduk di kursi kebesarannya menyesap kopi hitam favoritnya.“Sudah dikosongkan, hari ini free. Khusus untuk agenda mempertemukan Bu Risna dan yayang Adya,“ jawab Jay meledek Biya.“Lagak Lo, udah bosan ikut gue Lo?“ Biya berkata sinis kepada Jay yang belakangan sudah lebih berani membantahnya. Namun, Biya paham betul alasan Jay sehingga ia tidak bisa memarahinya.“Jangan marah-marah dulu, mau dipesankan burger apa yang lain? Mumpung masih ada waktu,“ Jay menawarkan sarapan lagi kepada Biya karena ia tahu, sarapannya tadi di rumah Biya kurang menikmati.“Kayak biasanya aja, pesenin yang seger-seger deh. Biar adem otak
Setelah Adya menikmati makan malam dengan orang tua Biya, ia sempat berbincang sebentar di ruang tengah. Papa Esa dan Mama Risna hanya bertanya hal-hal umum untuk menghindari suasana tidak enak. Tepat pukul sembilan malam, Biya mengantar gadis itu kembali ke rumah kost nya.“Makasih Kak, Adya masuk dulu.“ Gadis itu berpamitan masuk ke dalam rumah kost. Biya mengantarkan gadis itu pulang dengan hati gembira.“Istirahat, jangan drakor terus.“ Biya menyandarkan tubuhnya di badan mobilnya untuk memastikan gadis pujaannya masuk ke dalam kamarnya. Ia cukup melihat dari kaca spion mobil kesayangannya untuk memastikan Adya masuk.Sementara itu, di kediaman Mahesa Dipta terjadi perbedaan pendapat antara Papa Esa dan Mama Risna.“Papa yakin? Mama masih belum percaya kalau Biya beneran cinta sama gadis itu. Bisa jadi, Biya hanya dimanfaatkan Pa!“ Mama Risna sedikit menaikkan
Denting suara gelas crystal goblet, arthur coctail, dan sejenisnya coba Adya tata sepelan dan sehati-hati mungkin pada tempatnya. Pekerjaan yang seperti terlihat sepele, hanya menata gelas, tapi sebenarnya beresiko tinggi. Setiap kali melakukan rutinitas paginya itu, Adya selalu selipkan doa dan wajah ibunya akan muncul dalam benak dan hatinya. Wajah pucat dan senyuman tulus seorang ibu yang membuat seorang Adya selalu berhati-hati melakukan pekerjaannya. Harga gelas-gelas itu bisa melebihi gajinya selama setahun, jadi sebisa mungkin Adya tak memecahkannya, ataupun hanya meretakkannya. Memang benar pikir Adya, kalau hati manusia seperti layaknya gelas-gelas itu, bila tidak di jaga dan di perlakukan dengan sepenuh jiwa akan mudah retak bahkan pecah.Adya menatap wajahnya pada pantulan gelas-gelas kristal itu. Senyuman terlukis di sana. Kebersamaan bersama Abiya semalam tiba-tiba terlinta
Abbiya bergegas pulang, janji dengan teman-temannya ke klub malam sudah dua kali ia batalkan karena kesibukannya akhir-akhir ini. Persiapan peralihan jabatan dari Papanya sudah selesai, sehingga ia bisa santai sejenak berkumpul dengan Geng Playboy. “Bi, makan malam dirumah?“ Mama Risna menghubunginya melalui telepon. “Iya Ma, ini Biya udah dijalan. Papa udah pulang?“ jawab Biya. “Sudah, Papamu lagi mandi. Ya sudah, Mama tunggu sayang!“ “Oke, bye Ma.“ jawab Biya sebelum panggilan telepon berakhir. Biya sangat mencintai keluarganya terutama sang Mama. Walaupun termasuk fakeboy, dia tidak pernah berbuat kasar kepada teman-teman wanitanya. Yah, hanya