Prisha ingin ke depan, mencari neneknya. Otomatis, ia melewati kamar ibunya yang terbuka, hanya dihalangi dua gorden. Dari sela gorden, ia melihat bayangan sepasang manusia berhadapan, berdebat dengan suara rendah.
Untuk alasan yang sukar dimengerti, ia merasa tak nyaman melihat ibunya dan Gavin hanya berdua di satu ruangan. Betapa tidak pantas setelah apa yang dilakukan ibu terhadap dirinya.
Prisha tak sanggup menoleransinya. Jiwa pemberontaknya meronta-ronta. Gadis itu langsung menerobos masuk.
"Mami, tahu dirilah!" desisnya, tajam.
Nalini terbelalak. Sementara Gavin mengernyit.
"Kalian sudah terhalang bersama! Dan itu adalah keputusan kalian sendiri! Jadi, berkomitmenlah terhadap keputusan tersebut!"
Nalini terkejut dan marah. "Sha, kasar betul mulutmu!"
"Kasar?" Prisha menatap sinis. "Setelah apa yang Mami lakukan padaku, Mami mau nambah dosa baru?"
"Sha, Mami dan Om Gavin hanya ingin menyelesaikan masalah di antara kami!"
"Silakan! Tapi tolong, jangan berdua-duaan begini! Dulu Sha nggak berani negur Mami. Tapi sekarang, tidak lagi. Mami udah janji tobat! Jadi, jaga muruah Mami! Bayangin kalo ada orang tau Mami dan Om Gavin berduaan. Apa isi kepala mereka? Mengingat track record Mami--"
"Prisha Lavani!" bentak Nalini, murka. "Kamu mencurigai Mami?"
"Justru Sha mengingatkan Mami!" debat Prisha, dengan berani. "Dokter Gavin Devandra sudah nikahin Sha! Terima konsekuensinya!"
Nalini syok. Tangannya di luar sadar bergerak melayangkan tamparan, tapi tertahan di udara. Ada tangan kokoh yang menghalanginya.
Nalini terbelalak tak percaya, menyaksikan Gavin mencegahnya. Pria muda berusia 32 tahun yang berselisih tujuh tahun di bawahnya itu tampak menatap dingin.
"Dia benar. Kamu yang membiarkan semua ini terjadi. Mulai sekarang, jangan mengajakku bicara lagi!"
"Vin ...." Nalini mendesah kaget melihat Gavin mencampakkan tangannya, lalu menarik pinggang Prisha secara atraktif.
Ada rasa tak rela bersarang di hati wanita itu. Ia mengejar Gavin yang menyeret Prisha keluar kamar.
"Maafkan aku, Vin. Kumohon, aku belum selesai bicara. Vin, ada sesuatu yang ingin kusampaikan!"
"Sudah terlambat!" bentak Gavin tatkala tiba di depan kamar pengantin.
"Kita masih bisa bersama, Vin!"
"Nalini, kamu kejam! Kamu sudah tahu itu tak mungkin!" Mata Gavin memancarkan luka. Didorongnya Prisha masuk kamar, lantas ia memandang Nalini sejenak sambil tersenyum miring.
"Putrimu akan kubuat menderita sampai ia merasa lebih baik mati daripada hidup!" semburnya.
"Vin!" Nalini menjerit. Bendungan air matanya jebol.
Gavin membanting pintu tepat di depan hidungnya.
***
Gavin tersandar ke pintu sambil menyugar rambut. Rahangnya membesi. Dua geraham saling beradu, menghasilkan kedutan pertanda frustrasi sekaligus ketidakberdayaan.
Sementara Prisha terduduk di kursi meja rias. Kerudung instan pink membingkai paras bulat telurnya yang pucat pasi.
Keheningan di antara mereka terasa mencekik.
"Harusnya kamu menolak!" desis Gavin setelah lima menit yang menyiksa. Merah matanya saat memandang Prisha. Seolah-olah mengandung api berkobar yang siap membakar gadis itu.
"Om sendiri, kenapa berubah pikiran?" debat Prisha, tidak terima.
"Semua ini tak akan terjadi kalo kamu tidak menerima! Kamu, kan, bisa kabur, atau pura-pura sakit? Atau beralasan apa kek supaya pernikahan ini batal!"
"Kenapa jadi saya yang salah? Om yang berakad nikah, punya kekuatan lebih besar untuk membatalkan pernikahan ini! Tapi Om sendiri yang maksa saya tanda tangan!"
"Karena saya terpaksa!"
"Om pengecut!" tuding Prisha. "Om nggak bisa perjuangin ibu saya! Dasar lelaki lemah!" Tekanan emosi yang kuat, meningkatkan intonasi suara Prisha.
"Apa?" Suara Gavin mengguntur. Murka. Tak seorang pun berani mengejeknya sekasar itu. Jangankan mengejek, membantah ucapannya saja sudah cukup jadi alasan baginya untuk membuat orang itu menderita.
"Pria sejati akan memperjuangkan cintanya! Tapi Om malah mundur dan menurut kayak anak ayam ngikutin induknya! Chicken!"
Gavin speechless. Marah sekaligus terpukul. Ingin membantah, tapi kenyataannya betul. Ia memang tak sanggup memperjuangkan cintanya. Namun, ego dirinya tak sudi disalahkan. Rasa kecewa terhadap keputusan sepihak Nalini, ditambah frustrasi gara-gara tekanan ibunya, mendorong Gavin mengkambinghitamkan Prisha.
"Kamu yang lemah!" geramnya sambil mendekat. "Jujur saja! Ini hanya taktik kamu, kan? Kamu yang membujuk Nalini agar mundur, sebab dari awal kamu menyukai saya!"
Membulat sepasang mata kehijauan milik Prisha. Andai ada pisau di tangan, mungkin sudah disambitnya batok kepala pria muda di depannya itu.
"Sadar diri, Om! Om udah tua, bukan level saya!" serangnya, menutupi gemuruh hati yang memekakkan indra pendengaran batinnya.
Gavin muntab. Ia melompat maju, lalu dengan kasar menekan sepasang bahu Prisha ke dinding.
"Kamu penghalang hubungan saya dan ibumu! Kamulah yang membuatnya menderita! Apa kamu belum sadar?"
Sepasang mata indah Prisha berair. Rasa bersalah yang besar terkumpul di hatinya. Sesak. Tak bisa mengelak tudingan itu. Terbayang air mata ibunya saat memaksa dirinya patuh. Apa yang lebih dilematis dari ini? Prisha ingin menjerit atas ketidakadilan yang menimpanya.
"Om yang membuat ibu saya menderita!" bantahnya keras. "Lepas!" Gadis itu mendorong dada Gavin sekuat tenaga.
Pria itu terjajar mundur tiga langkah. Ekspresi terkejut muncul di wajahnya. Ternyata Prisha tak selemah yang terlihat. Tenaga gadis itu cukup kuat.
"Jangan berani-berani melakukan kekerasan terhadap saya! Om marah, saya lebih marah! Pernikahan ini menghancurkan hidup saya!"
"Diam!" bentak Gavin. "Aku membencimu sebesar aku mencintai ibumu!" Setajam beling, tatapan mata abu-abunya menyambar paras Prisha.
Prisha tersentak nyeri, bagai tertusuk pisau tak kasatmata. "Bukan mauku menggantikannya."
"Kamu hanya bonekaku! Hari ini juga kemasi barang-barangmu! Kita kembali ke kota!"
***
Sepanjang jalan, Prisha dan Gavin hanya membisu. Masing-masing terbenam dalam alam pikirannya sendiri.
Gavin menyetir dengan tatapan fokus ke jalanan sebakda Maghrib. Hanya sekitar dua jam waktu tempuh dari kampung Nenek Sarah di daerah Sumedang menuju Jakarta, melewati jalan tol. Namun, terasa berabad-abad lamanya bagi pria muda ini.
Berada di sisi Prisha adalah siksaan terbesar baginya. Gadis yang digadang-gadang sebagai calon putri tiri, tiba-tiba menjadi istri.
Nalini pernah berkisah tentang putrinya yang tak mendapat kasih sayang seorang ayah sejak dilahirkan. Ayah Prisha seorang gembong mafia yang tertangkap tangan saat melakukan transaksi narkoba. Karena kesalahannya terlalu berat dan terjadi berkali-kali, maka ayah Prisha dijatuhi hukuman mati. Kala itu, Nalini mengandung empat bulan.
Sebuah kisah menyedihkan dan mengharukan. Jika kebetulan berjumpa Prisha di rumah Nalini, Gavin selalu menatapnya iba dan berjanji akan mengurus dan memperhatikan gadis yatim itu seperti anak sendiri.
Dapat dibayangkan betapa rusak perasaannya ketika dipaksa mengubah pandangannya terhadap Prisha. Ia tak tahu bagaimana harus bersikap. Disadarinya, kemarahan dan rasa frustrasi yang ia lampiaskan kepada gadis itu, sesungguhnya tidak tepat. Akan tetapi, Gavin harus melakukannya supaya akalnya tetap waras. Ia butuh waktu untuk menerima kenyataan. Selama proses itu, ia harus menjauhkan Prisha terlebih dahulu.
Sementara Prisha, terjebak di lamunan masa lalu. Kepalanya dihadapkan ke jalanan. Seolah-olah menikmati pemandangan sawah, ladang, dan perumahan yang dilewati, padahal tatapannya kosong.
Jalinan simpul kenangan delapan tahun silam terurai dan mengembang jernih di benaknya.
***
Bersambung
Dia baik dan hebat. Aku ingin seperti dirinya.Bisikan hati Prisha mengalun di alam khayali tatkala meninggalkan ruang poli umum puskesmas kecamatan. Usianya waktu itu baru 14 tahun dan belum pernah mengenal cinta pertama. Hatinya begitu gelisah. Antara senang, cemas, dan bingung. Jantung berdebar-debar setiap mengingat tatap mata, senyum, dan suara pak dokter. Ia hanya ingat namanya Gavin, berikut mata abu-abunya yang menawan dan menawarkan misteri. Namun, bukan semata itu yang membuatnya kagum, melainkan sikap pak dokter yang penuh perhatian dalam melakukan pemeriksaan. Jiwa gadisnya merasa tersanjung. Apalagi ketika teringat, dokter itu sebelumnya telah membalut luka dan menolongnya bangkit ketika jatuh dari sepeda. Sejak kecil, Prisha menyukai hal-hal yang berkaitan dengan medis. Hadiah mainan dokter-dokteran dari neneknya, saat ia berusia enam tahun, masih disimpannya sampai sekarang. Ketika menginjak kelas IV SD, Prisha didaulat sebagai dokter cilik di sekolah. Ia bertahan m
Melihat Prisha lambat merespon, perawat lainnya meraih ponsel korban, lalu menelepon nomor teratas yang terakhir dihubungi korban."Assalamualaykum, halo, dengan Bu Karina?" Sambil menelepon, si perawat mengulurkan tangan ke arah Prisha, meminta KTP. "Apakah Anda anggota keluarga saudara Gavin Davendra? Oh, putra Ibu, ya? Saya informasikan, putra Ibu mengalami kecelakaan di jalan raya, dan sekarang dalam perjalanan menuju rumah sakit provinsi!"Usai menelepon, si perawat mengembalikan ponsel dan KTP ke Prisha.Setibanya di IGD rumah sakit, korban langsung ditangani di zona kritis sesuai prinsip code blue. Prisha melaporkan kondisi pasien kepada dokter spesialis gawat darurat serta dokter spesialis anestesi. Dokter spesialis gawat darurat memutuskan pasien harus dioperasi cito atau segera, sebab lewat pemindaian CT Scan ditemukan pasien mengalami perdarahan di daerah epidural yang terletak antara tulang tengkorak dan lapisan duramater. Lapisan duramater sendiri merupakan lapisan terlu
Prisha bergerak maju. Namun, baru selangkah, ia terjeda. Ucapan Nalini berikutnya, membuat gadis itu tercengang."Saya yang menolong putra Anda. Andai bukan saya yang menemukan dan membawanya ke rumah sakit, putra Anda sudah tewas di tempat!""Bohong!" bantah Karina keras."Tak percaya? Tanya putri saya. Dia saksi matanya!" Nalini menarik lengan Prisha hingga gadis itu maju ke hadapan orang tua Gavin.Melebar sepasang mata Prisha, mengandung protes. Akan tetapi, Nalini menajamkan tatapannya, mengandung tekanan agar putrinya itu mengikuti permainannya.Hati bening Prisha yang sensitif mendeteksi kepanikan sang ibu. Agaknya, Nalini merasa terancam oleh ayah ibu Dokter Gavin. Nalurinya sebagai seorang anak yang ingin membela ibu, seketika bangkit. Apalagi ia hanya memiliki ibu, selain nenek, sebagai anggota keluarganya. Tentu saja Prisha tak ingin membiarkan ibunya terancam."Ibu saya yang menolong Dokter Gavin. Saya saksinya. Tapi kami tidak memaksa kalian untuk percaya. Itu tidak penti
Untuk pertama kali dalam hidup, wanita yang sangat berpengalaman menghadapi pria itu, terkesan menyaksikan sikap santun yang langka. Wajah tampan dan mata abu-abu Gavin yang eksotis, membuat Nalini tertantang menaklukkannya.Mudah ditebak, Nalini yang terampil berkomunikasi dan memiliki wawasan cukup luas, berhasil menarik perhatian Dokter Gavin. Pelan-pelan, ekspresi jijik yang sempat singgah di paras sang dokter menghilang. Tergantikan rasa terima kasih sekaligus kagum, iba, dan respek ketika Nalini menceritakan kisah hidupnya yang dramatis. "Saya berutang budi pada Anda. Izinkan saya membalasnya." Gavin meletakkan parcel di meja. "Katakan apa yang Anda inginkan. Saya akan berusaha memenuhinya."Nada suara Gavin terdengar mantap dan menjanjikan. Hati Nalini bergetar. Takjub dan serasa berada dalam mimpi. Baru kali ini ia menemukan pria yang bersedia memberi tanpa pamrih.Sementara Prisha hanya bungkam seribu bahasa. Ada tiga poin yang meresahkan jiwanya. Pertama, kebohongan yang
Dua pasang mata indah milik Hana dan Keyko bergulir ke kiri ke kanan mengikuti langkah Prisha yang mondar-mandir gelisah dari pintu depan kamar kos ke ranjang tempat mereka duduk.Hana Laili Najwa, yang berparas secantik boneka India, sampai menguap dua kali saking bosannya menanti Prisha bercerita. Sementara Keyko Syifa Nahdhia, si gadis blasteran melayu-Jepang, berkali-kali melirik jam dinding, untuk memastikan ia tak akan terlambat hadir ujian presentasi kasus pukul 10.00 WIB nanti.Prisha memang sengaja mengumpulkan dua sahabat karibnya itu di kamar, untuk dimintai pendapat. Namun, ia tak tahu harus mulai bercerita dari mana. Kejadian kemarin, berpindah naik turun sangat drastis, bagai roller coaster. Prisha sampai-sampai mengira, ia berada di alam mimpi atau delusi, saking depresinya.Tiba-tiba gadis itu berhenti. Hana dan Keyko menegakkan kepala dan punggung, siap menyimak. Akan tetapi, apa yang terjadi? Prisha malah mencubit-cubit lengannya sendiri berkali-kali. Hana dan Key
Prisha mengecek ulang bukti transfer di aplikasi. Tampak jelas nama Gavin Devandra tercantum sebagai pengirim.Bara emosi seketika memanaskan dada sang dara. Nomor asing tersebut lekas diteleponnya. Berkali-kali nada panggil, telepon tak kunjung terjawab. Prisha serasa ingin membanting ponsel saking merasa terhina. Ia menekan dada, lalu menggerung pelan, bagai singa betina terluka.Ternyata seperti ini rasanya ketika berada di puncak ketidak berdayaan. Ingin melawan dan menolak, tapi tidak mampu. Gadis itu tergesa-gesa menelepon ibunya."Mami beneran udah berhenti kerja?""Iya, Sayang. Berkat kamu. Gavin memang marah ke Mami, tapi hanya sebentar. Dia lelaki yang sangat baik.""Mami tau Om Gavin ngirimin Sha uang kuliah dan biaya hidup?""Tau. Gavin bilang ke Mami, kok. Mami juga bakal dikirimin saban bulan. Dia memenuhi janji, nggak akan menelantarkan Mami, apa pun yang terjadi.""Kenapa, Mi? Kenapa kalian nggak memperjuangkan saja hubungan kalian? Kalo tujuan Mami adalah uang, Mami
"Vin, ada para koas dan residen tingkat satu rotasi baru. Semuanya mau melapor sekaligus memperkenalkan diri. Mereka berasal dari lima kampus kedokteran. Ini data mereka." Reza, sahabat sekaligus asisten pribadi, merangkap dokter spesialis anestesi Gavin, meletakkan sebuah map cokelat ke meja.Tatapan malas, Gavin jatuhkan ke map di depannya. Lantas, dilambaikannya tangan dengan sikap bosan. "Bukan levelku. Tangani saja mereka." Reza berdeham, memperingatkan. "Elo kemaren nggak hadir launching program pendampingan dokter muda dan residen. Itu aja udah jadi catatan merah bagi dewan komisaris. Lo kemana, sih, tau-tau ngilang dua hari?"Kemaren gue stres, Bro, gegara nikahin cewek yang salah! Nyaris terlontar kalimat tersebut dari mulut Gavin. Beruntung ia lekas-lekas mengerem lidah. Bahaya jika si bawel Reza tahu statusnya. Sahabatnya yang satu itu paling tidak kuat menahan berita yang paling ditunggu-tunggunya. Berita apalagi kalau bukan tentang pernikahan Doktor dr. Gavin Devandr
"Prisha Lavani yang mana?" Dokter Reza mengamati dokter bimbingannya satu per satu. "Ferdi, Royyan, Hana, dan Keyko, harusnya dinas di ruang oka sentral dan rawat bedah. Tapi Dokter Gavin ngasih amanah ke saya. Jadi kalian ngikutin saya. Khusus Prisha, diminta dinas ke ruang oka sentral bedah. Yang namanya Prisha, acungkan tangan!"Tak ada yang menyahut perintah Dokter Reza. Keyko dan Hana saling lirik. Sementara Ferdi selaku ketua tim, mulai berkeringat dingin. "Nggak ada yang namanya Prisha?" Reza menatap tajam para koas dan residen bimbingannya. "Namanya ada di jadwal, tapi orangnya nggak ada?" Dokter spesialis anestesi itu mengangkat dagu dan menaikkan intonasi. Sok galak, meniru Gavin. "Siapa ketua kelompok koas dari FK Universitas Mutiara?""Sa-saya, Dok." Ferdi mengacungkan tangan. Takut-takut dan gemetar."Ke mana anggota timmu yang namanya Prisha Lavani?"Ferdi melirik Keyko dan Hana, meminta jawaban. Dua gadis itu malah memasang tampang bingung. Betapa tidak? Prisha awalnya