Prisha mengecek ulang bukti transfer di aplikasi. Tampak jelas nama Gavin Devandra tercantum sebagai pengirim.Bara emosi seketika memanaskan dada sang dara. Nomor asing tersebut lekas diteleponnya. Berkali-kali nada panggil, telepon tak kunjung terjawab. Prisha serasa ingin membanting ponsel saking merasa terhina. Ia menekan dada, lalu menggerung pelan, bagai singa betina terluka.Ternyata seperti ini rasanya ketika berada di puncak ketidak berdayaan. Ingin melawan dan menolak, tapi tidak mampu. Gadis itu tergesa-gesa menelepon ibunya."Mami beneran udah berhenti kerja?""Iya, Sayang. Berkat kamu. Gavin memang marah ke Mami, tapi hanya sebentar. Dia lelaki yang sangat baik.""Mami tau Om Gavin ngirimin Sha uang kuliah dan biaya hidup?""Tau. Gavin bilang ke Mami, kok. Mami juga bakal dikirimin saban bulan. Dia memenuhi janji, nggak akan menelantarkan Mami, apa pun yang terjadi.""Kenapa, Mi? Kenapa kalian nggak memperjuangkan saja hubungan kalian? Kalo tujuan Mami adalah uang, Mami
"Vin, ada para koas dan residen tingkat satu rotasi baru. Semuanya mau melapor sekaligus memperkenalkan diri. Mereka berasal dari lima kampus kedokteran. Ini data mereka." Reza, sahabat sekaligus asisten pribadi, merangkap dokter spesialis anestesi Gavin, meletakkan sebuah map cokelat ke meja.Tatapan malas, Gavin jatuhkan ke map di depannya. Lantas, dilambaikannya tangan dengan sikap bosan. "Bukan levelku. Tangani saja mereka." Reza berdeham, memperingatkan. "Elo kemaren nggak hadir launching program pendampingan dokter muda dan residen. Itu aja udah jadi catatan merah bagi dewan komisaris. Lo kemana, sih, tau-tau ngilang dua hari?"Kemaren gue stres, Bro, gegara nikahin cewek yang salah! Nyaris terlontar kalimat tersebut dari mulut Gavin. Beruntung ia lekas-lekas mengerem lidah. Bahaya jika si bawel Reza tahu statusnya. Sahabatnya yang satu itu paling tidak kuat menahan berita yang paling ditunggu-tunggunya. Berita apalagi kalau bukan tentang pernikahan Doktor dr. Gavin Devandr
"Prisha Lavani yang mana?" Dokter Reza mengamati dokter bimbingannya satu per satu. "Ferdi, Royyan, Hana, dan Keyko, harusnya dinas di ruang oka sentral dan rawat bedah. Tapi Dokter Gavin ngasih amanah ke saya. Jadi kalian ngikutin saya. Khusus Prisha, diminta dinas ke ruang oka sentral bedah. Yang namanya Prisha, acungkan tangan!"Tak ada yang menyahut perintah Dokter Reza. Keyko dan Hana saling lirik. Sementara Ferdi selaku ketua tim, mulai berkeringat dingin. "Nggak ada yang namanya Prisha?" Reza menatap tajam para koas dan residen bimbingannya. "Namanya ada di jadwal, tapi orangnya nggak ada?" Dokter spesialis anestesi itu mengangkat dagu dan menaikkan intonasi. Sok galak, meniru Gavin. "Siapa ketua kelompok koas dari FK Universitas Mutiara?""Sa-saya, Dok." Ferdi mengacungkan tangan. Takut-takut dan gemetar."Ke mana anggota timmu yang namanya Prisha Lavani?"Ferdi melirik Keyko dan Hana, meminta jawaban. Dua gadis itu malah memasang tampang bingung. Betapa tidak? Prisha awalnya
Prisha masih terjebak perasaan rumit saat berdiri di depan instalasi bedah sentral rumah sakit Devandra. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap tatkala dugaan menjadi kenyataan. Sebelah hatinya ingin mengingkari. Akan lebih baik kalau Dokter Gavin yang ini bukan yang pernah dikenalnya dulu. Memusuhinya bakal lebih mudah. Sebelah hatinya yang lain, berdenyut bahagia. Akhirnya ia menemukan dokter idola yang selama bertahun-tahun menjadi motivasinya. Kebahagiaan tersebut membuatnya merasa bersalah. Muncul setitik sesal. Kepastian yang didapat, menjerumuskan hatinya ke lubang harapan yang dulu sempat ditimbun. Harapan tersebut, terlalu mengerikan. Begitu terkuak, benih-benih rasa masa lalu dengan cepat tersemai kembali, tak terkendali. Prisha takut sekali mengkhianati ibunya jika ia biarkan rasa itu tumbuh berbunga. Dihadapkannya seluruh tubuh ke kaca tebal transparan yang menjadi pintu gerbang instalasi bedah sentral DIMS Hospital. Tampak bayangan sosok gadis berkerudung dan gamis, b
"Pantes lo kabur, Sha." Hana menunjukkan ekspresi prihatin malam itu, setelah mendengar masalah Prisha.Prisha yang tak kuat menahan gundah, akhirnya menumpahkan dilemanya kepada dua bestie-nya saat rehat di kamar Keyko, markas besar mereka bertiga.Kamar Keyko paling besar sekaligus paling nyaman di kos-an tersebut. Isi kamarnya berdekorasi mewah mirip kamar hotel bintang tujuh. Maklum, Keyko dari kalangan the have. Bapaknya pejabat teras dinas perdagangan dan abangnya dokter spesialis bedah umum di rumah sakit Mutiara. Sebenarnya Keyko mampu mengontrak rumah sendirian. Berhubung ia, Prisha, dan Hana bersahabat karib sejak maba, maka ia rela mengikuti mereka kos di rumah binaan. Hanya saja sayangnya, Keyko mempertahankan life style-nya dan emoh diajak ikut kajian Islam. "Kayaknya ada rahasia yang dipendam emak lo dan Dokter Gavin. Makanya mereka gagalin pernikahan. Elo musti cari tau, Sha." Keyko berkata sambil berkaca dan mengoleskan krim malam di kulit wajahnya yang kuning langsa
Prisha telah menimba ilmu agama sebagai panduan hidup, dari asatidz dan ustadzat di pondok pesantren, berlanjut kajian di lembaga dakwah kampus. Ia mengerti, harusnya, dirinya selalu berjuang melangitkan tujuan meraih ridha Allah. Sungguh tidak mudah. Kadang niat tergelincir atau caranya salah. Padahal syarat kebaikan diterima Allah, adalah niat ikhlas dan caranya wajib sesuai dengan apa yang disukai Allah dan Rasul-Nya. Jika dua hal tersebut tidak lengkap, maka amal perbuatan pun menjadi sia-sia.Tatkala takdir tak diharapkan jatuh melingkupi diri, sabar menerimanya adalah pilihan terbaik.Sayang seribu sayang, tatkala frustrasi menguasai jiwa, pilihan terbaik tak diambil Prisha. Semua jadi terasa rumit. Sulit baginya untuk kembali pada tujuan hidup yang hakiki. Tak sudi ia jadi boneka bagi maminya, Gavin, atau keluarga Gavin. Rasa malu dan marah, ia tekan sampai ke dasar hati. Ia merasa berhak bahagia. Gadis penyuka pink itu bertekad meraih bahagia dengan caranya sendiri.Hari it
Dengan tubuh setinggi 180 cm, Gavin memiliki kaki panjang yang sekali ayun menyamai dua langkah kaki Prisha. Dalam hitungan dua menit, ia telah tiba di depan ruangan semi steril areal bedah jantung. Pintu ruangan yang mengandung sensor panas tubuh, otomatis terbuka.Tatkala Prisha tiba, dokter spesialis bedah jantung itu sudah masuk dan pintu terkatup otomatis.Prisha hendak menyusul, tapi tertahan saat membaca info di panel digital pintu yang mengumumkan bahwa dua puluh menit lagi akan berlangsung tiga operasi bedah jantung serentak di tiga ruangan berbeda. Masing-masing kasus yang ditangani, dicantumkan di panel tersebut.Ia tak senaif itu untuk mengganggu operasi hanya demi membujuk Dokter Gavin agar mengubah keputusannya.Langkah Prisha gontai, wajahnya kuyu, dan bahunya lunglai saat meninggalkan instalasi bedah. Stetoskop pink bertuliskan namanya, ia timang-timang sambil meneteskan air mata frustrasi, sebelum dicampakkan sekehendak hati, tanpa memperhatikan lagi letak jatuhnya.Se
Operasi bedah jantung yang menegangkan berlangsung selama tiga jam. Selepas itu, urat-urat leher Gavin terasa kaku. Ia meregangkan tubuh di ruang pribadinya usai membersihkan diri. "Vin!" Reza melongok dari pintu yang terkuak sedikit."Masuk!" Ekspresi Gavin acuh tak acuh.Reza, dokter spesialis anestesi berparas tampan eksotis itu masuk. Pakaian bedahnya telah berganti kemeja kasual, persis waktu datang sebelum melakukan operasi. Tatapan Gavin jatuh ke stetoskop pink di tangan sahabatnya. "Sejak kapan lo demen nge-pink?" ejeknya sambil mencibir. "Bukan punya gue. Tapi punya cewek gebetan gue." Reza mengangkat stetoskop pink di tangannya. "Gue nemuin ini persis dekat selokan di depan gerbang sentral bedah. Mungkin dia gak sengaja jatuhin." "Oh gitu." Gavin menunjukkan ekspresi datar. Ia melirik jam dinding. Pukul 23.30. "Nggak ada jadwal operasi lagi buat kita. Ayo, temenin gue nengok satu pasien.""Oke," sahut Reza, sambil mengiringi langkah Gavin keluar. "Oh ya, tadi gue papasa