“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Gavin Davendra bin Tibra Devandra dengan putri saya yang bernama Prisha Lavani binti Egon Braun, dengan maskawinnya berupa kalung emas seberat 20 gram, tunai.”Penglihatan Gavin berkabut kala menjawab ijab. Kesadarannya mengawang-awang. “Saya terima nikah dan kawinnya Nalini---“Penghulu berdeham. Salah satu saksi menepuk bahu pemuda itu. “Mas Gavin, salah nyebut nama.”Gavin tersentak, lalu mengulangi kabulnya, setengah linglung. Kalimat kedua, tetap salah ucap. Saksi menggeleng pelan dan kembali menegur. Lafaz kabul yang ketiga, tatapan Gavin menerawang. Masih menyebut Nalini.Sesaat, pikirannya terbang pada kejadian satu jam sebelumnya. Menjelang akad, mamanya tiba-tiba mengancam bunuh diri. “Mama akan bunuh diri kalo kamu tetap nekat menikahi mantan PSK itu!” Wajah Karina--mamanya--menyiratkan ancaman. Ujung pisau di tangannya, telah menempel pada leher. Gavin terbeliak. Pucat pasi. Lebih dari apa pun di dunia, ia sangat menyayang
Empat jam sebelumnya. Belum tuntas Prisha berdoa selepas salat Subuh, suara ketukan di pintu terdengar bertalu-talu. Gegas gadis berusia 22 tahun itu bangkit dan membuka pintu. Hari itu adalah hari istimewa yang sangat dinanti-nanti ibunya. Mereka pasti bakal sibuk. Para tetangga di desa sudah sejak kemarin gotong royong membantu masak-memasak dan persiapan lainnya. Konon, pernikahan pertama ibunya berlangsung siri dan tak dihadiri Sarah, neneknya. Itulah sebabnya, di pernikahan kedua ibunya kali ini, meski digelar sederhana, neneknya tetap ingin menyiapkan walimah terbaik. Jadi Prisha pikir, wajar jika pagi-pagi pintu kamarnya sudah digedor. Mungkin Nenek butuh bantuan. Mungkin—“Prisha!” Nalini menghambur masuk, lalu memeluk putrinya sambil menangis sampai terguguk. “Mami, kok, nangis? Duh, sabar, sabar ....” Prisha mengelus-elus punggung ibunya. “Mami gugup, ya?” Gadis itu tersenyum kecil. Ia teringat beberapa kawan sekampungnya yang menikah di usia muda. Menjelang akad nikah,
Prisha masih merasa setengah melayang di udara kosong, tatkala siuman dari pingsannya. Perasaannya terjebak di ruang hampa ketika menyadari pakaian pengantin masih melekat di tubuhnya. Ini bukan mimpi. Aku benar-benar sudah menikah. Padahal, aku belum siap. Khitbah Dokter Salman pun belum kujawab. Trus, gimana kuliahku nanti? “Prisha, kamu udah siuman?” Suara lembut neneknya terdengar. Prisha menoleh. “Mami mana, Nek?”“Mami di sini.” Nalini muncul, mengelus kepala putrinya yang masih tertutup kerudung.Prisha mengangkat tangan, lalu menyusuti jejak air mata di pipi ibunya. “Mami, maafin Prisha. Harusnya Prisha bantu Mami mencari jalan keluarnya. Nggak mesti menggantikan Mami nikahin Om Gavin. Semua serba terburu-buru. Harusnya—“ “Prisha, sudahlah!” potong Nalini, seraya tersenyum getir.Tiba-tiba seorang wanita masuk ke kamar. Pakaiannya mewah, terbuat dari bahan bermerk yang mahal. Saat berjalan, suara gemerincing dari gelang-gelang emas di tangan dan kakinya terdengar. “Prisha
Nalini ternganga dan merasa penglihatannya berkunang-kunang. Selama satu tahun menjalin hubungan rahasia dengan Gavin, tak satu sentuhan pun ia terima. Pemuda itu terlalu alim untuk ukuran anak muda milenial. Gavin mengaku, sangat menghargai wanita dan tak berani menyentuh jika belum halal, karena ingat kalau ibunya juga wanita. Itulah yang membuat Nalini merasa tersanjung, karena dicintai bukan semata karena kecantikan fisik. Namun, hari ini, detik ini, tepat di depan mata kepalanya, Gavin melayangkan sentuhan tak terduga terhadap putri Nalini sendiri! Wanita mana yang tak terbakar hatinya? Nalini merasa seluruh darahnya mendidih, sampai ke urat paling kecil. Ia jadi merasa ingin amblas ke dasar bumi atau menjedotkan kepala ke tembok dengan sekuat tenaga. Setengah mati wanita itu mengendalikan diri. Sepasang tangannya dikepal ketat sampai kuku-kukunya melukai telapak tangan. Tapi ia mengerti, tak boleh memperturutkan emosi. Adalah keputusannya, yang membiarkan semua kesalahan itu
Prisha ingin ke depan, mencari neneknya. Otomatis, ia melewati kamar ibunya yang terbuka, hanya dihalangi dua gorden. Dari sela gorden, ia melihat bayangan sepasang manusia berhadapan, berdebat dengan suara rendah.Untuk alasan yang sukar dimengerti, ia merasa tak nyaman melihat ibunya dan Gavin hanya berdua di satu ruangan. Betapa tidak pantas setelah apa yang dilakukan ibu terhadap dirinya. Prisha tak sanggup menoleransinya. Jiwa pemberontaknya meronta-ronta. Gadis itu langsung menerobos masuk."Mami, tahu dirilah!" desisnya, tajam. Nalini terbelalak. Sementara Gavin mengernyit."Kalian sudah terhalang bersama! Dan itu adalah keputusan kalian sendiri! Jadi, berkomitmenlah terhadap keputusan tersebut!"Nalini terkejut dan marah. "Sha, kasar betul mulutmu!""Kasar?" Prisha menatap sinis. "Setelah apa yang Mami lakukan padaku, Mami mau nambah dosa baru?""Sha, Mami dan Om Gavin hanya ingin menyelesaikan masalah di antara kami!""Silakan! Tapi tolong, jangan berdua-duaan begini! Dulu
Dia baik dan hebat. Aku ingin seperti dirinya.Bisikan hati Prisha mengalun di alam khayali tatkala meninggalkan ruang poli umum puskesmas kecamatan. Usianya waktu itu baru 14 tahun dan belum pernah mengenal cinta pertama. Hatinya begitu gelisah. Antara senang, cemas, dan bingung. Jantung berdebar-debar setiap mengingat tatap mata, senyum, dan suara pak dokter. Ia hanya ingat namanya Gavin, berikut mata abu-abunya yang menawan dan menawarkan misteri. Namun, bukan semata itu yang membuatnya kagum, melainkan sikap pak dokter yang penuh perhatian dalam melakukan pemeriksaan. Jiwa gadisnya merasa tersanjung. Apalagi ketika teringat, dokter itu sebelumnya telah membalut luka dan menolongnya bangkit ketika jatuh dari sepeda. Sejak kecil, Prisha menyukai hal-hal yang berkaitan dengan medis. Hadiah mainan dokter-dokteran dari neneknya, saat ia berusia enam tahun, masih disimpannya sampai sekarang. Ketika menginjak kelas IV SD, Prisha didaulat sebagai dokter cilik di sekolah. Ia bertahan m
Melihat Prisha lambat merespon, perawat lainnya meraih ponsel korban, lalu menelepon nomor teratas yang terakhir dihubungi korban."Assalamualaykum, halo, dengan Bu Karina?" Sambil menelepon, si perawat mengulurkan tangan ke arah Prisha, meminta KTP. "Apakah Anda anggota keluarga saudara Gavin Davendra? Oh, putra Ibu, ya? Saya informasikan, putra Ibu mengalami kecelakaan di jalan raya, dan sekarang dalam perjalanan menuju rumah sakit provinsi!"Usai menelepon, si perawat mengembalikan ponsel dan KTP ke Prisha.Setibanya di IGD rumah sakit, korban langsung ditangani di zona kritis sesuai prinsip code blue. Prisha melaporkan kondisi pasien kepada dokter spesialis gawat darurat serta dokter spesialis anestesi. Dokter spesialis gawat darurat memutuskan pasien harus dioperasi cito atau segera, sebab lewat pemindaian CT Scan ditemukan pasien mengalami perdarahan di daerah epidural yang terletak antara tulang tengkorak dan lapisan duramater. Lapisan duramater sendiri merupakan lapisan terlu
Prisha bergerak maju. Namun, baru selangkah, ia terjeda. Ucapan Nalini berikutnya, membuat gadis itu tercengang."Saya yang menolong putra Anda. Andai bukan saya yang menemukan dan membawanya ke rumah sakit, putra Anda sudah tewas di tempat!""Bohong!" bantah Karina keras."Tak percaya? Tanya putri saya. Dia saksi matanya!" Nalini menarik lengan Prisha hingga gadis itu maju ke hadapan orang tua Gavin.Melebar sepasang mata Prisha, mengandung protes. Akan tetapi, Nalini menajamkan tatapannya, mengandung tekanan agar putrinya itu mengikuti permainannya.Hati bening Prisha yang sensitif mendeteksi kepanikan sang ibu. Agaknya, Nalini merasa terancam oleh ayah ibu Dokter Gavin. Nalurinya sebagai seorang anak yang ingin membela ibu, seketika bangkit. Apalagi ia hanya memiliki ibu, selain nenek, sebagai anggota keluarganya. Tentu saja Prisha tak ingin membiarkan ibunya terancam."Ibu saya yang menolong Dokter Gavin. Saya saksinya. Tapi kami tidak memaksa kalian untuk percaya. Itu tidak penti