Nalini ternganga dan merasa penglihatannya berkunang-kunang. Selama satu tahun menjalin hubungan rahasia dengan Gavin, tak satu sentuhan pun ia terima. Pemuda itu terlalu alim untuk ukuran anak muda milenial.
Gavin mengaku, sangat menghargai wanita dan tak berani menyentuh jika belum halal, karena ingat kalau ibunya juga wanita. Itulah yang membuat Nalini merasa tersanjung, karena dicintai bukan semata karena kecantikan fisik.
Namun, hari ini, detik ini, tepat di depan mata kepalanya, Gavin melayangkan sentuhan tak terduga terhadap putri Nalini sendiri! Wanita mana yang tak terbakar hatinya? Nalini merasa seluruh darahnya mendidih, sampai ke urat paling kecil. Ia jadi merasa ingin amblas ke dasar bumi atau menjedotkan kepala ke tembok dengan sekuat tenaga.
Setengah mati wanita itu mengendalikan diri. Sepasang tangannya dikepal ketat sampai kuku-kukunya melukai telapak tangan. Tapi ia mengerti, tak boleh memperturutkan emosi. Adalah keputusannya, yang membiarkan semua kesalahan itu terjadi. Gavin mungkin hanya ingin membuatnya cemburu.
Gavin mengusap bibirnya, sebelum melemparkan sepasang buku nikah ke pembaringan.
“Tandatangani sekarang!” perintahnya pada Prisha, dipenuhi aura intimidasi.
Setelahnya, ia berlalu keluar sambil menyumpah-nyumpah dalam hati. Tadi itu, pertama kali dalam hidupnya menyentuh wanita. Sengaja ia lakukan saking marahnya pada Nalini yang ia anggap bersekongkol dengan ibunya.
Sayang sekali, ia lupa memprediksi dampaknya. Ternyata sangat berbahaya. Sensasinya merusak degup jantung. Adrenalinnya mengalir deras dan terasa ada tuntutan yang mengganggu kinerja otaknya. Gavin jadi membenci diri sendiri. Sejak kapan ia memandang Prisha sebagai wanita? Gadis itu tadinya calon anak tirinya!
Prisha kalap meraih buku nikah, hendak melemparkannya, tapi tertahan oleh Nenek Sarah. Ditatapnya mata basah dan wajah murung dari nenek yang telah mengurusnya sejak bayi itu. Tubuh Prisha pun lunglai.
Nalini tak kuasa berkata apa-apa lagi. Parasnya sepucat kertas saat tubuhnya tersandar ke dinding.
“Nenek tidak tau duduk masalahnya. Tapi tak peduli siapa yang benar atau salah, semua sudah terjadi. Terima takdirmu dan kasihani ibumu, Nak. Betapa pun marahnya Nenek, dia putri Nenek. Ingat pengorbanan ibumu. Ini juga tak mudah baginya.” Lembut suara Nenek Sarah, setengah menghiba.
Meledaklah tangis Prisha, yang telah ditahan-tahannya sejak terpaksa mengenakan pakaian pengantin. Tanpa menyadari kerlip harap campur bahagia di mata sang nenek, ia menggapai pulpen, lalu mulai mencoretkan tanda-tangan ke buku nikah. Persis di sebelah tanda-tangan Gavin Davendra.
Sejak hari itu, Prisha Lavani sah menjadi istri Dokter Gavin Devandra, Chief Executive Officer Devandra Hospital, yang prosesnya hanya dalam hitungan jam.
***
Sebakda Zuhur.
Prisha terduduk di tepi ranjang pengantin, tak kuasa menahan isak. Gaun pengantin dan kerudungnya tergeletak di lantai, ia campakkan satu jam yang lalu.
Entah dosa apa yang ia lakukan, hingga ditimpa musibah sebesar ini. Prisha serasa berjalan dalam hutan gelap di bawah siraman hujan lebat, tanpa setitik pun cahaya.
Ia tak tahu, masa depannya akan seperti apa, di sisi orang yang tak pernah ia impikan seumur hidupnya.
Mendadak terdengar suara dering ponsel. Prisha mencari-cari benda yang tadi direbut ibunya. Terlihat cahaya berkedip dekat bantal pengantin. Rupanya Nalini melemparkan ponsel Prisha ke situ.
Gegas diraihnya benda tersebut. Sebuah nama tampak di layar. Prisha menekap mulut, menemukan nama Dokter Salman.
Lelaki itu adalah konsulennya di rumah sakit tempatnya magang. Putra pemilik Rumah Sakit Mutiara, yang mengejar-ngejarnya sejak ia kuliah praktik klinik kedokteran semester V di rumah sakit tersebut.
Tepat saat Prisha lulus kuliah akademik fakultas kedokteran dan menyandang gelar sebagai koas, Dokter Salman melamarnya. Enam bulan Prisha tak menjawabnya, karena ada satu hal yang mengganjal pikirannya. Terlebih lagi, ia terlalu sibuk tugas praktik. Namun, Salman tetap bersabar menantinya. Akhirnya, Prisha luluh dan berjanji memberikan jawaban dalam tempo 7 hari.
Gadis itu tersentak ketika teringat, hari ini adalah hari ke-8 dari deadline jawabannya. Hatinya terasa nyeri.
"Maafkan saya, Dok ...."
"Kenapa harus minta maaf? Kamu tidak salah apa-apa." Terdengar suara lembut sang dokter. Suara yang tak pernah gagal memberikan rasa nyaman bagi siapa pun yang mendengarnya.
"Saya ...." Prisha mengusap air mata yang kembali jatuh berlinang. "Saya nggak bisa."
"Sha, berapa kali saya katakan, saya tak peduli gimana latar belakang kamu atau siapa ibu kamu. Tolong, jangan menolak dengan alasan bahwa saya terlalu baik untuk kamu. Atau kamu terlalu sibuk. Saya akan bantu kamu setelah kita menikah ...."
"Saya percaya Anda, Dok. Tadinya saya mantap menerima pinangan Anda, tapi mendadak muncul halangan yang tak kuasa ditolak. Saya tak berdaya ...."
"Sha, izinkan saya menolongmu menyingkirkan halangan itu."
"Tidak bisa, Dok." Isakan lirih lolos dari mulut Prisha. "Saya baru saja dipaksa menikah dengan orang lain."
Sekejap hening. Agaknya Dokter Salman sedang menahan syok di ujung ponsel sana.
"Maaf, Dok. Mohon jangan hubungi saya lagi."
"Sha, kamu terpaksa, kan? Artinya hatimu masih tertuju padaku?"
Prisha diam. Hatinya tertuju pada siapa, hanya Allah yang tahu. Namun, ia menyerah karena iba menyaksikan kegigihan Dokter Salman mengejarnya. Buat apa menanti yang tak jelas, jika ada lelaki baik yang siap untuknya?
Sayang sekali, Allah memiliki rencana lain.
"Jika kamu menderita bersamanya ... datanglah padaku. Aku masih menunggumu." Suara Salman bergetar.
Prisha hanya menjawab dengan isakan, sebelum akhirnya beruluk salam dan mematikan sambungan telepon. Bahunya layu dan tangannya terkulai.
****
Di luar kamar pengantin, suasana mulai sepi. Tak terdengar lagi hiruk pikuk acara walimahan.
Prisha beranjak bangkit ketika perutnya berkeriuk lapar. Ia belum makan sejak Subuh. Prisha tak hendak menurutkan hatinya yang malas makan. Sejak kecil terbiasa menjaga stamina, membuatnya sadar diri pentingnya nutrisi bagi tubuh.
Apalagi jika sedang dilanda masalah. Butuh energi sangat besar untuk mengatasinya. Cukup hatinya yang sakit. Jangan fisiknya.
Saat memasuki dapur, telinganya menangkap percakapan ramai beberapa kerabat dan tetangga. Sebagian mencuci perkakas kotor bekas walimahan, sebagian lagi menata perkakas yang telah bersih di tempat lain.
"Mertuanya caleg merangkap pengusaha bisnis kesehatan, kan? Kok, acara nikahannya sederhana banget? Nggak sebanding, ih, ama mobil mewahnya "
"Iya, iya, aneh Trus kita nggak boleh foto-foto."
"Ho oh. Ada bodyguard yang jagain. Nggak boleh ada foto ama video, katanya."
"Ish ish parah. Kayak mau dirahasiain gitu, yah."
"Kasian amat Nek Sarah. Dari pihak suaminya Sha, cuma bapak ibu mertuanya yang nongol. Mestinya, rombongan, ama kerabat lain dari pihak mereka. Nggak menghargai banget."
"Kayak nggak mau heboh, gitu. Jangan-jangan Sha mateng duluan, ih. Makanya mereka malu, takut digosipin."
"Sst, jangan keras-keras atuh. Ntar kedengeran ama mertuanya Sha, berabe. Kelihatannya galak beud. Sombong pula."
"Tenang, dah pada pulang. Makan aja nggak. Kayak kebelet aja. Alasannya karena banyak urusan penting di kota. Halah, sepenting apa, sih. Orang kaya tapi minus adab."
Prisha tak tahan mendengarkan pembicaraan selanjutnya yang berisi hujatan terhadap ibunya, yang dianggap ibu egois dan nista. Biasanya, ia langsung berteriak dan mengajak orang-orang itu bertengkar. Namun, kali ini, ia terlalu letih lahir batin, sehingga memutuskan untuk berlalu. Selera makannya hilang.
****
Prisha ingin ke depan, mencari neneknya. Otomatis, ia melewati kamar ibunya yang terbuka, hanya dihalangi dua gorden. Dari sela gorden, ia melihat bayangan sepasang manusia berhadapan, berdebat dengan suara rendah.Untuk alasan yang sukar dimengerti, ia merasa tak nyaman melihat ibunya dan Gavin hanya berdua di satu ruangan. Betapa tidak pantas setelah apa yang dilakukan ibu terhadap dirinya. Prisha tak sanggup menoleransinya. Jiwa pemberontaknya meronta-ronta. Gadis itu langsung menerobos masuk."Mami, tahu dirilah!" desisnya, tajam. Nalini terbelalak. Sementara Gavin mengernyit."Kalian sudah terhalang bersama! Dan itu adalah keputusan kalian sendiri! Jadi, berkomitmenlah terhadap keputusan tersebut!"Nalini terkejut dan marah. "Sha, kasar betul mulutmu!""Kasar?" Prisha menatap sinis. "Setelah apa yang Mami lakukan padaku, Mami mau nambah dosa baru?""Sha, Mami dan Om Gavin hanya ingin menyelesaikan masalah di antara kami!""Silakan! Tapi tolong, jangan berdua-duaan begini! Dulu
Dia baik dan hebat. Aku ingin seperti dirinya.Bisikan hati Prisha mengalun di alam khayali tatkala meninggalkan ruang poli umum puskesmas kecamatan. Usianya waktu itu baru 14 tahun dan belum pernah mengenal cinta pertama. Hatinya begitu gelisah. Antara senang, cemas, dan bingung. Jantung berdebar-debar setiap mengingat tatap mata, senyum, dan suara pak dokter. Ia hanya ingat namanya Gavin, berikut mata abu-abunya yang menawan dan menawarkan misteri. Namun, bukan semata itu yang membuatnya kagum, melainkan sikap pak dokter yang penuh perhatian dalam melakukan pemeriksaan. Jiwa gadisnya merasa tersanjung. Apalagi ketika teringat, dokter itu sebelumnya telah membalut luka dan menolongnya bangkit ketika jatuh dari sepeda. Sejak kecil, Prisha menyukai hal-hal yang berkaitan dengan medis. Hadiah mainan dokter-dokteran dari neneknya, saat ia berusia enam tahun, masih disimpannya sampai sekarang. Ketika menginjak kelas IV SD, Prisha didaulat sebagai dokter cilik di sekolah. Ia bertahan m
Melihat Prisha lambat merespon, perawat lainnya meraih ponsel korban, lalu menelepon nomor teratas yang terakhir dihubungi korban."Assalamualaykum, halo, dengan Bu Karina?" Sambil menelepon, si perawat mengulurkan tangan ke arah Prisha, meminta KTP. "Apakah Anda anggota keluarga saudara Gavin Davendra? Oh, putra Ibu, ya? Saya informasikan, putra Ibu mengalami kecelakaan di jalan raya, dan sekarang dalam perjalanan menuju rumah sakit provinsi!"Usai menelepon, si perawat mengembalikan ponsel dan KTP ke Prisha.Setibanya di IGD rumah sakit, korban langsung ditangani di zona kritis sesuai prinsip code blue. Prisha melaporkan kondisi pasien kepada dokter spesialis gawat darurat serta dokter spesialis anestesi. Dokter spesialis gawat darurat memutuskan pasien harus dioperasi cito atau segera, sebab lewat pemindaian CT Scan ditemukan pasien mengalami perdarahan di daerah epidural yang terletak antara tulang tengkorak dan lapisan duramater. Lapisan duramater sendiri merupakan lapisan terlu
Prisha bergerak maju. Namun, baru selangkah, ia terjeda. Ucapan Nalini berikutnya, membuat gadis itu tercengang."Saya yang menolong putra Anda. Andai bukan saya yang menemukan dan membawanya ke rumah sakit, putra Anda sudah tewas di tempat!""Bohong!" bantah Karina keras."Tak percaya? Tanya putri saya. Dia saksi matanya!" Nalini menarik lengan Prisha hingga gadis itu maju ke hadapan orang tua Gavin.Melebar sepasang mata Prisha, mengandung protes. Akan tetapi, Nalini menajamkan tatapannya, mengandung tekanan agar putrinya itu mengikuti permainannya.Hati bening Prisha yang sensitif mendeteksi kepanikan sang ibu. Agaknya, Nalini merasa terancam oleh ayah ibu Dokter Gavin. Nalurinya sebagai seorang anak yang ingin membela ibu, seketika bangkit. Apalagi ia hanya memiliki ibu, selain nenek, sebagai anggota keluarganya. Tentu saja Prisha tak ingin membiarkan ibunya terancam."Ibu saya yang menolong Dokter Gavin. Saya saksinya. Tapi kami tidak memaksa kalian untuk percaya. Itu tidak penti
Untuk pertama kali dalam hidup, wanita yang sangat berpengalaman menghadapi pria itu, terkesan menyaksikan sikap santun yang langka. Wajah tampan dan mata abu-abu Gavin yang eksotis, membuat Nalini tertantang menaklukkannya.Mudah ditebak, Nalini yang terampil berkomunikasi dan memiliki wawasan cukup luas, berhasil menarik perhatian Dokter Gavin. Pelan-pelan, ekspresi jijik yang sempat singgah di paras sang dokter menghilang. Tergantikan rasa terima kasih sekaligus kagum, iba, dan respek ketika Nalini menceritakan kisah hidupnya yang dramatis. "Saya berutang budi pada Anda. Izinkan saya membalasnya." Gavin meletakkan parcel di meja. "Katakan apa yang Anda inginkan. Saya akan berusaha memenuhinya."Nada suara Gavin terdengar mantap dan menjanjikan. Hati Nalini bergetar. Takjub dan serasa berada dalam mimpi. Baru kali ini ia menemukan pria yang bersedia memberi tanpa pamrih.Sementara Prisha hanya bungkam seribu bahasa. Ada tiga poin yang meresahkan jiwanya. Pertama, kebohongan yang
Dua pasang mata indah milik Hana dan Keyko bergulir ke kiri ke kanan mengikuti langkah Prisha yang mondar-mandir gelisah dari pintu depan kamar kos ke ranjang tempat mereka duduk.Hana Laili Najwa, yang berparas secantik boneka India, sampai menguap dua kali saking bosannya menanti Prisha bercerita. Sementara Keyko Syifa Nahdhia, si gadis blasteran melayu-Jepang, berkali-kali melirik jam dinding, untuk memastikan ia tak akan terlambat hadir ujian presentasi kasus pukul 10.00 WIB nanti.Prisha memang sengaja mengumpulkan dua sahabat karibnya itu di kamar, untuk dimintai pendapat. Namun, ia tak tahu harus mulai bercerita dari mana. Kejadian kemarin, berpindah naik turun sangat drastis, bagai roller coaster. Prisha sampai-sampai mengira, ia berada di alam mimpi atau delusi, saking depresinya.Tiba-tiba gadis itu berhenti. Hana dan Keyko menegakkan kepala dan punggung, siap menyimak. Akan tetapi, apa yang terjadi? Prisha malah mencubit-cubit lengannya sendiri berkali-kali. Hana dan Key
Prisha mengecek ulang bukti transfer di aplikasi. Tampak jelas nama Gavin Devandra tercantum sebagai pengirim.Bara emosi seketika memanaskan dada sang dara. Nomor asing tersebut lekas diteleponnya. Berkali-kali nada panggil, telepon tak kunjung terjawab. Prisha serasa ingin membanting ponsel saking merasa terhina. Ia menekan dada, lalu menggerung pelan, bagai singa betina terluka.Ternyata seperti ini rasanya ketika berada di puncak ketidak berdayaan. Ingin melawan dan menolak, tapi tidak mampu. Gadis itu tergesa-gesa menelepon ibunya."Mami beneran udah berhenti kerja?""Iya, Sayang. Berkat kamu. Gavin memang marah ke Mami, tapi hanya sebentar. Dia lelaki yang sangat baik.""Mami tau Om Gavin ngirimin Sha uang kuliah dan biaya hidup?""Tau. Gavin bilang ke Mami, kok. Mami juga bakal dikirimin saban bulan. Dia memenuhi janji, nggak akan menelantarkan Mami, apa pun yang terjadi.""Kenapa, Mi? Kenapa kalian nggak memperjuangkan saja hubungan kalian? Kalo tujuan Mami adalah uang, Mami
"Vin, ada para koas dan residen tingkat satu rotasi baru. Semuanya mau melapor sekaligus memperkenalkan diri. Mereka berasal dari lima kampus kedokteran. Ini data mereka." Reza, sahabat sekaligus asisten pribadi, merangkap dokter spesialis anestesi Gavin, meletakkan sebuah map cokelat ke meja.Tatapan malas, Gavin jatuhkan ke map di depannya. Lantas, dilambaikannya tangan dengan sikap bosan. "Bukan levelku. Tangani saja mereka." Reza berdeham, memperingatkan. "Elo kemaren nggak hadir launching program pendampingan dokter muda dan residen. Itu aja udah jadi catatan merah bagi dewan komisaris. Lo kemana, sih, tau-tau ngilang dua hari?"Kemaren gue stres, Bro, gegara nikahin cewek yang salah! Nyaris terlontar kalimat tersebut dari mulut Gavin. Beruntung ia lekas-lekas mengerem lidah. Bahaya jika si bawel Reza tahu statusnya. Sahabatnya yang satu itu paling tidak kuat menahan berita yang paling ditunggu-tunggunya. Berita apalagi kalau bukan tentang pernikahan Doktor dr. Gavin Devandr