Melihat Prisha lambat merespon, perawat lainnya meraih ponsel korban, lalu menelepon nomor teratas yang terakhir dihubungi korban.
"Assalamualaykum, halo, dengan Bu Karina?" Sambil menelepon, si perawat mengulurkan tangan ke arah Prisha, meminta KTP. "Apakah Anda anggota keluarga saudara Gavin Davendra? Oh, putra Ibu, ya? Saya informasikan, putra Ibu mengalami kecelakaan di jalan raya, dan sekarang dalam perjalanan menuju rumah sakit provinsi!"Usai menelepon, si perawat mengembalikan ponsel dan KTP ke Prisha.Setibanya di IGD rumah sakit, korban langsung ditangani di zona kritis sesuai prinsip code blue. Prisha melaporkan kondisi pasien kepada dokter spesialis gawat darurat serta dokter spesialis anestesi.Dokter spesialis gawat darurat memutuskan pasien harus dioperasi cito atau segera, sebab lewat pemindaian CT Scan ditemukan pasien mengalami perdarahan di daerah epidural yang terletak antara tulang tengkorak dan lapisan duramater. Lapisan duramater sendiri merupakan lapisan terluar dari selaput otak. Kondisi perdarahan di daerah tersebut dinamakan epidural hematoma.Perdarahan yang terkumpul itu sangat berbahaya, karena menekan jaringan otak. Akibatnya, otak akan kekurangan asupan darah. Jika dibiarkan, tekanan yang berlebih pada otak dapat memicu kerusakan otak. Risikonya adalah kematian, koma, atau kelumpuhan.Prisha duduk di ruang tunggu setelah memberikan kesaksian pada polisi satlantas. Kecelakaan tersebut disinyalir disengaja, tabrak lari. Prisha dan saksi mata kejadian tak sempat memperhatikan nomor DA mobil penabrak, hanya mengenali ciri-cirinya.Ayah ibu korban datang berderai air mata. Mereka langsung berbicara dengan para dokter serta berterima kasih pada unit 119 yang sigap datang dan memberikan pertolongan.Kenalan korban mulai berdatangan. Termasuk para dokter, perawat, dan petugas medis lainnya. Ternyata, Gavin Devandra adalah dokter terkenal. Para tamu hanya berkumpul di ruang tamu dan lobi IGD. Cemas dan saling bertangisan. Tak satu pun mencari, siapa orang pertama yang memberikan pertolongan.Prisha mengerti dirinya diabaikan. Ia tak hendak maju sebagai pahlawan. Gadis itu lantas pergi ke kamar kecil, bermaksud membersihkan kerudung dan gamisnya yang berlumuran darah.Prisha melangkah dengan pikiran tidak fokus. Matanya nanar. Nama Gavin beterbangan mengelilingi isi tempurung otaknya. Terasa sangat mengganggu.Ada ratusan bahkan mungkin ribuan nama Gavin di dunia ini. Belum tentu Gavin korban kecelakaan itu adalah orang yang sama dengan idola masa remajanya. Meskipun nama dan profesinya sama. Sayang seribu sayang, Prisha tidak tahu nama lengkap Dokter Gavinnya. Dicelanya diri sendiri, mengapa abai menanyakan nama lengkap dokter puskesmas yang menolongnya tujuh tahun silam. Gambaran wajahnya pun Prisha sudah lupa. Saking sibuknya belajar agar lulus dengan nilai terbaik dan dapat beasiswa kuliah, Prisha tak lagi ke puskesmas itu.Selepas pondok, ibunya bersikeras agar ia melanjutkan kuliah, mengingat prestasinya selalu yang terbaik saat sekolah menengah."Mami sering direndahkan dan dihina. Paling tidak, Mami punya putri yang bisa dibanggakan." Demikian alasan ibunya.Prisha terharu sekali. Meskipun ibunya baru muncul saat usianya menginjak 18 tahun, tapi sang ibu terlihat sungguh-sungguh ingin menebus perhatian yang hilang.Maka, Prisha pun melanjutkan kuliah dengan dua tujuan. Pertama, menjadi dokter hebat, supaya bisa membuat ibunya bangga, sekaligus mengangkat derajat ibunya. Kedua, mencari Dokter Gavin. Ada sejenis kerinduan yang kuat sekaligus keinginan berterima kasih dan membuktikan, bahwa semua yang diajarkan pak dokter tak sia-sia.Sambil menjalani perkuliahan, Prisha mulai mencari Dokter Gavin. Awalnya ia mencari info ke puskesmas kecamatan dekat pesantrennya dulu. Tak dinyana, puskesmas itu mengalami kebakaran hebat, semua data hilang. Para petugas yang bekerja di situ sudah berganti dan dipindahtugaskan sementara. Puskesmas direhabilitasi ulang.Prisha berhasil menemui salah satu perawat tua yang masih menjadi staf puskesmas itu. Sayangnya, perawat itu juga tak ingat. Saban tahun, dokter praktik magang selalu berganti dua kali. Boleh dibilang, dalam kurun waktu 3-4 bulan sekali, dokter magang berganti.Saat Dokter Gavin menangani Prisha, statusnya adalah dokter magang yang bertugas hanya tiga bulan, lalu rolling dinas ke rumah sakit.Prisha terus mencari lewat sosial media. Sayangnya, ia selalu mendapati orang yang salah. Ada nama yang sama, tapi ciri-ciri fisik berbeda. Sebaliknya, ada yang bermata abu-abu, tapi namanya bukan Gavin.Kesamaan ciri fisik yang paling sulit ditemukan, adalah mata beriris abu-abu. Biasanya hanya terdapat pada mata orang-orang keturunan Eropa Utara dan Timur. Langka sekali ada anak blasteran Indonesia yang bermata abu-abu. Bahkan di seluruh dunia, berdasarkan data statistik, hanya 3% orang bermata abu-abu.Prisha telah berada di pusaran putus asa mencari Gavin, tatkala tiba-tiba melihat foto KTP korban kecelakaan yang ditolongnya.Mata pemilik KTP itu keabu-abuan dan namanya Gavin. Prisha awalnya tak berani berharap. Namun, saat orang-orang menyebut si korban dengan nama Dokter Gavin, gadis itu mendadak linglung. Antara harap dan cemas.Tatapannya jatuh ke pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Ada bercak darah di kerudung dan gamis. Sebuah ide melintas di benaknya. Mengapa tidak mencoba tes DNA? Siapa tahu identitasnya cocok dengan Dokter Gavin yang pernah bekerja di puskesmas kecamatan tempatnya mondok dulu.Saat hendak menelepon sahabatnya satu kos, yang juga koas, ponselnya telah berbunyi duluan. Ada panggilan telepon dari ibunya."Sha, kamu di mana sekarang? Katanya tadi lagi di jalan, mau ke rumah Mami. Ada yang ganggu kamu?" Terdengar suara cemas ibunya.Prisha tersadar, lupa menghubungi ibunya. Ia memang menjadwalkan rutin pulang dan menginap seminggu sekali di rumah ibunya."Sha di rumah sakit, Mi. Nolongin korban kecelakaan." Prisha menceritakan dengan singkat kronologis kejadian."Oke, kalo gitu, tunggu di situ, ya. Mami jemput. Sudah hampir jam dua belas ini. Nggak baik sendirian ke kompleks Mami jam segitu.""Iya, Mi. Makasih." Prisha paham, jam-jam sibuk para penghuni kompleks hiburan malam di lingkungan ibunya, adalah saat menuju tengah malam. Prisha rentan diganggu. Keharuan menyeruak di dadanya, kala merasakan perhatian dan perlindungan ibunya.Usai menerima telepon ibunya, Prisha menghubungi Keyko, sahabatnya. Keyko masih koas seperti dirinya, tapi salah satu kakaknya mengelola laboratorium klinik swasta."Tes DNA? Oke, tapi mau dibandingin ama siapa?" Keyko bertanya setelah mendengar pemaparan Prisha.Prisha tertegun. Betul juga, pikirnya. Pembanding DNA Dokter Gavin haruslah yang bersangkutan sendiri, atau salah satu anggota keluarga. Sementara Prisha ragu apakah korban yang sedang diselidikinya itu betulan Dokter Gavin yang dulu dikenalnya atau bukan."Lagian tes DNA itu mahal, Sha, kalo atas permintaan pribadi. Lebih lima jutaan. Aku nggak mungkin meriksa diam-diam tanpa ketahuan," ungkap Keyko lagi.Prisha terdiam, lunglai."Maaf, ya, aku nggak bisa bantu. Etapi kenapa kamu meragukan DNA Dokter Gavin? Dia dokter yang cukup famous, lho. Datang dari luar negeri setahun yang lalu. Dikenal juga sebagai CEO Devandra Hospital, rumah sakit bedah internasional."Prisha tertegun. Bagaimana bisa ia terlewat menyimak info tentang dokter itu? Padahal, Prisha rutin mengikuti berita dunia medis."Kok nggak ada beritanya di medsos, Key?""Ohiya baru nyadar, wajar lo gak tau coz kedatangannya emang dirahasiain demi keamanan. Gue dikasi tau abang gue yang kerja di Devandra Hospital. Baidewe, lo belum jawab pertanyaan gue!""Dokter Gavin kecelakaan, Key. Aku yang nolong. Cuma mau mastiin aja, apa betul itu Dokter Gavin," jelas Prisha sederhana. Ia enggan menceritakan pencariannya terhadap Dokter Gavin kepada Keyko atau siapa pun. Prisha khawatir ditertawakan. Sedewasa ini dirinya masih memendam cinta monyet? Apa kata dunia?"Hah? Apa? Kecelakaan? Waah innalillahi .... Trus gimana kondisi beliau, Sha?""Udah masuk oka 4 jam yang lalu. Aku di rumah sakit, nih. Kerudung ama gamisku belepotan darah. Kamu berani gak malam-malam ke rumah sakit, bareng Hana? Tolong bawakan kerudung dan gamis bersihku!" pinta Prisha pada kawan sekosnya itu."Oke oke! Tunggu aku, ya!"Sambungan telepon langsung dimatikan Keyko. Prisha menyimpan ponselnya kembali ke saku baju. Ia mondar mandir gelisah di kamar kecil. Kecemasan mendominasi batinnya dan merenggut rasionalitasnya. Bagaimana kalau yang kecelakaan itu benar-benar Dokter Gavinnya?Prisha ingin sekali memastikan. Ia bertekad akan menunggu sampai pria muda itu keluar dari oka dan siuman.Dua puluh menit kemudian, Keyko menelepon, mengabari kalau ia dan Hana telah tiba di rumah sakit. Prisha langsung meminta mereka ke kamar kecil.Usai berganti pakaian, Prisha mengajak dua sahabatnya menuju ruang tunggu.Sesampainya di sana, ia menyaksikan ibunya telah datang. Namun, situasi terasa janggal. Ibunya tampak berhadapan dengan sepasang suami istri berpenampilan mewah. Wajah ibunya diwarnai ketegangan, sedangkan pasangan di depannya menatap gusar.Prisha mengenali pasangan tersebut sebagai orang tua korban. Ada masalah apa mereka dengan Mami? Batinnya bertanya-tanya, galau."Mengapa kamu muncul lagi?" Suara si istri terdengar dingin, mengandung kemarahan tertahan.Prisha melihat ibunya tertegun sesaat. Mata cokelat perempuan itu berputar gelisah, sebelum menemukan Prisha berdiri sejauh lima langkah darinya. Ibunya mendadak berubah lebih tenang."Putra Anda kecelakaan di lokasi dekat rumah saya," ungkap Nalini, lembut. Sama sekali tidak terprovokasi oleh hawa permusuhan yang menguar dari ibu korban."Gavin tak mungkin ke sana!" Ibu Gavin mengepal tinju."Dia mungkin hanya numpang lewat saja." Suara Nalini lunak. "Tekan emosi Anda saat berhadapan dengan penolong putra Anda."Kilat keterkejutan yang tajam berkelebat di mata Karina dan Tibra, orang tua Gavin.***Prisha bergerak maju. Namun, baru selangkah, ia terjeda. Ucapan Nalini berikutnya, membuat gadis itu tercengang."Saya yang menolong putra Anda. Andai bukan saya yang menemukan dan membawanya ke rumah sakit, putra Anda sudah tewas di tempat!""Bohong!" bantah Karina keras."Tak percaya? Tanya putri saya. Dia saksi matanya!" Nalini menarik lengan Prisha hingga gadis itu maju ke hadapan orang tua Gavin.Melebar sepasang mata Prisha, mengandung protes. Akan tetapi, Nalini menajamkan tatapannya, mengandung tekanan agar putrinya itu mengikuti permainannya.Hati bening Prisha yang sensitif mendeteksi kepanikan sang ibu. Agaknya, Nalini merasa terancam oleh ayah ibu Dokter Gavin. Nalurinya sebagai seorang anak yang ingin membela ibu, seketika bangkit. Apalagi ia hanya memiliki ibu, selain nenek, sebagai anggota keluarganya. Tentu saja Prisha tak ingin membiarkan ibunya terancam."Ibu saya yang menolong Dokter Gavin. Saya saksinya. Tapi kami tidak memaksa kalian untuk percaya. Itu tidak penti
Untuk pertama kali dalam hidup, wanita yang sangat berpengalaman menghadapi pria itu, terkesan menyaksikan sikap santun yang langka. Wajah tampan dan mata abu-abu Gavin yang eksotis, membuat Nalini tertantang menaklukkannya.Mudah ditebak, Nalini yang terampil berkomunikasi dan memiliki wawasan cukup luas, berhasil menarik perhatian Dokter Gavin. Pelan-pelan, ekspresi jijik yang sempat singgah di paras sang dokter menghilang. Tergantikan rasa terima kasih sekaligus kagum, iba, dan respek ketika Nalini menceritakan kisah hidupnya yang dramatis. "Saya berutang budi pada Anda. Izinkan saya membalasnya." Gavin meletakkan parcel di meja. "Katakan apa yang Anda inginkan. Saya akan berusaha memenuhinya."Nada suara Gavin terdengar mantap dan menjanjikan. Hati Nalini bergetar. Takjub dan serasa berada dalam mimpi. Baru kali ini ia menemukan pria yang bersedia memberi tanpa pamrih.Sementara Prisha hanya bungkam seribu bahasa. Ada tiga poin yang meresahkan jiwanya. Pertama, kebohongan yang
Dua pasang mata indah milik Hana dan Keyko bergulir ke kiri ke kanan mengikuti langkah Prisha yang mondar-mandir gelisah dari pintu depan kamar kos ke ranjang tempat mereka duduk.Hana Laili Najwa, yang berparas secantik boneka India, sampai menguap dua kali saking bosannya menanti Prisha bercerita. Sementara Keyko Syifa Nahdhia, si gadis blasteran melayu-Jepang, berkali-kali melirik jam dinding, untuk memastikan ia tak akan terlambat hadir ujian presentasi kasus pukul 10.00 WIB nanti.Prisha memang sengaja mengumpulkan dua sahabat karibnya itu di kamar, untuk dimintai pendapat. Namun, ia tak tahu harus mulai bercerita dari mana. Kejadian kemarin, berpindah naik turun sangat drastis, bagai roller coaster. Prisha sampai-sampai mengira, ia berada di alam mimpi atau delusi, saking depresinya.Tiba-tiba gadis itu berhenti. Hana dan Keyko menegakkan kepala dan punggung, siap menyimak. Akan tetapi, apa yang terjadi? Prisha malah mencubit-cubit lengannya sendiri berkali-kali. Hana dan Key
Prisha mengecek ulang bukti transfer di aplikasi. Tampak jelas nama Gavin Devandra tercantum sebagai pengirim.Bara emosi seketika memanaskan dada sang dara. Nomor asing tersebut lekas diteleponnya. Berkali-kali nada panggil, telepon tak kunjung terjawab. Prisha serasa ingin membanting ponsel saking merasa terhina. Ia menekan dada, lalu menggerung pelan, bagai singa betina terluka.Ternyata seperti ini rasanya ketika berada di puncak ketidak berdayaan. Ingin melawan dan menolak, tapi tidak mampu. Gadis itu tergesa-gesa menelepon ibunya."Mami beneran udah berhenti kerja?""Iya, Sayang. Berkat kamu. Gavin memang marah ke Mami, tapi hanya sebentar. Dia lelaki yang sangat baik.""Mami tau Om Gavin ngirimin Sha uang kuliah dan biaya hidup?""Tau. Gavin bilang ke Mami, kok. Mami juga bakal dikirimin saban bulan. Dia memenuhi janji, nggak akan menelantarkan Mami, apa pun yang terjadi.""Kenapa, Mi? Kenapa kalian nggak memperjuangkan saja hubungan kalian? Kalo tujuan Mami adalah uang, Mami
"Vin, ada para koas dan residen tingkat satu rotasi baru. Semuanya mau melapor sekaligus memperkenalkan diri. Mereka berasal dari lima kampus kedokteran. Ini data mereka." Reza, sahabat sekaligus asisten pribadi, merangkap dokter spesialis anestesi Gavin, meletakkan sebuah map cokelat ke meja.Tatapan malas, Gavin jatuhkan ke map di depannya. Lantas, dilambaikannya tangan dengan sikap bosan. "Bukan levelku. Tangani saja mereka." Reza berdeham, memperingatkan. "Elo kemaren nggak hadir launching program pendampingan dokter muda dan residen. Itu aja udah jadi catatan merah bagi dewan komisaris. Lo kemana, sih, tau-tau ngilang dua hari?"Kemaren gue stres, Bro, gegara nikahin cewek yang salah! Nyaris terlontar kalimat tersebut dari mulut Gavin. Beruntung ia lekas-lekas mengerem lidah. Bahaya jika si bawel Reza tahu statusnya. Sahabatnya yang satu itu paling tidak kuat menahan berita yang paling ditunggu-tunggunya. Berita apalagi kalau bukan tentang pernikahan Doktor dr. Gavin Devandr
"Prisha Lavani yang mana?" Dokter Reza mengamati dokter bimbingannya satu per satu. "Ferdi, Royyan, Hana, dan Keyko, harusnya dinas di ruang oka sentral dan rawat bedah. Tapi Dokter Gavin ngasih amanah ke saya. Jadi kalian ngikutin saya. Khusus Prisha, diminta dinas ke ruang oka sentral bedah. Yang namanya Prisha, acungkan tangan!"Tak ada yang menyahut perintah Dokter Reza. Keyko dan Hana saling lirik. Sementara Ferdi selaku ketua tim, mulai berkeringat dingin. "Nggak ada yang namanya Prisha?" Reza menatap tajam para koas dan residen bimbingannya. "Namanya ada di jadwal, tapi orangnya nggak ada?" Dokter spesialis anestesi itu mengangkat dagu dan menaikkan intonasi. Sok galak, meniru Gavin. "Siapa ketua kelompok koas dari FK Universitas Mutiara?""Sa-saya, Dok." Ferdi mengacungkan tangan. Takut-takut dan gemetar."Ke mana anggota timmu yang namanya Prisha Lavani?"Ferdi melirik Keyko dan Hana, meminta jawaban. Dua gadis itu malah memasang tampang bingung. Betapa tidak? Prisha awalnya
Prisha masih terjebak perasaan rumit saat berdiri di depan instalasi bedah sentral rumah sakit Devandra. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap tatkala dugaan menjadi kenyataan. Sebelah hatinya ingin mengingkari. Akan lebih baik kalau Dokter Gavin yang ini bukan yang pernah dikenalnya dulu. Memusuhinya bakal lebih mudah. Sebelah hatinya yang lain, berdenyut bahagia. Akhirnya ia menemukan dokter idola yang selama bertahun-tahun menjadi motivasinya. Kebahagiaan tersebut membuatnya merasa bersalah. Muncul setitik sesal. Kepastian yang didapat, menjerumuskan hatinya ke lubang harapan yang dulu sempat ditimbun. Harapan tersebut, terlalu mengerikan. Begitu terkuak, benih-benih rasa masa lalu dengan cepat tersemai kembali, tak terkendali. Prisha takut sekali mengkhianati ibunya jika ia biarkan rasa itu tumbuh berbunga. Dihadapkannya seluruh tubuh ke kaca tebal transparan yang menjadi pintu gerbang instalasi bedah sentral DIMS Hospital. Tampak bayangan sosok gadis berkerudung dan gamis, b
"Pantes lo kabur, Sha." Hana menunjukkan ekspresi prihatin malam itu, setelah mendengar masalah Prisha.Prisha yang tak kuat menahan gundah, akhirnya menumpahkan dilemanya kepada dua bestie-nya saat rehat di kamar Keyko, markas besar mereka bertiga.Kamar Keyko paling besar sekaligus paling nyaman di kos-an tersebut. Isi kamarnya berdekorasi mewah mirip kamar hotel bintang tujuh. Maklum, Keyko dari kalangan the have. Bapaknya pejabat teras dinas perdagangan dan abangnya dokter spesialis bedah umum di rumah sakit Mutiara. Sebenarnya Keyko mampu mengontrak rumah sendirian. Berhubung ia, Prisha, dan Hana bersahabat karib sejak maba, maka ia rela mengikuti mereka kos di rumah binaan. Hanya saja sayangnya, Keyko mempertahankan life style-nya dan emoh diajak ikut kajian Islam. "Kayaknya ada rahasia yang dipendam emak lo dan Dokter Gavin. Makanya mereka gagalin pernikahan. Elo musti cari tau, Sha." Keyko berkata sambil berkaca dan mengoleskan krim malam di kulit wajahnya yang kuning langsa