Dengan tubuh setinggi 180 cm, Gavin memiliki kaki panjang yang sekali ayun menyamai dua langkah kaki Prisha. Dalam hitungan dua menit, ia telah tiba di depan ruangan semi steril areal bedah jantung. Pintu ruangan yang mengandung sensor panas tubuh, otomatis terbuka.Tatkala Prisha tiba, dokter spesialis bedah jantung itu sudah masuk dan pintu terkatup otomatis.Prisha hendak menyusul, tapi tertahan saat membaca info di panel digital pintu yang mengumumkan bahwa dua puluh menit lagi akan berlangsung tiga operasi bedah jantung serentak di tiga ruangan berbeda. Masing-masing kasus yang ditangani, dicantumkan di panel tersebut.Ia tak senaif itu untuk mengganggu operasi hanya demi membujuk Dokter Gavin agar mengubah keputusannya.Langkah Prisha gontai, wajahnya kuyu, dan bahunya lunglai saat meninggalkan instalasi bedah. Stetoskop pink bertuliskan namanya, ia timang-timang sambil meneteskan air mata frustrasi, sebelum dicampakkan sekehendak hati, tanpa memperhatikan lagi letak jatuhnya.Se
Operasi bedah jantung yang menegangkan berlangsung selama tiga jam. Selepas itu, urat-urat leher Gavin terasa kaku. Ia meregangkan tubuh di ruang pribadinya usai membersihkan diri. "Vin!" Reza melongok dari pintu yang terkuak sedikit."Masuk!" Ekspresi Gavin acuh tak acuh.Reza, dokter spesialis anestesi berparas tampan eksotis itu masuk. Pakaian bedahnya telah berganti kemeja kasual, persis waktu datang sebelum melakukan operasi. Tatapan Gavin jatuh ke stetoskop pink di tangan sahabatnya. "Sejak kapan lo demen nge-pink?" ejeknya sambil mencibir. "Bukan punya gue. Tapi punya cewek gebetan gue." Reza mengangkat stetoskop pink di tangannya. "Gue nemuin ini persis dekat selokan di depan gerbang sentral bedah. Mungkin dia gak sengaja jatuhin." "Oh gitu." Gavin menunjukkan ekspresi datar. Ia melirik jam dinding. Pukul 23.30. "Nggak ada jadwal operasi lagi buat kita. Ayo, temenin gue nengok satu pasien.""Oke," sahut Reza, sambil mengiringi langkah Gavin keluar. "Oh ya, tadi gue papasa
"Kamu di mana?"Prisha mengernyit, saat menerima telepon dari Gavin. "Dok, mohon biasakan beruluk salam dulu kalo nelpon. Itu namanya adab. Oke, gapapa, saya duluan yang ngucapin salam. Assalamualaykum!""Cerewet!""Balas dulu, atau saya matikan ponselnya.""Prisha! Kamu mahasiswi bimbingan saya!""Maaf, masa koas saya udah dibekukan. Lagipula, Anda menelepon bukan untuk kepentingan bimbingan.""Kamu--"Klik. Prisha mematikan ponsel begitu saja. Tak sampai dua detik, ponsel itu menjerit lagi. Prisha menerima panggilan telepon dengan malas."Assalamualaykum." Suara Gavin terdengar kaku, kentara sekali menahan kesal."Wa alaikumussalam," balas Prisha, datar."Betapa tidak sopannya kamu!""Oh, maaf, saya dulu lahir dan besar di kampung, lanjut di pesantren. Jadi tak pernah dididik seperti Om Dokter dan Mami di lingkungan penuh etika." Kalimat Prisha sarkas. Hati Gavin bagai tertampar. Ia memutuskan tak lagi meladeni debat gadis yang usianya berselisih 10 tahun di bawahnya itu. "Kamu d
"Kenapa kamu bertanya begitu?" Diana mengernyit. "Bukankah sudah seharusnya? Kamu cucu lelaki pertama yang juga menjadi ahli waris kepemimpinan Healthy Light. Wajar jika perkawinanmu dirayakan besar-besaran!"Gavin menegakkan punggung. Sekilas, ia melempar lirikan protes ke wajah sang ibu. Tak pernah ada skema itu dari ibunya! Sebab awalnya pernikahannya dengan Nalini ditentang keras hingga akhirnya ayah ibunya menyerah dan memberi syarat agar pernikahan dirahasiakan.Mengapa saat bersama Prisha, pernikahan justru hendak diungkap ke khalayak? Betapa tidak adilnya bagi Nalini! Gavin semakin kasihan pada kekasihnya, sekaligus tak berdaya. Prisha ikut terkejut, tapi disimpannya rasa itu dan tetap menunjukkan wajah tenang. Ia belum terlalu mengenal Gavin dan keluarganya, tetapi dapat menduga kekuatan pengaruh posisi mereka di tengah masyarakat. Prisha tidak mencemaskan itu. Yang membuatnya khawatir adalah dampak pesta pernikahan tersebut bagi ibunya. Meskipun Nalini memanipulasinya, w
Semua berawal dari saat Gavin mengutarakan niat menikahi seorang wanita, tatkala acara makan malam keluarga inti. Waktu itu kebetulan dihadiri Zed dan Diana. Niat tersebut disambut baik oleh Tibra dan Karina. Sebab sampai usia 32 tahun, Gavin tak menunjukkan tanda-tanda ingin berumah tangga. Sayangnya, Zed dan Diana menunjukkan keberatan. "Kakek dan Nenek sudah lama menyiapkan calon istri untukmu. Apa kamu lupa?" Demikian ungkapan ketidakpuasan Diana, ibu Tibra, beberapa waktu lalu, kepada cucunya."Kami pernah berpesan agar kamu tak pacaran dengan siapa pun. Kamu harus menjaga diri dan hatimu," tambah Zed."Saya sudah mematuhinya." Sang cucu menjawab, tenang. "Sampai sekarang, saya tak tersentuh siapa pun. Saya berterima kasih atas nasihat Kakek dan Nenek. Saat jatuh cinta, saya sudah cukup matang untuk mengendalikannya dan bertanggung jawab.""Kami punya tujuan lain saat menasihatimu," ungkap Zed, jengkel. "Kami berharap kamu menikahi gadis pilihan kami!" Nada dan gaya sang kakek
"Tak sempat ta'aruf, bagaimana bisa saling jatuh cinta?" celetuk Zed tiba-tiba, usil. Mengingat perlawanan sengit Gavin ketika dilarang menikahi Nalini, maka sungguh mustahil jika cucunya yang keras kepala itu bisa menerima Prisha dengan mudah. Zed merasa perlu mengetes Gavin.Sang cucu memasang muka tembok, meski mendapati ketidakpercayaan di wajah kakek neneknya. "Saya terlalu naif dan baru mengenal cinta. Setelah Mama memberi nasihat, akhirnya saya menyadari kalau Kakek Nenek hanya menginginkan yang terbaik untuk saya." Pemuda matang itu berkata, menunjukkan sikap rendah hati. "Ternyata, pilihan kalian tepat. Sha emang yang terbaik buat saya," lanjutnya sambil menatap wajah Prisha. Beruntung Prisha paham kalau sang dokter hanya bersandiwara saat memandangnya seperti orang terpukau. Jika tidak, hatinya dijamin baper. Gadis itu ingin berakting tersipu atau malu-malu, tapi tak kuasa. Ia tak biasa berbohong. Akhirnya, Prisha hanya bisa menunduk.Zed dan Diana terlihat lega. Seorang
"Mata abu-abu Gavin itu warisan dariku," ungkap Diana. "Mendiang ibuku berdarah Bosnia. Memiliki warna mata abu-abu yang langka di dunia.""MasyaAllah. So beautiful," puji Prisha."Warna matamu, berasal dari ayahmu."Prisha tercekat. "Ayah?"Diana mengangguk, haru. "Aku mengenalnya."Prisha terkejut. Hampir-hampir tak percaya. "Nenek mengenal papi saya? Bagaimana bisa? Saya tak pernah mengenal wajah papi. Mami tak menyimpan fotonya." Suaranya bergetar, menahan kerinduan pada sosok ayah.Diana mengambil sebuah album foto jadul bertulisan angka tahun yang lebih lama. Diperlihatkannya foto sepasang suami istri berlatar belakang bangunan bergaya Eropa. Si istri menggendong bayi mungil nan molek.Prisha terbelalak mengenali wajah wanita yang menggendong bayi. Meskipun tampak sangat belia, tapi ia tak mungkin luput mengenali garis wajah ibunya sendiri. Tatapannya jatuh ke wajah tampan pria di sisi ibunya. Terlihat lingkar iris mata kehijauan yang serupa dengan miliknya."Papi?" desah sang d
Gavin mengerti, tak ada gunanya berbantahan di depan para polisi itu. Rupanya malam itu terjadi razia pasangan mesum di sepanjang jalur pantai. Mana Gavin tahu kalau tempat itu sering digunakan untuk aktivitas maksiyat? Nasibnya malam itu sedang ketiban sial. Tak terbayangkan headline news besok pagi jika orang-orang mengenali dirinya.Gavin dan Prisha tak diberi kesempatan untuk menjelaskan atau menelepon keluarga. Ponsel Gavin dirampas. Akhirnya mereka terpaksa membiarkan diri digelandang seperti penjahat dan dimasukkan ke mobil polisi.Setengah jam kemudian, mereka dijebloskan ke penjara khusus, begitu borgol dilepas. Mereka dikurung bersama beberapa pasangan yang bernasib sama. "Keluarga kalian masing-masing sedang dihubungi! Nanti akan ada penyuluh agama datang ngasi nasihat! Jangan ribut atau nangis-nangis di sini! Giliran ngelakuin dosa, kalian ketawa-ketiwi keenakan!" kata ketua tim razia, galak, lengkap dengan pelototan mata.Gavin hanya mengatupkan bibir sambil menatap ta