"Mata abu-abu Gavin itu warisan dariku," ungkap Diana. "Mendiang ibuku berdarah Bosnia. Memiliki warna mata abu-abu yang langka di dunia.""MasyaAllah. So beautiful," puji Prisha."Warna matamu, berasal dari ayahmu."Prisha tercekat. "Ayah?"Diana mengangguk, haru. "Aku mengenalnya."Prisha terkejut. Hampir-hampir tak percaya. "Nenek mengenal papi saya? Bagaimana bisa? Saya tak pernah mengenal wajah papi. Mami tak menyimpan fotonya." Suaranya bergetar, menahan kerinduan pada sosok ayah.Diana mengambil sebuah album foto jadul bertulisan angka tahun yang lebih lama. Diperlihatkannya foto sepasang suami istri berlatar belakang bangunan bergaya Eropa. Si istri menggendong bayi mungil nan molek.Prisha terbelalak mengenali wajah wanita yang menggendong bayi. Meskipun tampak sangat belia, tapi ia tak mungkin luput mengenali garis wajah ibunya sendiri. Tatapannya jatuh ke wajah tampan pria di sisi ibunya. Terlihat lingkar iris mata kehijauan yang serupa dengan miliknya."Papi?" desah sang d
Gavin mengerti, tak ada gunanya berbantahan di depan para polisi itu. Rupanya malam itu terjadi razia pasangan mesum di sepanjang jalur pantai. Mana Gavin tahu kalau tempat itu sering digunakan untuk aktivitas maksiyat? Nasibnya malam itu sedang ketiban sial. Tak terbayangkan headline news besok pagi jika orang-orang mengenali dirinya.Gavin dan Prisha tak diberi kesempatan untuk menjelaskan atau menelepon keluarga. Ponsel Gavin dirampas. Akhirnya mereka terpaksa membiarkan diri digelandang seperti penjahat dan dimasukkan ke mobil polisi.Setengah jam kemudian, mereka dijebloskan ke penjara khusus, begitu borgol dilepas. Mereka dikurung bersama beberapa pasangan yang bernasib sama. "Keluarga kalian masing-masing sedang dihubungi! Nanti akan ada penyuluh agama datang ngasi nasihat! Jangan ribut atau nangis-nangis di sini! Giliran ngelakuin dosa, kalian ketawa-ketiwi keenakan!" kata ketua tim razia, galak, lengkap dengan pelototan mata.Gavin hanya mengatupkan bibir sambil menatap ta
"Pasien kasus apa, Pak? Gimana penanganannya?" Gavin terkekeh ringan menyaksikan rasa tertarik membayang di mata kehijauan Prisha. "Pasien kasus gangguan jiwa. Terutama yang cewek. Kalo dianamnesa, sering baper, mengira saya nanya-nanya gegara suka ama mereka. Mereka juga ngeles tiap kali dicek udah minum obat atau belum. Persis kamu, tuh."Menyadari dirinya disamakan dengan pasien gangguan jiwa, mata Prisha melebar, gusar. Bening zamrudnya makin berkilau. Gavin silau sesaat. Pria muda itu mengingat-ingat, kapan terakhir kali ia mengagumi mata seseorang selain mata hitam Nalini.Wajah samar seorang gadis remaja berkerudung, membayang di benaknya. Gavin gagal memperjelas fitur dan nama gadis itu di ingatannya. "Pak Dokter nyamain saya dengan pasien gangguan jiwa?" Protes meluncur dari bibir mungil Prisha. "Persis."Betapa ... hiih. Prisha serasa ingin mencakar-cakar dinding tembok penjara. "Ohya, panggilanmu ke aku ganti-ganti terus. Om Dok, Pak Dok. Apa itu? Ubah sebutanmu! Yang
"Gavin! Kamu nggak mikirin dampaknya buat Mama?!" hardik Karina. "Seluruh keluarga, terutama kakek nenekmu akan menyalahkan Mama jika terjadi sesuatu padamu. Kamu tau sendiri, gimana pandangan mereka ke Mama."Bahu Gavin menjadi lunglai. Wajahnya muram. Hatinya terenggut iba pada nasib ibunya yang tak dipandang sebelah mata oleh keluarga besar Devandra. Bahkan sering disia-siakan ayahnya. Karina mesti berjuang keras mencari muka. Gavin ingin sekali membuat ibunya bangga dan diakui seluruh keluarga."Saya butuh waktu untuk serumah dengan Pak Dokter, mengingat betapa mendadaknya saya dinikahkan." Prisha menyela, tanpa segan. "Gadis lancang!" hardik Karina. Langkahnya terhenti, tepat di serambi kantor polisi. Di bawah remang cahaya lampu neon, tampak wajah merah perempuan cantik itu, menahan murka. "Saya ingat, di hari akad nikah aja kamu udah berani nuntut pembatalan nikah. Saya nggak heran kalo kamu juga mudah minta cerai! Dasar naif! Kamu dan ibumu tidak tau udah berurusan sama siapa
"Vin, lo di mana?""Baru selesai mandi," sahut Gavin sambil melirik jam weker di nakas. Sudah jam enam. Disemprotkannya parfum mewah merk ternama, beraroma musk, ke sekujur tubuh."Abis tu ke mana?""Lo kayak nenek gue aja, nanya lagi di mana mau ke mana!""Siapa tau lo abis nyulik anak orang!""Lo abis nanganin operasi berapa jam malam tadi? Bobok sana!""Vin, serius ini. Gue barusan ditelpon anak koas yang curiga lo nyulik Prisha gegara kos-an Prisha dibongkar orang suruhan keluarga elo!" Nada bicara Reza terdengar berang. "Trus, lo ikut curiga?""Mengingat permusuhan lo ke dia, apa gak wajar gue curiga kalo soal ini ada kaitannya ama elo?""Kok, lo kayak mau ngamuk gitu?" Gavin mengernyit. Mulai tak senang. "Ada apa, sih, antara lo dan Prisha? Gue nagih cerita lo!""Ntar! Ada yang mau gue urus dulu. Bye!" Gavin memutus sambungan telepon. Pria muda itu pergi ke garasi rumah pribadinya, hanya mengenakan outfit berupa kemeja slimfit navy blue yang menambah efek daya tarik visualny
Mata Prisha masih terpejam, tapi kelopaknya bergetar hingga bulu-bulunya yang lebat berkibar bagai sayap kupu-kupu yang terjerat. Pertanda, gadis itu sedang bermimpi.Gavin menarik diri, tapi lengan tersebut membungkusnya kian ketat. Senyum manis Nalini terefleksi di bibir indah Prisha. Gavin tertarik dan menunduk, bermaksud mencicipi rasa manis itu. Akan tetapi, tertahan saat menyadari, gadis itu bukan Nalini. Rasa bersalah mengaliri hatinya. Bukankah menyentuh Prisha sama saja dengan mengkhianati Nalini? Pemuda itu buru-buru menjauhkan sepasang lengan Prisha dan menarik diri dengan kasar. Akibatnya, tidur Prisha terusik. Sepasang matanya sontak terbuka, tepat saat Gavin masih di ranjang. Gadis itu bangkit. Setengah linglung beberapa detik. Saat menyadari kehadiran seorang pria, gadis itu refleks menyilangkan sepasang lengan di dada. "Pak Dok ...." desahnya kaget. Terbelalak dan membulat mulutnya kala mendapati mahkota indahnya terekspos.Gavin terkejut karena Prisha terbangun ti
Bayangan samar lima garis merah bekas tamparan Karina di pipi kiri Prisha terpantul dari cermin rias yang menghadap ke ranjang. Gadis itu menyentuh pipi yang masih terasa perih itu. Kemarahan bercampur kesedihan bergumpal dalam dadanya. Sesak. Ingin sekali Prisha melabuhkan diri di pelukan neneknya. Nenek Sarah selalu mampu menghiburnya. Nasihat sang nenek pun tak pernah terasa menggurui. Selalu memberikan kedamaian.Prisha tak pernah terpikir pergi ke ibunya jika ada masalah. Justru dirinyalah yang selalu berusaha jadi tempat curhat sang ibu dan menyelesaikan masalahnya. Prisha sangat menyayangi ibunya dan tak ingin menyusahkannya.Sayang sekali, di saat ia telah meraih gelar S.Ked dan menjalani masa koas, ibunya meminta bantuan yang tak kuasa ditolak. Bantuan yang berakhir bencana.Prisha tiba-tiba teringat kembali kisah Nenek Diana tentang masa lalu ayah ibunya. Di sisi lain, tantangan Gavin tak bisa ia abaikan begitu saja.Saya ingin melihat seberapa keras ia memperjuangkan cita-
Siangnya, satu jam sebelum Zuhur, Gavin tiba di rumah usai meeting di kantor manajemen rumah sakit. Ia memang selalu berusaha makan siang di rumah sekalian mandi, sebelum berangkat lagi untuk memenuhi jadwal operasi. Pria itu sangat mengutamakan kebersihan tubuh setiap berganti aktivitas. Sesuai kebiasaan, sebelum mandi, Gavin akan rehat sejenak di ruang baca yang sejuk. Memanjakan tubuh sebentar di sofa berukir seribu bunga, sambil menonton medikal channel demi update informasi kesehatan dan teknologi medis terbaru. Hari itu, sekujur tubuhnya dilanda keletihan serta sangat mengantuk karena tidak tidur semalaman. Jadwal operasi sore sampai malam ia batalkan karena khawatir tidak fokus gara-gara mengantuk. Ia sangat mendambakan sofa empuknya di ruang baca.Alangkah kagetnya pria muda itu kala menemukan seorang gadis cantik tertidur pulas di sofa favoritnya. Tubuh gadis itu setengah meringkuk dan dahinya berkerut, seperti menyimpan mimpi buruk. Sementara televisi menyala, dengan suar