"Gavin! Kamu nggak mikirin dampaknya buat Mama?!" hardik Karina. "Seluruh keluarga, terutama kakek nenekmu akan menyalahkan Mama jika terjadi sesuatu padamu. Kamu tau sendiri, gimana pandangan mereka ke Mama."Bahu Gavin menjadi lunglai. Wajahnya muram. Hatinya terenggut iba pada nasib ibunya yang tak dipandang sebelah mata oleh keluarga besar Devandra. Bahkan sering disia-siakan ayahnya. Karina mesti berjuang keras mencari muka. Gavin ingin sekali membuat ibunya bangga dan diakui seluruh keluarga."Saya butuh waktu untuk serumah dengan Pak Dokter, mengingat betapa mendadaknya saya dinikahkan." Prisha menyela, tanpa segan. "Gadis lancang!" hardik Karina. Langkahnya terhenti, tepat di serambi kantor polisi. Di bawah remang cahaya lampu neon, tampak wajah merah perempuan cantik itu, menahan murka. "Saya ingat, di hari akad nikah aja kamu udah berani nuntut pembatalan nikah. Saya nggak heran kalo kamu juga mudah minta cerai! Dasar naif! Kamu dan ibumu tidak tau udah berurusan sama siapa
"Vin, lo di mana?""Baru selesai mandi," sahut Gavin sambil melirik jam weker di nakas. Sudah jam enam. Disemprotkannya parfum mewah merk ternama, beraroma musk, ke sekujur tubuh."Abis tu ke mana?""Lo kayak nenek gue aja, nanya lagi di mana mau ke mana!""Siapa tau lo abis nyulik anak orang!""Lo abis nanganin operasi berapa jam malam tadi? Bobok sana!""Vin, serius ini. Gue barusan ditelpon anak koas yang curiga lo nyulik Prisha gegara kos-an Prisha dibongkar orang suruhan keluarga elo!" Nada bicara Reza terdengar berang. "Trus, lo ikut curiga?""Mengingat permusuhan lo ke dia, apa gak wajar gue curiga kalo soal ini ada kaitannya ama elo?""Kok, lo kayak mau ngamuk gitu?" Gavin mengernyit. Mulai tak senang. "Ada apa, sih, antara lo dan Prisha? Gue nagih cerita lo!""Ntar! Ada yang mau gue urus dulu. Bye!" Gavin memutus sambungan telepon. Pria muda itu pergi ke garasi rumah pribadinya, hanya mengenakan outfit berupa kemeja slimfit navy blue yang menambah efek daya tarik visualny
Mata Prisha masih terpejam, tapi kelopaknya bergetar hingga bulu-bulunya yang lebat berkibar bagai sayap kupu-kupu yang terjerat. Pertanda, gadis itu sedang bermimpi.Gavin menarik diri, tapi lengan tersebut membungkusnya kian ketat. Senyum manis Nalini terefleksi di bibir indah Prisha. Gavin tertarik dan menunduk, bermaksud mencicipi rasa manis itu. Akan tetapi, tertahan saat menyadari, gadis itu bukan Nalini. Rasa bersalah mengaliri hatinya. Bukankah menyentuh Prisha sama saja dengan mengkhianati Nalini? Pemuda itu buru-buru menjauhkan sepasang lengan Prisha dan menarik diri dengan kasar. Akibatnya, tidur Prisha terusik. Sepasang matanya sontak terbuka, tepat saat Gavin masih di ranjang. Gadis itu bangkit. Setengah linglung beberapa detik. Saat menyadari kehadiran seorang pria, gadis itu refleks menyilangkan sepasang lengan di dada. "Pak Dok ...." desahnya kaget. Terbelalak dan membulat mulutnya kala mendapati mahkota indahnya terekspos.Gavin terkejut karena Prisha terbangun ti
Bayangan samar lima garis merah bekas tamparan Karina di pipi kiri Prisha terpantul dari cermin rias yang menghadap ke ranjang. Gadis itu menyentuh pipi yang masih terasa perih itu. Kemarahan bercampur kesedihan bergumpal dalam dadanya. Sesak. Ingin sekali Prisha melabuhkan diri di pelukan neneknya. Nenek Sarah selalu mampu menghiburnya. Nasihat sang nenek pun tak pernah terasa menggurui. Selalu memberikan kedamaian.Prisha tak pernah terpikir pergi ke ibunya jika ada masalah. Justru dirinyalah yang selalu berusaha jadi tempat curhat sang ibu dan menyelesaikan masalahnya. Prisha sangat menyayangi ibunya dan tak ingin menyusahkannya.Sayang sekali, di saat ia telah meraih gelar S.Ked dan menjalani masa koas, ibunya meminta bantuan yang tak kuasa ditolak. Bantuan yang berakhir bencana.Prisha tiba-tiba teringat kembali kisah Nenek Diana tentang masa lalu ayah ibunya. Di sisi lain, tantangan Gavin tak bisa ia abaikan begitu saja.Saya ingin melihat seberapa keras ia memperjuangkan cita-
Siangnya, satu jam sebelum Zuhur, Gavin tiba di rumah usai meeting di kantor manajemen rumah sakit. Ia memang selalu berusaha makan siang di rumah sekalian mandi, sebelum berangkat lagi untuk memenuhi jadwal operasi. Pria itu sangat mengutamakan kebersihan tubuh setiap berganti aktivitas. Sesuai kebiasaan, sebelum mandi, Gavin akan rehat sejenak di ruang baca yang sejuk. Memanjakan tubuh sebentar di sofa berukir seribu bunga, sambil menonton medikal channel demi update informasi kesehatan dan teknologi medis terbaru. Hari itu, sekujur tubuhnya dilanda keletihan serta sangat mengantuk karena tidak tidur semalaman. Jadwal operasi sore sampai malam ia batalkan karena khawatir tidak fokus gara-gara mengantuk. Ia sangat mendambakan sofa empuknya di ruang baca.Alangkah kagetnya pria muda itu kala menemukan seorang gadis cantik tertidur pulas di sofa favoritnya. Tubuh gadis itu setengah meringkuk dan dahinya berkerut, seperti menyimpan mimpi buruk. Sementara televisi menyala, dengan suar
Marah, benci, campur geregetan. Itu yang dirasakan Gavin sekarang. Sejak pertama kali berjumpa di rumah Nalini hingga detik itu, Prisha selalu membantahnya. Kelancangan tersebut harus dibayar mahal. Masa bodoh dengan perasaannya. Menghukum Prisha lebih penting. Bayangan Nalini yang dipujanya mati-matian, mendadak bermain-main di benaknya. Ia pantang menyentuh Nalini, demi menjaga kemurnian cinta dan memuliakan wanita itu. Tak sudi dirinya disamakan dengan lelaki lain yang hanya mendamba tubuh Nalini. Walau sebesar apa pun api yang membakarnya. Namun, Prisha miliknya, meski ia membenci kenyataan itu. Lebih benci lagi ketika gadis itu menantangnya. Gavin memutuskan melanggar prinsipnya. Ralat, bukan melanggar. Bukankah Prisha istrinya? Ia bebas memanfaatkan Prisha demi meredam panas api yang berkobar gara-gara merindukan Nalini. Wewangian samar sweet floral, perpaduan aroma rempah dan bunga-bunga, merasuki penciuman pria itu kala memangkas jaraknya dengan Prisha. Sang dara tersenta
Usai mendaras Al-Qur'an sebakda Ashar, pikiran Prisha lebih jernih. Ia duduk di kasur favorit buatan neneknya yang sudah menipis dan agak keras. Kasur berlapis seprai motif hello kitty itu terhampar di tengah lantai yang cukup luas.Prisha mendecih pelan, teringat betapa protektif Gavin menjaga sofa di ruang baca. Ternyata, ia dan Gavin sama-sama memiliki barang favorit. Rebahan di kasur buatan nenek, selalu memberinya rasa damai dan terkenang suasana rumah di kampung. Dengan sedih, ia mengamati buku-buku kedokteran yang tersusun rapi di rak bukunya yang jadi satu dengan meja belajar. Entah kapan ia bisa praktik lagi? Gavin betul-betul kejam. Izin magangnya dibekukan tanpa batas waktu. Selama menanti, Prisha yang terbiasa sibuk, tak tahu apa yang harus ia lakukan. Tak terbayang besarnya rasa bosan jika hari demi hari hanya duduk berpangku tangan di rumah.Prisha bermaksud menelepon sahabatnya di kos, tapi batal kala teringat ponselnya sudah terbuang. Solusinya, mau tak mau, beli pons
Gavin terdiam. Disesapnya lagi espresso yang mulai dingin."Kayaknya, ada beberapa poin yang kudu diperjelas dulu sebelum elo ngambil langkah ke depan. Pertama, soal Nalini nolongin elo." Reza menatap serius. "Elo percaya begitu aja kalo dia yang nolong elo? Bukannya saksi mata banyak?"Gavin masih membisu. Dahinya berkerut, memeras ingatan setahun silam. Pascaoperasi bedah otak untuk menyingkirkan gumpalan darah beku dari selaput otaknya, Gavin dinyatakan amnesia retrogad. Ia tak mampu mengingat kejadian sebelum kecelakaan. Namun, kadang-kadang, sekelebatan bayangan samar penolongnya muncul dalam bentuk mimpi. Selama ini, Gavin mengabaikannya. Sekarang, ingatan akan mimpi-mimpi itu memaksanya berpikir."Kenapa lo nanya gitu?""Aneh aja. Gue inget, dalam rekam medis lo, tercatat kalo lo ditemukan ngalamin henti jantung beberapa kali. Berkat RJP sebelum di bawa ke rs, nyawa lo berhasil diselamatkan. Pertanyaannya, apakah Nalini mampu melakukan RJP?""Dia ngaku bisa, diajarin Prisha." G