Mata Prisha masih terpejam, tapi kelopaknya bergetar hingga bulu-bulunya yang lebat berkibar bagai sayap kupu-kupu yang terjerat. Pertanda, gadis itu sedang bermimpi.Gavin menarik diri, tapi lengan tersebut membungkusnya kian ketat. Senyum manis Nalini terefleksi di bibir indah Prisha. Gavin tertarik dan menunduk, bermaksud mencicipi rasa manis itu. Akan tetapi, tertahan saat menyadari, gadis itu bukan Nalini. Rasa bersalah mengaliri hatinya. Bukankah menyentuh Prisha sama saja dengan mengkhianati Nalini? Pemuda itu buru-buru menjauhkan sepasang lengan Prisha dan menarik diri dengan kasar. Akibatnya, tidur Prisha terusik. Sepasang matanya sontak terbuka, tepat saat Gavin masih di ranjang. Gadis itu bangkit. Setengah linglung beberapa detik. Saat menyadari kehadiran seorang pria, gadis itu refleks menyilangkan sepasang lengan di dada. "Pak Dok ...." desahnya kaget. Terbelalak dan membulat mulutnya kala mendapati mahkota indahnya terekspos.Gavin terkejut karena Prisha terbangun ti
Bayangan samar lima garis merah bekas tamparan Karina di pipi kiri Prisha terpantul dari cermin rias yang menghadap ke ranjang. Gadis itu menyentuh pipi yang masih terasa perih itu. Kemarahan bercampur kesedihan bergumpal dalam dadanya. Sesak. Ingin sekali Prisha melabuhkan diri di pelukan neneknya. Nenek Sarah selalu mampu menghiburnya. Nasihat sang nenek pun tak pernah terasa menggurui. Selalu memberikan kedamaian.Prisha tak pernah terpikir pergi ke ibunya jika ada masalah. Justru dirinyalah yang selalu berusaha jadi tempat curhat sang ibu dan menyelesaikan masalahnya. Prisha sangat menyayangi ibunya dan tak ingin menyusahkannya.Sayang sekali, di saat ia telah meraih gelar S.Ked dan menjalani masa koas, ibunya meminta bantuan yang tak kuasa ditolak. Bantuan yang berakhir bencana.Prisha tiba-tiba teringat kembali kisah Nenek Diana tentang masa lalu ayah ibunya. Di sisi lain, tantangan Gavin tak bisa ia abaikan begitu saja.Saya ingin melihat seberapa keras ia memperjuangkan cita-
Siangnya, satu jam sebelum Zuhur, Gavin tiba di rumah usai meeting di kantor manajemen rumah sakit. Ia memang selalu berusaha makan siang di rumah sekalian mandi, sebelum berangkat lagi untuk memenuhi jadwal operasi. Pria itu sangat mengutamakan kebersihan tubuh setiap berganti aktivitas. Sesuai kebiasaan, sebelum mandi, Gavin akan rehat sejenak di ruang baca yang sejuk. Memanjakan tubuh sebentar di sofa berukir seribu bunga, sambil menonton medikal channel demi update informasi kesehatan dan teknologi medis terbaru. Hari itu, sekujur tubuhnya dilanda keletihan serta sangat mengantuk karena tidak tidur semalaman. Jadwal operasi sore sampai malam ia batalkan karena khawatir tidak fokus gara-gara mengantuk. Ia sangat mendambakan sofa empuknya di ruang baca.Alangkah kagetnya pria muda itu kala menemukan seorang gadis cantik tertidur pulas di sofa favoritnya. Tubuh gadis itu setengah meringkuk dan dahinya berkerut, seperti menyimpan mimpi buruk. Sementara televisi menyala, dengan suar
Marah, benci, campur geregetan. Itu yang dirasakan Gavin sekarang. Sejak pertama kali berjumpa di rumah Nalini hingga detik itu, Prisha selalu membantahnya. Kelancangan tersebut harus dibayar mahal. Masa bodoh dengan perasaannya. Menghukum Prisha lebih penting. Bayangan Nalini yang dipujanya mati-matian, mendadak bermain-main di benaknya. Ia pantang menyentuh Nalini, demi menjaga kemurnian cinta dan memuliakan wanita itu. Tak sudi dirinya disamakan dengan lelaki lain yang hanya mendamba tubuh Nalini. Walau sebesar apa pun api yang membakarnya. Namun, Prisha miliknya, meski ia membenci kenyataan itu. Lebih benci lagi ketika gadis itu menantangnya. Gavin memutuskan melanggar prinsipnya. Ralat, bukan melanggar. Bukankah Prisha istrinya? Ia bebas memanfaatkan Prisha demi meredam panas api yang berkobar gara-gara merindukan Nalini. Wewangian samar sweet floral, perpaduan aroma rempah dan bunga-bunga, merasuki penciuman pria itu kala memangkas jaraknya dengan Prisha. Sang dara tersenta
Usai mendaras Al-Qur'an sebakda Ashar, pikiran Prisha lebih jernih. Ia duduk di kasur favorit buatan neneknya yang sudah menipis dan agak keras. Kasur berlapis seprai motif hello kitty itu terhampar di tengah lantai yang cukup luas.Prisha mendecih pelan, teringat betapa protektif Gavin menjaga sofa di ruang baca. Ternyata, ia dan Gavin sama-sama memiliki barang favorit. Rebahan di kasur buatan nenek, selalu memberinya rasa damai dan terkenang suasana rumah di kampung. Dengan sedih, ia mengamati buku-buku kedokteran yang tersusun rapi di rak bukunya yang jadi satu dengan meja belajar. Entah kapan ia bisa praktik lagi? Gavin betul-betul kejam. Izin magangnya dibekukan tanpa batas waktu. Selama menanti, Prisha yang terbiasa sibuk, tak tahu apa yang harus ia lakukan. Tak terbayang besarnya rasa bosan jika hari demi hari hanya duduk berpangku tangan di rumah.Prisha bermaksud menelepon sahabatnya di kos, tapi batal kala teringat ponselnya sudah terbuang. Solusinya, mau tak mau, beli pons
Gavin terdiam. Disesapnya lagi espresso yang mulai dingin."Kayaknya, ada beberapa poin yang kudu diperjelas dulu sebelum elo ngambil langkah ke depan. Pertama, soal Nalini nolongin elo." Reza menatap serius. "Elo percaya begitu aja kalo dia yang nolong elo? Bukannya saksi mata banyak?"Gavin masih membisu. Dahinya berkerut, memeras ingatan setahun silam. Pascaoperasi bedah otak untuk menyingkirkan gumpalan darah beku dari selaput otaknya, Gavin dinyatakan amnesia retrogad. Ia tak mampu mengingat kejadian sebelum kecelakaan. Namun, kadang-kadang, sekelebatan bayangan samar penolongnya muncul dalam bentuk mimpi. Selama ini, Gavin mengabaikannya. Sekarang, ingatan akan mimpi-mimpi itu memaksanya berpikir."Kenapa lo nanya gitu?""Aneh aja. Gue inget, dalam rekam medis lo, tercatat kalo lo ditemukan ngalamin henti jantung beberapa kali. Berkat RJP sebelum di bawa ke rs, nyawa lo berhasil diselamatkan. Pertanyaannya, apakah Nalini mampu melakukan RJP?""Dia ngaku bisa, diajarin Prisha." G
Prisha mendelik gusar. "Saran apa itu? Menyesatkan!" serunya dongkol. "Gue ogah nerima tips dari jomlo yang minus pengalaman nikah!""Ish ish, trik itu gue dapet dari novel-novel digital. Dua cara jitu menarik hati suami, pertama lewat perutnya. Masakkin yang enak-enak, trus telaten nyiapin makannya. Kedua, lewat itunya. Lingerie tak pernah gagal. Setidaknya, itu yang gue baca," ungkap Keyko, sok tahu. Urat geli Prisha tergelitik. Ia nyaris terbahak. "Sumbermu fiksi semua." "Cerita fiksi itu mewakili realitas." Keyko tampak mengedikkan bahu di depan layar ponsel."Gue jadi ragu, lo lulus murni apa nggak waktu ujian skripsi." Keyko berdecak jengkel. "Nggak ada hubungannya." "Tentu saja. Ngeliat sumber saran lo, siapa pun nggak bakal percaya kalo elo udah wisuda sarjana kedokteran.""Astaga, mulut elo udah nyaingin Lambe Rubah, biang julid di tweeter.""Udah cukup omong kosong ini!" Prisha jadi kesal. "Gue masih punya harga diri! Nggak bisa disamain ama Mami gue! Gue bukan kucing g
Prisha mengeringkan air mata dengan tisu. Kepalanya sedikit pening. Perut pun semakin perih dan berkeriuk akibat peristaltik usus yang minta diisi. Ia harus makan. Menghadapi kenyataan pahit butuh energi.Gadis itu pun beranjak keluar sambil berharap tak berjumpa manusia salju. Harapannya sia-sia. Tak dinyana, Gavin malah sudah duduk di depan meja dalam ruang makan dekat dapur. Langkah Prisha tertunda. Pemuda itu tampak menghadapi hidangan makan malam sambil menempelkan ponsel di telinga kanan. Agaknya sibuk menyimak telepon dari seseorang. Kening halusnya berkerut. Sepasang mata abu-abu terlihat lebih dark. Ekspresinya dingin, mengandung kemarahan tertahan.Prisha merutuk dalam hati. Kenapa pria itu malah di dapur, tidak duduk di ruang makan saja? Prisha terpaksa menggagalkan niatnya memasak makan malam untuk diri sendiri. Menekan lapar, gadis itu berbalik. Akan tetapi, ingatan akan percakapan dengan ibunya barusan, tiba-tiba terlintas di benak. Prisha jadi memikirkan rencana baru