Prisha mengeringkan air mata dengan tisu. Kepalanya sedikit pening. Perut pun semakin perih dan berkeriuk akibat peristaltik usus yang minta diisi. Ia harus makan. Menghadapi kenyataan pahit butuh energi.Gadis itu pun beranjak keluar sambil berharap tak berjumpa manusia salju. Harapannya sia-sia. Tak dinyana, Gavin malah sudah duduk di depan meja dalam ruang makan dekat dapur. Langkah Prisha tertunda. Pemuda itu tampak menghadapi hidangan makan malam sambil menempelkan ponsel di telinga kanan. Agaknya sibuk menyimak telepon dari seseorang. Kening halusnya berkerut. Sepasang mata abu-abu terlihat lebih dark. Ekspresinya dingin, mengandung kemarahan tertahan.Prisha merutuk dalam hati. Kenapa pria itu malah di dapur, tidak duduk di ruang makan saja? Prisha terpaksa menggagalkan niatnya memasak makan malam untuk diri sendiri. Menekan lapar, gadis itu berbalik. Akan tetapi, ingatan akan percakapan dengan ibunya barusan, tiba-tiba terlintas di benak. Prisha jadi memikirkan rencana baru
Gavin sebenarnya tidak serius mengajukan permintaan itu. Ia hanya ingin menindas Prisha yang dianggapnya berpura-pura. Walau jarang berinteraksi, Gavin cukup mengenal karakter gadis itu. Nalini juga sering bercerita kalau putrinya alim dan tak pernah punya pacar. Prisha tak pernah disentuh pria. Dalam hal ini, Gavin merasa ada kesamaan antara dirinya dan Prisha. Untouchable.Gavin paham, bagi seorang yang sangat menjaga interaksi, sekamar dengan lawan jenis, apalagi jika tak disukai, pasti cukup menakutkan. Sebagai dokter plus mantan dosen yang sering menghadapi beragam perilaku pasien dan mahasiswa, Gavin bisa menduga, Prisha hanya lips-service. Tak mungkin gadis itu berani sekamar dengannya.Senyum kemenangan mengembang di wajahnya saat menyaksikan Prisha salah tingkah dan tak kuasa mengangkat muka. Gavin melenggang ke kamar dengan kepuasan seperti anak-anak yang berhasil mengusili temannya.Dalam kamar yang merangkap jadi ruang kerja, dokter yang terpaksa merangkap jadi CEO itu, la
"Apakah saya tidak boleh mengartikannya lebih?" Prisha menindas rasa malunya. "Jangan mimpi!""Aduh!" pekik sang dara tiba-tiba, sambil menyentuh dada dengan sepasang tangan.Gavin spontan menoleh. "Kenapa?" Refleks pemuda itu turun dari bangku saat Prisha terduduk di lantai sambil meringis seperti orang kena serangan jantung.Sebenci-bencinya, Prisha adalah putri dari wanita yang dicintainya. Setitik perhatian sebagai calon ayah, masih ia miliki. Terlebih lagi, Gavin seorang dokter yang tak biasa membiarkan orang menderita tanpa pertolongan."Jantung saya, Dok ...." "Kenapa jantungnya?"Prisha menengadah hingga paras jelitanya sempurna berhadapan dengan wajah elok sang dokter."Jantung saya nyeri saking kuatnya berdebar. Palpitasi. Semoga bukan aritmia ...."Gavin terkesima. Jantungnya kembali berdegup aneh menyaksikan wajah kemerahan dan rekahan bibir Prisha yang mirip kelopak bunga mekar saat berbicara. Ia menggali file memori bersama Nalini. Nalini seorang wanita dengan daya ta
"Saya akan berusaha memperbaiki diri, Mami." Prisha tak membantah ibunya. Percuma, pikirnya. Ia melihat meja makan. Tersedia sarapan berupa nasi goreng istimewa. Apakah Mami yang memasaknya?"Kapan Mami datang?" "Satu jam yang lalu. Mami bawakan nasi goreng untuk ... kalian. Ayo, sarapan bersama!" ajak Nalini, ceria.Prisha menatap Gavin. Sinar matanya mengandung isyarat tanya. Apakah boleh?Gavin hanya mengangguk. Wajahnya terlihat lebih hangat dan berseri, tidak dingin seperti biasa. Saat Prisha duduk di sisi Nalini, Gavin memandanginya cukup lama. "Kalian betul-betul mirip." Ada nada takjub dalam suara pemuda itu. Seakan-akan baru saja menemukan diagnosa penyakit langka setelah sekian lama memeriksa dan mencari data-data pasien."Orang bilang, kami mirip kakak adik. Saya kakaknya, Mami adiknya. Mungkin karena gaya saya terlalu serius, terkesan tua. Padahal saya kekanak-kanakan." Prisha setengah bergurau, agak sarkas. "Em betul." Gavin mengalihkan pandang, fokus ke Nalini. "Kam
Prisha terlonjak dan melotot. Bukan main! Betapa plin plannya dokter arogan dan kejam ini. Dia betul-betul nganggap aku boneka yang bebas dipermainkan kapan saja sesuka jempolnya!"Maaf, Pak Dok. Nikah dan cerai bukan kata-kata yang gampang diucapkan sekehendak hati. Sebagai dokter spesialis merangkap CEO, Anda cukup cerdas untuk memahami ini," kritiknya, tajam.Gavin tidak kelihatan gusar, malah tersenyun. "Saya hanya lelaki biasa yang kurang paham agama," katanya, menunjukkan sikap rendah hati yang berujung bahaya. "Tidak seperti kamu yang lulusan pesantren. Tolong ajari saya supaya nggak mudah ngucap cerai. Sebab, konsekuensinya buat kamu cukup fatal."Ancaman tersirat tersebut memantik nyala kemarahan di mata Prisha sekaligus rasa tak berdaya.Sementara Nalini terbelalak, tak percaya. "Vin, apa maksudmu? Apa rencanamu?" Ia bertanya, cemas."Tadinya, aku bermaksud menceraikan putrimu dan menikahi kamu. Sebab aku dan putrimu masih murni. Ketentuannya sudah aku pelajari. Tapi, tiba-
Beberapa dokter, perawat, petugas loket, resepsionis, satpam, pasien poliklinik, dan para pengunjung yang ada di lobi dan lalu lalang di gerbang masuk rumah sakit, mendadak bagai robot yang di-mute, begitu menyaksikan adegan tabu secara live dan gratisan.Rata-rata terpukau. Masing-masing merefleksikan rasa itu dengan cara mereka. Ada yang gercep menangkap momen itu lewat jepretan kamera ponsel atau merekamnya jadi video. Ada yang bengong sampai mimisan. Ada pula yang otomatis merapat ke pasangannya. Tak ketinggalan yang bersuit-suit atau berdecak kagum. Sebagian lagi berpaling, memejamkan mata, atau menggeleng sambil ngelus dada.Sementara para tim medis dan staf rumah sakit, hanya terbengong ria. Adegan luar biasa itu di luar ekspektasi dan prediksi mereka yang mengenal sosok Prof. DR. dr. Gavin Devandra, Sp.BTKV sebagai sosok dingin yang untouchable. Mereka malah mengira sang dokter sedang mabuk, atau stres berat. Satu dua rekan sejawat sampai menghubungi psikiater rumah sakit aga
Meskipun Prisha tak bisa memungkiri, kemesraan antar pasutri itu halal dan berkah di sisi Allah, tetapi melakukannya ada adab yang perlu dijaga demi iffah. Tabu jika dipamerkan ke khalayak, atau keluarga sekalipun. Jangankan dipamerkan, memperbincangkannya saja dicela oleh Rasulullah SAW.Pak Dok sering mengejekku minus etika dan tak tahu malu. Tapi nyatanya? Siapa yang bertingkah lebih memalukan? "Gimana kondisi pasien?" tanya Gavin, ke spesialis anestesi."Aman, Dok. Stabil.""Oke, kita mulai." Gavin mengambil scalpel yang diserahkan asisten instrumen.Tiba-tiba Dokter Nazeef menahannya. "Sebentar, Dok!" Wajahnya serius. "Anda nggak sedang mabuk, kan? Atau pusing? Benturan kepala, mungkin?"Gavin agak terkejut. Gerakannya terjeda. Scalpel di tangannya yang siap membelah dada pasien, teracung sejenak di udara. "Saya baik-baik aja, Dok.""Syukurlah." Dokter Nazeef tersenyum di balik maskernya. "Mungkin mabuk cinta .... I see. Pengantin baru. Saya harap Anda cukup stabil menjalankan
Saat pintu lift tertutup, Gavin bersandar di dinding sambil memejamkan mata dan menggigit bibir. Keningnya berkerut seperti menahan rasa sakit. Ekspresi tersebut hanya berlangsung sesaat. Begitu lift mencapai lantai tiga dan pintunya terbuka, wajahnya kembali tenang, cenderung dingin seperti biasa. Namun, sepasang matanya merah dan berair.Panggilan telepon berupa alunan musik lembut, berbunyi dari ponselnya. Nama Nalini muncul di layar. Gavin langsung menolak panggilan. Tercatat di log panggilan telepon, berpuluh-puluh kali panggilan tak terjawab dari Nalini, sejak beberapa jam yang lalu. Gavin keluar lift. Langkahnya agak terhuyung menuju ruang rapat perusahaan. Pucat lesi wajahnya bagai tak dialiri darah. Gavin mengerti kondisi tubuhnya. Gula darahnya sedang drop karena tubuh tidak mendapat asupan nutrisi cukup sejak tadi malam. Selera makan menguap dan energinya raib akibat tekanan batin hebat. Terakhir kali ia mengalami situasi serupa hingga keceriaannya terenggut, terjadi d