Prisha terlonjak dan melotot. Bukan main! Betapa plin plannya dokter arogan dan kejam ini. Dia betul-betul nganggap aku boneka yang bebas dipermainkan kapan saja sesuka jempolnya!"Maaf, Pak Dok. Nikah dan cerai bukan kata-kata yang gampang diucapkan sekehendak hati. Sebagai dokter spesialis merangkap CEO, Anda cukup cerdas untuk memahami ini," kritiknya, tajam.Gavin tidak kelihatan gusar, malah tersenyun. "Saya hanya lelaki biasa yang kurang paham agama," katanya, menunjukkan sikap rendah hati yang berujung bahaya. "Tidak seperti kamu yang lulusan pesantren. Tolong ajari saya supaya nggak mudah ngucap cerai. Sebab, konsekuensinya buat kamu cukup fatal."Ancaman tersirat tersebut memantik nyala kemarahan di mata Prisha sekaligus rasa tak berdaya.Sementara Nalini terbelalak, tak percaya. "Vin, apa maksudmu? Apa rencanamu?" Ia bertanya, cemas."Tadinya, aku bermaksud menceraikan putrimu dan menikahi kamu. Sebab aku dan putrimu masih murni. Ketentuannya sudah aku pelajari. Tapi, tiba-
Beberapa dokter, perawat, petugas loket, resepsionis, satpam, pasien poliklinik, dan para pengunjung yang ada di lobi dan lalu lalang di gerbang masuk rumah sakit, mendadak bagai robot yang di-mute, begitu menyaksikan adegan tabu secara live dan gratisan.Rata-rata terpukau. Masing-masing merefleksikan rasa itu dengan cara mereka. Ada yang gercep menangkap momen itu lewat jepretan kamera ponsel atau merekamnya jadi video. Ada yang bengong sampai mimisan. Ada pula yang otomatis merapat ke pasangannya. Tak ketinggalan yang bersuit-suit atau berdecak kagum. Sebagian lagi berpaling, memejamkan mata, atau menggeleng sambil ngelus dada.Sementara para tim medis dan staf rumah sakit, hanya terbengong ria. Adegan luar biasa itu di luar ekspektasi dan prediksi mereka yang mengenal sosok Prof. DR. dr. Gavin Devandra, Sp.BTKV sebagai sosok dingin yang untouchable. Mereka malah mengira sang dokter sedang mabuk, atau stres berat. Satu dua rekan sejawat sampai menghubungi psikiater rumah sakit aga
Meskipun Prisha tak bisa memungkiri, kemesraan antar pasutri itu halal dan berkah di sisi Allah, tetapi melakukannya ada adab yang perlu dijaga demi iffah. Tabu jika dipamerkan ke khalayak, atau keluarga sekalipun. Jangankan dipamerkan, memperbincangkannya saja dicela oleh Rasulullah SAW.Pak Dok sering mengejekku minus etika dan tak tahu malu. Tapi nyatanya? Siapa yang bertingkah lebih memalukan? "Gimana kondisi pasien?" tanya Gavin, ke spesialis anestesi."Aman, Dok. Stabil.""Oke, kita mulai." Gavin mengambil scalpel yang diserahkan asisten instrumen.Tiba-tiba Dokter Nazeef menahannya. "Sebentar, Dok!" Wajahnya serius. "Anda nggak sedang mabuk, kan? Atau pusing? Benturan kepala, mungkin?"Gavin agak terkejut. Gerakannya terjeda. Scalpel di tangannya yang siap membelah dada pasien, teracung sejenak di udara. "Saya baik-baik aja, Dok.""Syukurlah." Dokter Nazeef tersenyum di balik maskernya. "Mungkin mabuk cinta .... I see. Pengantin baru. Saya harap Anda cukup stabil menjalankan
Saat pintu lift tertutup, Gavin bersandar di dinding sambil memejamkan mata dan menggigit bibir. Keningnya berkerut seperti menahan rasa sakit. Ekspresi tersebut hanya berlangsung sesaat. Begitu lift mencapai lantai tiga dan pintunya terbuka, wajahnya kembali tenang, cenderung dingin seperti biasa. Namun, sepasang matanya merah dan berair.Panggilan telepon berupa alunan musik lembut, berbunyi dari ponselnya. Nama Nalini muncul di layar. Gavin langsung menolak panggilan. Tercatat di log panggilan telepon, berpuluh-puluh kali panggilan tak terjawab dari Nalini, sejak beberapa jam yang lalu. Gavin keluar lift. Langkahnya agak terhuyung menuju ruang rapat perusahaan. Pucat lesi wajahnya bagai tak dialiri darah. Gavin mengerti kondisi tubuhnya. Gula darahnya sedang drop karena tubuh tidak mendapat asupan nutrisi cukup sejak tadi malam. Selera makan menguap dan energinya raib akibat tekanan batin hebat. Terakhir kali ia mengalami situasi serupa hingga keceriaannya terenggut, terjadi d
Akram terbelalak melihat putri semata wayangnya. Gegas didorongnya Reza sampai pemuda itu terhuyung nyaris jatuh."Hana, Ya Allah, lo lagi diimpus malah jalan ke sini!" Akram panik, istrinya lebih panik. Nora cepat-cepat mendekati putrinya yang datang bersama tiang infus. "Rebahan aja. Biar Nyak Babe yang nyelesain masalah lo!""Gak, Nyak. Hana gak sepakat kalo Nyak Babe nyelesain masalah pake cara kek gini. Babe dah janji ke Hana mau tobat. Gak maen kasar lagi. Kenape Babe malah ngangkut orang sekampung ama centeng satu kecamatan gini?" Hana ngomel-ngomel dan menolak ketika disuruh enyaknya duduk di bangku. "Siapa yang kagak geger denger kabar lo tersiksa di sini?" Nora melotot. "Lo disekolahin buat jadi dokter, bukan jadi kuli yang kerja rodi gak berenti-berenti!""Hana minta maap udah bikin Nyak Babe kepikiran. Hana lagi masa koas, kudu belajar banyak. Pas nelpon tadi, Hana emang lagi sebel berat. Tapi sekarang, Hana udah ikhlas. Nyak Babe pulang aje."Reza menatap Hana, penuh r
Langit petang berselimut jingga bagai terbakar cahaya matahari terbenam, saat Prisha tiba di rumah. Ia pulang naik taksi online. Sama sekali tidak menunggu atau ditunggu suaminya. Insiden tadi pagi, yang jelas tak bermakna apa-apa bagi Gavin, sudah cukup melukai hatinya. Sebagai gadis berjilbab lulusan pesantren, Prisha sangat menjaga iffah dan wara. Gavin telah melecehkannya. Tak peduli status Gavin sebagai suami, Prisha tetap merasa tak dihargai. Di ruang privat pun ia tak sudi, apalagi di depan publik.Sayang seribu sayang, ukuran otaknya seakan-akan mengerucut, pasokan oksigen menurun, tekanan intrakranial meningkat, tatkala insiden itu terjadi. Akibatnya Prisha kehilangan rasionalitas dan tugas memandu reaksi tubuh diambil alih instink feminim.Prisha malu sekali. Di depan orang-orang, ia bisa memasang muka tembok, tetapi saat tiba di rumah Gavin, gadis itu serasa ingin melempar batu ke cermin.Seusai membersihkan tubuh dan ganti baju di kamar pribadi, ia dikejutkan ketukan pada
"Prisha!" Karina mendekat, setengah berbisik sambil melotot. Ditariknya Prisha ke pojok ruangan. "Kenapa baju dari Mama gak dipake? Kita ada sesi foto bersama yang bakal diunggah ke medsos. Kamu jangan malu-maluin!""Bajunya nggak muat, Ma," sahut Prisha polos."Nggak mungkin! Mama dapet ukuran dari Gavin!"Prisha nyaris tersedak mendengar info ukuran tubuhnya dari Gavin. "Em, bajunya terlalu nyetak di badan Sha. Sha nggak biasa pake baju ketat kalo ke luar rumah.""Mama nggak mau tau! Sekarang juga kamu ganti! Ayok ke dalam, Mama kasi baju ganti punya Mama. Untung Mama bawa serep, khawatir kamu keras kepala!"Karina menyeret menantunya lewat pintu samping ruang tengah. Namun, baru beberapa langkah memasuki lorong rumah, sebuah suara menahannya."Mama!" Karina menoleh. "Vin!" serunya gusar. "Kenapa Sha dibiarin pake baju orang-orangan sawah gini? Kerabat papamu mulai bergunjing liat Prisha! Bikin malu saja!"Gavin mendekat. "Mama nggak perlu repot-repot ngurus gadis keras kepala ini.
Zed dan Diana duduk di kursi utama, memindai anak, menantu, dan cucu-cucunya yang telah duduk rapi menghadapi meja makan. Lantas, fokus mereka terkunci pada Prisha yang duduk di sisi Gavin, sebelah kiri Karina. "Prisha, silakan perkenalkan dirimu, Nak." Diana tersenyum ramah. Pandangan semua orang otomatis terpusat ke Prisha. Beberapa anggota keluarga berdecih pelan. Yang lain, memberi tatapan merendahkan, dan sebagian lain tanpa minat."Mama, biar saya yang memperkenalkan Prisha," ucap Karina, tiba-tiba. "Nggak perlu repot-repot, Mba Karin." Sonya, menantu dari anak kedua Zed, menukas sambil menggoyang kipas bulu klasiknya. "Kami udah tau profil Prisha. Nggak bisa dibayangkan, gimana reaksi publik jika background-nya terekspos.""Mba Sonya punya tiga anak. Saya empat. Kebayang susahnya ngatur anak banyak, ya. Mba Karin beruntung hanya ngatur satu anak. Eh, tapi, kok, tetep kecolongan milihin jodoh." Lolita, menantu ketiga, menampakkan wajah prihatin. Wajah Karina memerah, menahan