Akram terbelalak melihat putri semata wayangnya. Gegas didorongnya Reza sampai pemuda itu terhuyung nyaris jatuh."Hana, Ya Allah, lo lagi diimpus malah jalan ke sini!" Akram panik, istrinya lebih panik. Nora cepat-cepat mendekati putrinya yang datang bersama tiang infus. "Rebahan aja. Biar Nyak Babe yang nyelesain masalah lo!""Gak, Nyak. Hana gak sepakat kalo Nyak Babe nyelesain masalah pake cara kek gini. Babe dah janji ke Hana mau tobat. Gak maen kasar lagi. Kenape Babe malah ngangkut orang sekampung ama centeng satu kecamatan gini?" Hana ngomel-ngomel dan menolak ketika disuruh enyaknya duduk di bangku. "Siapa yang kagak geger denger kabar lo tersiksa di sini?" Nora melotot. "Lo disekolahin buat jadi dokter, bukan jadi kuli yang kerja rodi gak berenti-berenti!""Hana minta maap udah bikin Nyak Babe kepikiran. Hana lagi masa koas, kudu belajar banyak. Pas nelpon tadi, Hana emang lagi sebel berat. Tapi sekarang, Hana udah ikhlas. Nyak Babe pulang aje."Reza menatap Hana, penuh r
Langit petang berselimut jingga bagai terbakar cahaya matahari terbenam, saat Prisha tiba di rumah. Ia pulang naik taksi online. Sama sekali tidak menunggu atau ditunggu suaminya. Insiden tadi pagi, yang jelas tak bermakna apa-apa bagi Gavin, sudah cukup melukai hatinya. Sebagai gadis berjilbab lulusan pesantren, Prisha sangat menjaga iffah dan wara. Gavin telah melecehkannya. Tak peduli status Gavin sebagai suami, Prisha tetap merasa tak dihargai. Di ruang privat pun ia tak sudi, apalagi di depan publik.Sayang seribu sayang, ukuran otaknya seakan-akan mengerucut, pasokan oksigen menurun, tekanan intrakranial meningkat, tatkala insiden itu terjadi. Akibatnya Prisha kehilangan rasionalitas dan tugas memandu reaksi tubuh diambil alih instink feminim.Prisha malu sekali. Di depan orang-orang, ia bisa memasang muka tembok, tetapi saat tiba di rumah Gavin, gadis itu serasa ingin melempar batu ke cermin.Seusai membersihkan tubuh dan ganti baju di kamar pribadi, ia dikejutkan ketukan pada
"Prisha!" Karina mendekat, setengah berbisik sambil melotot. Ditariknya Prisha ke pojok ruangan. "Kenapa baju dari Mama gak dipake? Kita ada sesi foto bersama yang bakal diunggah ke medsos. Kamu jangan malu-maluin!""Bajunya nggak muat, Ma," sahut Prisha polos."Nggak mungkin! Mama dapet ukuran dari Gavin!"Prisha nyaris tersedak mendengar info ukuran tubuhnya dari Gavin. "Em, bajunya terlalu nyetak di badan Sha. Sha nggak biasa pake baju ketat kalo ke luar rumah.""Mama nggak mau tau! Sekarang juga kamu ganti! Ayok ke dalam, Mama kasi baju ganti punya Mama. Untung Mama bawa serep, khawatir kamu keras kepala!"Karina menyeret menantunya lewat pintu samping ruang tengah. Namun, baru beberapa langkah memasuki lorong rumah, sebuah suara menahannya."Mama!" Karina menoleh. "Vin!" serunya gusar. "Kenapa Sha dibiarin pake baju orang-orangan sawah gini? Kerabat papamu mulai bergunjing liat Prisha! Bikin malu saja!"Gavin mendekat. "Mama nggak perlu repot-repot ngurus gadis keras kepala ini.
Zed dan Diana duduk di kursi utama, memindai anak, menantu, dan cucu-cucunya yang telah duduk rapi menghadapi meja makan. Lantas, fokus mereka terkunci pada Prisha yang duduk di sisi Gavin, sebelah kiri Karina. "Prisha, silakan perkenalkan dirimu, Nak." Diana tersenyum ramah. Pandangan semua orang otomatis terpusat ke Prisha. Beberapa anggota keluarga berdecih pelan. Yang lain, memberi tatapan merendahkan, dan sebagian lain tanpa minat."Mama, biar saya yang memperkenalkan Prisha," ucap Karina, tiba-tiba. "Nggak perlu repot-repot, Mba Karin." Sonya, menantu dari anak kedua Zed, menukas sambil menggoyang kipas bulu klasiknya. "Kami udah tau profil Prisha. Nggak bisa dibayangkan, gimana reaksi publik jika background-nya terekspos.""Mba Sonya punya tiga anak. Saya empat. Kebayang susahnya ngatur anak banyak, ya. Mba Karin beruntung hanya ngatur satu anak. Eh, tapi, kok, tetep kecolongan milihin jodoh." Lolita, menantu ketiga, menampakkan wajah prihatin. Wajah Karina memerah, menahan
Sepulang dari acara makan malam, baru satu langkah memasuki rumah, Prisha ditarik suaminya, lalu dihempaskan ke sofa ruang tamu. Gavin membanting pintu sekuat tenaga. Suara berdebam yang keras, mengejutkan jantung Prisha hingga berdegup kencang. "Kamu sudah tau, kan?" bentak pria itu, dalam posisi masih berdiri.Prisha langsung mengerti yang dimaksud Gavin. Ditatanya napas demi merangkum ketenangan. "Pak Dok, mari duduk. Kita bicara baik-baik," pinta gadis itu. Agak gemetar. Aura Gavin terasa mengerikan. Mata pemuda itu semerah saga dan berair, kontras dengan wajah tampan sepucat mayat. Mengingatkan Prisha pada sosok vampir ganteng di film Twilight Saga. "Saya nggak bisa bicara baik-baik ama kamu!""Bicara saat marah, bisa berujung penyesalan. Ada hadis Rasulullah SAW soal marah--""Saya nggak butuh ceramah!" bentak Gavin. "Sekarang saya tau apa yang bikin kamu pede dan berani mendebat saya!"Kejengkelan Prisha terpantik. Gadis itu bangkit. "Saya juga tau alasan keluarga ini me
"Aku akan ceraikan Karina, ibunya Gavin, supaya leluasa menikahi Nalini, ibumu, Prisha!" ulang Tibra lebih tegas. Mendengar itu, Gavin tak kuasa menahan diri. Papanya tak ubahnya anak kecil yang ngotot memaksakan keinginan. Tangannya teracung, siap menghajar. Prisha refleks mendekap punggung suaminya untuk mengerem laju langkahnya."Gavin, kumohon maafkan aku." Nalini tiba-tiba menghiba dengan suara parau. Wanita itu menjatuhkan diri berlutut di depan Gavin. "Kesalahanku mungkin terlalu besar. Tapi demi cinta kita, kumohon, izinkan diriku memperbaiki semua ini ...."Andai Gavin tidak tahu kenyataan apa pun tentang Nalini dan papanya, hatinya mungkin akan bergetar iba mendengar ratapan Nalini yang memilukan. Para pengunjung bar saja sampai menghentikan kegiatan masing-masing, dan tak kuasa menahan air mata."Bagaimana caramu memperbaikinya?" Gavin bertanya dingin, menekan muak. Didorongnya tubuh Prisha menjauh. Lantas, ia setengah membungkuk, menjenguk muka Nalini. "Ceraikan Prisha.
"Ngg ... kalo gitu, Mami kita angkut ke rumah Anda?""Kamu gila!""Atau ... Anda menemani saya di rumah Mami, supaya nggak jadi gosip? Kita bisa pulang bareng besok pagi!""Lebih gila lagi!"Prisha menunjukkan ekspresi sedih bercampur putus asa. Gavin makin gusar. Gadis itu lebih mencemaskan ibunya yang sudah oleng dan tampak ambruk di pinggir jalan. Sementara dirinya yang babak belur, sama sekali tidak diperhatikan. Ditanya kondisi pun tidak.Entah bagaimana juga nasib Tibra di dalam bar sana. Gavin merasa, papanya lebih baik mati di tangan centeng."Ibumu biasanya ditemenin siapa?""Tante di sebelah rumah.""Ya udah. Ditelpon tante itu!"Prisha gegas mengeluarkan ponsel dan menghubungi tetangga Nalini. Namun, dua menit kemudian, wajahnya berubah kecewa. "Tante Lexi lagi ada tamu. Pak Dok pulang aja .... Saya mau ngerawat Mami."Gavin nyaris meledak saking gusarnya. "Lalu, siapa yang ngerawat saya?"Prisha tersentak saat menyadari suaminya juga menderita. Rasa bersalah seketika menye
Azan Subuh berkumandang dari masjid rumah sakit, menyapa pendengaran Gavin. Begitu matanya terbuka, sejuta rasa sakit menyerbu tubuh. Pria muda itu mengaduh lirih ketika memaksakan diri bangkit duduk. Prisha muncul dari kamar kecil ketika melihat suaminya meringis, menahan nyeri, sewaktu menuruni ranjang."Pak Dok mau ke mana?""Ke kamar kecil. Panggilkan perawat untuk membantu saya.""Biar saya sa--""Saya nggak sudi disentuh kamu!""O, begitu, ya?" Prisha mendekat. Wajahnya yang masih basah oleh air wudhu, ditambah sorot mata penuh permusuhan, memancarkan kecantikan eksotis di bawah penerangan lampu neon. "Saya nggak boleh nyentuh Anda, tapi Anda bebas nyentuh saya! Sungguh tidak adil!"Wajah pucat Gavin berubah kemerahan."Ngomong-ngomong, yang ngeganti baju saya bukan kamu, kan?" Gavin baru menyadari, pakaiannya telah berganti jadi piyama rumah sakit."Saya yang ganti!" sahut Prisha, dengan nada menantang. Gavin terbelalak. Tubuhnya yang steril dari pandangan wanita mana pun, t