"Ngg ... kalo gitu, Mami kita angkut ke rumah Anda?""Kamu gila!""Atau ... Anda menemani saya di rumah Mami, supaya nggak jadi gosip? Kita bisa pulang bareng besok pagi!""Lebih gila lagi!"Prisha menunjukkan ekspresi sedih bercampur putus asa. Gavin makin gusar. Gadis itu lebih mencemaskan ibunya yang sudah oleng dan tampak ambruk di pinggir jalan. Sementara dirinya yang babak belur, sama sekali tidak diperhatikan. Ditanya kondisi pun tidak.Entah bagaimana juga nasib Tibra di dalam bar sana. Gavin merasa, papanya lebih baik mati di tangan centeng."Ibumu biasanya ditemenin siapa?""Tante di sebelah rumah.""Ya udah. Ditelpon tante itu!"Prisha gegas mengeluarkan ponsel dan menghubungi tetangga Nalini. Namun, dua menit kemudian, wajahnya berubah kecewa. "Tante Lexi lagi ada tamu. Pak Dok pulang aja .... Saya mau ngerawat Mami."Gavin nyaris meledak saking gusarnya. "Lalu, siapa yang ngerawat saya?"Prisha tersentak saat menyadari suaminya juga menderita. Rasa bersalah seketika menye
Azan Subuh berkumandang dari masjid rumah sakit, menyapa pendengaran Gavin. Begitu matanya terbuka, sejuta rasa sakit menyerbu tubuh. Pria muda itu mengaduh lirih ketika memaksakan diri bangkit duduk. Prisha muncul dari kamar kecil ketika melihat suaminya meringis, menahan nyeri, sewaktu menuruni ranjang."Pak Dok mau ke mana?""Ke kamar kecil. Panggilkan perawat untuk membantu saya.""Biar saya sa--""Saya nggak sudi disentuh kamu!""O, begitu, ya?" Prisha mendekat. Wajahnya yang masih basah oleh air wudhu, ditambah sorot mata penuh permusuhan, memancarkan kecantikan eksotis di bawah penerangan lampu neon. "Saya nggak boleh nyentuh Anda, tapi Anda bebas nyentuh saya! Sungguh tidak adil!"Wajah pucat Gavin berubah kemerahan."Ngomong-ngomong, yang ngeganti baju saya bukan kamu, kan?" Gavin baru menyadari, pakaiannya telah berganti jadi piyama rumah sakit."Saya yang ganti!" sahut Prisha, dengan nada menantang. Gavin terbelalak. Tubuhnya yang steril dari pandangan wanita mana pun, t
"Bener juga, sih," gumam Prisha setengah merenung. "Gue juga kayaknya nggak ngerti-ngerti amat. Gini aja. Gimana kalo kita konsultasi ke Dokter Adinda, ustazah gue? Gue sekalian mau nanya-nanya soal kasus mami juga.""Wah, ini yang gue cari!" sahut Keyko, secepat ayam mematuk umpan. "Ayok! Hari ini juga, bisa nggak?"Prisha berpikir sesaat. Memikirkan Gavin yang selalu mengusirnya, tampaknya ia tak perlu lagi menjenguknya. Hari itu ia akan dinas seperti biasa, mengecek kabar mami, lalu berkunjung ke klinik jiwa Dokter Adinda."Gue hubungin Bu Dok dulu, ya." Prisha gegas mengirim chat ke nomor ustazahnya. Lima menit kemudian, ia mengangkat muka dari layar ponsel. "Bu Dokter sibuk seharian. Bisa ditemui abis acara sore ini di masjid kampus kedokteran negeri. Gimana?""Oke." Keyko mengangguk antusias. Cuek saja ia tatkala Prisha memberinya tatapan iba yang mengandung isyarat "betapa menyedihkannya kamu, Key".Prisha ikut Keyko ke kos, numpang mandi dan berganti pakaian. Setelah itu, ia b
Prisha menyembunyikan keterkejutan di hatinya. Kakek Zed telah menebak dengan jitu, rencana yang sempat tebersit di benaknya."Kamu bahkan belum baca surat wasiat almarhum ayahmu." Zed membuang napas, kasar. Kakek itu mengetukkan ujung tongkat satu kali ke lantai. "Egon menyerahkan kuasa perwalianmu pada kami. Maka itulah kami mati-matian mencarimu. Kamu tau apa arti perwalian?"Prisha mengangkat muka. "Kakek Nenek jadi wali saya? Pengganti orang tua saya?""Benar. Termasuk wewenang mencairkan harta warisanmu yang tertanam dalam bentuk saham. Hanya saja, setelah kamu menikah, perwalian itu gugur. Digantikan suamimu.""Saya kurang mengerti. Maafkan saya. Mohon diperjelas lagi.""Artinya, kamu perlu tanda tangan Gavin jika ingin mencairkan saham itu." Kakek Zed menyandarkan punggung, terlihat sangat kecewa. Si kakek sampai terbatuk dan sedikit pucat."Kemarilah, Sayangku." Nenek Diana melambaikan tangan. Prisha mendekat dan duduk di sisi nenek itu. Diana menggenggam tangan Prisha, hang
Bukannya langsung kembali ke kamar Gavin, Prisha malah leyeh-leyeh di kamar kos Keyko yang sejuk. Dua mangkok mie ayam sudah ia tandaskan bersama sekotak teh dingin kemasan. "Gue stres malah males makan. Lah, elo malah tambah nafsu, ampe ngabisin mie ayam dua mangkok. Heran gue, ke mana larinya, tuh, kalori? Gak berbanding lurus ama berat badan." Keyko berkomentar, penuh iri."Idup gue banyakan stresnya daripada hepi. Kayaknya kalori abis kebakar ke situ.""Aah, Allah Maha Adil, ya. Gue banyakan hepinya ketimbang elo. Makan blackforest sepotong aja selama tiga hari dah naek berat badan gue. Kalo stres, nafsu makan anjlok, tapi gak kurus-kurus.""Kalo lo ngerasa gemuk, alangkah malangnya nasib orang kurus sedunia." Prisha mencibir, sebal. Sebab tubuh Keyko sudah proporsional cenderung kurus dengan tinggi 170 cm dan berat 50 kg. Tinggi Prisha sendiri hanya kurang 2 cm dari Keyko, berat badan 49 kg."Key, ngomongin stres, jadi keinget masalah lo. Kalo berhenti jadi koas dan batal nikah,
Pukul 17.30, forum berakhir. Prisha dan Keyko gegas menghampiri Dokter Adinda. Mereka bersimpuh di hadapan dokter itu."Assalamualaykum, Bu," sapa Prisha, santun."Wa alaikumussalam. Hai Sha, minggu kemaren kamu nggak hadir kajian intensif. Nggak ada kabarnya. Kamu sakit?" Mata teduh Dokter Adinda menatap prihatin."Duh, maafkan saya, Bu Dok. Ada masalah keluarga yang cukup pelik, susah diungkapkan.""Oh, I see. Sekarang masalahnya udah reda?""Belum. Tapi saya janji, insyaAllah minggu ini hadir. Saya komitmen tetap ngaji seminggu sekali.""Good girl." Dokter Adinda tersenyum. "I'm proud of you, Sha. Istiqomah sejak maba sampai sekarang."Prisha tersenyum manis sekali dan matanya berbinar-binar bangga. Keyko ilfeel melihatnya. "Oh, ya, saya minta maaf, terpaksa nyediain waktu yang sedikit buat kalian, saking padatnya agenda bulan ini. Tapi saya akan ngirim link Podcast soal seluk beluk pernikahan. Kalian dengerin rutin sampe tuntas, trus silakan kirim pertanyaan via chat. Selambat-la
Saat sudah sendirian, Prisha merenungi tujuan menikahnya. Ia mengerti kesalahannya. Namun, setiap kali mengingat kelakuan ibunya, jantungnya bagai diperas-peras. Prisha tak tahu harus bersikap apa di depan lelaki yang telah disakiti ibunya terlalu dalam. Ibunya tak hanya mematahkan hati Dokter Gavin, tetapi belakangan terbongkar, pernah jadi benalu pula di rumah tangga ayah ibu Dokter Gavin. Entah apa pandangan lelaki itu kini terhadap dirinya.Malam itu, ia berdiri di rooftop rumah sakit DIMS Hospital. Tidak pulang ke kos Keyko, karena ragu-ragu hendak menjenguk Gavin atau tidak.Wajahnya tengadah ke arah bulan purnama gilang gemilang. Ada mega berarak yang jadi mahkota sang ratu malam, memukau pandangannya. Bulir bening berkilauan jatuh dari mata indahnya, laksana untaian kalung marjan yang putus tali. Bukan hidup seperti ini yang ia inginkan. Menjadi pengantin pengganti ibunya, dan tahu-tahu, juga menjadi saudara tiri suaminya sendiri.Embusan angin melambaikan ujung-ujung kerudu
Temaram lampu, memberi kesan dark pada wajah tampan yang kelihatan frustrasi. Berdegup kencang jantung Prisha di luar kendali. Ada rasa takut, ngeri, bercampur sensasi yang memantik hormon adrenalinnya."Siapa yang menolongku waktu kecelakaan itu? Nalini atau kamu?" Gavin meremas sepasang bahu Prisha. Mata kehijauan sang dara melebar sesaat. Gadis itu refleks mendorong suaminya agar menjauh. Namun, Gavin menekannya ketat. Usaha Prisha memberontak sia-sia. Ia seperti mendorong tembok baja."Kebenaran tak ada artinya bagi Anda yang sudah cinta buta," desis Prisha, seraya menoleh, mengarahkan pandangan ke arah mana saja, agar tidak kontak mata dengan mata abu-abu Gavin yang mempesona. Gavin sedikit menunduk. Aroma rempah bunga yang manis, menguar mengusik hidungnya, tapi ia berusaha fokus."Kamu betul. Semua saksi mata mengatakan hal yang sama. Kamu yang menolong saya. Tapi kamu bersikeras membantahnya. Bodohnya, saya lebih percaya kamu dan ibumu. Sekarang, beritau saya kebenarannya.