Pukul 17.30, forum berakhir. Prisha dan Keyko gegas menghampiri Dokter Adinda. Mereka bersimpuh di hadapan dokter itu."Assalamualaykum, Bu," sapa Prisha, santun."Wa alaikumussalam. Hai Sha, minggu kemaren kamu nggak hadir kajian intensif. Nggak ada kabarnya. Kamu sakit?" Mata teduh Dokter Adinda menatap prihatin."Duh, maafkan saya, Bu Dok. Ada masalah keluarga yang cukup pelik, susah diungkapkan.""Oh, I see. Sekarang masalahnya udah reda?""Belum. Tapi saya janji, insyaAllah minggu ini hadir. Saya komitmen tetap ngaji seminggu sekali.""Good girl." Dokter Adinda tersenyum. "I'm proud of you, Sha. Istiqomah sejak maba sampai sekarang."Prisha tersenyum manis sekali dan matanya berbinar-binar bangga. Keyko ilfeel melihatnya. "Oh, ya, saya minta maaf, terpaksa nyediain waktu yang sedikit buat kalian, saking padatnya agenda bulan ini. Tapi saya akan ngirim link Podcast soal seluk beluk pernikahan. Kalian dengerin rutin sampe tuntas, trus silakan kirim pertanyaan via chat. Selambat-la
Saat sudah sendirian, Prisha merenungi tujuan menikahnya. Ia mengerti kesalahannya. Namun, setiap kali mengingat kelakuan ibunya, jantungnya bagai diperas-peras. Prisha tak tahu harus bersikap apa di depan lelaki yang telah disakiti ibunya terlalu dalam. Ibunya tak hanya mematahkan hati Dokter Gavin, tetapi belakangan terbongkar, pernah jadi benalu pula di rumah tangga ayah ibu Dokter Gavin. Entah apa pandangan lelaki itu kini terhadap dirinya.Malam itu, ia berdiri di rooftop rumah sakit DIMS Hospital. Tidak pulang ke kos Keyko, karena ragu-ragu hendak menjenguk Gavin atau tidak.Wajahnya tengadah ke arah bulan purnama gilang gemilang. Ada mega berarak yang jadi mahkota sang ratu malam, memukau pandangannya. Bulir bening berkilauan jatuh dari mata indahnya, laksana untaian kalung marjan yang putus tali. Bukan hidup seperti ini yang ia inginkan. Menjadi pengantin pengganti ibunya, dan tahu-tahu, juga menjadi saudara tiri suaminya sendiri.Embusan angin melambaikan ujung-ujung kerudu
Temaram lampu, memberi kesan dark pada wajah tampan yang kelihatan frustrasi. Berdegup kencang jantung Prisha di luar kendali. Ada rasa takut, ngeri, bercampur sensasi yang memantik hormon adrenalinnya."Siapa yang menolongku waktu kecelakaan itu? Nalini atau kamu?" Gavin meremas sepasang bahu Prisha. Mata kehijauan sang dara melebar sesaat. Gadis itu refleks mendorong suaminya agar menjauh. Namun, Gavin menekannya ketat. Usaha Prisha memberontak sia-sia. Ia seperti mendorong tembok baja."Kebenaran tak ada artinya bagi Anda yang sudah cinta buta," desis Prisha, seraya menoleh, mengarahkan pandangan ke arah mana saja, agar tidak kontak mata dengan mata abu-abu Gavin yang mempesona. Gavin sedikit menunduk. Aroma rempah bunga yang manis, menguar mengusik hidungnya, tapi ia berusaha fokus."Kamu betul. Semua saksi mata mengatakan hal yang sama. Kamu yang menolong saya. Tapi kamu bersikeras membantahnya. Bodohnya, saya lebih percaya kamu dan ibumu. Sekarang, beritau saya kebenarannya.
"Untuk mengobati hati Anda yang rusak, saya sarankan Anda banyak membaca Al-Qur'an, berzikir, memperbanyak sholat malam. Saya juga berpikir mengajak Anda ke ahli ruqyah dan mengkaji Islam ke ustaz." Suara lembut merdu Prisha sedikit bergetar ketika Gavin memberi jarak demi memenuhi pasokan oksigen yang terasa menipis di antara mereka. Gavin menatap jengkel. "Kamu nganggap saya kesurupan?""Bukan begitu. Mendekat kepada Allah adalah obat hati paling ampuh."Gavin speechless, menggeleng pelan. Terserahlah.Ia menunduk, ingin kembali mereguk manis Prisha. Apalagi situasi malam yang remang-remang di ruangan tersebut sangat mendukung suasana romantis. Akan tetapi, gadis itu menahan mulutnya dengan tiga jari."Bibir saya sebelumnya steril dari laki-laki. Anda harus bertanggung jawab penuh karena membuat saya terkontaminasi." Wajah Prisha serius sekali. "Tanggung jawab? Kontaminasi? Saya bukan kuman." Gavin memegang tangan Prisha, lalu mengulum jemari sang dara yang menempel di bibirnya.
"Dok, kenapa luka yang begini harus dijahit? Apa nggak bisa diplester banyak-banyak?" Prisha bertanya sambil memperhatikan gerakan Dokter Gavin menjahit luka robek sepanjang 7 cm di kaki pasien akibat kecelakaan kerja. Mereka berada di ruang Unit Gawat Darurat puskesmas. "Lukanya terlalu lebar dan dalam. Kalo nggak dijahit, bakal lambat rapatnya, lambat juga proses sembuhnya. Rentan kemasukan kuman. Kalo infeksi, bisa gawat. Pasiennya demam dan kumannya nyebar ke mana-mana. Bekas lukanya pun bakal jelek banget kalo cuma diplester atau dibebat." Dokter Gavin menjelaskan sambil tetap fokus bekerja. Kalimatnya simpel dan mudah dipahami. Suaranya pun lembut, tenang, sabar, dan tidak tergesa-gesa, mirip penyiar radio melayani pendengar yang cerewet.Dokter itu menyuntikkan bius lokal di sekeliling luka pasien, lalu membersihkan luka tersebut dengan larutan garam normal serta antiseptik."Itu suntikan apa, Dok?" Prisha kembali bertanya. "Duh, pasiennya tambah sakit, dong, kalo disuntik.
Prisha melonggarkan pelukan. Seketika jengah, menyadari sikap impulsifnya. Pipinya yang sudah merona, saat itu semakin memerah serupa tomat matang. "Saya punya resep kecantikan leluhur dari bahan herbal. Tubuh jadi lebih sehat dan singset. Bersih dan wangi juga. Sampai ke bagian privasi. Pak Dok boleh ngecek, kok," ungkapnya, sambil menahan malu campur waswas.Gavin terbatuk canggung. Matanya sampai berkedip-kedip gugup mirip orang kelilipan. Memalukan! Aku tadi ngomong apa?"Em, saya nggak nyangka kamu juga perhatian soal perawatan diri. Saya kira, kamu cuma lulusan pondok yang lebih konsen ama buku dan ibadah. Abaikan kata-kata saya tadi. Jangan mikir macam-macam. Saya cuma pengen tau, apakah selain mengharumkan keringat, resep leluhurmu bisa mengharumkan bagian yang lain juga.""Anda boleh membuktikan sendiri.""Don't flirting with me. Saya cuma salah ngomong."Prisha kehabisan kata-kata menghadapi lelaki dengan gengsi di atas angin itu. Akhirnya ia kembali ke ranjang emergensi.
"Kita nggak jenguk Papa Tibra dulu ICCU?" tanya Prisha saat mengiringi Gavin di koridor rumah sakit.Yang ditanya, tidak merespon. Tatapan Gavin lurus ke depan. Ekspresinya datar seperti biasa. "Saya nanya ke rekan koas yang dinas di ICCU. Kabarnya Papa udah sadar," lanjut Prisha.Gavin tetap membisu. Wajahnya semendung langit musim hujan. Sapaan rekan sejawat dan paramedis yang berpapasan dengannya, diabaikan. Prisha menghela napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. Membendung aliran kekecewaan yang menyusupi hatinya. Ia merasa tak seharusnya Gavin mengabaikan papanya. Prisha sendiri ingin sekali mendatangi Mami Nalini di kantor polisi, sekaligus menjemput Nenek Sarah. Setibanya di mobil, Gavin duduk di sisi Alif, sopirnya. Pria itu langsung mengatur jok mobil ke posisi miring, lalu rebahan dan memejamkan mata. Sementara Prisha termangu sejenak di luar sisi mobil bagian tengah.Alif turun, lantas memutari mobil dan membukakan pintu untuk Prisha. Namun, gadis itu menggeleng."Pa
Gavin melayangkan tatapan ke langit malam yang terlihat begitu gelap, segelap hatinya. Tak tampak barisan bintang atau setitik pun kilau. Hari itu pertengahan bulan, seharusnya ada purnama yang bertahta di langit. Namun, malam itu tiada.Kemanakah perginya seluruh cahaya? Mengapa semesta seakan-akan bersekongkol memboikot penerangan dari hatinya?Perasaan Gavin berkecamuk. Tidak tahu apakah harus senang ataukah kesal mendengar papanya telah sadar. Ia juga tak kuasa menentukan sikap, ketika mendapatkan info menyedihkan tentang Nalini yang harus diungsikan ke IGD rumah sakit jiwa untuk penanganan kegawatdaruratan psikiatrik. Wanita itu mengamuk dan nyaris melukai diri sendiri.Rasa kasihan, sedih, kecewa, kesal, frustrasi, dan benci bercampur aduk dalam hatinya. Yang paling dominan adalah rasa terpukul dan menyalahkan diri sendiri.Cinta telah membuatnya jadi orang bodoh. Gavin menyesal sudah jatuh cinta, padahal pernah berjanji pada diri sendiri untuk menghindari rasa itu. Sebab, ia ta