"Apa yang Anda takutkan?" Mata kehijauan Prisha membulat. "Anda laki-laki. Harusnya saya yang khawatir. Perempuan kadang-kadang jadi pihak lemah dan tersakiti. Risikonya setelah hamil, ada kemungkinan dicerai, atau dimadu secara tidak adil. Tapi saya bukan perempuan seperti itu.""Kamu memang bukan perempuan lemah. Terlalu berani malah. Penuh strategi. Ada sisi licikmu yang membuat saya harus waspada. Semua bagian dirimu, mengandung banyak jebakan. Termasuk wangi tubuhmu ...." Kalimat terakhir diucapkan Gavin di luar sadar, sebab jaraknya dengan Prisha tak sampai lima jari hingga aroma rempah manis mengudara, menguasai pernapasannya.Prisha tertegun. Kemampuan bicara dan negosiasinya mendadak macet.Gavin sedikit mendekat untuk menghidu wangi Prisha lebih intens. Keharuman lembut gadis itu bagai aromaterapi yang memberikan rasa nyaman, tenang, damai, dan sedikit memabukkan. Kekalutan pikirannya seketika teralihkan bagai kabut gelap terusir angin."Kamu pernah bilang cinta ke saya. Isi
"Kamu nangis?" Gavin seketika terserang rasa bersalah saat melihat kilau tercipta dari pantulan cahaya lampu tidur di mata Prisha. "Gara-gara kata-kata saya? Atau jangan-jangan ...." Pria itu menahan kalimat. Takut terhadap dugaannya sendiri.Prisha diam, menatap suaminya. Air matanya masih terus menetes, membasahi pipi. "Maafkan saya yang impulsif," lirih gadis itu. Oksigen terasa menipis di sekitar Gavin. Untuk sesaat, ia berat menarik napas. Pelan-pelan, mata pria muda itu memerah."Kamu kenapa?"Prisha memejamkan mata, lalu berbalik memunggungi suaminya. Gavin menyugar rambut. Lidahnya ingin sekali menguntai kata, mengurai rasa. Berharap mampu membujuk atau menghibur. Saat berhadapan dengan Nalini, ia mampu mengungkapkan segala isi hati, lancar tanpa beban. Namun, di depan Prisha, semua kata dan sikap terasa salah, ambigu, dan kacau balau. Berbincang dengan Nalini, ia selalu lupa waktu. Pembicaraan mengalir tanpa arti. Bersama Prisha, tiap detik terasa berharga ribuan jam, sa
Rinai jatuh, mewarnai prosesi pemakaman Nalini. Tak banyak orang kampung yang datang melayat. Sebagian wanita kampung bersyukur, akhirnya hilang ancaman penggoda suami-suami mereka. Sebagian nyinyir, menganggap Nalini meninggal mendadak karena hukuman dari Tuhan. Hanya sebagian yang netral dan justru kasihan menyaksikan akhir hidup Nalini yang tragis.Sebagian kecil orang masih sudi melayat, hanya karena menghormati Nenek Sarah sebagai salah satu warga tertua di kampung. Prisha sedih sekali. Saat-saat terakhir ibunya, ia tak ada. Pilu hatinya memikirkan ibunya pergi tanpa iringan ayat suci Al-Qur'an. Sempatkah ibunya bertobat, mohon ampun kepada Allah? Adakah setitik sesal di hati ibu di saat terakhirnya? Bernapas bagi Prisha jadi terasa berat, terhalang tangis. Di saat ibunya menderita, ia justru berada dalam dekapan suami. Beribu-ribu andai yang berpusar-pusar di benak, turut memperparah tekanan batinnya.Andai ia tak dilarang Gavin menemani ibunya, mungkin jiwa ibu masih bisa dis
Dalam situasi biasa, Prisha bakal gugup setengah mati mendengar tawaran berbahaya tersebut. Namun, gadis itu masih di fase berduka. Tangisnya pun belum sepenuhnya reda. Reaksinya hanya diam. Wajahnya sedikit tengadah, menatap Gavin dengan aneh."Kita belum sedekat itu." Prisha mendorong suaminya perlahan, lalu pergi tanpa mempedulikan dampak kata-kata dan sikapnya.Gavin membeku. Tak mengira kalau Prisha akan secuek itu. Jiwanya serasa dibenamkan ke Selat Sunda. Rasa malu menggigit hatinya.Dengan susah payah, sembari mengeraskan rahang, pria itu menimba air pelan-pelan, meniru gerakan Prisha. Mengisi bak sampai penuh. Hawa dingin tengah malam menyergap saat ia membuka pakaian. Gavin menyentuh air. Sengatan dingin membuatnya bergidik. Sebagai pemuja kebersihan, Gavin mengharuskan dirinya mandi, minimal 3 kali sehari. Pagi, siang, sore. Hari ini, ia hanya sempat mandi pagi. Padahal, Gavin pantang melewatkan jadwal membersihkan tubuh.Mau tidak mau, sedingin apa pun, ia harus mandi.
Dini hari itu, Prisha menangis sendirian sampai kepalanya pusing. Sebakda Subuh, air matanya tak berhenti mengalir. Tetes-tetes bening jatuh dari matanya membasahi halaman mushaf Al-Qur'an yang dibacanya lirih.Prisha menyentuh dadanya yang sesak terhimpit dilema. Setelah tahu penyebab kematian ibunya, bagaimana mungkin ia kembali ke tengah keluarga Devandra? Sanggupkah ia memanggil "mama" pada mertua yang telah membunuh ibunya? Kuatkah ia menuntut Karina, dengan risiko mematahkan hubungannya dengan Gavin?Lebih jauh lagi, mampukah ia memandang Gavin sebagai suami, sedangkan ibunya pernah tersiksa sampai akhir hidup gara-gara merindukan lelaki itu? Terlebih sejak awal nikah, Gavin telah menegaskan perasaan, yang sukar dilupakan Prisha hingga detik ini."Aku membencimu, sebesar aku mencintai ibumu."Sementara, ancaman Karina, Prisha sama sekali tidak takut. Baginya, itu tidak penting. Mungkin Nenek Sarah benar. Gavin harus melepaskannya. Prisha tak tahan lagi menanggung persoalan sen
Prisha berlari ke jalan desa. Untuk mengakses bus kota menuju Jakarta, ia harus melintasi jalan desa sejauh 500 meter ke jalan raya besar. Beberapa orang kampung yang berpapasan dengannya, menyapa sekilas sambil menatap kasihan campur prihatin. Ada pula yang mencibir diam-diam dan mencemooh. Prisha tak menanggapi. Ia bergerak cepat sampai napasnya nyaris putus. Jalan desa itu sedikit berkelok. Beraspal, tapi berlubang di sana-sini. Perumahan penduduk cukup padat di kiri kanan jalan.Setibanya di muara jalan raya, mendadak ia melihat mobil yang sangat dikenalnya. Mobil bugatti divo metalic yang langka, terparkir di kiri jalan.Prisha terbelalak, dan segera memacu langkah mendekati mobil tersebut."Pak Dok!" Ia berseru tatkala mendapati sosok Gavin terbaring meringkuk di jok depan mobil.Gadis itu mengetuk-ngetuk kaca jendela sampai lelaki muda itu terbangun.Mata Gavin merah berair dan wajahnya seputih kapas. Bibirnya tampak kebiruan. Gerakannya saat beringsut duduk, lalu memutar kun
Sesampainya di rumah Nenek Sarah, Gavin patuh ketika diminta Prisha menelan obat antipiretik dan minum secangkir teh hangat. "Sejak datang ke sini, Anda belum makan. Maafkan saya, lalai memperhatikan." Prisha berkata, agak kaku. "Pasti sekarang kelaparan. Mau makan apa? Biar saya siapkan."Gavin menatap istrinya, tenang dan dalam."Dulu, saya pikir kamu hanya ingin memanfaatkan saya. Nyatanya kamu serius ingin menjalani pernikahan dan jadi istri yang baik. Baik, kalo gitu, saya nggak akan sungkan lagi. Saya mau tenderloin saus black pepper. Jangan pake nasi, cukup stik kentang. Minumnya jus apel tanpa susu dan air mineral."Prisha mengernyit dan menahan lidahnya supaya tidak berdecak kesal."Rumah ini bukan restoran, Mr. CEO. Harga seporsi tenderloin pun sangat mahal.""Tadi kamu yang nawarin. Saya terbiasa makanan barat. Yang saya sebutkan itu udah paling sederhana," sahut Gavin, polos. Prisha speechless. Kalau tenderloin itu sederhana, termasuk kategori apa nasi kuning, bubur aya
Beberapa jam kemudian.Terbangun di pelukan dokter idola, rasanya seperti mimpi. Prisha tidak langsung bangkit. Nanar matanya, mengagumi ketampanan cantik yang kini mudah sekali dijangkaunya. Pelan-pelan, Prisha kembali terpejam, meresapi kedamaian, kesejukan, dan rasa terlindungi, yang mengalir dari tubuh suaminya.Mungkin ini yang disebut sakinah. Batin Prisha. Tak perlu dialog berjam-jam atau ribuan kata hiburan. Begini saja sudah cukup menenangkan.Mendadak ia merasa Gavin menggeliat pelan. Lalu, kehangatan menyapu keningnya. Prisha tak bisa tidak membuka mata, sebab sentuhan itu membuat tubuhnya merinding.Ia mendapati wajah Gavin begitu dekat. Mata lelaki itu terbelalak, lalu mengerjap-ngerjap, salah tingkah. "Maaf, saya ketiduran, Dok." Prisha menikam gugup, dan pura-pura tidak merasa kalau keningnya baru saja tercuri kecupan."Badanmu berat." Gavin mendorong Prisha hingga terguling ke sisinya. "Ah, udah siang. Kayaknya bentar lagi Zuhur. Saya siapin air panas dulu, ya." Deng