Rinai jatuh, mewarnai prosesi pemakaman Nalini. Tak banyak orang kampung yang datang melayat. Sebagian wanita kampung bersyukur, akhirnya hilang ancaman penggoda suami-suami mereka. Sebagian nyinyir, menganggap Nalini meninggal mendadak karena hukuman dari Tuhan. Hanya sebagian yang netral dan justru kasihan menyaksikan akhir hidup Nalini yang tragis.Sebagian kecil orang masih sudi melayat, hanya karena menghormati Nenek Sarah sebagai salah satu warga tertua di kampung. Prisha sedih sekali. Saat-saat terakhir ibunya, ia tak ada. Pilu hatinya memikirkan ibunya pergi tanpa iringan ayat suci Al-Qur'an. Sempatkah ibunya bertobat, mohon ampun kepada Allah? Adakah setitik sesal di hati ibu di saat terakhirnya? Bernapas bagi Prisha jadi terasa berat, terhalang tangis. Di saat ibunya menderita, ia justru berada dalam dekapan suami. Beribu-ribu andai yang berpusar-pusar di benak, turut memperparah tekanan batinnya.Andai ia tak dilarang Gavin menemani ibunya, mungkin jiwa ibu masih bisa dis
Dalam situasi biasa, Prisha bakal gugup setengah mati mendengar tawaran berbahaya tersebut. Namun, gadis itu masih di fase berduka. Tangisnya pun belum sepenuhnya reda. Reaksinya hanya diam. Wajahnya sedikit tengadah, menatap Gavin dengan aneh."Kita belum sedekat itu." Prisha mendorong suaminya perlahan, lalu pergi tanpa mempedulikan dampak kata-kata dan sikapnya.Gavin membeku. Tak mengira kalau Prisha akan secuek itu. Jiwanya serasa dibenamkan ke Selat Sunda. Rasa malu menggigit hatinya.Dengan susah payah, sembari mengeraskan rahang, pria itu menimba air pelan-pelan, meniru gerakan Prisha. Mengisi bak sampai penuh. Hawa dingin tengah malam menyergap saat ia membuka pakaian. Gavin menyentuh air. Sengatan dingin membuatnya bergidik. Sebagai pemuja kebersihan, Gavin mengharuskan dirinya mandi, minimal 3 kali sehari. Pagi, siang, sore. Hari ini, ia hanya sempat mandi pagi. Padahal, Gavin pantang melewatkan jadwal membersihkan tubuh.Mau tidak mau, sedingin apa pun, ia harus mandi.
Dini hari itu, Prisha menangis sendirian sampai kepalanya pusing. Sebakda Subuh, air matanya tak berhenti mengalir. Tetes-tetes bening jatuh dari matanya membasahi halaman mushaf Al-Qur'an yang dibacanya lirih.Prisha menyentuh dadanya yang sesak terhimpit dilema. Setelah tahu penyebab kematian ibunya, bagaimana mungkin ia kembali ke tengah keluarga Devandra? Sanggupkah ia memanggil "mama" pada mertua yang telah membunuh ibunya? Kuatkah ia menuntut Karina, dengan risiko mematahkan hubungannya dengan Gavin?Lebih jauh lagi, mampukah ia memandang Gavin sebagai suami, sedangkan ibunya pernah tersiksa sampai akhir hidup gara-gara merindukan lelaki itu? Terlebih sejak awal nikah, Gavin telah menegaskan perasaan, yang sukar dilupakan Prisha hingga detik ini."Aku membencimu, sebesar aku mencintai ibumu."Sementara, ancaman Karina, Prisha sama sekali tidak takut. Baginya, itu tidak penting. Mungkin Nenek Sarah benar. Gavin harus melepaskannya. Prisha tak tahan lagi menanggung persoalan sen
Prisha berlari ke jalan desa. Untuk mengakses bus kota menuju Jakarta, ia harus melintasi jalan desa sejauh 500 meter ke jalan raya besar. Beberapa orang kampung yang berpapasan dengannya, menyapa sekilas sambil menatap kasihan campur prihatin. Ada pula yang mencibir diam-diam dan mencemooh. Prisha tak menanggapi. Ia bergerak cepat sampai napasnya nyaris putus. Jalan desa itu sedikit berkelok. Beraspal, tapi berlubang di sana-sini. Perumahan penduduk cukup padat di kiri kanan jalan.Setibanya di muara jalan raya, mendadak ia melihat mobil yang sangat dikenalnya. Mobil bugatti divo metalic yang langka, terparkir di kiri jalan.Prisha terbelalak, dan segera memacu langkah mendekati mobil tersebut."Pak Dok!" Ia berseru tatkala mendapati sosok Gavin terbaring meringkuk di jok depan mobil.Gadis itu mengetuk-ngetuk kaca jendela sampai lelaki muda itu terbangun.Mata Gavin merah berair dan wajahnya seputih kapas. Bibirnya tampak kebiruan. Gerakannya saat beringsut duduk, lalu memutar kun
Sesampainya di rumah Nenek Sarah, Gavin patuh ketika diminta Prisha menelan obat antipiretik dan minum secangkir teh hangat. "Sejak datang ke sini, Anda belum makan. Maafkan saya, lalai memperhatikan." Prisha berkata, agak kaku. "Pasti sekarang kelaparan. Mau makan apa? Biar saya siapkan."Gavin menatap istrinya, tenang dan dalam."Dulu, saya pikir kamu hanya ingin memanfaatkan saya. Nyatanya kamu serius ingin menjalani pernikahan dan jadi istri yang baik. Baik, kalo gitu, saya nggak akan sungkan lagi. Saya mau tenderloin saus black pepper. Jangan pake nasi, cukup stik kentang. Minumnya jus apel tanpa susu dan air mineral."Prisha mengernyit dan menahan lidahnya supaya tidak berdecak kesal."Rumah ini bukan restoran, Mr. CEO. Harga seporsi tenderloin pun sangat mahal.""Tadi kamu yang nawarin. Saya terbiasa makanan barat. Yang saya sebutkan itu udah paling sederhana," sahut Gavin, polos. Prisha speechless. Kalau tenderloin itu sederhana, termasuk kategori apa nasi kuning, bubur aya
Beberapa jam kemudian.Terbangun di pelukan dokter idola, rasanya seperti mimpi. Prisha tidak langsung bangkit. Nanar matanya, mengagumi ketampanan cantik yang kini mudah sekali dijangkaunya. Pelan-pelan, Prisha kembali terpejam, meresapi kedamaian, kesejukan, dan rasa terlindungi, yang mengalir dari tubuh suaminya.Mungkin ini yang disebut sakinah. Batin Prisha. Tak perlu dialog berjam-jam atau ribuan kata hiburan. Begini saja sudah cukup menenangkan.Mendadak ia merasa Gavin menggeliat pelan. Lalu, kehangatan menyapu keningnya. Prisha tak bisa tidak membuka mata, sebab sentuhan itu membuat tubuhnya merinding.Ia mendapati wajah Gavin begitu dekat. Mata lelaki itu terbelalak, lalu mengerjap-ngerjap, salah tingkah. "Maaf, saya ketiduran, Dok." Prisha menikam gugup, dan pura-pura tidak merasa kalau keningnya baru saja tercuri kecupan."Badanmu berat." Gavin mendorong Prisha hingga terguling ke sisinya. "Ah, udah siang. Kayaknya bentar lagi Zuhur. Saya siapin air panas dulu, ya." Deng
Gavin diam, lalu mengusap air mata. "Apakah saya boleh mengetahui kabar yang membuat Anda sedih?" Prisha bertanya dengan hati-hati. "Saya hanya terbawa perasaan." Ekspresi Gavin kembali tenang. "Oh ya, saya lihat, luka di tanganmu udah mengering. Apa masih sakit?""Udah berkurang nyerinya.""Besok kita angkat jahitannya, ya."Prisha mengangguk."Dok, masalah di antara kita udah clear, kan? Apakah Bu Karina melenyapkan bukti?" tebak Prisha, to the point. Ketidaksenangan di hatinya, tercermin dari perubahan sebutan terhadap mertua perempuan, dari "mama" menjadi "bu".Gavin tidak terkejut atau marah. Ia memandang istrinya sejenak. "Mama memecat dokter forensik yang mengautopsi jenazah Nalini. Seluruh perawat dan dokter yang berjaga di ruangan tempat Nalini dirawat inap, dipindahtugaskan ke daerah, rumah sakit tipe B. Semua bukti dihapus, termasuk rekam medis ibumu. Info hasil autopsi ke nenekmu, hanya secara lisan. Kesaksiannya lemah."Prisha seketika menyadari kebenaran ucapan nenekn
Prisha menoleh ke arah suaminya. Paras Gavin terlihat tenang. Bibir lelaki itu seperti menahan senyum. Apakah Dokter Gavin senang menerima kedatangan Dokter Ariana?Prisha ingin membuang segala pikiran negatif. Namun, ucapan nenek tahu-tahu terngiang di benak. Terasa mengganggu. "Untuk apa lagi bertahan? Ibumu sudah meninggal."Rasa malu bercampur sedih membungkus hatinya. Meski mengerti tujuan pernikahan, harga dirinya menjerit. Kenyataan Gavin tidak mendukungnya menuntut Karina, semakin membuatnya kecewa. Kedatangan Ariana, juga membangkitkan kesadaran, betapa impulsif dirinya. Namun, bukan Prisha namanya jika menyerah begitu saja. Ia memutar otak. Senyum tipis terbit di bibirnya saat menemukan jalan.Prisha menggeser tubuh, menjauhi Gavin, tatkala calon menantu baru sang ibu mertua muncul di ruang tamu. Ruangan yang luas dan mewah, jadi terasa sempit dan buruk.Dokter Ariana seorang wanita matang dan dewasa. Pembawaannya tenang dan lembut, tapi matanya berkilat cerdas. Wajahnya